Sampai saat ini masih ada public image bahwa Islamic learning identik dengan kejumudan, kemandegan serta
kemunduran. Kesan ini didasarkan pada kenyataan bahwa dewasa ini
mayoritas umat Islam hidup di negara-negara dunia ketiga dalam serba
keterbelakangan ekonomi dan pendidikan. Lebih
tragis lagi adalah berkembangnya cara berfikir serba dikotomis dan hitam putih
sebagian besar umat Islam seperti Islam vis-a-vis
non-Islam, Timur-Barat, dan ilmu-ilmu agama
versus secular sciences.
Pola berfikir semacam ini biasanya sangat dipengaruhi oleh anggapan bahwa sains dan tehnologi tinggi yang merupakan lambang kemajuan budaya dan peradaban bangsa dewasa ini tumbuh dan berkembang di dunia Barat yang notabene negera non-Muslim. Akibat pemahaman semacan ini, penjajahan Barat atas Timur semakin menguat. Dominasi Barat dalam pelbagai hal seperti sains dan tehnologi moderen, informasi, ekonomi dan kultur makin menyisihkan umat Islam yang berada dalam kedalaman inferior complex. Umat Islam tidak hanya didikte oleh hegemoni Barat, tapi lebih parah lagi mereka kehilangan jati diri dan penghargaan diri ( self-identity and self-esteem), sebagai akibat dari kemunduran ekonomi, politik, pendidikan dan kebudayaan yang berkepanjangan. Konsekuensi logis dari situasi ini adalah proses marginalisasi umat Islam semakin menjadi-jadi (the marginalization of Islamic world continues).
Lahirnya ide yang masih diperdebatkan
tentang Islamisasi pengetahuan yang pada awalnya dilancarkan oleh al-Marhum Professor Ismail
Faruqi (Temple University AS) sejak tahun l970-an, pada dasarnya dimotivasi
oleh kenyataan kemunduran ini dan kerinduan akan revitalisasi potensi umat
Islam sebagaimana yang terjadi di masa silam. Konkritnya krisis tersebut
disebabkan oleh: