Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Jika seseorang meninggal dunia, maka terputuslah amalannya kecuali tiga perkara (yaitu) : sedekah jariyah, ilmu yang bermanfaat, dan do’a anak yang sholeh” (HR. Muslim no. 1631)

Cari Berkah

Sabtu, 19 April 2014

Apakah Umar Menghukum Abu Hurairah Karena Merekayasa Hadist?

Pernahkan anda mendengar atau membaca artikel bahwa Umar menghukum dan menghajar Abu Hurairah perawi Sunni lantaran merekayasa hadist. Apakah hal ini benar adanya?

Bukhari, Muslim, Dzahabi, Imam Abu Ja’far Iskafi, Muttaqi Hindi dan yang lainnya menukil bahwa Khalifah Kedua Umar bin Khattab mencemeti Abu Hurairah karena menyandarkan beberapa riwayat yang tak berdasar kepada Rasulullah Saw dan melarang keras Abu Hurairah untuk tidak meriwayatkan hadist hingga akhir pemerintahannya.

Sebab-sebab kecurigaan Umar terhadap Abu Hurairah dapat ditelusuri melalui beberapa faktor berikut ini:

Pertama, pertemanannya dengan Ka’ab al-Ahbar Yahudi dan nukilan riwayat Abu Hurairah darinya.

Kedua, menukil sebagian riwayat tanpa dasar yang umumnya senada dengan hadist-hadist Israiliyyat bahkan tergolong hadist-hadist Israiliyyat.

Ketiga, menukil sebagian riwayat yang bertentangan dengan beberapa riwayat yang dinukil dari para sahabat.

Keempat, penentangan para sahabat seperti Ali bin Abi Thalib dan Abu Bakar terhadap Abu Hurairah.

Kita tidak banyak memiliki literatur dan referensi terkait dengan kehidupan Abu Hurairah sebelum Islam kecuali apa yang sendiri ia nukil. Dari biografi tersebut disebutkan bahwa Abu Hurairah semenjak kecil bermain dengan seekor kucing kecil. Abu Huraira adalah seorang anak yatim dan miskin sehingga untuk menghindar dari kelaparan ia bekerja pada masyarakat.

Dainawari dalam kitab “Al-Ma’ârif” menyebutkan bahwa Abu Hurairah berasal dari suku Dus di Yaman, hidup sebagai seorang yatim dan anak miskin yang berhijrah. Pada usia tiga puluh tahun, ia datang ke Madinah dan lantaran kemiskinannya ia memilih jalan ahli Suffah yang merupakan tempat kaum Muhajirin fakir berkumpul.[1]

Abu Hurairah sendiri secara tegas mengungkapkan alasannya memeluk Islam dan beriman kepada Rasulullah Saw adalah untuk mengenyangkan perutnya yang kosong dan untuk lari dari kemiskinan bukan untuk keperluan lainnya.[2]

Ia sendiri berkata bahwa saya senantiasa ingin mengisi perut saya sedemikian sehingga sebagian sahabat lantaran karena makanan aku pergi ke rumahnya mereka semuanya kabur dariku, tapi ada seseorang yang bernama Ja’far bin Abi Thalib lantaran keramahannya dan sikapnya yang memuliakan tamu ia adalah orang kedua paling ramah setelah Rasulullah Saw dalam pandangan Abu Hurairah. Ia bercerita epik dan heroik tentang Ja’far bin Abi Thalib.[3]

Tsa’labi dalam kitab Tsimâr al-Qulûb berkata bahwa Abu Huraira menyantap makanan dengan Muawiyah dan mengerjakan shalat di belakang Ali bin Abi Thalib. Abu Huraira sendiri berkata terkait dengan perbuatannnya bahwa bubur Muawiyah lebih lezat dan berlemak namun shalat di belakang Ali lebih utama.[4]

Adapun terkait dengan bahwa apakah Khalifah Kedua mencambuk Abu Huraira karena telah banyak merekayasa hadist dan karena itu ia melarang Abu Huraira untuk tidak menukil hadist? Untuk menjawab pertanyaan ini harus dikatakan bahwa persoalan ini merupakan konsensus (kesepakatan) bahwa Abu Huraira meski hanya satu tahun sembilan bulan bersama Rasulullah Saw namun ia melebih sahabat lainnya dalam menukil hadist.[5]

