Kutipan : Naungan Allah
”Ada tujuh golongan yang akan mendapat naungan Allah pada hari yang tiada
naungan kecuali naungan-Nya, yaitu : Pemimpin yang adil; Pemuda yang senantiasa
beribadah kepada Allah Ta’ala; seorang yang hatinya senantiasa dipertautkan
dengan masjid; Dua orang saling mencintai karena Allah, yang keduanya berkumpul
dan berpisah karenanya; seorang laki-laki yang ketika diajak seorang wanita
bangsawan yang cantik lalu ia menjawab: ”Sesungguhnya saya takut kepada Allah”;
seorang yang mengeluarkan sedekah sedang ia merahasiakannya, sampai-sampai
tangan kirinya tidak mengetahui apa yang diberikan oleh tangan kanannya; dan,
seorang yang mengingat Allah di tempat sepi sampai meneteskan air mata.” (HR Mutafaqun ’Alaih)
Di negeri yang belum kunjung reda dilanda bencana,
sepertinya tidak ada yang lebih menyesakkan dada, selain perilaku tercela yang semakin
menambah duka lara. Hal itu akan bertambah menyakitkan, ketika hukum ternyata
juga tidak punya batasan jelas, siapa
yang sebenarnya paling layak mendapat hukuman. Kita sudah berbuat baik, tapi
justru kebaikan tersebut mendatangkan tuduhan dan hukuman. Lebih menyedihkan
lagi bila itu dilakukan oleh pemimpin atau penguasa yang semestinya mengayomi
kita.
Kenyataan seperti itu, barangkali sangat bisa
dirasakan oleh Muhammad Iqbal Abdul Rahman alis Abu Jibril (48). Lelaki yang
dikenal warga Perumahan Witana Hardja, Tangerang sebagai ustad itu ditangkap aparat
dengan tuduhan teroris. Padahal, berdasar kesaksian warga, tidak ada hal yang
pantas dicurigai dari dirinya sebagai Imam Masjid Al Munawarah, Perumahan
Witana Hardja, Tangerang. Abu Jibril mengajar taklim dengan buku ”Sifat Sholat Nabi (Karya Syaikh Nashiruddin
Al Al Bani), Riyadhus Shalihin (Karya
Imam Nawawi), Tafsir Ibnu Katsier,
dan Fathul Majid. Buku-buku tersebut
adalah buku yang termasyhur, ditulis oleh ulama-ulama besar dan menjadi rujukan
utama kalangan Islam. Namun, inilah kenyataannya. Di kala subuh, tatkala Abu
Jibril beserta jamaah masjid belum juga usai menyelesaikan wiridnya, bom itu
meledak. Tepat di halaman rumah Abu Jibril. Tidak berselang lama, tanpa bukti
yang memadai, aparat menangkap Abu Jibril dan menyita barang-barang yang ada di
rumahnya.
Kita tidak sedang membahas pembuktian hukum atas
peristiwa di atas. Tetapi di balik peristiwa itu juga peristiwa lain yang
sejenis, sesungguhnya terlihat adanya penerapan hukum yang timpang. Betapa
hukum nampak tidak berpihak pada orang lemah, bahkan untuk mereka yang berbuat
baik. Hukum seperti hanya menuruti selera mereka yang punya kuasa. Kita layak
prihatin, betapa saat ini kita tak jua surut dirundung duka. Di antara berbagai
peristiwa ketidak-adilan dan pelanggaran hukum, masyarakat kita juga menghadapi
wabah busung lapar. Ini adalah ironi di negeri yang dikenal kaya sumber daya
alam, betapa masih banyak rakyat yang tak mampu untuk sekedar memenuhi standar
minimal gizi.
Kerinduan Kita Itu
Peristiwa tragis seperti yang dialami seorang ustad di atas adalah sekeping
kisah tentang legenda kepemimpinan yang menyakitkan. Sekeping dari sekian ribu
peristiwa yang lain. Sepenggal dari berderet ketidak-adilan yang serupa
lainnya. Tragedi seperti ini menghadirkan kerinduan mendalam akan hadirnya
pemimpin yang menenteramkan. Betapa indahnya hidup di bawah seorang pemimpin
yang mengayomi, dekat dengan rakyat, menegakkan keadilan, dan menghadirkan kemaslahatan
untuk semua rakyatnya.
Ya, kita rindu dengan pemimpin yang mau mengerti dengan kondisi rakyatnya.
Seperti keteladanan Umar bin Khattab sewaktu menjadi khalifah. Umar bin Khattab
sering keluar kota sendirian untuk mengetahui kondisi riil rakyatnya. Sampai
suatu hari terdengar olehnya suara tangis anak kecil di sebuah gubuk terpencil.
