“Dan tidaklah patut bagi
laki-laki yang mu’min dan tidak (pula) bagi perempuan yang mu’min, apabila
Allah dan RasulNya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka
pilihan (yang lain) tentang urusan mereka. Dan barangsiapa mendurhakai Allah
dan RasulNya maka sungguhlah dia telah sesat, sesat yang nyata” [Al-Ahzab : 36]
khutbah, nasehat-nasehat,
pelajaran-pelajaran banyak sekali, melebihi pada zaman para sahabat Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa sallam, tabi’in (orang-orang yang berguru kepada para
sahabat) serta tabiut tabiin (orang-orang yang berguru kepada tabi’in). Namun
bersamaan itu pula, amal perbuatan sedikit. Sering kali kita mendengarkan
(perintah Allah dan RasulNya) namun, sering juga kita tidak melihat ketaatan,
dan sering kali kita mengetahuinya, namun seringkali juga kita tidak
mengamalkan.
Inilah perbedaan antara kita dan
sahabat-sahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam tabiin dan tabiut tabiin
yang mereka itu hidup pada masa yang mulia. Sungguh pada masa mereka
nasehat-nasehat, khutbah-khutbah dan pelajaran-pelajaran sedikit, hingga
berkata salah seorang sahabat.
“Artinya : Adalah Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam tatkala memberikan nasehat mencari keadaan dimana
kita giat, lantaran khawatir kita bosan” [Muttafaqun Alaihi]
Di zaman para sahabat dahulu sedikit
perkataan tetapi banyak perbuatan, mereka mengetahui bahwa apa yang mereka
dengar dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam wajib diamalkan,
sebagaimana keadaan tentara yang wajib melaksanakan komando atasannya di medan
pertempuran, dan kalau tidak dilaksanakan kekalahan serta kehinaanlah yang akan
dialami.
Para sahabat Nabi Shallallahu
‘alaihi wa sallam dahulu, menerima wahyu Allah ‘Azza wa Jalla dengan
perantaraan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan sikap mendengar,
taat serta cepat mengamalkan. Tidaklah mereka terlambat sedikitpun dalam
mengamalkan perintah dan larangan yang mereka dengar, dan juga tidak terlambat
mengamalkan ilmu yang mereka pelajari dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa
sallam.
Inilah contoh yang menerangkan
bagaimana keadaan sahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam tatkala
mendapatkan wahyu dari Allah ‘Azza wa Jalla. Para ahli tafsir menyebutkan
tentang sebab turunnya ayat dalam surat Al-Ahzab ayat 36 ini (dengan berbagai
macam sebab), saya merasa perlu untuk menukilnya, inilah sebab turunnya ayat
itu :
Para ahli tafsir meriwayatkan, bahwa
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menginginkan untuk menghancurkan adanya
perbedaan-perbedaan tingkatan (kasta) di antara manusia, dan melenyapkan
penghalang antara fuqara (orang-orang fakir) dan orang-orang kaya. Dan juga
antara orang-orang yang merdeka (yaitu bukan budak dan bukan pula
keturunannya), dengan orang-orang yang (mendapatkan nikmat Allah ‘Azza wa
Jalla) menjadi orang merdeka sesudah dulunya menjadi budak.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa
sallam ingin menerangkan kepada manusia bahwa mereka semua seperti gigi yang
tersusun, tidak ada keutamaan bagi orang Arab terhadap selain orang Arab, dan
tidak ada keutamaan atas orang yang berkulit putih terhadap yang berkulit hitam
kecuali ketaqwaan (yang membedakan antara mereka). Sebagaimana firman Allah
‘Azza wa Jalla.
“Artinya : Hai manusia, sesungguhnya
Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan
menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal
mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah
ialah orang yang paling bertakwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha
Mengetahui lagi Maha Mengenal” [Al-Hujurat : 13]
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa
sallam menanamkan dalam hati manusia mabda’ (pondasi) ini. Dan barangkali,
dalam keadaan seperti ini, perkataan sedikit faedah dan pengaruhnya, yang demikian
itu disebabkan karena fitrah manusia ingin menonjol dan cinta popularitas. Maka
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam berpendapat untuk menanamkan pondasi
ini dalam jiwa-jiwa manusia dalam bentuk amal perbuatan (yang beliau
Shallallahu ‘alaihi wa sallam wujudkan) dalam lingkungan keluarga serta kerabat
beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Hal ini dikarenakan amal perbuatan lebih
banyak memberi kesan dan pengaruh yang mendalam dalam hati manusia, dari hanya
sekedar berbicara semata.
