Waktu berjalan
sesuai dengan karakteristiknya. Berlalu sesuai dengan tabiatnya yakni cepat
terlewat tanpa terasa dan tidak pernah dapat kembali.
Sayangnya, oleh
kebanyakan manusia selalu diidentikkan dengan meriahnya pesta pora dan kegembiraan.
Mulai dari pesta kembang api dan petasan, terompet, musik, makan-makan,
bergadang dan trek- trekan (balap
kendaraan di jalan umum) sepanjang malam serta berbagai hiburan lainnya yang
lebih sering justru berisi maksiat, bahkan dosa.
Tahun baru, sebagai
mana tradisi ulang tahun, bagi mereka mungkin dianggap sebagai wujud panjang
usia yang berarti pula bertambahnya kesempatan hidup. Karenanya, mereka merasa
harus merayakannya semeriah dan seheboh mungkin. Padahal pada hakikatnya
pertambahan tahun bukan berarti bertambahnya kesempatan hidup tetapi sebaliknya
merupakan pengurangan jatah usia. Itu berarti, bertambahnya waktu sebetulnya,
hanya mendekatkan kita pada titik takdir kematian.
Waktu adalah Kehidupan
Imam Hasan
al-Bashri pernah berkata, "Tidaklah sebuah hari itu berlalu kecuali setiap
terbit matahari ada seruan: Hai anak cucu Adam, Aku adalah ciptaan yang baru,
aku menjadi saksi atas perbuatanmu, maka berbekallah dariku, karena
sesungguhnya aku, jika telah berlalu, tidak akan kembali sampai datang hari
kiamat nanti."
Imam
Asy-Syahid Hasan Al Banna juga mengungkapkan, "Waktu adalah kehidupan.
Kehidupan manusia adalah waktu yang dilaluinya dari mulai ia lahir sampai ia
meninggal dunia". Karena itu, menurut Yusuf Qaradhawi, menyia-nyiakan
waktu, walau hanya seperseribu detik sekalipun, sama sama halnya dengan
menyia-nyiakan kehidupan. Bagi seorang muslim sedetik saja ia tidak dapat
memanfaatkan waktunya maka ia akan kehilangan sebagian dari kehidupannya.
Ungkapan bijak
itu masih senada dengan hikmah yang dilontarkan Imam Hasan al-Bashri ketika ia
mengatakan, "Hai anak cucu adam, sesungguhnya engkau adalah kumpulan dari
hari-harimu. Maka setiap kali hari itu berlalu maka berlalu juga
sebagianmu."
Allah SWT
dalam Al quran banyak bersumpah dengan waktu atau masa. Seperti, Demi masa
dalam surat Al 'Ashr, Demi waktu fajar, Demi waktu Dhuha, Demi waktu malam dan
lain-lain. Sebuah sumpah yang dinisbatkan dengan sesuatu menunjukkan bahwa
sesuatu itu sangat penting. Tentunya sumpah-sumpah Allah dalam al-Quran di atas
menunjukkan betapa pentingnya masalah waktu.
Dengan cara
itu, Allah secara implisit memerintahkan kepada hamba-hamba-Nya untuk
memperhatikan dan menggunakan waktu dengan sebaik-baiknya. Sebagaimana yang
dikatakan oleh para ahli tafsir (mufasirin), bahwa tujuan Allah swt. bersumpah
dengan makhluknya, adalah agar mendapatkan perhatian tentang masalah tersebut
dan ditadabburi manfaat apa yang akan dihasilkan darinya.
Rasulullah SAW
pun menguatkan dengan bersabda: "Tidak akan lewat tapak kaki seorang hamba
pada hari kiamat, kecuali setelah ditanya empat perkara yakni tentang jatah
umurnya yang ia habiskan di dunia, masa mudanya yang telah ia lewatkan,
hartanya dari mana didapatkan dan bagaimana dikeluarkan, tentang ilmunya
sejauhmana ia amalkan." (HR. al Bazzar dan at Thabrani).
Dalam riwayat
lain Nabi SAW bersabda: "Seorang yang memiliki akal sehat akan membagi
waktunya menjadi empat bagian yakni waktu ketika ia bermunajat kepada Rabbnya,
waktu ia berintrospeksi, waktu mentafakkuri ciptaan Allah Swt, dan waktu ia
makan dan minum."