Tiba di gubuk itu, Khalifah Umar melihat anak kecil yang menangis itu meminta
makan. Ibunya, sedang menghadap periuk di atas api dapur. Ternyata, perempuan
itu dan anaknya dalam keadaan lapar, sementara mereka berdua tidak memiliki
makanan. Perempuan itu merebus batu untuk membujuk dan memberikan harapan,
sampai kemudian si anak berhenti menangis dan tertidur. Perempuan itu tidak
mengetahui bahwa yang datang adalah Khalifah Umar bin Khattab. Ia menuturkan
tidak pernah mendapat bantuan pemerintah dan menuding Khalifah Umar tidak
peduli dengan masyarakat miskin seperti dirinya.
Khalifah Umar tidak marah, ia pun pamit
meninggalkan gubuk itu menjemput makanan ke Baitul Maal, dan dipikulnya sendiri
ke gubuk perempuan tadi. Tawaran orang lain yang mau membantu memikul makanan
itu ditampiknya, karena menurutnya pekerjaan itu adalah kewajiban dirinya
sendiri.
Kisah Umar bin Khattab di atas meninggalkan keteladanan tentang kepedulian
penguasa dalam menanggulangi kelaparan yang diderita rakyatnya.Umar merasa
berkewajiban langsung secara pribadi terhadap kasus kelaparan yang diderita
umatnya.
Pemimpin Yang Shalih
Setiap
kita, lazimnya menginginkan pemimpin yang dapat mengerti segala hal yang kita
butuhkan. Ada banyak kriteria pemimpin yang kita rindukan. Namun sesungguhnya,
ada satu hal yang mewakili semua kerinduan kita itu: pemimpin yang shalih. Bisa
jadi, ini musykil. Tapi di sanalah kita menambatkan akhir dan puncak kerinduan
ini. Sebab, di tangan para pemimpin, banyak ditentukan arah dan tujuan rakyat
secara umum. Pemimpin yang cabul akan mendidik rakyatnya dengan hal-hal yang
cabul. Pemimpin yang zalim akan menyebabkan rakyatnya juga berperilaku zalim.
Sebaliknya pemimpin yang baik, sopan, menjaga kepantasan diri, akan mendidik
dengan rakyatnya dengan perilaku terpuji tersebut.
Pemimpin yang shalih sama
artinya memaknai orientasi akhirat dalam kepemimpinannya. Keimanan seorang
pemimpin akan membuatnya berhitung, apakah perbuatannya akan berujung pada dosa
dan murka Allah atau bisa mendekatkan diri padanya. Kalkulasi untung rugi di
akhirat yang menjadi timbangannya. Tidak banyak yang dapat kita awasi dari diri
seorang pemimpin saat berkuasa, saat ia bisa jadi nanti akan banyak berlindung atas
nama hukum, tata aturan, dan kewenangannya berkuasa. Keshalihannyalah yang akan
membuatnya merasa diawasi oleh Allah.
Keimanan akan membuatnya takut untuk berbuat
aniaya kepada rakyatnya. Seperti saat ia mengingat pesan Rasulullah tentang
kekuasaan. “Siapa saja yang diberi
kekuasaan oleh Allah mengurusi umat Islam, sedang ia tidak memperhatikan
kedukaan dan kemiskinan mereka, maka Allah tidak akan memperhatikan
kepentingan, kedukaan, dan kemiskinannya pada hari kiamat.” (HR Muslim). Atau ketika ia mengingat hadits dari Abul
Ya’la, “Seorang hamba yang diberi
kepercayaan memimpin rakyatnya, dan ia mati dalam keadaan menipu rakyat, pasti
Allah mengharamkan surga baginya.” (HR Mutafaqun Alaih).
Shalih Itu Berarti Adil
Buah keshalihan itu keadilan. Seorang Mukmin tidak
mungkin membeda-bedakan perlakuan sesuai dengan seleranya. Ia pasti
memperhatikan aturan Islam tentang keadilan, seperti disampaikan oleh Iyadh bin
Himar, bahwa Rasulullah mengatakan penghuni surga itu terdiri dari tiga
kelompok, yaitu: penguasa yang adil lagi disenangi, orang yang mengasihi lagi
lembut hati kepada sanak keluarga dan setiap muslim, serta orang miskin yang
menjaga kehormatan dirinya sedang ia mempunyai keluarga.” (HR Muslim). Juga
firman Allah, ”Dan
janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu untuk
berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa.”
(QS Al Maidah: 8).