Maka Rasulullah Shallallahu ‘alaihi
wa sallam pergi kepada Zainab binti Jahsiy anak perempuan bibi beliau
Shallallahu ‘alaihi wa sallam (kakek Zainab dan kakek Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam sama yaitu Abdul Mutthalib seorang tokoh Quraisy) untuk
meminangnya. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam ingin mengawinkannya dengan
budak beliau Zaid bin Haritsah yang telah diberi nikmat Allah menjadi orang
merdeka (lantaran dibebaskan dari budak). Lalu tatkala beliau menyebutkan bahwa
beliau akan menikahkan Zaid bin Haritsah dengan Zainab binti jahsiy, berkatalah
Zainab binti Jahsiy : “Saya tidak mau menikah dengannya”. Kemudian Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab : “Engkau harus menikah dengannya”.
Dijawab oleh Zainab : “Tidak, demi Allah, selamanya saya tidak akan
menikahinya”.
Ketika berlangsung dialog antara
Zainab dan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, Zainab mendebat dan
membantah beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam, kemudian turunlah wahyu yang
memutuskan perkara itu :
“Artinya : Dan tidaklah patut bagi
laki-laki yang mu’min dan tidak (pula) bagi perempuan yang mu’min, apabila
Allah dan RasulNya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka
pilihan (yang lain) tentang urusan mereka. Dan barangsiapa mendurhakai Allah
dan RasulNya maka sungguhlah dia telah sesat, sesat yang nyata” [Al-Ahzab : 36]
Kemudian Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam membacakan ayat tersebut kepada Zainab, maka berkatalah
Zainab : “Ya Rasulullah ! apakah engkau ridha ia menjadi suamiku ?” Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab : “Ya”, maka Zainab berkata : “Jika
demikian aku tidak akan mendurhakai Allah dan RasulNya, lalu akupun menikah
dengan Zaid”.
Demikianlah Zainab binti Jahsiy
menyetujui perintah Allah dan RasulNya, dan hanyalah keadaannya tidak setuju
pada awal kalinya, lantaran Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam hanyalah
menawarkan dan bermusyawarah dengannya. Maka tatkala turun wahyu, perkaranya
bukan hanya perkara nikah atau meminang, setuju atau tidak setuju, tetapi (setelah
turunnya wahyu), perkaranya berubah menjadi ketaatan atau bermaksiat kepada
Allah dan RasulNya.
Tidak ada jalan lain didepan Zainab
binti Jahsiy Radhiyallahu ‘anha (semoga Allah meridhainya), melainkan harus
mendengar dan taat kepada Allah dan RasulNya, dan kalau tidak taat maka berarti
telah durhaka kepada Allah dan RasulNya, sedangkan Allah berfirman.
“Artinya : Dan barangsiapa
mendurhakai Allah dan rasulNya maka sungguhlah dia telah sesat, sesat yang
nyata” [Al-Ahzab : 36]
Demikianlah, sikap para sahabat Nabi
dahulu tatkala menerima wahyu dari Allah ‘Azza wa Jalla, adapun kita (berbeda
sekali), tiap pagi dan petang telinga kita mendengarkan perintah-peritah serta
larangan-larangan Allah dan RasulNya, akan tetapi seolah-olah kita tidak
mendengarkannya sedikitpun. Dan Allah Jalla Jalaluhu telah menerangkan bahwa
manusia yang paling celaka adalah manusia yang tidak dapat mengambil manfaat
suatu nasehat, Allah berfirman.
“Artinya : Oleh sebab itu berikanlah
peringatan karena peringatan itu bermanfaat, orang yang takut (kepada Allah)
akan mendapat pelajaran, orang-orang yang celaka (kafir) akan menjauhinya.
(Yaitu) orang yang akan memasuki api yang besar (neraka). Kemudian dia tidak
mati di dalamnya dan tidak (pula) hidup” [Al-A'la : 9-13]
Dan Allah ‘Azza wa Jalla menyebutkan
keadaan orang munafik tatkala mereka hadir dalam majelis Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam, mereka hadir dengan hati yang lalai.
“Artinya : Dan apabila kamu melihat
mereka, tubuh-tubuh mereka menjadikan kamu kagum. Dan jika mereka berkata kamu
mendengarkan perkataan mereka. Mereka adalah seakan-akan kayu yang tersandar.
