Sampai saat ini masih ada public image bahwa Islamic learning identik dengan kejumudan, kemandegan serta
kemunduran. Kesan ini didasarkan pada kenyataan bahwa dewasa ini
mayoritas umat Islam hidup di negara-negara dunia ketiga dalam serba
keterbelakangan ekonomi dan pendidikan. Lebih
tragis lagi adalah berkembangnya cara berfikir serba dikotomis dan hitam putih
sebagian besar umat Islam seperti Islam vis-a-vis
non-Islam, Timur-Barat, dan ilmu-ilmu agama
versus secular sciences.
Pola berfikir semacam ini biasanya sangat dipengaruhi oleh anggapan bahwa sains dan tehnologi tinggi yang merupakan lambang kemajuan budaya dan peradaban bangsa dewasa ini tumbuh dan berkembang di dunia Barat yang notabene negera non-Muslim. Akibat pemahaman semacan ini, penjajahan Barat atas Timur semakin menguat. Dominasi Barat dalam pelbagai hal seperti sains dan tehnologi moderen, informasi, ekonomi dan kultur makin menyisihkan umat Islam yang berada dalam kedalaman inferior complex. Umat Islam tidak hanya didikte oleh hegemoni Barat, tapi lebih parah lagi mereka kehilangan jati diri dan penghargaan diri ( self-identity and self-esteem), sebagai akibat dari kemunduran ekonomi, politik, pendidikan dan kebudayaan yang berkepanjangan. Konsekuensi logis dari situasi ini adalah proses marginalisasi umat Islam semakin menjadi-jadi (the marginalization of Islamic world continues).
Lahirnya ide yang masih diperdebatkan
tentang Islamisasi pengetahuan yang pada awalnya dilancarkan oleh al-Marhum Professor Ismail
Faruqi (Temple University AS) sejak tahun l970-an, pada dasarnya dimotivasi
oleh kenyataan kemunduran ini dan kerinduan akan revitalisasi potensi umat
Islam sebagaimana yang terjadi di masa silam. Konkritnya krisis tersebut
disebabkan oleh:
1.
The backwardness of the Ummah (kemunduran
umat)
2.
The weakness of the Ummah
(kelemahan umat)
3.
The intellectual stagnation of the Ummah (stagnasi pemikiran umat)
4.
The absence of ijtihad in the Ummah
(absennya ijtihad umat)
5.
The absence of cultural progress in the Ummah (absennya kemajuan kultural umat)
6.
The Ummah's losing touch with the basic norms of Islamic civilization
[1] (tercabutnya umat dari
norma-norma dasar peradaban Islam).
Poin-poin di atas
pada dasarnya menunjukkan krisis intelektual dalam dunia Islam yang
berlarut-larut. Tidak diragukan lagi bahwa krisis adalah penyebab sekaligus
bukti dekadensi dan melempemnya umat, yang sekaligus menghambat mereka untuk
mengejar ketertinggalan kultural dan peradaban dunia moderen. Kelesuan ini
bahkan sering diperburuk dengan krisis politik, ekonomi, dan militer.
Menarik disimak kembali bahwa pada
puncak kemajuan peradaban Islam empat abad pertama sejak munculnya agama ini (7
s/d 11 M.), tidak ditemukan dikotomi antara ilmu agama dan ilmu-ilmu umum.
Pengaruh perdana Yunani Kuno, First wave
of Hellenism (meminjam istilah Montgomery Watt: 1973) tidak pernah disambut
dengan antagonisme dalam empat abad pertama peradaban Islam. Tapi setelah symptom dikotomi menimpa umat Islam di
abad 12, perkembangan berikutnya adalah orientasi umat Islam yang lebih puas
kepada pendalaman ilmu agama dengan
supremasi fiqh tanpa diimbangi dengan cabang-cabang ilmu lain yang luas
sebagaimana prestasi mengesankan yang pernah diraih di masa-masa sebelumnya. Di
sinilah terlihat secara jelas bagaimana kemunduran peradaban (cultural decline), mulai
menghinggapi dunia Islam. Tokoh pemikir
Islam abad tersebut, al-Ghazali (meninggal 1111 M.), mengkategorikan sains dan
tehnologi sebagai fardlu kifayah bagi
Muslim untuk menguasainya. Al-Ghazali menilainya sebagai bagian dari `ulum almahmudah (ilmu-ilmu yang
terpuja).