Ibnu Hazm mencatat grafik hadist-hadist yang dinukil Abu Huraira dan menulis, “Musnad Buqayy bin Mukhallid menukil 5374 hadist hanya dari Abu Huraira dan Bukhari menukil 446 hadis.”[6]

Abu Huraira sendiri sebagaimana yang dinukil Bukhari berkata, “Tidak satu pun sahabat Rasulullah Saw yang seukuran aku dalam menukil hadist dari Rasulullah kecuali Abdullah bin Umar yang menulis hadist-hadist namun aku tidak menulisnya.”[7]

Banyaknya hadist yang dinukil Abu Huraira telah membuat Umar bin Khattab takut sehingga ia mencambuknya atas alasan ini dan berkata kepadanya, Wahai Abu Huraira! Engkau banyak menukil riwayat. Aku takut engkau akan menyandarkan dusta kepada Rasulullah Saw. Kemudian Umar mengancam Abu Hurairah bahwa apabila ia tidak meninggalkan periwayatan dari Rasulullah maka ia akan mengansingkannya ke negerinya.[8]

Atas dasar itu, riwayat yang dinukil Abu Hurairah kebanyakan pasca wafatnya Umar bin Khattab lantaran tiada yang ditakutinya selain Umar.[9]

Ia melanjutkan, “Aku menukil hadist-hadist untuk kalian yang apabila aku nukil pada masa Umar tentu ia akan mencambukku.”[10]

Zuhri menukil dari Ibnu Salma yang mendengar Abu Hurairah yang berkata, “Aku tidak dapat berkata Rasulullah Saw bersabda (menukil hadist dari Rasulullah) demikian hingga Umar wafat. Apakah kami dapat menukil hadist-hadist ini selagi Umar masih hidup? Demi Allah sekarang ini aku takut atas janji-janji Umar yang ingin mencabuk bokongku.[11]

Untuk menjustifikasi seluruh riwayat yang ia nukil dari Rasulullah Saw itu tetap memiliki standar, Abu Hurairah membuat sebuah kaidah, “Sepanjang sebuah riwayat tidak menghalalkan yang haram dan mengharamkan yang halal maka tidak ada masalah menyandarkan riwayat tersebut kepada Rasulullah Saw.” Dengan standar yang dibuatnya, hadist-hadist yang disandarkan kepada Rasulullah Saw itu diberi corak syar’i di antaranya sebuah hadist yang dinukil Thabarani dari Abu Hurairah dari Rasulullah Saw: “Sepanjang engkau tidak mengharamkan yang halal dan menghalalkan yang haram dan engkau telah sampai kepada kebenaran maka tidak ada masalah engkau menyandarkan (sebuah riwayat) kepadaku.” Demikian juga disebutkan bahwa dari Rasulullah Saw terdengar bahwa beliau bersabda: “Barang siapa yang meriwayatkan sebuah hadist yang mengandung keridhaan Tuhan di dalamnya maka sesungguhnya aku berkata demikian meski (sebenarnya) aku tidak berkata demikian.”[12]

Padahal apa yang pasti dari Rasulullah Saw adalah sabdanya, “Barang siapa yang menukil hadist dariku yang aku tidak katakan maka tempatnya adalah neraka jahannam.”[13]

Lantaran Umar melihat Abu Hurairah banyak menukil hadist, ia menandaskan untuk senantiasa memperdengarkan hadist ini kepadanya.”[14]

Abu Hurairah dan Tadlis

Tadlis artinya Anda bertemu dengan seseorang dan menukil sebuah kisah yang tidak Anda dengar darinya atau semasa dengannya Anda mengutip sebuah persoalan yang tidak ia sebutkan dan dalam menukil persoalan tersebut sedemikian Anda tunjukkan seolah Anda mendengar darinya dan ia seolah mengatakan hal ini.[15]

Jelas bahwa seluruh jenis tadlis adalah tercela dan haram serta dipandang sebagai saudara dengan dusta.[16]

Para ahli hadis berkata bahwa apabila telah ditetapkan seseorang menukil sebuah riwayat dengan tadlis maka tiada satu riwayat pun yang harus diterima dari orang tersebut meski kita tahu bahwa ia hanya sekali melakukan tadlis.[17]

