Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Jika seseorang meninggal dunia, maka terputuslah amalannya kecuali tiga perkara (yaitu) : sedekah jariyah, ilmu yang bermanfaat, dan do’a anak yang sholeh” (HR. Muslim no. 1631)

Cari Berkah

Minggu, 01 Januari 2012

Mitos Tahun Baru

Waktu berjalan sesuai dengan karakteristiknya. Berlalu sesuai dengan tabiatnya yakni cepat terlewat tanpa terasa dan tidak pernah dapat kembali.
Sayangnya, oleh kebanyakan manusia selalu diidentikkan dengan meriahnya pesta pora dan kegembiraan. Mulai dari pesta kembang api dan petasan, terompet, musik, makan-makan, bergadang dan trek- trekan (balap kendaraan di jalan umum) sepanjang malam serta berbagai hiburan lainnya yang lebih sering justru berisi maksiat, bahkan dosa.

Tahun baru, sebagai mana tradisi ulang tahun, bagi mereka mungkin dianggap sebagai wujud panjang usia yang berarti pula bertambahnya kesempatan hidup. Karenanya, mereka merasa harus merayakannya semeriah dan seheboh mungkin. Padahal pada hakikatnya pertambahan tahun bukan berarti bertambahnya kesempatan hidup tetapi sebaliknya merupakan pengurangan jatah usia. Itu berarti, bertambahnya waktu sebetulnya, hanya mendekatkan kita pada titik takdir kematian.

Waktu adalah Kehidupan

Imam Hasan al-Bashri pernah berkata, "Tidaklah sebuah hari itu berlalu kecuali setiap terbit matahari ada seruan: Hai anak cucu Adam, Aku adalah ciptaan yang baru, aku menjadi saksi atas perbuatanmu, maka berbekallah dariku, karena sesungguhnya aku, jika telah berlalu, tidak akan kembali sampai datang hari kiamat nanti."


Imam Asy-Syahid Hasan Al Banna juga mengungkapkan, "Waktu adalah kehidupan. Kehidupan manusia adalah waktu yang dilaluinya dari mulai ia lahir sampai ia meninggal dunia". Karena itu, menurut Yusuf Qaradhawi, menyia-nyiakan waktu, walau hanya seperseribu detik sekalipun, sama sama halnya dengan menyia-nyiakan kehidupan. Bagi seorang muslim sedetik saja ia tidak dapat memanfaatkan waktunya maka ia akan kehilangan sebagian dari kehidupannya.

Ungkapan bijak itu masih senada dengan hikmah yang dilontarkan Imam Hasan al-Bashri ketika ia mengatakan, "Hai anak cucu adam, sesungguhnya engkau adalah kumpulan dari hari-harimu. Maka setiap kali hari itu berlalu maka berlalu juga sebagianmu."

Allah SWT dalam Al quran banyak bersumpah dengan waktu atau masa. Seperti, Demi masa dalam surat Al 'Ashr, Demi waktu fajar, Demi waktu Dhuha, Demi waktu malam dan lain-lain. Sebuah sumpah yang dinisbatkan dengan sesuatu menunjukkan bahwa sesuatu itu sangat penting. Tentunya sumpah-sumpah Allah dalam al-Quran di atas menunjukkan betapa pentingnya masalah waktu.

Dengan cara itu, Allah secara implisit memerintahkan kepada hamba-hamba-Nya untuk memperhatikan dan menggunakan waktu dengan sebaik-baiknya. Sebagaimana yang dikatakan oleh para ahli tafsir (mufasirin), bahwa tujuan Allah swt. bersumpah dengan makhluknya, adalah agar mendapatkan perhatian tentang masalah tersebut dan ditadabburi manfaat apa yang akan dihasilkan darinya.

Rasulullah SAW pun menguatkan dengan bersabda: "Tidak akan lewat tapak kaki seorang hamba pada hari kiamat, kecuali setelah ditanya empat perkara yakni tentang jatah umurnya yang ia habiskan di dunia, masa mudanya yang telah ia lewatkan, hartanya dari mana didapatkan dan bagaimana dikeluarkan, tentang ilmunya sejauhmana ia amalkan." (HR. al Bazzar dan at Thabrani).

Dalam riwayat lain Nabi SAW bersabda: "Seorang yang memiliki akal sehat akan membagi waktunya menjadi empat bagian yakni waktu ketika ia bermunajat kepada Rabbnya, waktu ia berintrospeksi, waktu mentafakkuri ciptaan Allah Swt, dan waktu ia makan dan minum."