Kenyataan yang berkembang dalam
masyarakat pada masa-masa berikutnya adalah kecendrungan menjauhi atau bahkan
alergi terhadap ilmu fardlu kifayah
ini. Sebagai tonggak sejarah Madrasah Nidzamiyyah, tempat al-Ghazali mengajar
selama 25 tahun dan merupakan model Madrasah klasik di abad 1l yang sangat
populer, terbukti tidak menawarkan ilmu-ilmu non-agama sama sekali. Model
madrasah ini juga diiukti oleh madrasah-madrasah lain di masa mendatang di
bawah pemerintahan Mamluk dan Usmaniyyah. [2] Dengan demikian dikotomi yang
berkembang dan masih terasa hingga kini di dunia Islam pada dasarnya bisa
dilacak akar historisnya. Asumsi umum bahwa dikotomi dalam Islamic learning hanyalah produk penjajajah atau pengaruh
sekularisme dunia pendidikan Barat agaknya cukup terlambat dan ahistoris.
Penderitaan umat Islam Indonesia yang
diakibatkan oleh berkembangnya pola fikir di atas ternyata tidak jauh berbeda.
Istilah santri versus non-santri, modernis
versus tradisionalis di Indonesia sudah demikian menguat. Sampai dekade 80-an
masih terasa ada kesan bahwa santri adalah mereka yang mendalami ilmu agama,
sedangkan yang belajar ilmu-ilmu “sekuler” adalah mereka yang notabene
non-santri. Bahkan dalam masyarakat tertentu sampai saat ini dikotomi
ini masih menajam.
Secara
teoritis, ajaran dasar Islam tidak memberikan tempat pada pola fikir dikotomis
dalam pendidikan dan keilmuan Islam. Kecenderungan pemikiran polarisasi dengan demikian lebih merupakan mainstream historis yang dibatasi oleh ruang dan waktu. Sedangkan
kebenaran, misi, serta substansi ajaran Islam yang universal, rahmatan lil alamin, tentu tidak mengenal sekat-sekat kekinian dan
kedisinian.
Dari konsep pendidikan Ibnu Hazm
(meninggal 1064 M.), bisa diketahui bahwa pendidikan Islam ternyata tidak
mengenal dikotomisasi antara ilmu agama di satu sisi dan sains di sisi lain.
Tokoh Spain ini menekankan peran penting orang tua dan guru dalam
memperkenalkan ilmu-ilmu dasar Islam (al-Qur’an, Tauhid, Syari`ah Islam) pada
anak sejak usia lima tahun sebagai landasan utama dan kemudian diikuti dengan
ilmu alam, matematika, ilmu bumi, sejarah dan sebagainya sesuai dengan
perkembangan usia dan minat anak. Kesemuanya ini tentu masih berada dalam konteks
pengagungan Ilahi, pencipta alam
semesta. Belajar sejarah misalnya adalah dalam rangka memperkuat keimanan pada
Allah dan mengenang kebesaran bangsa-bangsa di masa lalu sebagaimana yang
dituturkan dalam al-Qur’an, bukan untuk membohongi mereka yang tidak belajar
sejarah, atau membusungkan dada sebagai “sejarawan.”
Evidensi sejarah yang menunjukkan
absennya dikotomi sebagaimana pandangan Ibnu Hazm adalah ilmu-ilmu yang
berkembang pesat dan tertuang dalam hasil penulisan kitab klasik selama empat
abad pertama sebagaimana hasil penelitian Bayard Dodge, ahli sejarah pendidikan
Islam, yang meliputi grammar, hadis (sirah, genealogy), jurisprudence,
translation of science and philosophy, teologi dan tasawwuf (mysticism), science dan philosophy termasuk kedokteran, sejarah dan geografi, matematika, amusement
/ hiburan, syair (poetry), sastra,
tafsir, akhlak, politik, kemasyarakatan dan pemerintahan. [3]
Yang patut dicatat di sini adalah adanya kecenderungan
lintas disiplin, interdisipliner di antara para ulama dan ilmuwan. Dalam
komunitas interdisipliner ini tumbuh dinamika intelektual dan kehidupan
akademis yang berstandar tinggi seperti saling mengomentari karya satu sama
lain baik berupa kritik maupun sanjungan. Meskipun para ilmuwan, ulama
memperkaya diri dengan “ilmu-ilmu sosial” khususnya sejarah, mereka masih
menunjukkan spesialisasi dan profesinya secara jelas. Sebagai contoh adalah
al-Mas`udi (meninggal 956), penulis buku kenamaan Muruj al-Dahab, terkenal
ahli filsafat, musafir keliling dunia, geographer, tapi beliau tetap dikenang
spesialisasinya sebagai sejarawan,
historiografer.