Mereka mengira bahwa tiap-tiap teriakan yang keras ditujukan kepada mereka.
Mereka itulah musuh (yang sebenarnya), maka waspadalah terhadap mereka ; semoga
Allah membinasakan mereka. Bagaimanakah mereka sampai dipalingkan (dari
kebenaran)?” [Al-Munafiqun : 4]
Lalu tatkala bubar dari majelis,
mereka tidak memahami sedikitpun, Allah berfirman.
“Artinya : Dan diantara mereka ada
orang yang mendengarkan perkataanmu sehingga apabila mereka keluar dari sisimu
mereka berkata kepada orang yang lebih diberi ilmu pengetahuan (sahabat-sahabat
Nabi) : ‘Apakah yang dikatakan tadi ?’ Mereka itulah orang-orang yang dikunci
mati hati mereka oleh Allah dan mengikuti hawa nafsu mereka” [Muhammad : 16]
Takutlah terhadap diri-diri kalian !
(wahai hamba Allah), dari keadaan yang terjadi pada orang-orang munafik,
berusaha dan bersemangatlah untuk bersikap sebagaimana para sahabat Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Ketahuilah ! sebagaimana Allah ‘Azza wa Jalla
telah mencela orang-orang yang berpaling dan lalai, sungguh Allah ‘Azza wa
Jalla memuji orang-orang yang mendengarkan perkataan lalu memahami seperti yang
dimaksud oleh Allah ‘Azza wa Jalla, lalu mengamalkannya, Allah ‘Azza wa Jalla
berfirman.:
“Artinya : Sebab itu sampaikanlah
berita itu kepada hamba-hambaKu, yang mendengarkan perkataan lalu mengikuti apa
yang paling baik di antaranya. Mereka itulah orang-orang yang telah diberi
Allah petunjuk dan mereka itulah orang-orang yang mempunyai akal” [Az-Zumar :
17-18]
Ketahuilah wahai hamba Allah yang
muslim, bahwa tidak ada pilihan bagi kalian terhadap perintah Allah yang
diperintahkan kepadamu ! tidak ada lagi pilihan bagimu ! baik engkau kerjakan
ataupun tidak.
Tidak ada lagi pilihan bagimu
terhadap larangan Allah ‘Azza wa Jalla yang engkau dilarang darinya ! baik
engkau tinggalkan ataupun tidak ! Engkau dan apa yang engkau miliki semuanya
adalah milik Allah ‘Azza wa Jalla engkau hamba Allah, dan Allah ‘Azza wa Jalla
adalah tuanmu. Bagi seorang hamba, hendaknya mencamkan dalam dirinya untuk
mendengar dan taat kepada perintah tuannya, sekalipun perintah itu nampak berat
atas dirinya. Dan kalau tidak taat, tentu akan mendapatkan murka dari
majikannya.
Dan Allah ‘Azza wa Jalla telah
meniadikan keimanan dari orang-orang yang tidak ridha dengan hukumNya dan tidak
tunduk kepada RasulNya dan perintah RasulNya, Allah berfirman.
“Artinya : Dan tidaklah patut bagi
laki-laki yang mu’min dan tidak (pula) bagi perempuan yang mu’min, apabila
Allah dan RasulNya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka
pilihan (yang lain) tentang urusan mereka. Dan barangsiapa mendurhakai Allah
dan RasulNya maka sungguhlah dia telah sesat, sesat yang nyata” [Al-Ahzab : 36]
Sesudah itu, hendaklah anda (wahai
para pembaca yang mulia) bersama dengan saya memperhatikan perbandingan ini :
Kita tadi telah mengatakan : Bahwa
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pergi ke Zainab binti Jahsiy
Radhiyallahu ‘anha untuk meminangnya bagi Zaid bi Haritsah. Awalnya Zainab
menolak, karena pinangan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam hanya
bersifat menolong semata, (bukan perintah). Maka tatkala turun ayat, berubahlah
perkaranya menjadi perintah untuk taat (kepada Allah dan RasulNya).