Dainawari dan Ibnu Katsir menukil dari Ibnu Sa’ad yang berkata, “Takutlah kepada Allah dan janganlah menukil hadist. Demi Allah! Aku berada di samping Abu Hurairah yang menukil hadist dari Rasulullah Saw dan riwayat dari Ka’ab Ahbar. Kemudian sebagian orang yang bersama dengan kami berkata hadist Rasulullah Saw kami sandarkan kepada Ka’ab dan hadist Ka’ab itu kami sandarkan kepada Rasulullah Saw.”[18]

Para ahli hadist bersepakat bahwa Abu Hurairah, Ubaidillah, Mu’awiyah dan Anas menukil riwayat dari Ka’ab al-Ahbar Yahudi. Ka’ab al-Ahbar yang secara lahir menampakkan Islam untuk mengecoh kaum Muslimin akan tetapi batinnya adalah Yahudi. Dan di antara mereka keempat orang tersebut, Abu Hurairah adalah orang yang paling banyak menukil hadist dari Ka’ab al-Ahbar dan mempercayainya melebihi yang lain.[19]

Tindakan licik Ka’ab atas Abu Hurairah dilakukan sehingga ia dapat memasukkan khurafat dan takhayul apa pun ke dalam agama Islam. Dari sela-sela ucapan yang disampaikan ihwal Ka’ab menjadi jelas bahwa Ka’ab memiliki cara khusus, Dzahabi dalam Thabaqât al-Huffâzh menulis ihwal Abu Hurairah: “Ka’ab berkata tentang Abu Hurairah, aku tidak melihat seorang pun yang tidak membaca Taurat lebih alim dari Abu Hurairah.”[20]

Coba Anda perhatikan pendeta ini menipu Abu Hurairah, bagaimana Abu Hurairah dapat memahami apa yang terdapat dalam Taurat padahal ia tidak mengenal Taurat. Apabila ia mengenalnya maka ia tidak akan mampu membacanya karena Taurat ditulis dalam bahasa Ibrani dan Abu Hurairah bahkan tidak mengenal bahasa Arab (dengan baik) karena ia bukanlah seorang terpelajar.[21]

Bukhari menukil dari Abu Hurairah bahwa Ahli Kitab membaca Taurat dalam bahasa Ibrani dan menafsirkannya untuk kaum Muslimin dalam bahasa Arab. Dan apabila saya mengetahui bahasa Ibrani maka aku pun akan menjadi penafsirnya.[22]

Dainawari menulis tentang Abu Hurairah: “Karena Abu Hurairah menukil banyak riwayat yang tidak satu pun dinukil dari orang-orang dekatnya atau para pembesar dari kalangan sahabat mereka menudingnya dan mengingkari riwayat-riwayat yang dinukilnya dan berkata bagaimana mungkin hanya ia yang mendengar hadist-hadist ini dari Rasulullah Saw sementara ia sekali-kali tidak pernah berdua-duaan dengan Rasulullah Saw.”[23]

Dainawari berkata, “Aisyah mengingkarinya dengan sengit.[24] dan termasuk orang yang menuding Abu Hurairah sebagai pendusta demikian juga Umar, Utsman, Ali dan selain mereka.

Abu Hurairah menukil dari Rasulullah Saw, “Meramal buruk dibenarkan pada wanita, hewan dan rumah.” Tatkala hadist ini dinukil untuk Aisyah, ia berkata, “Demi Yang menurunkan Al-Qur’an kepada Abul Qasim! Siapa pun yang menyandarkan hadist ini kepada Rasulullah Saw maka sesungguhnya ia telah berkata dusta; sesungguhnya Rasulullah Saw bersabda: “Orang-orang jahil berkata, ramalan buruk terdapat pada hewan, wanita dan rumah.”