Seorang muslim sejati, ketika ia memulai harinya, akan membukanya dengan shalat dan ketika ia mengakhirinya akan ia tutup dengan shalat pula. Ia membukanya dengan shalat subuh dan menutupnya dengan shalat Isya. Tidak ada sedikitpun waktunya terbuang untuk hal-hal yang tidak bermanfaat karena ia sadar waktu yang dilaluinya kelak akan dipertanggungjawabkan di akhirat nanti.
Karenanya amat disayangkan, ummat Islam saat ini banyak yang tertipu oleh pergantian waktu berupa datangnya tahun baru dengan turut memperingatinya dengan cara-cara yang justru bertentangan dengan jati diri kemuslimannya.
Dengan bertambahnya tahun, secara angka usia seorang manusia memang bertambah. Tapi secara jatah umur, sebetulnya kesempatan hidupnya makin berkurang. Kalau jatah usianya 60 tahun dan pada tahun 2001 usianya mencapai 55 tahun, maka ia hanya mempunyai sisa hidup di dunia tinggal 5 tahun lagi. Sebegitulah sisa kesempatan yang dia miliki untuk mempersiapkan diri menghadap Allah kelak. Apakah akan dia gunakan untuk beribadah kepada Allah atau justru bermaksiat kepada-Nya. (QS. Al-Insyiqaq, 84:6).

Dengan demikian, pergantian tahun bagi seorang muslim merupakan momentum untuk bermuhasabah dan merencanakan masa depan selanjutnya layaknya seorang akuntan dalam sebuah perusahaan yang menghitung untung rugi perusahaannya selama satu tahun.
Namun demikian bagi seorang muslim bermuhasabah tidak harus menunggu selama satu tahun karena sesuai dengan substansi akidahnya ia akan berusaha untuk bermuhasabah setiap hari dan setiap saat. Umar bin Khattab berkata, "Hisablah diri-diri kalian sebelum kalian dihisab."
Bila telah datang waktu malam Umar RA selalu bertanya, "Apa yang telah aku kerjakan pada hari ini." Dan ia menjadikan kebiasaan itu sebagai muhasabah hariannya. Tidak hanya memuhasabahi amalannya akan tetapi juga merencanakan masa depannya.

Masa depan ini pun, bagi seorang muslim yang paling hakiki adalah kehidupan di akhirat. Masa depan duniawi yang juga harus menjadi cita-citanya hanyalah perantara yang harus dimanfaatkan untuk kepentingan akhirat.
Dalam menyikapi waktu, Yusuf Qaradhawi menasehatkan tiga hal. Pertama, memandang masa lalu sebagai bahan introspeksi sebagaimana firman Allah SWT, "Sesungguhnya telah berlalu sebelum kamu sunnah-sunnah Allah, karena itu berjalanlah di muka bumi dan perhatikanlah bagaimana akibat orang-orang yang mendustakan (rasul-rasul)." (QS. Ali Imran: 137).
Kedua, merencanakan masa depan. Di antara karakteristik masa depan adalah ghaib dan terjadi dengan tiba-tiba walaupun orang-orang mengira kejadiannya akan terjadi beberapa tahun lagi. Firman Allah swt. "Hai orang-orang yang beriman bertakwalah kepada Allah dan hendaklah setiap diri memperhatikan apa yag telah diperbuatnya untuk hari esok." (QS. Al Hasyr:18).

Ketiga, lebih memaksimalkan diri pada masa sekarang atau yang sedang terjadi, Rasulullah saw. bersabda: "Seandainya akan tiba hari kiamat dan di tangan kalian terdapat bibit korma, maka bila kamu sanggup sebelum datangnya kiamat untuk menanamnya maka tanamlah."
Artinya dalam beramal sholeh setiap muslim harus maksimal dalam menuntaskan pekerjaannya. Ia juga harus senantiasa optimis karena setiap amalnya itu akan mendapatkan balasan kebaikan dari Allah. Sekalipun menurut hitungan manusiawi hasil pekerjaannya akan hancur lantaran sebentar lagi akan datang kiamat, minimal ia sudah mendapatkan kebaikan lantaran telah memanfaatkan waktu untuk berbuat baik. Wallahu a'lam.


Terima kasih, admin haturkan kepada M. Suharsono, Lc yang telah mengirimkan artikel ini untuk dipublikasikan di blog ruang.berkah ini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Tuliskan Komentar, Kritik dan Saran SAHABAT Disini .... !!!