Kondisi Umat Islam Indonesia
Sangat memilukan bahwa masyarakat Indonesia yang relijius
dewasa ini sedang terpuruk dalam himpitan krisis dan terbelakang dalam pelbagai
aspek kehidupan. Laporan pengamat asing satu dekade yang lalu tentang Indonesia
yang penuh dengan the lousy work ethics [4] and serious corruption (etos kerja yang payah dan korupsi yang nemen) ternyata kini tidak bisa digugat
lagi. Krisis ekonomi yang kemudian menjadi krisis politik, diyakini bersumber
dari krisis moral. Pembangunan nasional yang selama ini berorientasi pada
pertumbuhan ekonomi dan terciptanya stabilitas nasional terbukti telah
meruntuhkan sendi-sendi moral dan etik yang seharusnya melandasi seluruh
praktek politik dan ekonomi bangsa ini. Kenyataan ini sudah sewajarnya dibaca
sebagai kegagalan pembangunan di bidang agama. Agama yang seharusnya memberikan
sumbangan terbesar dalam pembentukan budaya dan moralitas luhur bangsa tidak
mampu memberikan landasan etis bagi penciptaan manusia Indonesia yang berbudi
luhur atau akhlaqul karimah. Salah
satu inti sikap budi luhur adalah amanah
atau trust
yang agaknya selama ini masih jauh dalam kehidupan sehari-hari. Ajaran
agama sementara ini sering dipisahkan dari kepedulian sosial dan lingkungan.
Sebagai konsekuensi logis muncullah dikotomi wahyu dengan alam, wahyu dan akal, serta antara wahyu dan
realitas sosial. Dikotomi yang pertama telah menyebabkan kemiskinan penelitian
empiris dalam pendidikan agama serta jauhnya apresiasi kaum agamawan terhadap
alam Indah Indonesia, samudra nang cantik, dan dikotomi kedua telah
melanggengkan wajah keberagamaan yang
monotonik. Sedangkan dikotomi yang ketiga telah mengabsahkan sikap
keberagamaan yang lebih mementingkan kesalihan pribadi dari kesalehan sosial.
Kontrol sosial demikian melemah dalam
sosio-relijus budaya kita karena kaum elit agama terlalu menyatu dengan
kekuasaan serta umat sudah terbiasa dalam iklim ketidak jelasan dan budaya
pasif. Social control
yang lemah pada dasarnya juga diakibatkan oleh ketidak seimbangan pemahaman
ajaran hablum minallah (in bond with God) dan hablum minannas (in bond with people). Karena ajaran yang
terakhir tidak populer maka masyarakat kita sudah terkondisi dalam tradisi dan
suasana yang membiarkan korupsi melembaga. Penyebab korupsi total ini di
antaranya disebabkan pemahaman dan penghayatan agama yang lebih mementingkan
seremoni di atas substansi, ritual di
atas kekhusyukan pribadi, serta kesalehan pribadi di atas kesalehan sosial dan
kelaparan rakyat. Dengan kata lain masih tampak jelas fenomena keberagamaan
yang sering memilah-milah kehidupan beragama, bermasyarakat, berbangsa,
serta berekonomi.
Jika
kita menemukan kenyataan tradisi menghormati berbeda pendapat yang merupakan
salah satu tiang demokrasi, lemah dalam dunia Islam khususnya di Indonesia,
barangkali hal ini tidak bisa dipisahkan dari suburnya ajaran taqlid (irrational appeal: dalam bahasa ilmiah),
fanatisme dalam budaya kita, serta kolonialisme Belanda yang sangat lama. Perlu kita
renungkan mengapa demokrasi ternyata lebih mulus berjalan di Filipina,
Thailand, dan Malaysia yang memiliki
mantan penjajah non-Belanda. Melihat kenyataan ini kita harus memutar arus
untuk mengembangkan tradisi menghormati dan mencari hikmah beda pendapat
yang dilandasi dengan moral agama.
Menarik untuk disimak bahwa dalam al-Qur'an tidak kurang dari 170 kali kata sami`a disebutkan dengan berbagai macam
bentuk dan substansinya.
Berbagai masalah sosial budaya dan
keagamaan yang terjadi semakin memperjelas dan meyakinkan kita bahwa masalah
kemerosotan moral dan kemiskinan adalah masalah kita bersama. Budaya bangsa kita disamping memiliki
unsur-unsur positif harus diakui juga mengandung unsur-unsur negatif. Mental
agraris telah mewarnai mentalitas manusia Indonesia. Cara pandang agraris
mencerminkan sikap statis, tidak produktif karena pasrah pada siklus waktu.
