Hari
raya ‘Idul Fithri adalah
hari yang selalu dinanti-nanti kaum muslimin. Tak ada satu pun di antara kaum
muslimin yang ingin kehilangan moment berharga tersebut. Apalagi di negeri
kita, selain memeriahkan Idul Fithri atau lebaran, tidak sedikit pula yang
berangkat mudik ke kampung halaman. Di antara alasan mudik adalah untuk
mengunjungi kerabat dan saling bersilaturahim. Namun ada beberapa hal yang
perlu dikritisi saat itu, yaitu beberapa amalan yang keliru dan mungkar. Satu
sisi, amalan tersebut hanyalah tradisi yang memang tidak pernah ada dalil
pendukung dalam Islam dan ada pula yang termasuk maksiat.
Terutama
kita lihat bagaimana model pakaian muda-mudi saat ini ketika hari raya, tidak
mencerminkan bahwa mereka muslim ataukah bukan. Sulit membedakan ketika melihat
pakaian yang mereka kenakan. Sungguh Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam
telah bersabda,
مَنْ تَشَبَّهَ
بِقَوْمٍ فَهُوَ
مِنْهُمْ
”Barangsiapa
yang menyerupai suatu kaum, maka dia termasuk bagian dari mereka”
Menyerupai orang kafir (tasyabbuh) ini terjadi dalam hal pakaian, penampilan
dan kebiasaan. Tasyabbuh di sini diharamkan berdasarkan dalil Al Qur’an, As
Sunnah dan kesepakatan para ulama (ijma’).
Kedua:
Mendengarkan dan memainkan musik / nyanyian / nasyid di hari raya.
Imam
Al Bukhari membawakan dalam Bab “Siapa yang menghalalkan khomr dengan selain
namanya” sebuah riwayat dari Abu ‘Amir atau Abu Malik Al Asy’ari telah
menceritakan bahwa dia tidak berdusta, lalu beliau menyampaikan sabda Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam,
لَيَكُونَنَّ مِنْ
أُمَّتِى أَقْوَامٌ
يَسْتَحِلُّونَ الْحِرَ
وَالْحَرِيرَ وَالْخَمْرَ
وَالْمَعَازِفَ ،
وَلَيَنْزِلَنَّ أَقْوَامٌ
إِلَى جَنْبِ
عَلَمٍ يَرُوحُ
عَلَيْهِمْ بِسَارِحَةٍ
لَهُمْ ،
يَأْتِيهِمْ – يَعْنِى
الْفَقِيرَ – لِحَاجَةٍ
فَيَقُولُوا ارْجِعْ
إِلَيْنَا غَدًا
. فَيُبَيِّتُهُمُ اللَّهُ
وَيَضَعُ الْعَلَمَ
، وَيَمْسَخُ
آخَرِينَ قِرَدَةً
وَخَنَازِيرَ إِلَى
يَوْمِ الْقِيَامَةِ
“Sungguh,
benar-benar akan ada di kalangan umatku sekelompok orang yang menghalalkan
zina, sutera, khamr, dan alat musik. Dan beberapa kelompok orang akan
singgah di lereng gunung dengan binatang ternak mereka. Seorang yang fakir
mendatangi mereka untuk suatu keperluan, lalu mereka berkata, ‘Kembalilah
kepada kami esok hari.’ Kemudian Allah mendatangkan siksaan kepada mereka dan
menimpakan gunung kepada mereka serta Allah mengubah sebagian mereka menjadi
kera dan babi hingga hari kiamat.”
Jika dikatakan menghalalkan musik, berarti musik itu haram.
Ibnu
Mas’ud mengatakan, “Nyanyian menumbuhkan kemunafikan dalam hati sebagaimana
air menumbuhkan sayuran.” Fudhail bin Iyadh mengatakan, “Nyanyian adalah
mantera-mantera zina.” Adh Dhohak mengatakan, “Nyanyian itu akan merusak
hati dan akan mendatangkan kemurkaan Allah.”
Imam
Asy Syafi’i rahimahullah berkata, “Nyanyian adalah suatu hal yang
sia-sia yang tidak kusukai karena nyanyian itu adalah seperti kebatilan. Siapa
saja yang sudah kecanduan mendengarkan nyanyian, maka persaksiannya tertolak.”
