Islam telah
mensyari’atkan Ta’addud (polygami) sebagai salah satu pemecahan bagi
problematika rumah tangga, khususnya manakala sebuah rumah tangga sudah
diambang kehancuran.
Bila sebuah rumah
tangga sudah tidak lagi harmonis dan hubungan suami-isteri selalu diwarnai oleh
pertengkaran bahkan pengkhianatan (baca: perselingkuhan), maka kehancurannya
hanya tinggal menunggu waktu. Secara logika, dalam kondisi yang sudah sampai ke
taraf demikian itu, sangat sulit untuk memulihkan kembali hubungan tersebut
seperti semula dan kalaupun bisa, maka akan membutuhkan waktu yang tidak
singkat. Maka, jalan satu-satunya – bila masih menghendaki tetap utuhnya rumah
tangga dan tidak menghendaki kehancuran itu – adalah dengan cara berdamai dan
mengalah tetapi halal.
Dalam hal ini, kita
mendapatkan keteladanan dari salah seorang Ummul Mukminin, yaitu Saudah binti
Zam’ah.
Dia memiliki sikap
yang perlu di tiru oleh setiap wanita shalihah, sikap yang menampilkan sosok
seorang isteri shalihah, seorang Ummul Mukminin yang menyadari bahwa dirinya
harus menjadi suriteladan yang baik bagi kaum Mukminat di dalam mempertahankan
keutuhan sebuah rumah tangga.
Singkatnya, bahwa
Rasulullah sebagai manusia biasa memiliki perasaan suka dan tidak suka secara
alami. adalah Saudah wanita pertama yang dinikahinya setelah wafatnya,
Khadijah. Dia seorang janda dan sudah berusia, namun karena ketabahan dan
keimanannya-lah, beliau Shallallâhu 'alaihi wa sallam kemudian menikahinya dan
memuliakannya sebagai Ummul Mukminin.
Setelah beberapa
lama berumah tangga, dan Rasulullah juga setelah itu sudah memiliki
isteri-isteri yang lain, tampak ada perubahan sikap dari diri beliau
terhadapnya seakan-akan sudah tidak menginginkan serumah lagi dengannya alias
ingin menceraikannya. Sikap ini ditangkap dengan baik oleh Saudah dan gelagat
yang tidak menguntungkan dirinya ini dia manfa’atkan momennya, yaitu dengan
suka rela dia mau berdamai dan mengalah, demi keutuhan rumah tangga dan
mempertahankan martabatnya yang telah dimuliakan sebagai Ummul Mukminin.
Artinya, dia dengan rela dan ikhlash memberikan jatah gilirnya kepada isteri
Rasulullah yang lain, yaitu ‘Aisyah radliyallâhu 'anha.