Seorang muslim
sejati, ketika ia memulai harinya, akan membukanya dengan shalat dan ketika ia
mengakhirinya akan ia tutup dengan shalat pula. Ia membukanya dengan shalat
subuh dan menutupnya dengan shalat Isya. Tidak ada sedikitpun waktunya terbuang
untuk hal-hal yang tidak bermanfaat karena ia sadar waktu yang dilaluinya kelak
akan dipertanggungjawabkan di akhirat nanti.
Karenanya amat
disayangkan, ummat Islam saat ini banyak yang tertipu oleh pergantian waktu
berupa datangnya tahun baru dengan turut memperingatinya dengan cara-cara yang
justru bertentangan dengan jati diri kemuslimannya.
Dengan
bertambahnya tahun, secara angka usia seorang manusia memang bertambah. Tapi
secara jatah umur, sebetulnya kesempatan hidupnya makin berkurang. Kalau jatah
usianya 60 tahun dan pada tahun 2001 usianya mencapai 55 tahun, maka ia hanya
mempunyai sisa hidup di dunia tinggal 5 tahun lagi. Sebegitulah sisa kesempatan
yang dia miliki untuk mempersiapkan diri menghadap Allah kelak. Apakah akan dia
gunakan untuk beribadah kepada Allah atau justru bermaksiat kepada-Nya. (QS.
Al-Insyiqaq, 84:6).
Dengan
demikian, pergantian tahun bagi seorang muslim merupakan momentum untuk
bermuhasabah dan merencanakan masa depan selanjutnya layaknya seorang akuntan
dalam sebuah perusahaan yang menghitung untung rugi perusahaannya selama satu
tahun.
Namun demikian
bagi seorang muslim bermuhasabah tidak harus menunggu selama satu tahun karena
sesuai dengan substansi akidahnya ia akan berusaha untuk bermuhasabah setiap
hari dan setiap saat. Umar bin Khattab berkata, "Hisablah diri-diri kalian
sebelum kalian dihisab."
Bila telah
datang waktu malam Umar RA selalu bertanya, "Apa yang telah aku kerjakan
pada hari ini." Dan ia menjadikan kebiasaan itu sebagai muhasabah
hariannya. Tidak hanya memuhasabahi amalannya akan tetapi juga merencanakan
masa depannya.
Masa depan ini
pun, bagi seorang muslim yang paling hakiki adalah kehidupan di akhirat. Masa
depan duniawi yang juga harus menjadi cita-citanya hanyalah perantara yang
harus dimanfaatkan untuk kepentingan akhirat.
Dalam
menyikapi waktu, Yusuf Qaradhawi menasehatkan tiga hal. Pertama, memandang masa
lalu sebagai bahan introspeksi sebagaimana firman Allah SWT, "Sesungguhnya telah berlalu sebelum
kamu sunnah-sunnah Allah, karena itu berjalanlah di muka bumi dan perhatikanlah
bagaimana akibat orang-orang yang mendustakan (rasul-rasul)." (QS. Ali
Imran: 137).
Kedua,
merencanakan masa depan. Di antara karakteristik masa depan adalah ghaib dan
terjadi dengan tiba-tiba walaupun orang-orang mengira kejadiannya akan terjadi
beberapa tahun lagi. Firman Allah swt. "Hai
orang-orang yang beriman bertakwalah kepada Allah dan hendaklah setiap diri
memperhatikan apa yag telah diperbuatnya untuk hari esok." (QS. Al
Hasyr:18).
Ketiga, lebih
memaksimalkan diri pada masa sekarang atau yang sedang terjadi, Rasulullah saw.
bersabda: "Seandainya akan tiba hari kiamat dan di tangan kalian terdapat
bibit korma, maka bila kamu sanggup sebelum datangnya kiamat untuk menanamnya
maka tanamlah."
Artinya dalam
beramal sholeh setiap muslim harus maksimal dalam menuntaskan pekerjaannya. Ia
juga harus senantiasa optimis karena setiap amalnya itu akan mendapatkan
balasan kebaikan dari Allah. Sekalipun menurut hitungan manusiawi hasil
pekerjaannya akan hancur lantaran sebentar lagi akan datang kiamat, minimal ia
sudah mendapatkan kebaikan lantaran telah memanfaatkan waktu untuk berbuat
baik. Wallahu a'lam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Tuliskan Komentar, Kritik dan Saran SAHABAT Disini .... !!!