Ibnu
Taimiyah rahimahullah mengatakan, “Tidak ada satu pun dari empat
ulama madzhab yang berselisih pendapat mengenai haramnya alat musik.”
Ketiga:
Wanita berhias diri ketika keluar rumah.
Padahal
seperti ini diharamkan di dalam agama ini berdasarkan firman Allah,
وَقَرْنَ فِي
بُيُوتِكُنَّ وَلَا
تَبَرَّجْنَ تَبَرُّجَ
الْجَاهِلِيَّةِ الْأُولَى
“Dan
hendaklah kamu tetap di rumahmu dan janganlah kamu ber-tabarruj seperti
orang-orang jahiliyyah pertama.” (QS. Al Ahzab: 33).
Abu
‘Ubaidah mengatakan, “Tabarruj adalah menampakkan kecantikan dirinya.”
Az Zujaj mengatakan, “Tabarruj adalah menampakkan perhiasaan dan setiap
hal yang dapat mendorong syahwat (godaan) bagi kaum pria.”
Seharusnya
berhias diri menjadi penampilan istimewa si istri di hadapan suami dan ketika
di rumah saja, dan bukan di hadapan khalayak ramai.
Keempat:
Berjabat tangan dengan wanita yang bukan mahrom.
Fenomena
ini merupakan musibah di tengah kaum muslimin apalagi di hari raya. Tidak ada
yang selamat dari musibah ini kecuali yang dirahmati oleh Allah. Perbuatan ini
terlarang berdasarkan sabda Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam,
كُتِبَ عَلَى
ابْنِ آدَمَ
نَصِيبُهُ مِنَ
الزِّنَى مُدْرِكٌ
ذَلِكَ لاَ
مَحَالَةَ فَالْعَيْنَانِ
زِنَاهُمَا النَّظَرُ
وَالأُذُنَانِ زِنَاهُمَا
الاِسْتِمَاعُ وَاللِّسَانُ
زِنَاهُ الْكَلاَمُ
وَالْيَدُ زِنَاهَا
الْبَطْشُ وَالرِّجْلُ
زِنَاهَا الْخُطَا
وَالْقَلْبُ يَهْوَى
وَيَتَمَنَّى وَيُصَدِّقُ
ذَلِكَ الْفَرْجُ
وَيُكَذِّبُهُ
“Setiap
anak Adam telah ditakdirkan bagian untuk berzina dan ini suatu yang pasti
terjadi, tidak bisa tidak. Zina kedua mata adalah dengan melihat. Zina kedua
telinga dengan mendengar. Zina lisan adalah dengan berbicara. Zina tangan
adalah dengan meraba (menyentuh). Zina kaki adalah dengan melangkah. Zina hati
adalah dengan menginginkan dan berangan-angan. Lalu kemaluanlah yang nanti akan
membenarkan atau mengingkari yang demikian.”
Jika
kita melihat pada hadits di atas, menyentuh lawan jenis -yang bukan istri atau
bukan mahrom- diistilahkan dengan zina. Hal ini berarti menyentuh lawan jenis
adalah perbuatan yang haram karena berdasarkan kaedah ushul ‘apabila sesuatu
dinamakan dengan sesuatu lain yang haram, maka menunjukkan bahwa perbuatan
tersebut juga haram’.”
Lihat
pula bagaimana contoh dari suri tauladan kita sendiri. Rasulullah shallallahu
‘alaihi wasallam bersabda,
إِنِّي لَا
أُصَافِحُ النِّسَاءَ
إِنَّمَا قَوْلِي
لِمِائَةِ امْرَأَةٍ
كَقَوْلِي لِامْرَأَةٍ
وَاحِدَةٍ أَوْ
مِثْلِ قَوْلِي
لِامْرَأَةٍ وَاحِدَةٍ
“Sesungguhnya
aku tidak akan bersalaman dengan wanita. Perkataanku terhadap seratus wanita
adalah seperti perkataanku terhadap seorang wanita, atau seperti perkataanku
untuk satu wanita.“
Kelima:
Mengkhususkan ziarah kubur pada hari raya ‘ied.