Tidak ada keleluasaan bagi zainab
binti Jahsiy sesudah turunnya ayat itu, kecuali (harus) mendengar dan taat. Dan
kalaulah perkaranya hanya menolong semata, tentu Zainab binti Jahsiy berhak
menolak (jika tidak setuju), karena seorang wanita berhak memilih calon suami,
sebagaimana lelaki memilih calon istri, dan inilah yang terjadi pada kisah
Barirah :
Dan kisahnya Barirah adalah
sebagaimana diriwayatkan Imam Bukhari :
“Bahwa ‘Aisyah Ummul Mu’minin
Radhiyallahu ‘anha membeli seorang budak bernama Barirah, lalu ‘Aisyah
memerdekakannya. Barirah ini mempunyai suami bernama Mughis (dan ia juga
seorang budak). Maka tatkala dimerdekakan Barirah mempunyai hak untuk memilih,
apakah ia tetap berdampingan dengan suaminya (yang seorang budak), atau
bercerai. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam memberikan pilihan baginya.
Ternyata Barirah memilih untuk bercerai dengan suaminya.
Adapun suaminya, sungguh sangat
mencintainya dengan kecintaan yang sangat. Hingga tatkala Barirah memilih
bercerai dengannya, ia berjalan-jalan di belakang Barirah di kampung-kampung
kota Madinah dalam keadaan menangis. Maka tatkala Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam melihat keadaannya itu, beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam
berkata kepada paman beliau Abbas : “Tidakkah engkau heran terhadap kecintaan
Mughis kepada Barirah ? sedang Barirah tidak menyukai Mughis ?” Lalu Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata kepada Barirah : “Wahai Barirah, mengapa
engkau tidak kembali kepada sumimu?” sesungguhnya ia adalah suamimu dan ayah
dari anak-anakmu!” Maka Barirah berkata : “Wahai Rasulullah, apakah engkau
memerintah atau hanya mengajurkan saja ?”
Allahu Akbar !! perhatikanlah wahai
para pembaca pertanyaan Barirah ini !! Wahai Rasulullah, apakah engkau
memerintah ? Sehingga aku tidak berhak menyelisihi perintahmu ? atau engkau
hanya menganjurkan saja sehingga aku boleh berpendapat dengan pikiranku?
Rasululah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Aku hanya mengajurkan saja
!”. Barirah berkata : “Aku tidak membutuhkan suamiku lagi !!”
Disini kami berkata : “Pertama kali
Zainab binti Jahsiy menolak untuk menikah dengan Zaid bin Haritsah, karena
masalahnya hanyalah anjuran semata, maka tatkala turun wahyu perkaranya berubah
menjadi ketaatan atau maksiat.
Zainab binti Jahsiy berkata : “Wahai
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam apakah engkau meridhai aku menikah
dengannya ?” Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab : “Ya”. Jika
demikian aku tidak akan mendurhakai Allah dan RasulNya.
Dan juga terhadap Barirah, tatkala
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menawarkan agar ia kembali kepada
suaminya, ayah dari anak-anaknya yang tidak dapat bersabar untuk berpisah
dengannya, Barirah meminta penjelasan : “Apakah engkau menyuruhku wahai
Rasulullah ?” Sehingga tidak ada keleluasaan bagiku kecuali harus mendengar dan
taat ? Maka tatkala Rasulullah bersabda : “Aku hanya menganjurkan” berkatalah
Barirah : “Aku tidak membutuhkannya lagi”.
Demikianlah adab para Sahabat
terhadap Allah dan Rasulnya, serta beragama karena Allah dan RasulNya dengan
sikap mendengar dan taat, maka Allah menguasakan kepada mereka dunia ini, dan
masuklah manusia ditangan mereka kepada agama Allah secara berbondong-bondong.
Adapun kita, tatkala tidak beradab kepada Allah dan RasulNya, kita bimbang dan
menimbang-nimbang antara perintah dan larangan-laranganNya (kita kerjakan atau
tidak kita kerjakan), maka jadilah keadaan kita ini sebagaimana yang kita
saksikan saat ini, maka demi Allah, kepadaNya-lah kalian mohon pertolongan,
wahai kaum muslimin !
“Artinya : Dan kembalilah kamu
kepada Tuhanmu, dan berserah dirilah kepadaNya sebelum datang azab kepadamu
kemudian kamu tidak dapat ditolong (lagi)” [Az-Zumar : 54]
“Artinya : Dan bertaubatlah kamu
sekalian kepada Allah, hai orang-orang yang beriman supaya kamu beruntung”
[An-Nuur : 31].
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Tuliskan Komentar, Kritik dan Saran SAHABAT Disini .... !!!