Betapa
kurang ajarnya tingkah pemuda Yahudi Bani Qainuqa' di Madinah. Pemuda-pemuda
bejat akhlaqnya itu menarik-narik kain seorang perempuan yang sedang berjual
beli dengan mereka. Betapa sadisnya kebiadaban Yahudi Bani Nadzir di Madinah
yang ingin menjatuhkan batu besar ke diri Rasulullah, Muhammad Shalallaahu
alaihi wasalam. Dan betapa liciknya kemunafikan Yahudi Bani Quraiddhah yang
mengadakan permufakatan rahasia dengan kafir Quraisy ketika perang Khandaq, di
mana kaum muslimin dipimpin Rasulullah berada di dalam parit.
Bejatnya
akhlaq, sadisnya tingkah dan liciknya hati busuk, semuanya telah mewabah pada
darah daging mereka orang-orang Yahudi Bani Israel. Dan penyakit akhlaq yang
sampai memuncak itu tentunya ada bibit-bibit penyakitnya. Bukan sekadar kuman
akhlaq yang ringan, tetapi kuman yang berbahaya. Dan kuman itu tidak hanya
sekali datang berlalu, namun sekali datang dan datang lagi, bahkan senantiasa
diusahakan datang. Apa itu? "Aklihimus suht". Makanan mereka haram.
Di
dalam Al-Quran ditegaskan oleh Allah:
“Dan
engkau akan melihat kebanyakan dari mereka (orang Yahudi) berlomba-lomba dengan
dosa dan permusuhan dan mema-kan yang haram. Sungguh buruklah apa yang mereka
kerjakan”. (Al-Maidah : 62).
Kenapa
yang jadi bibit penyakitnya makanan haram? Jelas. Mereka memiliki energi,
tenaga untuk berbuat adalah karena makanan. Lantas, mereka berbuat aneka usaha,
arahnya adalah mencari makan. Jadi makanan di sini ibarat terminal, tempat
berangkat dan sekaligus tempat tujuan. Kalau makanan itu sudah jelas-jelas
haram dan itulah yang menjadi pangkal mereka berbuat, maka kebaikan apa yang
perlu mereka perjuangkan dengan modal makanan haram itu? Tidak mungkin mereka
memburu kebaikan dengan umpan yang dimiliki berupa modal makanan haram. Maka
tidak mungkin pula mereka berhati-hati untuk memperhitungkan mana yang halal
dan mana yang haram dalam memburu sasaran yang tak lain adalah makanan pula.
Ibarat orang yang memang sudah memakai baju kotor untuk membengkel, mana
mungkin ia menghitung-hitung mana tempat yang bersih dan mana yang kotor. Toh
tempat yang bersih ataupun kotor sama saja, bahkan lebih perlu menyingkiri
tempat yang bersih, karena nanti harus bertugas membersihkan tempat itu kalau
kena kotoran dari bajunya.
Singkatnya,
dengan modal bekal makanan haram, perbuatan-nya pun cenderung menempuh jalan
haram, dan hasilnya pun barang haram, kemudian dimakanlah hasil yang haram itu
untuk bekal berbuat yang haram lagi dan seterusnya.
".....Sungguh
buruklah apa yang mereka kerjakan!" Ini penegasan Allah Subhannahu wa
Ta'ala.
Perbuatan
mereka itu jelas dicap sebagai keburukan. Namun bukan sekadar mandeg/berhenti
sampai perbuatan mereka itu saja sirkulasinya. Tidak. Dalam contoh kasus ini,
yang berusaha mencari makanan haram tentunya adalah orang tua, penanggung jawab
keluarga. Tetapi yang memakan hasilnya, makanan haram, berarti seluruh keluarga
yang ditanggung oleh pencari harta haram itu. Dan ternyata, betapa bejatnya
akhlaq/moral pemuda-pemuda alias anak-anak mereka yang diberi makan dengan
makanan haram itu.
Pemuda-pemuda itu sampai begitu lancangnya, menarik-narik
kain perempuan di pasar saat berjual beli. Mungkinkah pemuda-pemuda tersebut
sebejat itu kalau mereka ditumbuhkan dengan makanan halal, mereka lihat orang
tuanya shaleh, lingkungannya baik-baik dan terjalin ukhuwah/ persaudaraan
dengan baik? Sebaliknya, mungkinkah dengan modal makanan haram itu orang tua
menunjukkan "baiknya" perbuatan jahat mereka (yang sudah ketahuan
memburu barang haram), menampakkan ketulusan hati (yang sudah ketahuan rakus
terhadap barang haram) dan menasihati dengan amalan baik-baik (sedang dirinya
jelas melanggar)? Tidak mungkin.
Maka tumbuh dengan suburlah generasi penerus
mereka itu dengan pupuk-pupuk serba haram dan jahat. Itulah.
Sikap
seperti itu sungguh parah. Tetapi, masih ada yang lebih parah. Karena yang
lebih parah ini bahkan menyangkut orang-orang pandai dan pemuka agama, maka
Allah Subhannahu wa Ta'ala mengecamnya cukup diawali dengan bentuk pertanyaan.
“Mengapa
orang-orang alim mereka, dan pendeta-pendeta mereka (Yahudi) tidak melarang
mereka mengucapkan perkataan dosa dan memakan yang haram? Sesungguhnya amat
buruk apa yang telah mereka kerjakan itu.” (Al-Maidah : 63).
Kita
dalam hal diamnya para alim dan pemuka agama di kalangan Yahudi itu bisa juga
menduga-duga kenapa mereka tidak mencegah perkataan dosa dan makan haram.
Dugaan itu akan membuat perasaan bergetar, kalau sampai mereka yang alim dan
pemuka agama di kalangan Yahudi itu bahkan antri ikut makan haram.
Maka
ayat tersebut, bagi Ibnu Abbas (sahabat Nabi n yang ahli tafsir Al-Quran)
adalah celaan yang paling keras terhadap ulama yang melalaikan tugas mereka
dalam menyampaikan da'wah tentang larangan-larangan dan kejahatan-kejahatan.
Bahkan Ad-Dhohhaak berkata, tidak ada ayat dalam Al-Quran yang lebih aku takuti
daripada ayat ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Tuliskan Komentar, Kritik dan Saran SAHABAT Disini .... !!!