Melihat kondisi ini, culture of poverty
[5] (kultur miskin) yang masih menjadi
ajang perdebatan para sosiolog, bisa jadi sah-sah saja dialamatkan ke bangsa
kita. Hal-hal tersebut mengundang pemikiran mendalam untuk menata kembali
kehidupan beragama yang lebih menyejukkan, santun, damai, dan peduli terhadap
masalah-masalah sosial. Sebagai refleksi akhir dalam tulisan ini, beberapa poin perlu ditawarkan:
Perlunya peningkatkan kualitas
keimanan dan ketakwaan aktif kepada Tuhan Yang
Maha Esa dengan memperdalam pemahaman dan kesadaran beragama yang
seimbang antara hablum minallah dan hablum minannas. Di sinilah perlunya
mengaktifkan nilai-nilai pasif keberagamaan atau passive value system ke aktif dan dinamis. Ajaran sabar misalnya,
selama ini lebih banyak difahami sebagai aspek nerimo-pasrah akomodatif dalam menerima musibah. Sabar perlu diterjemahkan sebagai loyal to the standard principles. Yakni
konsisten dengan prinsip-prinsip standar yang harus dijunjung tinggi oleh
pribadi, masyarakat, dan pemerintah.
Perlunya
keberagamaan yang memihak wong cilik dengan
tetap berbuat adil kepada yang kuat. Ini adalah upaya demokratisasi dalam
bidang politik dan sosial budaya yang
harus dikembangkan karena kontrol sosial demikian melemah. Di sini barangkali
dibutuhkan pengembangan teologi pembebasan dalam setiap agama. liberation, empowerment, dan
intellectualization yang mengarah pada kecendrungan "melek" dan
kritis dalam masyarakat agama perlu ditegakkan secara kontinyu, konsisten, dan
proporsional.
Perlunya
dikembangkan budaya mengapresiaisi dan mendengarkan orang dan kelompok lain
secara empatik. Sejalan dengan poin ini adalah perlunya peningkatkan kualitas
kerukunan antar umat beragama melalui dialog intensif alami, bukan seremonial
dan bukan dipaksakan, antar lembaga agama dan perlunya pengembangan teologi
yang inklusif.
Perlunya
keteladanan dan kerjasama tokoh masyarakat, LSM, pemuka agama, ulama,
cendikiawan, budayawan, dan pemerintah dalam menangani masalah-masalah sosial.
Silaturrahim secara fungsional, bukan seremonial diantara tokoh-tokoh yang
difollow-upi dengan social action
secara sistemik akan meringankan beban umat yang semakin hari semakin berat.
Akhirnya
tolok ukur keberhasilan pembinaan agama di sini bukan lagi diukur dari dari
jumlah angka-angka tapi lebih dari sisi kualitas keberagamaan (relijiusitas)
seseorang, kelompok, masyarakat, dan bangsa. Sejauh mana agama menjadi penggerak
utama (prime-mover) dinamika
kehidupan bermasyarakat dan berbangsa dan sejauh mana agama memberi response dan solusi positif terhadap
permasalahan-permasalahan sosial seperti kemiskinan, krisis moral, korupsi,
kolusi, ketidakadilan, dan lain-lain. Agama tidak akan lagi dijadikan sebagai
alat legitimasi untuk pembangunan di satu pihak, dengan melupakan
penyakit-penyakit pembangunan, dan perubahan sosial yang lebih esensial di sisi
lain.
Catatan
Kaki:
[1]Lihat
Abdul Hamid Abu Sulayman, "Islamization of Knowledge with Special
Reference to Political Science," dalam American Journal of Islamic social
Sciences, vol. 2, no. 2, December l985, hal. 263.
[2]
Kajian mendalam tentang Madrasah Nizamiyyah bisa dilihat dalam Abdurrahman
Mas`ud, “The Nizamiyya Madrasa as a Model of Traditional Institution in the
Medieval Period of Islam.”
[3]
Bayard Dodge, “The Subjects and Titles of Book Written During the First Four
Centuries of Islam.” Islamic Culture, October 1954, hal. 525-540.
[4]
Yang dimaksudkan etika di sini adalah systematic code of moral principles
(serangkaian peraturan sistematis tentang prinsip-prinsip moral).
[5]
Istilah yang digunakan pertama kali oleh Oscar Lewis (1961) ini menekankan
fatalisme sebagai ciri utama masyarakat ini. Sosiolog tersebut berargumen bahwa
cycle of deprivation (lingkaran kefakiran) terus berlangsung dalam masyarakat
ini hingga anak-anak dalam lingkungan ini mampu menyesuaikan diri dengan
nilai-nilai dan sikap-sikap untuk menjadi manusia miskin. Meskipun demikian
argumen ini oleh para sosiolog dianggap lemah dan banyak dibantah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Tuliskan Komentar, Kritik dan Saran SAHABAT Disini .... !!!