Hakikat zakat adalah proses penyucian diri yang
berdimensi kemanusiaan. Di satu sisi, zakat merupakan wujud ketaatan pada
perintah Allah sebagai konsekuensi pernyataan keimanan. Selain itu juga
merupakan penegasan bahwa dalam Islam,
setiap ritual selalu mempunyai dimensi sosial yang menyentuh sisi kemanusiaan
secara langsung.
Berbicara tentang zakat, ada sesuatu yang special
dengan Zakat Fitrah. Berbeda dengan zakat-zakat lainnya yang lebih berfungsi
untuk “membersihkan harta”, zakat fitrah adalah satu-satunya zakat yang
diwajibkan bagi setiap muslim untuk “menyucikan jiwa”. Oleh karena itu, zakat
fitrah tidak saja diwajibkan bagi mereka yang kaya, akan tetapi juga bagi
mereka yang kurang berkecukupan. Jadi meskipun orang itu ‘miskin’ menurut
kategori umum, dia tetap wajib membayar zakat fitrah namun dia pun berhak
menerima zakat fitrah.
Zakat fitrah selain berfungsi melengkapi puasa
Ramadhan, juga berfungsi menyambut lebaran Idul Fitri. Karena itu, fungsi kedua
dari zakat fitrah adalah berbagi kebahagiaan dengan fakir miskin. Dua hikmah
ini, dengan baik disampaikan oleh Ibn Abbas: “RasululLah men-fardhukan zakat
fitrah untuk menyucikan diri seorang yang puasa dari al-laghw dan rafats, dan
untuk memberi makan orang-orang miskin.”
Fungsi kedua dari zakat fitrah ini meniscayakan
pendistribusian zakat tersebut untuk fakir miskin, agar di hari raya idul fitri
mereka juga merasakan kebahagiaan seperti yang lainnya, tidak bersedih karena
tidak bisa makan di hari itu. Meskipun di dalam ayat tentang zakat disebutkan
ada 8 kelompok mustahiq zakat, namun khusus untuk yang zakat fitrah lebih
diutamakan kepada fakir miskin.
Siapa aja yang harus
berzakat fitrah?
Zakat fitrah diwajibkan bagi setiap muslim (laki-laki
dan perempuan, dewasa dan anak-anak) sebagaimana diungkapkan Ibn Umar, dalam
riwayat Imam Bukhari: RasululLah men-fardhukan zakat fitrah, satu “shaa” dari
kurma, atau satu “shaa” dari biji sya’ir, kepada orang yang bebas dan seorang
hamba sahaya (budak), laki-laki dan perempuan, anak-anak dewasa dari mereka
yang beragama Islam. Syarat wajib lainnya adalah muslim tersebut sempat
menyaksikan Ramadhan dan malam 1 Syawal juga mempunyai kelebihan rizki untuk
mengeluarkan zakat fitrah, paling tidak ketika di malam 1 Syawal. So, bayi yang
lahir sesaat sebelum maghrib di hari terakhir Ramadhan juga termasuk wajib
zakat.
Berapa ukuran zakat
fitrah?
Zakat fitrah ini tujuan utamanya untuk mengenyangkan
fakir miskin sehari saja, yaitu pada hari raya Idul Fitri. Karena itu besarnya
pun tidak seberapa. Diriwayatkan oleh Ibn Umar, ”RasululLah men-fardhukan zakar
fitrah dari Ramadhan, satu “shaa” buah korma atau satu “shaa” dari biji
sya’iir. ” Hadits ini menjadi pijakan mayoritas ulama dalam menentukan kadar
zakat fitrah, yakni satu shaa’ dari makanan pokok setempat.
Berapa satu shaa? Satu shaa sama dengan empat “mud”.
Satu mud sama dengan 0. 688 liter. Jadi satu shaa adalah 2. 752 liter. Demikian
ukuran yang dapat dilacak dari batasan Nabi. Beliau tidak menggunakan ukuran berat
(kilo), tapi volume (liter). Batasan yang demikian ini kemudian memang
menyulitkan, karena tidak setiap bahan makan sama beratnya. Dengan asumsi
densitas beras lebih besar daripada kurma tentunya satu liter beras akan lebih
berat dari satu liter kurma. (belom lagi kalo kurmanya gedhe-gedhe sehingga
porositas bulknya besar :))
Maka dapat dimengerti jika ukuran zakat fitrah
diperselisihkan di antara ulama. Tapi ada satu hal yang tak perlu
diperdebatkan, yakni diperbolehkannnya membayar lebih dari batas ketentuan,
bahkan sudah barang tentu dianjurkan.
Bisa ga membayar dengan
uang?
Di berbagai negara Islam, zakat fitrah tidak
dikeluarkan dari bahan makanan, akan tetapi dari nilai tukar (qiimah) bahan
makanan tsb. Selain memudahkan si pembayar zakat, mengeluarkan zakat dalam
bentuk nilai juga dipandang lebih bermanfaat bagi fakir miskin. Walaupun
pendapat diperbolehkannya membayar nilai tukar hanya diwakili oleh madzhab
Hanafi, namun perkembangan di tahun-tahun terakhir menunjukkan bahwa berbagai
kalangan justru memilihnya. Sementara madzhab Maliki, Syafii dan Hanbali, yang
melarang pembayaran tersebut tidak lagi banyak dijalankan.
