Sepeninggal Abu Thalib, gangguan
kafir Quraisy terhadap Rasulullah SAW semakin besar. Beliau pun berniat untuk meninggalkan
Makkah dan pergi ke Tha’if. Beliau berharap akan memperoleh dukungan penduduk
setempat dan akan menyambut baik ajakan beliau untuk memeluk agama Islam. Tak
lama kemudian, beliau bersama Zaid bin Haritsah, anak angkat beliau, pergi ke
Tha’if.
Kabilah terbesar di Tha’if adalah
Bani Tsaqif, kabilah yang berkuasa serta mempunyai kekuatan fisik dan ekonomi
yang cukup memadai. Mengetahui akan hal ini, Rasulullah SAW menemui pemimpin
Bani Tsaqif yang terdiri dari tiga bersaudara. Rasulullah SAW menyampaikan
maksud kedatangan beliau dan mengajak mereka untuk memeluk Islam dan tidak
menyembah kepada selain Allah SWT. Namun jawaban dari mereka sungguh di luar
harapan beliau.
Salah satu dari mereka berkata,
“Apakah Allah tidak dapat memperoleh seseorang untuk diutus selain engkau?”
Yang lainnya berkata, “Kami hidup
turun-temurun di sini. Tiada kesusahan atau pun penderitaan. Hidup kami makmur,
serba berkecukupan. Kami merasa senang dan bahagia. Oleh sebab itu, kami tak
perlu agamamu. Juga tidak perlu dengan segala ajaranmu. Kami pun punya Tuhan
yang bernama Al-Latta, yang memiliki kekuatan melebihi berhala Hubal di Ka’bah.
Buktinya dia telah memberikan kesenangan di sini dengan segala kemewahan dan
kekayaan yang kami miliki.”
Yang lainnya lagi berkata, “Jauh
berbeda dengan ajaran yang kalian tawarkan. Penuh siksaan dan daerah yang
selalu penuh dengan derita. Jelas kami menolak ajaran kalian. Bila tidak, akan
menimbulkan malapetaka bagi penduduk kami di sini.”
Mendengar jawaban mereka, Rasulullah
SAW berkata, “Jika memang demikian, kami pun tidak memaksa. Maaf kalau telah
mengganggu kalian. Kami mohon diri.”
Mereka berkata lagi, “Pergilah kalian
cepat-cepat dari sini! Sebelum kalian menyebarkan bencana besar bagi penduduk
di sini. Kedatangan kalian ke sini tak bisa kami diamkan begitu saja. Mau tak
mau kami harus melaporkan hal ini kepada pemimpin Bani Quraisy di Makkah
sebagai mitra kami. Kami tidak ingin berkhianat kepada mereka.”
Maka Rasulullah SAW dan Zaid bin
Haritsah keluar dari rumah para pemimpin Bani Tsaqif itu. Akan tetapi, para
pemimpin Bani Tsaqif tidak membiarkan mereka berdua pergi begitu saja. Di luar
rumah para pemimpin tersebut, Rasulullah SAW dan Zaid bin Haritsah dihadang
oleh sekelompok penduduk kota Tha’if yang tidak ramah. Bahkan di antara kelompok
itu ada beberapa anak kecil. Dengan satu aba-aba dari seseorang, sekelompok
penduduk itu pun melempari Rasulullah SAW dan Zaid bin Haritsah dengan batu.
Zaid bin Haritsah berusaha melindungi Rasulullah SAW sambil pergi dari tempat
itu. Mereka berdua terluka akibat lemparan-lemparan itu.
Setelah agak jauh dari kota Tha’if,
Rasulullah berteduh dekat sebuah pohon sambil membersihkan luka-luka mereka.
Ketika sudah tenang, Rasulullah SAW mengangkat kepala menengadah ke atas,
ia hanyut dalam suatu doa yang berisi pengaduan yang sangat mengharukan:
“Allahumma ya Allah, kepadaMu aku
mengadukan kelemahanku, kurangnya kemampuanku serta kehinaan diriku di hadapan
manusia. Wahai Tuhan Yang Mahapengasih Mahapenyayang. Engkaulah yang melindungi
si lemah, dan Engkaulah Pelindungku. Kepada siapa hendak Kauserahkan diriku?
Kepada orang jauh yang berwajah muram kepadaku? atau kepada musuh yang akan
menguasai diriku? Aku tidak peduli selama Engkau tidak murka kepadaku. Sungguh
luas kenikmatan yang Kaulimpahkan kepadaku. Aku berlindung kepada Nur Wajah-Mu
yang menyinari kegelapan dan membawakan kebaikan bagi dunia dan akhirat.
Janganlah Engkau timpakan kemurkaanMu kepadaku. Engkaulah yang berhak menegur
hingga berkenan pada-Mu. Dan tiada daya upaya kecuali dengan Engkau.”
Kemudian Allah SWT mengutus Jibril untuk menghampiri beliau. Jibril berkata, “Allah mengetahui apa yang telah terjadi di antara kamu dan penduduk kota Tha’if. Dia telah menyediakan malaikat di gunung-gunung di sini untuk menjalankan perintahmu. Jika engkau mau, maka malaikat-malaikat itu akan menabrakkan gunung-gunung itu hingga penduduk kota itu akan binasa. Atau engkau sebutkan saja suatu hukuman bagi penduduk kota itu.”
Setelah mendapatkan hinaan dan
lemparan batu yang demikian menyakitkan, kemudian mendapat tawaran luar biasa
dari Jibril, apa jawaban Rasulullah SAW? Ia malah terkejut dengan tawaran
tersebut, lalu menjawab Jibril, “Walaupun orang-orang ini tidak menerima
ajaran Islam, tidak mengapa. Aku berharap dengan kehendak Allah, anak-anak
mereka pada suatu masa nanti akan menyembah Allah dan berbakti kepada-Nya.”
Demikianlah kelembutan hati
Rasulullah SAW. Dia manusia, tapi tak seperti manusia. Begitu mulianya
pengorbanan beliau. Walaupun halangan menimpa, namun hatinya tetap tabah, penuh
kelembutan dan kasih sayang. Betapa kejinya orang-orang yang menghina manusia
mulia ini. Betapa jahatnya orang-orang yang menyakiti beliau. Termasuk kita..
Begitu mudahnya kita menyakiti
perasaan beliau dengan meninggalkan ajarannya. Tidak tahukah kita, bahwa setiap
hari, amal-amal kita akan dihadapkan kepada Rasulullah SAW? Jika amal itu baik,
maka beliau pun bergembira dan bersyukur. Jika amal itu buruk, maka beliau
dengan kelembutannya memohonkan ampunan kepada Allah bagi kita. Adakah pemimpin
lain yang selalu memikirkan umatnya dari sejak di dunia hingga di kehidupan
berikutnya selain Rasulullah SAW?
Ya Allah, ampuni kami.. Ya
Rasulullah, maafkan kami…
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Tuliskan Komentar, Kritik dan Saran SAHABAT Disini .... !!!