Maka, dalam sejarah kita menemukan bukti cemerlang
tentang keadilan Islam ini. Sewaktu, kaum Muslimin menduduki wilayah Rumawi,
rakyat Rumawi yang beragama Nasrani turut membantu tentara Muslimin dan merasa
senang negerinya dipimpin orang Islam. Keadilan kaum Muslimin membuat mereka
tertarik dan membuat mereka menjauhi pemerintahan Rumawi yang notabene beragama Nasrani. Pemimpin
shalih memaknai dengan benar pujian Rasulullah kepada pemimpin yang adil ”Sesungguhnya
orang-orang yang berlaku adil di sisi Allah laksana berada di atas mimbar yang
terbuat dari cahaya. Mereka itu adalah orang-orang yang berlaku adil dalam
memberikan hukum kepada keluarga dan rakyat yang mereka kuasai.” (HR Muslim).
Keshalihan Itu Menenteramkan
Semua Makhluk
Keshalihan seseorang pemimpin akan melahirkan kententraman
dan rasa aman. Ini adalah berkah yang diturunkan Allah, yang mungkin tidak kita
akan sangka datangnya. Bukan hanya pada rakyat yang dipimpinnya, tapi juga pada
makhluk Allah yang lain. Seperti kepemimpinan Umar bin Abdul Aziz, khalifah kelima yang terkenal
keshalihannya.
Malik bin Dinar
mengisahkan, ketika Umar bin Abdul Aziz diangkat menjadi khalifah, para
penggembala kambing di puncak perbukitan berkata, ”Siapakah khalifah yang
shalih yang sedang memerintah manusia saat ini?” Padahal para penggembala itu
tidak tahu menahu apa yang terjadi di kota, termasuk diangkatnya Khalifah Umar
bin Abdul Aziz. Ketika hal itu ditanyakan kepada mereka, para penggembala itu
menjelaskan, ”Bila pemerintahan dipegang oleh seorang pemimpin yang shalih,
serigala dan singa tidak mengganggu kambing-kambing kami.” (Tarikh Khulafa’).
Riwayat lain yang
menguatkan kisah tersebut adalah apa yang dituturkan oleh Hassan Al Qashar.
”Aku bekerja sebagai pemerah susu kambing pada masa pemerintahan Khalifah Umar
bin Abdul Aziz. Pada suatu ketika, aku melewati para penggembala, sedang
ditengah-tengah gerombolan kambingnya terdapat sekitar tiga puluh serigala.
Karena sebelumnya aku belum pernah melihat serigala, aku mengira serigala itu
adalah anjing. Akupun bertanya kepada para penggembala itu, ’Wahai para
penggembala, untuk apakah anjing sebanyak itu?’ Mereka menjawab, ’Wahai anak
muda, ini bukan kawanan anjing, tetapi kawanan serigala.’ Aku berkata heran, ’Subhanallah, apakah mereka tidak
membahayakan kambing-kambing engkau?’ Penggembala itu menjawab, ’Wahai anak
muda, apabila kepala sudah sehat, maka badan tidak akan rusak.’” Maksud dari
kepala itu adalah kepala pemerintahan, yang waktu itu dipimpin oleh Khalifah
Umar bin Abdul Aziz.
Khatimah
Kepemimpinan punya makna penting dalam Islam. Bila ’hanya’ menyingkirkan batu
di jalan (yang punya manfaat kecil) disebut sebagai salah satu cabang keimanan,
apalagi tentang penguasa yang banyak berhubungan dengan kebutuhan rakyat. Maka,
saat ini, ketika kita mempunyai kesempatan untuk memilih pemimpin, selayaknya
kita turut serta didalamnya, semata-mata untuk mengharap agar dicatat Allah
sebagai amal kebajikan. Tentu saja, dengan mendasari pilihan kita pada
keshalihan pemimpin tersebut.
Mewujudkan Kerinduan Itu
Kita tidak pernah berpikiran menjadi seperti ”pungguk merindukan bulan.” Hanya merindukan,
bermimpi, berharap dan sejenisnya, lalu diam tanpa upaya atau justeru diam
menyalahkan keadaan. Kerinduan harus dimaknai sebagai keadaan yang melecut
sikap untuk mewujudkan yang lebih baik. Tak ada gunanya, sebatas merindukan
kepemimpinan yang shalih dan adil. Rasulullah saw. mencela orang yang
menggunakan kata ’sendainya,’ ’jika,’ sekiranya,’ atau kata sejenis yang
bermakna pengandaian (khayalan). Senang menerawang dan terbang di awang-awang.
Ini akan membuka pintu syaitan dan menjadi ciri orang yang pesimis dan tidak
mau beramal.
