Muslimin
dan muslimat yang dirahmati Allah, berkenaan dengan Shalat berjama’ah, ternyata
banyak dari kaum muslimin yang masih keliru, melakukan beberapa kekeliruan dan
kesalahan ketika melaksanakan Shalat berjama’ah. Padahal sudah saatnya mereka
itu tidak boleh melakukan kekeliruan atau kesalahan, karena shalat lima waktu
(shalat fardhu) yang dilakukan di masjid itu sudah sangat sering, sehingga
sudah semestinya jauh dari kesalahan.
Namun
demikian kesalahan masih terus berulang, maka agar bisa dikurangi atau
dihilangkan kesalahan tersebut, semuanya itu harus berdasarkan ilmu. Pada
kesempatan ini, kami sampaikan beberapa penyimpangan dan kesalahan, berkenaan
dengan Shalat Berjama’ah. Banyak sekali yang bisa kita temukan dalam keseharian
kita, namun demikian kita coba amati di kalangan kaum muslimin, mereka shalat
berjama’ah, mereka Alhamdulillaah datang di masjid, tetapi masih juga melakukan
kesalahan.
Tidak
kurang dari 28 point kesalahan kita bisa buktikan, bahwa kaum muslimin masih
salah dalam shalat berjama’ah. Bahkan mungkin bisa lebih dari itu. Untuk
kemudian di akhir bahasan ini kami sampaikan sikap Imaam As Suyuuthy رحمه الله
berkenaan dengan peringatan (perayaan) akhir atau awal tahun.
Adapun
kekeliruan atau kesalahan dimaksud antara lain adalah :
1.
Ketika Imam shalat selesai membaca Al Faatihah, lalu jama’ah mengucapkan: “Aamiiin,
waliwaali daiyaa walil muslimiin”.
Makna
kalimat tersebut bagus dan tidak tercela, tetapi karena ini ibadah dan bukan
karangan, dan bukan perasaan, maka kesalahan semacam itu tidak boleh diulangi,
karena akan mengurangi nilai dan pahala shalat kita, karena dengan nyata shalat
yang diperintahkan oleh Allah itu ditambah-tambah dengan sesuatu yang bukan
berasal dari Rasulullah Saw.
Sebagai
dalil, bahwa yang demikian itu keliru adalah Hadits Rasulullah Saw,
diriwayatkan oleh Imaam Al Bukhoory, dari Abu Hurairoh, Rasulullah bersabda:
عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ
أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ
-صلى الله عليه وسلم- قَالَ « إِذَا أَمَّنَ
الإِمَامُ فَأَمِّنُوا
فَإِنَّهُ مَنْ وَافَقَ
تَأْمِينُهُ تَأْمِينَ
الْمَلاَئِكَةِ غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ
مِنْ ذَنْبِهِ
Artinya:
“Jika
Imam mengatakan “Aamiiin” maka aminkanlah oleh kalian. Maka barangsiapa yang
“Amin”nya berbarengan dengan “Amin”nya malaikat, ia akan diampuni dosanya”. (Hadits
Riwayat Imaam Al Bukhoory dan Imaam Muslim).
Bukan
saja masalah yang kita bahas, tetapi itu merupakan pahala atau kebajikan yang
dijanjikan oleh Rasulullah Saw, bahwa “Aamiiin” kita
harus seragam. Ketika mengucap “Aamiiin” kita harus memperhitungkan agar tepat
berbarengan dengan malaikat. Malaikat memang ghoib, tetapi yang menjadi ukuran
adalah keseragaman suara. Setelah Imam mengucapkan “Ghoiril maghduubi ‘alaihim
waladh dhooolliiiin”, lalu serempak jamaah mengucapkan: “Aamiiin”.
Mengucapkan
Aamiiin: A – mi —- n (Min lebih panjang dari pada A).
A—min,
artinya aman.
Ami—n,
artinya terpercaya.
A—mi—–n,
artinya: Penuhilah, kabulkanlah ya Allah.
Masih
dari Abu Hurairah r.a, Rasulullah Saw
bersabda:
عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ
أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ
-صلى الله عليه وسلم- قَالَ « إِذَا أَمَّنَ
الإِمَامُ فَأَمِّنُوا
فَإِنَّهُ مَنْ وَافَقَ
تَأْمِينُهُ تَأْمِينَ
الْمَلاَئِكَةِ غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ
مِنْ ذَنْبِهِ
Artinya:
“Jika
Imaam membaca Maghdhubi ‘alaihim…, maka katakanlah olehmu: Aamiiin. Barang
siapa yang ucapannya bersama malaikat, maka ia diampuni dosa-dosanya yang telah
lalu”. (Hadits Riwayat Imaam Al Bukhoory dan Imaam Muslim).
Dalam
hadits tersebut tidak ada tambahan penjelasan bahwa ada “Amin waliwaali daiya
walil muslimiin”. Kalau ada yang bertanya mana dalil yang melarang memberi
tambahan tersebut, maka jawabannya adalah: Amrul ‘ibadati tauqiifiyyun. –
Perkara ibadah adalah baku. Kalau ada dalilnya silakan dijalankan, kalau tidak
ada dalil, tidak boleh dijalankan.
Bagi
kita karena tidak ada dalil, dan para ulama tidak menjelaskan terhadap adanya
dalil bahwa bila kita mengucapkan Aamiiin lalu ditambah dengan: Waliwaali daiya
walil muslimiin, maka berarti tidak ada. Karena tidak ada, maka tidak boleh
orang menambahkan dalam urusan itu, meskipun dikatakannya menjadi lebih baik.
Urusan
ibadah, adalah siapa yang mengatakan “bahwa ibadah itu ada“, maka ia harus bisa
mengatakan (menunjukkan) dalilnya.
Sedangkan
yang mengatakan tidak ada dalilnya, adalah karena atas dasar penelitian dan
sekian kajian terhadap hadits-hadits Rasulullah SAW.
Jadi
kalau ada orang menambah ucapan Waliwaali daiyaa walil muslimiin, katakanlah
bahwa itu Bid’ah, tidak sesuai dengan Hadits Rasulullah SAW.
2.
Masbuq, orang yang terlambat datang menunggu sampai imam berdiri.