Kita
memang diperintahkan untuk ziarah kubur sebagaimana sabda Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam,
فَزُورُوا الْقُبُورَ
فَإِنَّهَا تُذَكِّرُ
الْمَوْتَ
“Sekarang
ziarah kuburlah karena itu akan lebih mengingatkan kematian.”
Namun
tidaklah tepat diyakini bahwa setelah Ramadhan adalah waktu terbaik untuk
menziarahi kubur orang tua atau kerabat (yang dikenal dengan “nyadran”). Kita
boleh setiap saat melakukan ziarah kubur agar hati kita semakin lembut karena
mengingat kematian. Masalahnya, jika seseorang mengkhususkan ziarah kubur
pada waktu tertentu dan meyakini bahwa setelah Ramadhan (saat Idul Fithri)
adalah waktu utama untuk nyadran atau nyekar. Ini sungguh suatu
kekeliruan karena tidak ada dasar dari ajaran Islam yang menuntunkan hal ini.
Keenam:
Tidak sedikit dari yang memeriahkan Idul Fithri meninggalkan shalat lima waktu
karena sibuk bersilaturahmi.
Kaum
pria pun tidak memperhatikan shalat berjama’ah di masjid. Demi Allah,
sesungguhnya ini adalah salah satu bencana yang amat besar. Padahal Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam telah bersabda,
الْعَهْدُ الَّذِى
بَيْنَنَا وَبَيْنَهُمُ
الصَّلاَةُ فَمَنْ
تَرَكَهَا فَقَدْ
كَفَرَ
“Perjanjian
antara kami dan mereka (orang kafir) adalah mengenai shalat. Barangsiapa
meninggalkannya maka dia telah kafir.”
‘Umar
bin Khottob rahimahullah pernah mengatakan di akhir-akhir hidupnya,
لاَ إِسْلاَمَ
لِمَنْ تَرَكَ
الصَّلاَةَ
“Tidaklah
disebut muslim orang yang meninggalkan shalat.”
Ibnul
Qayyim rahimahullah mengatakan, “Kaum muslimin tidaklah berselisih
pendapat (sepakat) bahwa meninggalkan shalat wajib (shalat lima waktu) dengan
sengaja adalah dosa besar yang paling besar dan dosanya lebih besar dari
dosa membunuh, merampas harta orang lain, zina, mencuri, dan minum minuman
keras. Orang yang meninggalkannya akan mendapat hukuman dan kemurkaan Allah
serta mendapatkan kehinaan di dunia dan akhirat.”
Adapun
mengenai hukum shalat jama’ah, menurut pendapat yang kuat adalah wajib bagi
kaum pria. Di antara yang menunjukkan bahwa shalat jama’ah itu wajib adalah
sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
وَالَّذِى نَفْسِى
بِيَدِهِ لَقَدْ
هَمَمْتُ أَنْ
آمُرَ بِحَطَبٍ
فَيُحْطَبَ ،
ثُمَّ آمُرَ
بِالصَّلاَةِ فَيُؤَذَّنَ
لَهَا ،
ثُمَّ آمُرَ
رَجُلاً فَيَؤُمَّ
النَّاسَ ،
ثُمَّ أُخَالِفَ
إِلَى رِجَالٍ
فَأُحَرِّقَ عَلَيْهِمْ
بُيُوتَهُمْ
”Demi
Dzat yang jiwaku berada di tangan-Nya, ingin kiranya aku memerintahkan
orang-orang untuk mengumpulkan kayu bakar, kemudian aku perintahkan mereka
untuk menegakkan shalat yang telah dikumandangkan adzannya, lalu aku
memerintahkan salah seorang untuk menjadi imam, lalu aku menuju orang-orang
yang tidak mengikuti sholat jama’ah, kemudian aku bakar rumah-rumah mereka”.
Imam
Asy Syafi’i rahimahullah mengatakan,
وَأَمَّا الجَمَاعَةُ
فَلاَ اُرَخِّصُ
فِي تَرْكِهَا
إِلاَّ مِنْ
عُذْرٍ
“Adapun
shalat jama’ah, aku tidaklah memberi keringanan bagi seorang pun untuk
meninggalkannya kecuali bila ada udzur.”
Ketujuh:
Begadang saat malam ‘Idul Fitri untuk takbiran hingga pagi sehingga kadang
tidak mengerjakan shalat shubuh dan shalat ‘ied di pagi harinya.
Diriwayatkan
dari Abi Barzah, beliau berkata,
أَنَّ رَسُولَ
اللَّهِ – صلى
الله عليه
وسلم – كَانَ
يَكْرَهُ النَّوْمَ
قَبْلَ الْعِشَاءِ
وَالْحَدِيثَ بَعْدَهَا
“Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam membenci tidur sebelum shalat ‘Isya dan
ngobrol-ngobrol setelahnya.”
Ibnu
Baththol menjelaskan, “Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak suka begadang
setelah shalat ‘Isya karena beliau sangat ingin melaksanakan shalat malam dan
khawatir jika sampai luput dari shalat shubuh berjama’ah. ‘Umar bin Al Khottob
sampai-sampai pernah memukul orang yang begadang setelah shalat Isya, beliau
mengatakan, “Apakah kalian sekarang begadang di awal malam, nanti di akhir
malam tertidur lelap?!”
Takbiran
yang dilakukan juga sering mengganggu kaum muslimin yang hendak beristirahat
padahal hukum mengganggu sesama muslim adalah terlarang. Rasulullah shallallahu’alaihi
wa sallam bersabda,
الْمُسْلِمُ مَنْ
سَلِمَ الْمُسْلِمُونَ
مِنْ لِسَانِهِ
وَيَدِهِ
“Muslim
(yang baik) adalah yang tidak mengganggu muslim lainnya dengan lisan dan
tangannya.”
Ibnu
Baththol mengatakan, “Yang dimaksud dengan hadits ini adalah dorongan agar
seorang muslim tidak menyakiti kaum muslimin lainnya dengan lisan, tangan dan
seluruh bentuk menyakiti lainnya. Al Hasan Al Bashri mengatakan, “Orang yang
baik adalah orang yang tidak menyakiti walaupun itu hanya menyakiti seekor
semut”.
Perhatikanlah
perkataan yang sangat bagus dari Al Hasan Al Basri. Seekor semut kecil saja
dilarang disakiti, lantas bagaimana dengan manusia yang punya akal dan perasaan
disakiti dengan suara bising atau mungkin lebih dari itu?!
Kedelapan:
Memeriahkan ‘Idul Fithri dengan petasan.
Selain
mengganggu kaum muslimin lain sebagaimana dijelaskan di atas, petasan juga
adalah suatu bentuk pemborosan. Karena pemborosan kata Ibnu Mas’ud dan Ibnu
‘Abbas adalah menginfakkan sesuatu bukan pada jalan yang benar. Qotadah
mengatakan, “Yang namanya tabdzir (pemborosan) adalah mengeluarkan nafkah dalam
berbuat maksiat pada Allah, pada jalan yang keliru dan pada jalan untuk berbuat
kerusakan.” Allah Ta’ala berfirman,
وَلا تُبَذِّرْ
تَبْذِيرًا إِنَّ
الْمُبَذِّرِينَ كَانُوا
إِخْوَانَ الشَّيَاطِينِ
“Dan
janganlah kamu menghambur-hamburkan (hartamu) secara boros. Sesungguhnya
pemboros-pemboros itu adalah saudara-saudara syaitan.” (QS. Al Isro’:
26-27).
Ibnu
Katsir mengatakan, “Allah ingin membuat manusia menjauhi sikap boros dengan
mengatakan: “Dan janganlah kamu menghambur-hamburkan (hartamu) secara boros.
Sesungguhnya pemboros-pemboros itu adalah saudara-saudara syaitan”.
Dikatakan demikian karena orang yang bersikap boros menyerupai setan dalam hal
ini.
Akhir
kata:
“Aku
tidak bermaksud kecuali (mendatangkan) perbaikan selama aku masih
berkesanggupan. Dan tidak ada taufik bagiku melainkan dengan (pertolongan)
Allah. Hanya kepada Allah aku bertawakkal dan hanya kepada-Nya-lah aku kembali.”
(QS. Hud: 88)
Segala
puji bagi Allah yang dengan nikmat-Nya segala kebaikan menjadi sempurna.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Tuliskan Komentar, Kritik dan Saran SAHABAT Disini .... !!!