Pada
sebuah warung Soto, dua orang sedang bercakap-cakap. Salah seorang diantara
keduanya adalah seorang muslim, sedangkan yang lainnya non muslim. Si non
muslim mengajukan pertanyaan kepada temannya yang muslim, entah bermaksud
menguji, atau mengejek. “Eh, katanya di kitabmu itu (Al Qur’an) menjelaskan
segala sesuatu?” katanya membuka percakapan, “coba ada nggak di kitabmu itu
resep membuat Soto Ayam?”
Mungkin
yang dimaksud adalah penggalan surat An Nahl ayat 89, yang artinya: “Dan
Kami turunkan kepadamu Al-Kitab (Al-Qur’an) untuk menjelaskan segala sesuatu dan
petunjuk serta rahmat dan kabar gembira bagi orang-orang yang berserah diri”.
atau
bisa juga yang ada di surat Yusuf ayat 111, yang artinya “Sesungguhnya
pada kisah-kisah mereka itu terdapat pengajaran bagi orang-orang yang mempunyai
akal. Al-Qur’an itu bukanlah cerita yang dibuat-buat, akan tetapi
membenarkan (kitab-kitab) yang sebelumnya dan menjelaskan segala sesuatu,
dan sebagai petunjuk dan rahmat bagi kaum yang beriman”.
Saudara
muslim ini pun tak kalah cerdas, ”Tentu saja ada! Jangankan Soto
Ayam…Gulai Ayam, Sate Kambing, Sop Buntut, Nasi Kebuli, apa saja deh yang kamu
mau, semua ada”
Tambah
heranlah temannya yang non muslim itu, namun belum terima begitu saja “Coba,
tunjukkan di surat mana!”
“Sabar
dulu”, kata si Muslim, kemudian dia memanggil tukang masak warung itu “Mas,
tolong tunjukkan pada saya bagaimana cara membuat Soto Ayam seperti di warung
ini”
Kemudian
si tukang masak pun menjelaskan dengan rinci, mulai dari bahan-bahan yang
dibutuhkan, cara memasak, hingga cara menyajikan.
“Nah,
di Al-Qur’an itu menjelaskan yang seperti itu”, kata si Muslim kepada temannya
yang non muslim.
“Ah
masa? Coba tunjukkan di surat mana?”, kata si non muslim yang sekarang giliran
merasa diledekin temannya itu.
“Tentu
saja ada”, lalu si muslim membacakan surat An Nahl ayat 43 “maka bertanyalah
kepada orang yang mempunyai pengetahuan jika kamu tidak mengetahui”
“tuh
kan, ada…Al-Qur’an itu menyuruh kita bertanya kepada ahlinya kalau kita memang
tidak tahu. Jadi, bukannya menjadi sok tahu lalu urusan jadi berantakan” kata
si Muslim.
Hikmah
dan Faedah:
1.
Al-Qur’an
memuat kaidah-kaidah (rumus) umum, sedangkan rinciannya bisa ditemukan lagi di
kitab-kitab Hadits, atau dari ijtihad ulama berdasarkan kaidah umum yang ada.
Itulah mengapa Al-Qur’an itu akan cocok sepanjang masa. Jika Al-Qur’an merinci
seluruh permasalahan, akan menjadi kitab yang sangat tebal.
2.
Manusia
dilahirkan dalam keadaan tidak berilmu, maka diperintahkan untuk mencari ilmu,
baik dengan membaca maupun bertanya. Dalam bertanya pun diperintahkan untuk
bertanya kepada yang mempunyai pengetahuan tentang yang ditanyakan, bukan
bertanya kepada sembarang orang.
3.
Menunjukkan
tingginya kedudukan orang yang mempunyai ilmu pengetahuan, hingga orang-orang
pun diperintahkan untuk bertanya kepada mereka.
4.
Ilmu
yang dimaksud adalah apa yang ada di dalam Al-Qur’an, lalu Hadits Nabi
Shallallahu’alaihi wasalam, kemudian perkataan para Sahabat, dan ulama-ulama
yang mengikuti mereka dengan baik.
5.
Merupakan
anjuran untuk bertanya kepada Ahlinya, termasuk dalam urusan/ilmu dunia
sehingga urusan menjadi benar. Karena jika suatu urusan diserahkan atau
ditanyakan kepada yang bukan ahlinya, maka menjadi rusaklah urusan itu.
6.
Dahulu,
ketika wahyu masih turun dan syariat belum sempurna, para sahabat dilarang
banyak bertanya, sebagaimana hadits yang shahih “Apa-apa yang aku
larang bagi kalian, maka tinggalkanlah; dan apa-apa yang aku perintahkan, maka
kerjakanlah semampu kalian. Hanyalah yang membinasakan orang-orang sebelum
kalian, karena banyaknya pertanyaan mereka dan menyelisihi nabi-nabi mereka” [HR.
Al-Bukhoriy dalam Shohih-nya (6858) & Muslim dalam Shohih-nya
(1336)], karena dikhawatirkan syariat akan menjadi berat, sehingga orang yang
bertanya akan mendapat hukuman yang berat.
7.
Namun
sekarang syariat telah sempurna, maka setiap muslim bisa bertanya apa saja
karena semua jawaban telah ada dengan sempurnanya syariat.
Pertanyaan-pertanyaan yang ditujukan untuk mencari-cari celah dalam agama atau
untuk menimbulkan syubhat dalam agama, niscaya akan terjawab oleh ahli ilmu.
8.
Meskipun
demikian, ada pertanyaan-pertanyaan yang tidak selayaknya dilontarkan, bahkan
bisa mengarah kepada perbuatan atau keyakinan yang bid’ah, seperti mempertanyakan
Dzat Allah, kaifiyat Allah, ayat-ayat yang mutasyabihaat, dan
pertanyaan-pertanyaan lain yang berkaitan dengan aqidah yang tidak pernah
ditanyakan oleh generasi terbaik (Sahabat, Tabi’in, Tabi’ut tabi’in), sementara
mereka adalah kaum yang paling bersemangat dalam kebaikan. Sebagaimana kisah
masyhur yang terjadi pada Imam Malik (wafat th. 179 H) rahimahullah ditanya
tentang istiwa’ Allah, maka beliau menjawab: ”Istiwa’-nya Allah ma’lum
(sudah diketahui maknanya), dan kaifiyatnya tidak dapat dicapai nalar (tidak
diketahui), dan beriman kepadanya wajib, bertanya tentang hal tersebut adalah
perkara bid’ah, dan aku tidak melihatmu kecuali dalam kesesatan.” Kemudian
Imam Malik rahimahullah menyuruh orang tersebut pergi dari majelisnya. [Syarhus
Sunnah lil Imaam al-Baghawi (I/171), Mukhtasharul ‘Uluw lil Imaam adz-Dzahabi
(hal. 141), cet. Al-Maktab al-Islami, tahqiq Syaikh al-Albani.]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Tuliskan Komentar, Kritik dan Saran SAHABAT Disini .... !!!