Ali bersabda, “Abu Hurairah adalah orang paling pendusta.” Dan di tempat lain berkata, “Orang yang paling pendusta atas Rasulullah Saw adalah Abu Hurairah.” Suatu hari Abu Hurairah berkata, “Haddatsani khalili (kekasihku berkata kepadaku).” Baginda Ali segera menimpali dalam menjawab ucapannya: “Mata kana al-Nabi Khaliluk.” (Sejak kapan Nabi menjadi kekasihmu).”[25]

Abu Ja’far Iskafi menukil,  “Muawiyah memprovokasi sebagian sahabat dan thabi’in sehingga mereka merekayasa hadist-hadist keji melawan Ali. Sebagian sahabat ini adalah Abu Hurairah, Amru bin Ash, Mughairah bin Syu’bah dan dari kalangan Thabi’in Urwah bin Zubair.”[26]

________________________________________
[1]. Al-Syaikh Mahmud Abu Ruyyah, Syaikh al-Mudhirah Abu Hurairah, hal. 103. Syaikh Mahmud Abu Ruyyah, Adhwâ ‘ala al-Sunnah al-Muhammadiyah, hal. 195. Sayid Syarafuddin Musawi ‘Amili, Abu Hurairah, hal. 136. 
[2]. Ibid. 
[3]. Fath al-Bâri, jil. 7, hal. 62. 
[4]. Tsa’labi, Tsimâr al-Qulûb fi al-Mudhâf wa al-Mansûb, hal. 76-87. 
[5]. Al-Syaikh Mahmud Abu Ruyyah, Adhwa ‘ala al-Sunnah al-Muhammadiyah, hal. 200.
[6]. Al-Syaikh Mahmud Abu Ruyyah, Syaikh al-Mudhirah Abu Hurairah, hal. 120. 
[7]. Ibnu Hajar, Fath al-Bâri, jil. 2, hal. 167. Ia berkata telah terbukti bahwa Abu Hurairah tidak menulis hadis juga tidak menghafal al-Qur’an.  
[8]. Shahih Bukhâri, jil. 2, Kitab Badâ’ al-Khalq, hal. 171. Muslim bin Hajjaj Naisyaburi, Shahih Muslim, jil. 1, hal. 34.  Ibnu Abil Hadid Mu’tazili, Syarh Nahj al-Balâghah, hal. 360. Dzahabi, Siyar I’lâm al-Nublâ, jil. 2, hal. 433 & 434. Muttaqi Hindi, Kanz al-‘Ummâl, jil. 5, hal. 239 Hadis 4857. Imam Abu Ja’far Iskafi, sesuai dengan nukilan dari Syarh Nahj al-Hamidî jil. 1, hal. 360.
[9]. Ibid. 
[10]. Mahmud Abu Ruyyah, Adhwâ ‘ala al-Sunnah al-Muhammadiyah, hal. 201.
[11]. Ibid. 
[12]. Syathibi, Al-Muwâfaqât, jil.2, hal. 23. 
[13]. Mahmud Abu Ruyyah, Adhwâ ‘ala al-Sunnah al-Muhammadiyah, hal. 202.
[14]. Sayid Syarafuddin Musawi al-‘Amili, Abu Hurairah, hal. 140. 
[15]. Syaikh Ahmad Syakir, Syarh Alfiyah al-Suyuthi, hal. 35. 
[16]. Ibid. 
[17]. Mahmud Abu Ruyyah, Adhwâ ‘ala al-Sunnah al-Muhammadiyah, hal. 202-203.
[18]. Ibnu Katsir, al-Bidâyah al-Nihâyah, jil. 8, hal. 109. Ibnu Qutaibah Dainawari, Ta’wil Mukhtalaf al-Hadits, hal. 48-50. 
[19]. Mahmud Abu Ruyyah, Adhwâ ‘ala al-Sunnah al-Muhammadiyah, hal. 207.
[20]. Dzahabi, Thabaqât al-Huffâzh, sesuai nukilan dari Mahmud Abu Ruyyah, Adhwâ ‘ala al-Sunnah al-Muhammadiyah, hal. 207. 
[21]. Mahmud Abu Ruyyah, Adhwâ ‘ala al-Sunnah al-Muhammadiyah, hal. 207. 
[22]. Ibid. 
[23]. Dainawari, Ta’wil Mukhtalaf al-Hadits. 
[24]. Ibid, hal. 48. 
[25]. Adhwâ ‘ala al-Sunnah al-Muhammadiyah, hal. 204.
[26]. Muhammad Abduh, Syarh Nahj al-Balâghah, jil. 1, hal. 358.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Tuliskan Komentar, Kritik dan Saran SAHABAT Disini .... !!!