Hari Raya Idul Fitri telah tiba. Sejak pagi-pagi
sekali, semua orang sibuk mempersiapkan pesta menyambut lebaran. Kota Madinah
dipenuhi suasana gembira. Waktu pelaksanaan shalat Id semakin dekat. Tua-muda
dengan mengenakan pakaian terbaru mereka pergi menuju lapangan. Anak-anak turut
beserta orangtua mereka, bermain dan bercanda di tempat yang agak jauh dari
orang dewasa. Suasana di sekitar lapangan semakin semarak dengan aroma
wewangian yang melenakan dari pakaian yang melambai-lambai serta saputangan
yang berkibar-kibar ditimpa riuh-rendah suara anak-anak yang tiada henti.
Usai shalat Id anak-anak tampak sibuk mengucapkan selamat lebaran. Ketika Rasulullah SAW hendak pulang, beliau melihat seorang bocah bertubuh kurus memakai baju compang-camping, duduk sendirian di salah satu sudut lapangan sembari melelehkan air mata.
Rasulullah berjalan menghampiri anak tersebut, dengan penuh kasih sayang mengusap pundaknya dan bertanya, “Mengapa menangis, Nak?”
Usai shalat Id anak-anak tampak sibuk mengucapkan selamat lebaran. Ketika Rasulullah SAW hendak pulang, beliau melihat seorang bocah bertubuh kurus memakai baju compang-camping, duduk sendirian di salah satu sudut lapangan sembari melelehkan air mata.
Rasulullah berjalan menghampiri anak tersebut, dengan penuh kasih sayang mengusap pundaknya dan bertanya, “Mengapa menangis, Nak?”
Si anak dengan marah menyingkirkan tangan Rasulullah
dan berkata, “Tinggalkan aku sendiri! Aku sedang berdoa.”
Rasulullah membelai rambut bocah itu dan dengan suara yang penuh kelembutan beliau bertanya kembali, “Katakan padaku, Nak! Apa yang terjadi padamu?”
Rasulullah membelai rambut bocah itu dan dengan suara yang penuh kelembutan beliau bertanya kembali, “Katakan padaku, Nak! Apa yang terjadi padamu?”
Bocah itu menyembunyikan wajah di antara kedua
lututnya, lalu berkata,” Ayahku terbunuh dalam peperangan melawan Muhammad.
Ibuku sudah kawin lagi dengan orang lain. Harta benda milikku dijarah orang.
Aku hidup bersama dengan ibuku, tetapi suaminya yang baru telah mengusirku
pergi. Hari ini semua anak-anak sebayaku bercanda dan menari-nari dengan
mengenakan pakaian barunya, tetapi diriku? Aku tidak punya makanan yang kumakan
dan tidak pula atap yang melindungiku.”
Air mata Rasulullah mulai menetes. Tetapi beliau
mencoba untuk tetap tersenyum sembari bertanya, “Jangan bersedih anakku! Aku
juga kehilangan ayah dan ibu saat aku masih kecil.”
Si anak menengadahkan kepalanya dan menatap Rasulullah, ia segera mengenali wajah itu dan ia pun merasa sangat malu. Dengan nada penuh kasih Rasulullah berkata, ” Jika aku menjadi ayahmu dan Aisyah menjadi ibumu, dan Fatimah saudaramu, apakah kamu akan merasa bahagia, anakku?” Si anak mengangguk, “Tentu.”
Rasulullah menggandeng tangan anak malang itu dan
membawanya ke rumah. Beliau memanggil Aisyah, “Terimalah anak ini sebagai
anakmu.” Aisyah memandikan anak itu dengan tangannya sendiri dan
memperlakukannya dengan penuh kasih sayang. Setelah memakaikan pakaian padanya,
Aisyah berkata, “Sekarang pergilah Nak. Kamu bisa bermain dengan teman-temanmu,
dan bila sudah kau rasa cukup, pulanglah.”