Ketika
Shalat berjamaah sedang berlangsung, lalu ada ma’mum yang terlambat, sementara
yang berjamaah posisinya sedang tidak dalam berdiri, misalnya sedang sujud atau
duduk Tasyahud, lalu yang datang terlambat itu berdiri saja menunggu sampai
imam shalat berdiri, baru si terlambat itu mulai dengan Allahu Akbar
(Takbiratul Ihram). Yang demikian itu keliru. Karena tidak sesuai dengan
petunjuk Rasulullah SAW. Dalam Hadits riwayat Imam Bukhoory,
dari Abu Hurairoh r.a, Rasulullah SAW
bersabda:
أَبَا هُرَيْرَةَ قَالَ سَمِعْتُ
رَسُولَ اللَّهِ
-صلى الله عليه وسلم- يَقُولُ
« إِذَا أُقِيمَتِ الصَّلاَةُ
فَلاَ تَأْتُوهَا تَسْعَوْنَ
وَأْتُوهَا تَمْشُونَ
وَعَلَيْكُمُ السَّكِينَةُ
فَمَا أَدْرَكْتُمْ فَصَلُّوا
وَمَا فَاتَكُمْ فَأَتِمُّوا
Artinya:
“Jika
kalian datang pada suatu shalat, maka hendaknya kalian dengan tenang mendatangi
shalat itu, apa yang kalian ketahui, maka kalian bisa masuk dalam shalat itu,
maka shalatlah bersama mereka. Dan jika kalian terlambat maka sempurnakan
(roka’atnya).” (Hadits Riwayat Imaam Al Bukhoory dan Imaam Muslim).
Dalam
Hadits yang lain dari Mu’azd bin Jabal r.a, Rasulullah SAW bersabda:
“Jika
salah seorang dari kalian memasuki suatu shalat berjama’ah, sedangkan imam
dalam suatu keadaan (posisi), maka lakukan apa yang dilakukan oleh imam”.
Maksudnya,
misalnya imam sedang sujud, maka langsung ikut sujud bagi yang terlambat
(masbuq), jangan menunggu sampai imam kembali berdiri lagi.
Ibnu
Hajar Al Asqalani memberikan penjelasan, kata beliau: “Hadits ini menunjukkan
terhadap apa yang ada didalam Hadits riwayat Ibnu Abi Syaibah dari jalan ‘Abdul
‘Aziiz bin Rafi’ dari seorang laki-laki dari kalangan Anshar, kata beliau:
“Barangsiapa
yang menemui aku (Rasulullah SAW, berarti imam shalat)
berada dalam keadaan ruku’ atau berdiri, atau sujud, maka hendaknya ia
bersamaku sesuai dengan keadaanku”.
Maksudnya
langsung lakukan seperti apa yang sedang imam lakukan, kalau imam sedang sujud,
ikut sujudlah, imam sedang ruku’ ikut ruku’lah, tidak usah menunggu.
3.
Seorang masbuq (ma’mum yang terlambat datang) yang ingin menyempurnakan raka’at
shalatnya, sebelum imam salam, ia telah mendahului imam, ia berdiri untuk
menyempurnakan shalatnya. Ini juga merupakan kekeliruan. Oleh karena itu tidak
boleh terulang kesalahan itu.
Dalil
yang mengatakan hal tersebut adalah Hadits yang diriwayatkan Imam Bukhoory dan
Imam Muslim, dari Abu Hurairoh r.a, kata beliau, Rasulullah SAW bersabda
:
إِنَّمَا جُعِلَ الإِمَامُ
لِيُؤْتَمَّ بِهِ فَإِذَا
رَكَعَ فَارْكَعُوا
Artinya:
“Imam
itu dijadikan untuk diikuti, jika ia bertakbir, ikutlah kalian bertakbir, jika
ia ruku’ maka ruku’lah”. (Hadits Riwayat Imaam Al Bukhoory dan Imaam Muslim).
Imam
Syafi’iy -semoga Allah mengasihinya- mengatakan: “Barangsiapa
yang dalam keadaan masbuq, (terdahului oleh imam) dalam urusan shalatnya, maka
tidak boleh berdiri untuk menambah rakaat kekurangannya, kecuali imam selesai
dari dua salamnya”.
4.
Mendahului imam secara umum.
Dalam
hal ini telah dilarang keras oleh Rasulullah SAW sesuai dengan Hadits yang
diriwayatkan oleh Imam Bukhoory, kata beliau dalam judul Babnya dengan jelas
mengatakan: “Dosa bagi orang yang mengangkat kepalanya, sebelum imam mengangkat
kepalanya”.
Maksudnya,
bangun sebelum imam bangun.
Lalu
dibawakan Hadits dari Abu Hurairah r.a, Rasulullah SAW
bersabda:
عن أَبُي هُرَيْرَةَ
قَالَ قَالَ مُحَمَّدٌ
-صلى الله عليه وسلم- « أَمَا يَخْشَى
الَّذِى يَرْفَعُ
رَأْسَهُ قَبْلَ الإِمَامِ
أَنْ يُحَوِّلَ اللَّهُ
رَأْسَهُ رَأْسَ حِمَارٍ
Artinya:
“Apakah
salah seorang dari kalian tidak takut, jika dia mengangkat kepalanya sebelum
imam mengangkat kepalanya, lalu dijadikan kepalanya itu kepala keledai, atau
bentuk dia seperti keledai ?” (Hadits Riwayat Imaam Al Bukhoory dan Imaam
Muslim).
Maksudnya,
adalah berdosa (shalat sah, tetapi berdosa), mungkin karena ma’mum terburu-buru
karena terbiasa shalat seperti ayam mematuki makanannya, atau ia tidak tahu
bahwa shalat itu punya waktu yang khusus, sehingga dia shalat inginnya
dilaksanakan dengan cepat, hatinya sudah kemana-mana, gerakannya sangat cepat,
dia shalat tetapi seolah-olah tidak shalat. Ketika bersama imam yang mengajak
untuk tuma’ninah, dengan memahami apa yang dibacanya, ketika ruku’ sabda Rasulullah
SAW: “Ketika ruku’ perbanyak tasbih,
ketika sujud perbanyak do’a.” Mana mungkin bisa segera bangun dengan cepat.
Bagi orang yang tidak paham bahasa Arab, untuk sampai kepada derajat khusyu’,
maka ia harus berusaha mengerti apa yang ia baca. Kalau sudah dipahami, maka
diresapi. Dengan demikian tidak bisa cepat, harus tuma’ninah.
Dengan
demikian ia melakukan kekeliruan yang nyata, yaitu mengangkat kepala mendahului
imam. Dan itu merupakan pelanggaran.
Imam
Al Mundziri dalam kitab At Targhiib Wa Tarhiib, menyatakan bahwa adalah ancaman
keras bagi ma’mum yang mengangkat kepalanya sebelum imam. Lafadz Hadits yang
lain, yang diriwayatkan oleh Ibnu Mundzir, Rasulullah SAW
bersabda :
عن أبي هريرة عن النبي صلى الله عليه و سلم قال : ( أما يخشى الذي يرفع رأسه قبل الإمام أن يحول الله رأسه رأس الكلب
Artinya:
“Apakah
tidak takut orang yang mengangkat kepalanya sebelum imam, untuk kemudian Allah Swt tukar
dengan kepala anjing?” (Hadits Riwayat Imaam Ibnu Hibban)
Jadi
tidak boleh kita mendahului imam. Itu bukan perkara kecil. Dan itu merupakan pendidikan
untuk disiplin.
Gerakan
imam dan ma’mum ada 3 macam, yaitu: Al Musaawaat, Al Musaabaqah dan Mutaaba’ah.
Al
Musawat (tidak boleh) yaitu imam dan ma’mum bergerak bersama-sama. Itu salah.
Al
Musabaqah, artinya imam belum bangun, ma’mum sudah bangun. Seperti berlomba.
Imam belum salam, ma’mum sudah salam. Yang demikian itu tidak boleh.
Mutaba’ah,
inilah yang benar. Bergerak sesudah imam. Imam mengucap “Allahu Akbar”, barulah
si ma’mum mengucap “Allahu Akbar”. Imam bangun, sesudah “Allahu Akbar”, barulah
si ma’mum bangun, sesudah “Allahu Akbar”, dan seterusnya.
Bahkan
sebenarnya, yang tertib adalah sesuai dengan lafadz Hadits Riwayat Imaam Al
Bukhoory dan Imaam Muslim:
عن أَبَي هُرَيْرَةَ
يَقُولُ عَنْ رَسُولِ
اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- أَنَّهُ
قَالَ « إِنَّمَا جُعِلَ الإِمَامُ
لِيُؤْتَمَّ بِهِ فَإِذَا
كَبَّرَ فَكَبِّرُوا
وَإِذَا رَكَعَ فَارْكَعُوا
وَإِذَا قَالَ سَمِعَ اللَّهُ
لِمَنْ حَمِدَهُ. فَقُولُوا
اللَّهُمَّ رَبَّنَا
لَكَ الْحَمْدُ. وَإِذَا
صَلَّى قَائِمًا فَصَلُّوا
قِيَامًا وَإِذَا
صَلَّى قَاعِدًا فَصَلُّوا
قُعُودًا أَجْمَعُونَ
(Bila
imam mengucap “Allahu Akbar”, maka ucapkanlah oleh kalian “Allahu Akbar”, jika
imam ruku’- sesudah imam ruku’nya sempurna – maka ruku’lah kalian, bila imam
sujud dan sujudnya sudah sempurna, maka sujudlah, bila imam dalam keadaan
berdiri, maka kalian (ma’mum) berdiri. Bila imamnya shalat sambil duduk, –
mungkin karena sakit, kalian (ma’mum) harus duduk pula, meskipun kalian kuat
berdiri). Itu namanya Mutaba’ah, mengikuti imam.
Bisa
saja ada imam yang shalat sambil duduk, karena ia memang imam rowatib (Imam
tetap). Maka ma’mumnya juga harus duduk, tidak boleh ma’mumnya berdiri. Kecuali
bila si imam rowatib mempersilakan orang lain untuk menjadi imam shalat. Itu
namanya Tanaazul. (Imam turun dari jabatannya). Kalau imam tetapnya, tidak
mempersilakan kepada orang lain, maka jangan diganti, meskipun ia tidak kuat
berdiri. Dan itu ada dalilnya dari Rasulullah SAW.
Jadi
semuanya akan mudah, kalau kita memang betul-betul sesuai dengan yang diajarkan
oleh Rasulullah SAW.
5.
Mempercepat langkah ketika menuju ke masjid.
Ini
tidak boleh dilakukan, karena Sabda Rasulullah SAW:
عليكم بالسكينة والوقار
“’Alaikum
bi sakinah wal waqor”.
Harus
tenang, tidak boleh terburu-buru, lari atau mempercepat langkah. Dalam Hadits
yang diriwayatkan oleh Imam Bukhoory, Imam Ahmad dan Imam Ahli Sunnah, kata
beliau Rasulullah SAW bersabda:
“Jika
shalat telah ditegakkan (dimulai), maka janganlah kalian mendatanginya (menuju
kepada shalat itu) dengan cara yang cepat atau sa’i (lari-lari kecil). Kecuali
kalau kamu berjalan dengan jalan biasa, hendaknya kalian tenang menuju ke
masjid. Apa yang kamu dapati dari imam, ikutilah. Bila kalian terlambat, maka
sempurnakanlah setelah imam salam”.
Tetapi
hendaknya jadikan kasus yang demikian itu sesekali, jangan setiap kali. Jangan
setiap shalat itu masbuq terus. Para orang-orang shoolih zaman dahulu, seperti
dikatakan oleh para ‘Ulama bahwa ada diantara mereka yang sampai 40 tahun tidak
pernah terlambat Takbirotul Ihroom bersama imam shalat. Jadi selama 40 tahun
tidak pernah telat, tidak pernah alpa, tidak pernah izin, selalu hadir bersama
imam. Itulah kualitas orang zaman dahulu, lalu bagaimana kualitas orang di
zaman sekarang?
Dalam
satu hadits, diceritakan bahwa Abu Bakrah r.a datang untuk shalat
berjama’ah dengan Rasulullah SAW dan Rasulullah SAW
sebagai imam shalat sedang ruku’. Abu Bakrah r.a masuk, baru sampai didepan
pintu langsung ikut ruku’ disitu.
Itu
karena ia menerapkan hadits tersebut diatas, bahwa apa yang dilakukan oleh
imam, lakukanlah oleh jama’ah. Ini merupakan pelajaran yang berharga. Karena
setelah kejadian itu Rasulullah SAW bersabda:
زَادَكَ اللَّهُ
حِرْصًا وَلاَ تَعُدْ
Artinya:
“Wahai
Abu Bakrah, semoga engkau ditambah rajinmu (semangatmu) oleh Allah Swt, tetapi
jangan engkau ulangi perbuatanmu seperti itu”. (Hadits Riwayat Imaam Al
Bukhoory no: 783)
Dan
itu adalah teguran yang sangat santun, tidak mencela atau mengolok-olok, tetapi
memberikan motivasi, memberikan semangat.
Dalam
Hadits yang lain, Rasulullah SAW bersabda:
إذا سمعت الإقامة
فامش على هينتك فما أدركت فصل وما فاتك فاقض
Artinya:
“Jika
kamu telah mendengar Iqomat, maka berjalanlah kamu menuju shalat, hendaknya
kalian tenang tidak usah mempercepat jalanmu, apa yang kamu dapati, shalatlah
bersama imam dan apa yang tertinggal, lengkapilah setelah imam”.(Imaam ‘Abdul
Rozzaaq dalam kitab Al Mushonnif no:3406)
Itu
adalah dalil yang jelas. Dan ketika Iqomat, boleh menggunakan speaker dan boleh
tidak menggunakannya. Karena orang yang sudah siap shalat hadir di masjid.
Karena Iqomat adalah aba-aba bahwa shalat sudah akan ditegakkan, maka cukuplah
orang yang sudah hadir itu saja yang mendengarkannya. Boleh juga menggunakan speaker
(pengeras suara), karena dalam hadits dikatakan: “Bila iqomah sudah
dikumandangkan, maka hendaknya kalian berjalan menuju shalat”.
Kalimat
“berjalan menuju shalat”, berarti ada jarak antara rumah dengan masjid.
Menunjukkan bahwa orang mendengar dari luar masjid. Maka boleh iqomat
menggunakan speaker.
6.
Tidak meluruskan shaf sebagaimana mestinya.
Sebetulnya
dalam shalat berjamaah, yang paling penting dibahas adalah tentang Shaf. Karena
di zaman Rasulullah SAW untuk mengatur shaf digunakan tongkat
atau pedang untuk meluruskan shaf. Yang diluruskan bukan kakinya, karena kaki
orang itu ada yang panjang ada yang pendek. Yang diluruskan adalah mata kaki.
Batangnya manusia adalah kaki. Itu yang harus lurus.
Ada
hadits yang tegas dari Rasulullah SAW melalui salah seorang
shohaby, bernama Nu’man Ibnu Basyir r.a, ia berkata, Rasulullah SAW
bersabda:
عن النُّعْمَانَ بْنَ بَشِيرٍ
قَالَ سَمِعْتُ رَسُولَ
اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- يَقُولُ
« لَتُسَوُّنَّ صُفُوفَكُمْ
أَوْ لَيُخَالِفَنَّ اللَّهُ
بَيْنَ وُجُوهِكُمْ
Artinya:
“Apakah
kalian akan meluruskan shaf kalian, atau Allah jadikan hati-hati kalian
berselisih satu sama lain”. (Hadits Riwayat Imaam Al Bukhoory dan Imaam
Muslim).
Ternyata
urusan fisik bersambung dengan urusan hati. dan itu benar. Orang yang terbiasa
bergaul dengan orang biasa, ketika bajunya bersentuhan dengan baju orang lain,
tidak menjadi masalah. Tetapi bagi orang yang kaya atau tidak terbiasa bergaul
antara orang kaya dan orang miskin, maka ia tidak mau berdampingan dengan orang
miskin. Tetapi dengan aturan shaf, semua harus sama dan rata, tidak pandang
bulu. Dalam sholat berjama’ah, tidak ada beda antara si kaya dan miskin, tidak
ada kalangan atas dan bawah, semua sama di hadapan Allah Swt.
Semua lurus. Kalau tidak, maka Allah Swt akan jadikan hati
orang-orang itu berselisih.
Mudah-mudahan
setelah mendengar pelajaran ini, hendaknya jangan canggung. Yang harus lurus
adalah antar mata-kaki dengan mata-kaki, betis dengan betis, bahu dengan bahu.
Itu yang diatur oleh Rasulullah SAW.
Dalam
Hadits yang lain, Rasulullah SAW bersabda:
عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ
قَالَ قَالَ رَسُولُ
اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- « سَوُّوا
صُفُوفَكُمْ فَإِنَّ
تَسْوِيَةَ الصَّفِّ
مِنْ تَمَامِ الصَّلاَةِ
“Luruskan
shaf kalian dan rapatkan, luruskan shaf dalam shalat karena lurusnya shaf juga
merupakan kesempurnaan dalam shalat berjama’ah”. (Hadits Riwayat Imaam Muslim
no: 1003)
Dalam
Hadits yang lain, Rasulullah SAW bersabda:
عَنْ أَنَسٍ عَنْ النَّبِيِّ
صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ قَالَ سَوُّوا
صُفُوفَكُمْ فَإِنَّ
تَسْوِيَةَ الصُّفُوفِ
مِنْ إِقَامَةِ الصَّلَاةِ
“Sowwu
shufufakum faa inna taswiyatash shoufi, min iqoomatishshollaah”. (Hadits
Riwayat Imaam Al Bukhory no: 724)
–
Semua nadanya sama, menunjukkan bahwa kita harus meluruskan shaf-shaf kita.
Dalam
hadits yang lain, Rasulullah SAW bersabda:
“Aku
tidak mengingkari kalian, kecuali karena kalian tidak lurus dalam shaf”.
Dan
masih banyak lagi tentang shaf, misalnya shaf laki-laki dan shaf perempuan.
Ada
lagi hadits yang membicarakan shaf pertama dan shaf bagi orang yang datang
belakangan. Ada lagi tentang shaf kanan dan shaf kiri berbeda. Dan semua itu
diterangkan oleh Rasulullah SAW.
Ringkasnya,
bagi laki-laki hendaknya segera penuhi shaf yang pertama, tidak usah ragu.
Jangan karena rasa feodalisme, lalu anak muda tidak mau mengisi shat terdepan.
Silakan siapa saja yang datang lebih dahulu, duduk di shaf paling depan.
7.
Datang ke masjid, ikut shalat berjama’ah tetapi mulutnya bau.
Itu
juga merupakan penyimpangan. Baunya bisa bermacam-macam, bisa bau petai, bau
jengkol, semuanya sama, satu nasib. Bukan karena hukumnya menjadi haram,
melainkan bau-bau petai, jengkol, itu tidak ada nash untuk haram dan halalnya,
dan sesuatu yang didiamkan bukan berarti haram, tetapi itu boleh, karena itu
urusan duniawi. Tetapi jika dikaitkan dengan shalat berjama’ah, maka Rasulullah
SAW bersabda:
عَنْ ابْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ
عَنْهُمَا أَنَّ النَّبِيَّ
صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ قَالَ فِي غَزْوَةِ
خَيْبَرَ مَنْ أَكَلَ مِنْ هَذِهِ الشَّجَرَةِ
يَعْنِي الثُّومَ
فَلَا يَقْرَبَنَّ مَسْجِدَنَا
Artinya:
“Siapa
yang selesai makan dari pohon ini, jangan dekat-dekat tempat shalat kami”.
(Hadits Riwayat Imaam Al Bukhoory dan Imaam Muslim).
Demikianlah
sabda Rasulullah SAW. Oleh karena itu, jika anda selesai
makan yang berbau (seperti: pete, jengkol, bawang), hendaknya dibersihkan,
dengan sikat gigi misalnya. Yang demikian itu tidak haram, hanya makruh menurut
syar’i. Maka hendaknya kita menjauhkan sholat berjama’ah dari hal-hal yang berbau.
Hadits,
dari ‘Abdullooh bin ‘Umar r.huma. Rasulullah SAW
bersabda:
“Siapa
yang selesai makan bawang merah, bawang putih, jangan memasuki masjid-masjid
kami”.
Dalam
riwayat lain Rasulullah SAW bersabda:
“Siapa
yang makan bawang, maka hendaknya ia menyendiri, memisahkan diri dari kami atau
memisahkan diri dari masjid kami, dan duduklah di rumahnya”.
Padahal
sholat di masjid hukumnya fardhu, menunjukkan bahwa yang demikian itu merupakan
kekurangan bagi dirinya, bahkan dosa karena tidak berjama’ah di masjid.
Dari
Anas bin Malik r.a, Rasulullah SAW
bersabda:
“Barangsiapa
yang makan pohon ini jangan mendekati kami dan jangan shalat bersama kami”
Padahal
shalat berjama’ah itu harus, tetapi karena bau maka jangan dekat-dekat Rasulullah
SAW. Jangan dekat-dekat masjid dan jangan
dekat-dekat imaamnya.
Demikianlah
Rasulullah SAW bersabda kepada kita semua, dan hadits
tersebut diriwayatkan oleh Imam Al Bukhoory.
Dan
hadits lain yang panjang dan diriwayatkan oleh Umar bin Khoththoob r.a dalam
shohiih Muslim, beliau berkata:
“Aku
melihat Rasulullah SAW, apabila menemui ada orang yang makan
makanan yang bau, lalu ia masuk ke masjid, maka oleh Rasulullah SAW orang
tersebut diusir, disuruh keluar lalu disuruhnya masuk ke kawasan kuburan Baqi’.
Lalu
kata beliau: “Kalau ada orang yang mau makan makanan seperti itu, hendaklah
dihilangkan baunya dengan cara memasaknya”.
Dari
Anas bin Malik, riwayat Al Imam Ath Thobrony, Rasulullah SAW
bersabda:
“Jauhilah
pohon ini (- maksudnya bawang merah dan bawang putih yang menimbulkan bau -).
Ini adalah sangat busuk baunya untuk kalian makan (- Maksudnya jangan dimakan
-).
Tetapi
jika kalian inginkan dua jenis makan ini, bunuhlah baunya dengan api.”.
(Maksudnya dimasak).
8.
Shalat dengan memegang mushaf Al Qur’an
Tentu
itu tidak boleh. Sering kita lihat dalam sholat Taroowih. Tetapi dalam shalat
fardhu dipastikan tidak lazim. Karena sesungguhnya perintah Rasulullah SAW:
“Apabila
kalian shalat maka hendaknya imam membaca Al Qur’an sesuai dengan apa yang
olehnya dianggap mudah”.
Jadi
jangan membaca yang susah, apalagi menyusahkan orang lain. Maka hendaknya imam
membaca apa yang ia pahami. Tentu itu meringankan dirinya dan orang lain. Dan
itu merupakan fatwa dari Syaikh ‘Abdullooh bin Jibrin, anggota ‘ulama-‘ulama
besar di Saudi Arabia bahwa yang demikian itu tidak boleh.
Kata
beliau : “Bila membaca Al Qur’an dari mushaf secara langsung, maka itu adalah
bagian dari abas, yakni sesuatu yang membuat orang lain lalai, tidak khusyu’
dan sia-sia”.
9.
Mendirikan shalat jamaah kedua, padahal imam sedang melakukan shalat berjama’ah
Jadi merupakan saingan jama’ah. Jadi itu tidak boleh. Boleh mendirikan jama’ah
dengan kaum muslimin yang lain, selama itu bukan melakukan munafasah (saingan)
terhadap imaam shalat yang pertama. Karena dengan mendirikan jama’ah saingan,
akan menimbulkan perpecahan dalam masyakat melalui shalat berjama’ah dua
gelombang.
10.
Apabila iqamat sudah dilantunkan, tidak boleh ada orang yang melakukan shalat
sunnat.
Maka
dalam masjid harus diatur, kapan adzan dan kapan iqamat. Antara adzan dan
iqamat harus ada waktu untuk memberi kesempatan kaum muslimin berwudhu,
melakukan shalat sunnat, sehingga mereka sempat melakukan shalat sunnat sebelum
shalat fardhu.
Misalnya
Shubuh, waktu Shubuh termasuk lama, oleh karena itu antara adzan dan iqamat
bisa diberikan waktu 15 – 20 menit. Setelah 20 menit barulah iqamat.
Yang
perlu diperhatikan, terutama oleh muadzin, karena muadzin menentukan sah dan
tidaknya ibadah shalat dan shaum. Oleh karena itu untuk waktu Shubuh harus
dipahami bahwa menurut para ‘ulama yang empat (4 Madzab: Maliki, Hambali,
Hanafi dan Syafi’i), menyatakan bahwa waktu Shubuh dengan diawali dengan Al
Fajruts tsaani (Fajar kedua), bukan Al Fajrul Awwal (Fajar pertama). Fajar
terjadi dua kali, yaitu fajar pertama dan fajar kedua. Fajar pertama adalah
Kadzib dan fajar kedua adalah Shoodiq (Fajar Shoodiq).
Para
‘ulama telah mendefinisikan (Ibnu Qudamah, Imam An Nawawy) mengatakan bahwa Al
Farjush shoodiq adalah Al Bayaadh, (Sinar putih), Al Mustathiil (Panjang), Al
Mustadiir(melingkar), Al Muntasyir (menyorot) fil ‘ufuqisysyarqi.
Berarti
awal waktu Shubuh itu seharusnya ketika ufuk sebelah timur sudah kelihatan
putih. Sebagai pertanda tidak lama lagi matahari akan terbit. Kalau belum
muncul warna putih, berarti belum datang waktu fajar (Shubuh). Kalau ada orang
adzan lalu shalat, maka shalatnya tidak sah. Maka bila kita ingin melakukan
shalat, biarlah tunggu sampai kira-kira 15 – 20 menit. Di zaman Rasulullah SAW
ketika orang pulang dari shalat Shubuh, orang terlihat sosok tubuhnya saja,
belum terlihat jelas wajahnya.
Demikian
pula ketika Dhuhur, sesudah adzan boleh ditunggu sampai 15 – 20 menit, kalau
itu di tempat pemukiman. Bukan di kantor. Waktu Ashar demikian pula. Waktu
Maghrib lebih pendek lagi. Selesai adzan bisa ditunggu antara 5 – 10 menit.
Harus ada waktu jeda antara adzan dan Iqamat, karena sebelum Maghrib ada shalat
sunnat.
Dalam
Hadits shoohih Rasulullah SAW bersabda:
عَنْ عَبْدِ اللَّهِ
الْمُزَنِىِّ قَالَ قَالَ رَسُولُ
اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- « صَلُّوا
قَبْلَ الْمَغْرِبِ رَكْعَتَيْنِ
». ثُمَّ قَالَ « صَلُّوا
قَبْلَ الْمَغْرِبِ رَكْعَتَيْنِ
لِمَنْ شَاءَ
Artinya:
“Shalatlah
kalian sebelum shalat Maghrib, (diulang sampai 3 kali), bagi siapa yang mau”. (Hadits
Riwayat Imaam Abu Daawud no: 1283)
Menunjukkan
bahwa sebelum shalat Maghrib ada shalat sunnat. Kalau seandainya tidak ada
kalimat “bagi siapa yang mau” dalam hadits tersebut, maka shalat sunnat sebelum
Maghrib adalah shalat Sunnat Muakad. Karena ada kalimat tersebut, maka shalat
sunnat Qabliatal Maghrib tidak Muakkad. Boleh bagi yang mau, yang tidak mau
juga tidak mengapa. Intinya ada waktu jeda antar adzan dan iqamat.
Waktu
shalat Isya’ lebih panjang, antara adzan dan iqamat bisa lebih panjang dari
lainnya, bisa 15 menit, bisa 20 menit. Bahkan bisa diundur, karena jama’ahnya
hanya itu-itu saja, maka boleh (Jaiz). Tetapi kalau ada jama’ah dari luar, maka
harus dilaksanakan sesuai dengan waktunya.
Dalam
hadits yang diriwayatkan oleh penulis kitab hadits yang enam kecuali Imam
Bukhoory, dari Abu Hurairah r.a, Rasulullah SAW
bersabda:
عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ
عَنِ النَّبِىِّ -صلى الله عليه وسلم- قَالَ « إِذَا أُقِيمَتِ
الصَّلاَةُ فَلاَ صَلاَةَ
إِلاَّ الْمَكْتُوبَةُ
Artinya:
Artinya:
“Apabila
iqamah telah ditegakkan (disuarakan), tidak ada lagi shalat sunnat”. (Hadits
Riwayat Imaam Muslim no: 1678)
Maka
ketika ada orang sedang shalat sunnat, tidak boleh iqamat, tunggu sebentar
hingga orang tersebut meyelesaikan shalat sunnatnya.
Kalau
jamaahnya terlalu banyak, sehingga sulit melihat apakah sudah selesai shalat
sunnatnya atau belum, maka gunakanlah tanda batasan waktu. Misalnya dengan
aba-aba lampu merah, tanda bahwa tidak boleh lagi shalat sunnat.
11.
Ma’mum ikut menyampaikan aba-aba (komando imam) kepada ma’mum dibelakangnya.
Misalnya
imam bertakbir “Allahu Akbar”, lalu ma’mum dibelakang ada yang menirukan imam
dengan bersuara keras “Allahu Akbar” untuk menyampaikan (aba-aba) kepada shaf
yang dibelakangnya. Maksudnya baik, tetapi yang demikian itu tidak dibenarkan,
kalau tidak dibutuhkan. Misalnya sudah ada mikrofon, dan terdengar oleh semua
jama’ah, tentunya sudah tidak dibutuhkan. Tetapi bila tiba-tiba listrik mati,
sehingga tidak terdengar oleh jama’ah yang dibelakang karena banyaknya jamaah,
maka boleh itu dilakukan oleh salah seorang ma’mum yang ada ditengah-tengah,
untuk memberikan aba-aba bagi jama’ah yang ada di belakang.
Pertanyaannya,
bolehkah ada tabligh (penyampaian) dari orang yang ada di shaf belakang imam?
Bagaimana hukumnya?
Jawabannya:
Tabligh (penyampaian) oleh orang yang di belalakang imam tanpa ada suatu
keperluan, maka hukumnya Bid’ah, tidak dianjurkan sesuai dengan kesepakatan
para Imam Ahli Sunnah. Sesuai dengan kesepatan para Imam: Rasulullah SAW dan
para Khulafaa’ur rosyidiin menjaharkan Takbir dan tidak ada yang melakukan
tabligh (penyampaian) sebelumnya. Tetapi ketika Rasulullah SAW
sakit, dan beliau melemah suaranya, maka Abubakar As Siddiq r.a,
mengeraskan suaranya sebagai mubaligh (penyampai), atas nama Rasulullah SAW.
12.
Memanjangkan Takbir (biasanya dilakukan imam shalat).
Imam
mengucapkan “Allahu Akbar” dengan nada panjang (Allooooohu Akbar). Yang
demikian itu keliru dan tidak boleh diulangi. Maka sebagai imam ia seharusnya
tahu tentang hukum-hukum tentang shalat berjama’ah, kapan ia batal, kapan ia
harus terus, bagaimana mengerti tentang kondisi ma’mum, dstnya. Dan untuk
menjadi imam shalat, perlu ilmu tertentu dan harus dipahami dengan baik. Bukan
asal-asalan.
13.
Tidak mendahulukan (menunjuk) orang yang Aqra’ (Fasih bacaannya), padahal orang
itu ada.
Biasanya
di Indonesia banyak sekali masjid yang tidak ada imam rowatib-nya. Lalu
biasanya yang ditunjuk untuk menjadi imam shalat, orang yang senior usianya.
Orang yang paling tua, misalnya. Yang muda-muda agak dikesampingkan. Yang
demikian itu tidak benar. Sebetulnya yang menjadi imam adalah orang yang Aqro’,
orang yang hafalannya banyak (Hafidz Al Qur’an), yang fasih membaca Al Qur’an,
termasuk orang faqih (tahu hukum agama). Semua itu adalah bagian dari Sunnah Rasulullah
SAW.
Hadits
dari Abu Mas’ud ‘Utbah bin Amir r.a, Rasulullah SAW
bersabda:
عن أَبَي مَسْعُودٍ
يَقُولُ قَالَ لَنَا رَسُولُ
اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- « يَؤُمُّ
الْقَوْمَ أَقْرَؤُهُمْ
لِكِتَابِ اللَّهِ
وَأَقْدَمُهُمْ قِرَاءَةً
فَإِنْ كَانَتْ قِرَاءَتُهُمْ
سَوَاءً فَلْيَؤُمَّهُمْ
أَقْدَمُهُمْ هِجْرَةً
فَإِنْ كَانُوا فِى الْهِجْرَةِ
سَوَاءً فَلْيَؤُمَّهُمْ
أَكْبَرُهُمْ سِنًّا وَلاَ تَؤُمَّنَّ
الرَّجُلَ فِى أَهْلِهِ
وَلاَ فِى سُلْطَانِهِ
وَلاَ تَجْلِسْ عَلَى تَكْرِمَتِهِ
فِى بَيْتِهِ إِلاَّ أَنْ يَأْذَنَ
لَكَ أَوْ بِإِذْنِهِ
Artinya:
“Menjadi
imam suatu kaum adalah mereka yang paling aqro’, kalau mereka sama, maka orang
yang lebih tahu dan paham tentang sunnah Rasulullah. Kalau ia sama, maka orang
yang paling dahulu hijrahnya”. (Hadits Riwayat Imaam Muslim no: 1566)
Itulah
yang tentunya merupakan aturan bagi kita semua.
Ditambah
lagi ada suatu riwayat dari Amr bin Salamah Aljurmi r.a, ia
menceritakan, “Bahwa telah datang ayahku kepada Nabi Muhammad SAW yang
bersabda: “Orang yang menjadi imam adalah orang yang paling banyak hafalan Al
Qur’annya. Aku telah datang pada suatu jama’ah yang hendak melakukan shalat,
lalu dilihatnya (dipilihnya) orang yang akan menjadi ma’mum shalat itu orang
yang paling banyak hafalan Al Qur’annya. Ternyata tidak ada, kecuali aku (Amr
bin Salamah Aljurmi). Maka akulah yang dijadikan imam shalat. Padahal ketika
itu umurku baru 6 atau 7 tahun”
Bayangkan,
anak usia 6 atau 7 tahun menjadi imam shalat. Itu karena Qiro’atul Qur’annya,
dan ia adalah termasuk shohaby, lisannya sudah ‘Arabi, dan Al Qur’an-nya sudah
fasih, dan sudah diperhitungkan oleh para sahabat yang ketika itu berkumpul.
Bukan seperti anak kita sekarang, meskipun umur 6 atau 7 tahun sudah bisa
membaca Al Qur’an, belum aqro’, jadi jangan dijadikan imam shalat.
Bahkan
menurut Imam Syafi’iy, yang dimaksud dengan Aqro’ adalah orang yang paling faqiih,
mengerti hukum Islam, mengerti yang halal dan haram, maka merekalah yang berhak
untuk dipilih menjadi imam.
14.
Ketika ada disuarakan Iqamat, sampai pada kalimat: Qodqoomatishsholaah, Qodqoomatishsholaah,
lalu orang menyahut “Aqomah Allahu wa adamaha”.
عَنْ أَبِى أُمَامَةَ
أَوْ عَنْ بَعْضِ أَصْحَابِ
النَّبِىِّ -صلى الله عليه وسلم- أَنَّ بِلاَلاً
أَخَذَ فِى الإِقَامَةِ
فَلَمَّا أَنْ قَالَ قَدْ قَامَتِ
الصَّلاَةُ قَالَ النَّبِىُّ
-صلى الله عليه وسلم- « أَقَامَهَا
اللَّهُ وَأَدَامَهَا
(Hadits
Riwayat Imaam Abu Daawud, dan di-dho’iif-kan oleh Syaikh Nashiruddin al
Albaany)
Yang
demikian itu haditsnya Dho’iif. Haditsnya lemah, diriwayatkan Imam Abu Daawud,
dari Abu Umamah r.a, tetapi hadits tersebut sesungguhnya
Dho’iif. Tidak boleh dipakai. Berarti ketika disuarakan Iqamat, tidak perlu
dijawab dengan seperti tersebut.
15.
Bersalaman kepada orang yang ada di sebelah kanan dan kiri selesai shalat.
Jabat
tangan adalah terpuji, sangat dianjurkan. Tetapi melazimkan, selalu melakukan
setelah selesai shalat, yang demikian adalah bagian daripada kekeliruan, karena
menyalahi Sunnah Rasulullah SAW.
16.
Imam saktah (diam) sebentar, begitu selesai membaca Al Fatihah; maksudnya
memberi kesempatan kepada ma’mum untuk membaca surat Al Fatihah.
Yang
demikian itu tidak dibenarkan. Seharusnya ia langsung membaca surat berikutnya.
Ketika imam diam, ada yang memahami bahwa diam tidak menjaharkan. Dia membaca
tetapi tidak manjaharkan. Tetapi di tengah-tengah surat ia menjaharkan. Yang
demikian itu juga tidak benar. Itulah pemahaman saktah yang tidak dibenarkan. Intinya
yang demikian itu tidak dibenarkan, bahkan menimbulkan Bid’ah.
Syaikh
Abdul ‘Aziz bin Baaz, pernah ditanya tentang masalah tersebut, bagaimana hukumnya
imam berhenti setelah membaca Al Fatihah, dengan maksud memberi kesempatan
kepada ma’mum untuk membaca Al Fatihah, maka jawab beliau: “Tidak ada dalil
yang shohiih mengenai ajaran diam bagi imam shalat, untuk memberikan kesempatan
ma’mum membaca surat Al Fatihah dalam shalat jahriyah.”
Adapun
ma’mum hendaknya membaca Al Fatihah dalam keadaan imam diam sejenak, jika imam
itu diam. Jika tidak sempat karena diamnya hanya sebentar, maka ma’mum membaca
Al Fatihah dengan sirr,walaupun imam membaca surat setelah surat Al Fatihah.
Kemudian setelah ma’mum selesai membaca Al Fatihah, kemudian ia hendaknya diam
mendengarkan imam. Karena ada Hadits Rasulullah SAW bersabda :
عَنْ عُبَادَةَ بْنِ الصَّامِتِ
يَبْلُغُ بِهِ النَّبِىَّ
-صلى الله عليه وسلم- « لاَ صَلاَةَ
لِمَنْ لَمْ يَقْرَأْ
بِفَاتِحَةِ الْكِتَابِ
Artinya:
“Tidak
ada shalat bagi orang yang tidak membaca surat Al Fatihah”. (Hadits Riwayat
Imaam Al Bukhoory dan Imaam Muslim)
Lalu
ada Hadits lain, Rasulullah SAW bersabda:
“Kalian
membaca apa dibelakang imam kalian?” Shohabat berkata: “Ya Rasulullah, kami
membaca sesuatu dibelakang engkau”
Sabda Rasulullah
SAW: “Jangan kalian lakukan itu, kecuali
itu surat Al Fatihah. Karena tidak ada shalat, kecuali bagi orang yang membaca
surat Al Fatihah”.
Dua
Hadits tersebut memberikan pengkhususan terhadap firman Allah Swt, dan
Hadits Rasulullah SAW, bahwa imam shalat itu wajib diikuti,
janganlah kalian menyelisihi imam, apabila imam bertakbir, maka bertakbirlah,
apabila imam membaca, maka hendaknya kalian perhatikan.
Apabila
Sesorang masbuk yang tidak sempat membaca Al Fatihah, tetapi langsung mengikuti
imam yang sedang ruku’, bagaimanakah yang demikian itu, apakah bisa dihitung
satu raka’at?
Rasulullah
SAW bersabda:
“Barangsiapa
yang menemui imam (shalat) dalam keadaan ruku’, maka ia bisa masuk langsung
ruku’ bersama imam. Dan orang tersebut telah dihukumi sebagai mendapat satu
raka’at bersama imam dalam shalatnya”.
Bolehkah
kita mempersilakan orang untuk menjadi imam padahal ia seorang perokok?
Mengenai
perokok yang menjadi imam, bahwa rokok dalam hukum syar’i berdasarkan ijtihad
para ‘ulama terhadap dalil-dalil yang ada, seperti misalnya kitab yang pernah
ditulis oleh SyaikhJamiil Zainu, mengkoleksikan dalil-dalil bahwa rokok
hukumnya haroomun, kitab khusus yang namanya Hukmut Tad-hin (Hukum merokok). Bahwa
orang yang merokok telah melakukan perbuatan yang haroom. Orang yang telah
melakukan perbuatan yang haroom kecil atau besar, haroom kecil tetapi sering,
maka ia terhukumi sebagai Fasiq. Hukum imam seorang yang fasiq adalah Shohiihah
(sah). Jadi berma’mum kepada orang yang fasiq adalah Shohihiah (sah). Namun,
apakah tidak ada orang lain yang lebih shoolih daripada orang tersebut? Hukum
shalatnya sah, tidak batal. Tetapi hendaknya dicarikan imam yang aqro’, yang
faqih danashlah, yang lebih shoolih.
Ketika
kita shalat malam (Tahajud) apakah boleh secara jahr kalau berjama’ah?
Semua
shalat malam terhukumi sebagai shalat Jahriyah. Untuk shalat Tahajud, relatif
tergantung dari kebutuhan masing-masing orang. Contohnya, ada orang seperti
Umar bin Khoththoob r.a. beliau shalat malam bisa khusyu’ bila
dijahr-kan. Maka beliau jahr-kan ketika shalat Tahajud. Sedangkan Abu Bakar As
Siddiq r.a. khusyu’ dengan cara sirri, dan ini
bukan berarti beliau seorang yang lemah. Jadi tergantung dari kebutuhan
masing-masing orang.
Tetapi,
bila shalat Tahajud secara berjamaah karena darurat al ma’mumin, maka boleh
dijahr-kan supaya ma’mum menjadi tahu kapan berhenti, kapan bergerak.
Imam
adalah pemimpin shalat. Apakah dia juga pemimpin dzikir dan doa sesudah shalat,
padahal kami ingin berdoa sendiri?
Shalat
fardhu (wajib), sesuai dengan tuntunan Nabi Muhammad SAW
adalah berjama’ah. Diluar shalat tidak ada tuntunan berjamaah. Jadi ketika
selesai shalat, maka jama’ah masing-masing. Setelah imam salam, boleh membaca
dzikir yang mana saja, mau doa yang mana, yang panjang, yang pendek, yang jelas
adalah: Dzikir adalah masing-masing dan berdoa masing-masing sesuai dengan
keperluannya, dan boleh dijahr-kan. Di-jahrkannya bukan berarti seragam
bersama-sama /serentak, jadi janganlah dikomando dalam satu komando. Setelah
selesai shalat, salam, maka semua dzikir dan doa adalah masing-masing.
Apabila
imam sedang sujud, lalu kita datang, maka kita langsung sujud atau Takbiratul
Ihroom terlebih dahulu?
Takbir
yang pertama kali dalam shalat adalah Takbiratul Ihroom. Arti Tabiratul Ihroom
adalah mengharoomkan segala gerak dan ucapan diluar tata-cara shalat. Jadi
kalau ada orang Takbir langsung sujud mengikuti imam karena masbuk, berarti ia
sudah Takbiratul Ihroom.
Apakah
iqamat dengan satu kali takbir itu salah?
Iqamat
adalah ifrod (tunggal), adzan adalah tasniah (ganda), dan redaksi (ungkapan)
yang diajarkan oleh Rasulullah SAW: Yang dimaksud dengan
tasniah misalnya Allahu Akbar – Allahu Akbar (satu kali), diulang lagi: Allahu
Akbar – Allahu Akbar (satu kali), maka itu disebut kalimah (kata), maka disebut
kalimatun thoyyibah. Jadi dalam iqomah misalnya: Hayya ‘alashsholaah adalah
kalimat (satu kata).
Ketika
adzan Shubuh kita berpatokan dengan jadwal yang ada. Tetapi saat itu belum ada
tanda-tanda fajar kedua. Lalu bagaimana hukumnya adzan itu?
Adzan
Shubuh yang berpatokan selalu pada jadwal, sebenarnya tidak benar. Karena waktu
shalat itu sudah ditentukan oleh Allah Swt, dan waktunya telah
diisyaratkan oleh Rasulullah SAW dalam hadits-haditsnya.
Misalnya waktu Shubuh adalah Fajritstsani ila tulu’isysyamsi, waktu Dzuhur
adalah Idza zaalatisysyamsu, waktu ‘Ashar idzaa shooro dzillu kulli syai-in
mistluh. Jadi setiap waktu ada batas-batasnya, Rasulullah SAW yang
mendefinisikan. Kalau Rasulullah SAW mendefinisikan, lalu orang
melanggar definisi itu, maka tidak sah. Maka sebenarnya patokan kita adalah
gejala yang Allah berikan setiap pagi setiap melalui fajar shoodiq. Selalu
terpaku pada jadwal itu tidak boleh, maka sesekali kita melihat dan
membuktikan. Karena selisih satu menit saja dengan keadaan yang sebenarnya,
maka itu bukan waktu Shubuh.
Bagaimana
hukum membaca Al Fatihah, karena diatas terungkap bahwa ada orang datang langsung
ruku’ tanpa membaca Al Fatihah sudah dianggap satu rakaat?
Kasusnya
berbeda. Seseorang yang masuk pada shalat berjama’ah sejak imam membaca
Takbiratul Ihroom, tentu ia sempat membaca surat Al Fatihah. Oleh karenanya, ia
terhukumi dengan hadits yang satu, yaitu tidaklah dianggap shalat kecuali
dengan membaca surat Al Fatihah. Shalatnya tidak sah tanpa membaca Al Fatihah.
Sedangkan kasus yang kedua, seseorang tidak sempat membaca Al Fatihah karena
begitu ia masuk dalam jama’ah shalat, imam sudah ruku’, maka ia langsung ikut
ruku’. Dan itu dihukumi sebagai satu rakaat. Karena Rasulullah SAW sudah
menjamin, siapa yang bisa ikut ruku’ bersama imam maka ia dianggap mendapat
satu rakaat.
Ada
penjelasan yang agak panjang dari Imam As Suyuuthy bahwa Bid’ahnya tentang
peringatan Tahun Baru Masehi.
Yang
mengatakannya adalah Imam As Suyuuthy dalam Kitab Al Amru bil Ittiba’, kata
beliau: “Bahwa yang banyak dilakukan orang pada musim dingin, mereka menyangka
dan mengklaim bahwa itu adalah kelahiran Nabi Isa a.s, termasuk
apa yang diperbuat pada malam hari ini berupa kemungkaran, misalnya menyalakan
api, menyediakan makanan, menyalakan lilin, dll. Menjadikan waktu kelahiran itu
menjadi musim, itu adalah ajaran Nasrani, bukan sesuatu yang ada dalam ajaran
Islam.
Semoga
bermanfaat.
Ya Allah,
apabila ilmu dan pengetahuan ini benar, maka kebenaran itu datang dari_Mu.
Ya Allah,
apabila ilmu dan pengetahuan ini salah atau keliru, maka ini karena kebodohan
kami sendiri. kami mohon ampun kepada_Mu atas kebodohan kami ini.
Ya Allah,
Sesungguhnya Engkaulah yang Maha Berilmu lagi Maha Mengetahui.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Tuliskan Komentar, Kritik dan Saran SAHABAT Disini .... !!!