Dari sudut pandang fiqih humanis kontemporer, perlu
kiranya dipahami bahwa zakat fitrah yang dianjurkan senilai dengan yang dimakan
setiap orang dalam sekali makan, memiliki pesan dinamik karena daya konsumsi
makan masing-masing orang berbeda. Tentunya tidak adil bila seseorang yang
biasa menghabiskan ratusan ribu rupiah untuk sekali makan hanya membayar zakat
fitrah senilai satu shaa bahan makanan. Bukankah dia juga bakal males kalau
disuruh makan yang hanya senilai satu shaa bahan makanan?
Kapan musti bayar?
Zakat fitrah diwajibkan untuk menyempurnakan puasa
Ramadhan, dan untuk menyambut Idul Fitri. Karena itu, diwajibkan setelah
berakhirnya puasa, dan memasuki Idul Fitri. Disunahkan membayarnya pada hari
Idul Fitri sebelum salat Id berdasarkan hadis yang diriwayatkan oleh Ibnu Umar
r.a., “Rasulullah saw. memerintahkan membayar zakat fitrah sebelum orang
berangkat salat.” (H.R. Jamaah).
Sebagian ulama menetapkan permulaan waktu zakat fitrah
setelah terbenamnya matahari di akhir Ramadhan, dan sebagian lain menetapkannya
setelah terbit fajar di pagi harinya (tgl 1 Syawal). Sementara waktu akhir
pembayaran, sebagian ulama menutupnya hingga salat Id, dan sebagian lain
memperpanjang hingga sehari penuh di hari lebaran. Pengeluaran zakat setelah
itu dianggap qadha, seperti menjalankan salat subuh setelah terbitnya matahari.
Gimana kalo bayar zakat
fitrah sebelum berakhirnya bulan Ramadhan?
Diantara ulama yang mempelopori tidak diperbolehkannya
pembayaran zakat sebelum waktunya adalah Imam Ibn Hazm. Menurutnya, tak satupun
zakat yang diperbolehkan mengeluarkannya sebelum waktu. Memang afdhalnya zakat
fitrah dibayarkan setelah berakhirnya bulan puasa dan memasuki Idul Fitri namun
pada prakteknya berbagai kalangan sahabat justru tidak melakukannya sehingga
pendapat Ibn Hazm banyak ditinggalkan.
Namun begitu, para ulama yang memperbolehkan “ta’jil”
(membayar zakat lebih awal dari waktunya) berselisih pendapat mengenai batas
waktunya. Imam Syafi’i memperbolehkan pembayaran zakat sejak awal Ramadhan,
karena Ramadhan adalah salah satu dari dua sebab zakat. Ahmad bin Hanbal dan
Imam Malik membatasinya hanya satu-dua hari menjelang Idul Fitri. Sebagian
Malikiyah membatasinya dengan tiga hari menjelang Id. Sebagian Hanabilah,
memperbolehkan pembayaran zakat hingga pada pertengahan bulan Ramadhan.
Melihat pendapat-pendapat yang ada ini, mungkin bisa
ditawarkan sbb: 1. Panitia bisa memungut harta zakat mulai pertengahan bulan.
Lebih mendekati hari raya lebih baik. 2. Harta zakat didistribusikan kepada
fakir-miskin (diterima oleh mereka) di hari lebaran, atau menjelang lebaran
pada kisaran 1-2-3 hari. Lebih dekat kepada Idul Fitri semakin baik karena
tujuan zakat fitrah adalah berbagi kebahagiaan di hari lebaran.
Bolehkah membagikan
zakat ke luar daerah dimana zakat dipungut?
Bisa dikemukakan bahwa pola distribusi zakat mengikuti
sistem “otonomi daerah”. Harta yang dihasilkan satu daerah pendistribusiannya
diutamakan untuk daerah itu sendiri seperti tertuang dalam hadits “Zakat itu
diambil dari orang kaya di kalangan mereka dan dikembalikan (dibayarkan) kepada
kaum fakirnya”.
Dalam satu riwayat, RasululLah saw. mendelegasikan
sahabat Muadz bin Jabal, untuk menarik harta zakat dari orang-orang kaya di
daerah Yaman, dan membagikannya kepada kaum fakir miskin di daerah tersebut.
Kebijakan RasululLah ini, yang memerintahkan agar membagikan harta zakat kepada
fakir-miskin dimana zakat dipungut, juga dijalankan sahabat Muadz saat ia
menjadi pejabat di masa Abu Bakar ra dan Umar bin Khaththab ra. Namun pada
suatu ketika, di era Umar ra, ia mengirimkan harta zakat ke Madinah, pusat
pemerintahan Umar ra. Mula-mula Umar ra menolaknya, namun kemudian menerimanya
setelah Muadz ra. menyatakan bahwa dia tidak menemukan seorangpun yang berhak
menerima zakat di Yaman.
Riwayat di atas, menjadi rujukan ulama untuk
menentukan hukum boleh-tidaknya, dan juga sah-tidaknya, memindahkan harta zakat
dari tempat dipungut ke tempat yang lain. Secara umum, bolah boleh saja
mengalihkan zakat fitrah ke luar tempat tinggal orang yang mengeluarkannya bila
di negeri itu terdapat orang yang lebih membutuhkan dan jika hal tersebut dapat
mewujudkan maslahat yang lebih besar bagi kaum muslimin, atau jika lebih dari
kebutuhan kaum fakir yang ada di negerinya.
Soooo… gimana dooong?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Tuliskan Komentar, Kritik dan Saran SAHABAT Disini .... !!!