Maka pada langkah pertama, harus ada niat dan
keinginan yang tulus untuk mewujudkannya. Niat dan keinginan yang baik
merupakan bagian penting dalam rangka mewujudkan kerinduan itu. Maka, Islam sangat menghargai kedudukan
niat dan keinginan tulus seperti itu. Sebagaimana sabda Rasulullah saw.,
”Barang siapa yang mati dan ia belum
berjuang (jihad) di jalan Allah, dan belum terbetik di hatinya untuk berjihad,
maka ia mati dalam bagian dari kemunafikan.” (HR Muslim).
Hadits ini, menempatkan
pentingnya keinginan, harapan, kerinduan akan akan amal shalih pada posisi yang
penting, walau pada akhirnya harapan itu tidak terwujud. Merindukan kebaikan
adalah bahan bakar yang akan menyemangati setiap orang mewujudkan kebaikan itu
sendiri. Jika bahan bakar itu habis, kita pasti enggan untuk bergerak apalagi
berusaha.
Bila niatan itu sudah kita
punyai, dalam konteks sekecil apapun, berusahalah. Sikap paling mudah saat
menghadapi situasi buruk adalah mencari pihak lain yang kita anggap biang kerok
permasalahan tersebut. Atau mengutuk keadaan sembari ”cuci tangan” dari
keterlibatan diri kita terhadap munculnya keadaan tersebut. Sikap ini jelas
tidak sejalan dengan Islam. Islam menekankan kita agar melakukan instrospeksi
dan mendorong melakukan kebaikan, sekecil apapun. ”Dan peliharalah dirimu dari pada siksaan
yang tidak khusus menimpa orang-orang yang zalim saja di antara kamu” (QS Al Anfal : 25). Kita bisa jadi tidak
melakukan kerusakan, tapi berdiam dirinya kita sama artinya mendukung kezaliman
yang kemudian akan mendatangkan siksaan Allah.
Kita selayaknya pantang
berdiam diri, bila mendamba pemimpin yang shalih. Berbuat sekecil apapun, dan
dalam lingkup sekecil apapun, akan sangat bermanfaat. Bayangkan, betapa
Rasulullah saw begitu meninggikan kepedulian ”sekadar” menyingkirkan duri dari
jalan, yang dalam hadits itu merupakan
salah satu tangga keimanan. Bayangkanlah, betapa Rasulullah sangat menghargai
”hanya” seulas senyum sebagai bagian
sedekah seorang mukmin kepada saudaranya yang lain. Maka, berusaha dan mulailah
kebaikan dari sesuatu yang bisa jadi kita anggap remeh atau perkara kecil.
Saat
kita sudah kita berusaha sekecil apapun, sesekali jangan berkontribusi (memberi
sumbangsih) dalam memilih pemimpin yang rusak. Bila kita merasa tidak ada
kepemimpinan seperti yang diharapkan, sama sekali bukan alasan bagi sikap
apriori (buruk sangka), lalu secara sadar atau tidak memberi kontribusi untuk
mendatangkan pemimpin yang rusak. Rasulullah menegaskan kepada kita agar tidak
menjadi orang berkarakter imma’ah, yaitu
berbuat baik ketika berada bersama orang-orang yang baik, sebaliknya berbuat
buruk manakala bersama orang yang jauh dari kebaikan.
Kondisi
yang banyak memunculkan kekecewaan sering membuat orang menjadi apatis dan
tidak mau peduli dengan keadaan. Padahal sikap itu adalah awal langkah yang
akan semakin memperburuk keadaan. Kondisi yang mengecewakan juga kerap
memunculkan sikap bias dan gamang. Maka, kita harus berani menunjukkan dengan jelas
siapa kita dann identitas kita. Kepada siapa kita menyerahkan loyalitas? Apakah
kita pribadi merdeka atau pengikut orang lain? Umar bin Khattab sejak lama
telah menegaskan bahwa kemuliaan itu terletak pada keislaman kita.”Kita sebelum
ini adalah serendah-rendahnya kaum, lalu Allah memuliakan kita dengan Islam.
Maka jika kita menginginkan kehormatan dan kemuliaan dari selain Islam, Allah
pasti akan menghinakan kita lagi. Begitulah Umar ra.
Jadi,
kerinduan kita kepada pemimpin yang shalih sangat tergantung pada kondisi
masing-masing pribadi kita untuk mewujudkannya. Ia bukan kiriman dari langit
yang muncul begitu saja. Ia ada karena kita usahakan secara bersama-sama.
Pemimpin yang kita damba adalah gabungan antara tadbir rabbani (perencanaan Allah) di satu sisi dan proses muktasab (perolehan melalui proses
usaha) di sisi yang lain. Sesungguhnya
Allah tidak merubah keadaan sesuatu kaum sehingga mereka merubah keadaan]
yang ada pada diri mereka sendiri. (QS
Ar Ra’d: 11).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Tuliskan Komentar, Kritik dan Saran SAHABAT Disini .... !!!