“Tetaplah
menjadi dirimu sobat”. Baru saja kuletakkan gagang telepon setelah menghubungi
seorang sahabat untuk sesuatu hal. Entah, rasanya Allah menuntun tangan ini
untuk menekan tombol-tombol nomornya. Dan puji syukur, hari ini aku mendapatkan
satu nasihat yang sangat berharga dalam hidupku.
Sebagai manusia, terkadang kita tidak sekuat yang
kita banggakan, tak pernah sehebat prasangka sendiri, tak pernah setangguh
bayang-bayang idealisme. Karena justru pada saat kebanggaan, prasangka diri dan
bayangan kehebatan itu menjadi tameng dalam menjalani kehidupan, sesungguhnya,
semua itu adalah tameng yang semu, yang tak pernah sanggup menahan sebutir debu
pun untuk mengelabui mata ini, yang tak pernah bisa mencegah sehelai duri halus
menembus kulit kaki kita yang terus melangkah. Adalah manusia yang sombong,
yang tak pernah mengharapkan seorang sahabat sejati mengiringi setiap
langkahnya, meski hanya dalam do’a.
Kita bukan malaikat yang tak pernah bisa
tersentuh kemaksiatan, yang tak mungkin berbuat dosa karena ia memang terbuat
dari dzat yang jauh dari kegelapan. Sedangkan kemaksiatan dan dosa, lebih
banyak dari sudut yang gelap yang seringkali tak tertangkap mata kehadirannya,
setidaknya oleh mata hati yang lengah. Kita bukan Rasul yang Allah beserta para
malaikat setia mendampingi dan menjaga dari jalan yang salah. Dan yang pasti,
kita bukanlah syaitan yang dengan izin Allah, ia senantiasa melakukan
perbuatan-perbuatan yang mengabadikannya di neraka. Namun demikian, meski sebagai
manusia, kita juga bisa bercahaya dan saling menerangi sesama, jika kita saling
menasihati, saling menegur jika mendapati yang salah. Meski hanya seorang
manusia biasa, kita juga punya Allah dan para malaikat yang senantiasa
memperhatikan dan melindungi kita, jika kita menginginkannya.
Tangan-tangan Allah, sentuhan para malaikat, bisa
jadi tak secara langsung kita rasakan seperti saat Dia membantu para Rasul-Nya
mengemban missi dakwah. Dalam perjalanan mengarungi hidup, bukan tak mungkin
salah, khilaf menyebabkan diri ini tergelincir bahkan terjerumus pada lubang
yang dalam. Yang bahkan teramat sulit untuk kembali. Berjalan sendiri, bukan
tak boleh, namun saat semakin derasnya hujan dan angin yang bertiup, bukankah
kehadiran seorang sahabat dapat lebih membantu memegangi payung yang nyaris
terbawa angin? Bertahan dalam badai topan maupun banjir bersama seorang teman,
pasti lebih memberikan kekuatan dan kesabaran dari kesendirian. Bahkan sekedar
untuk mencabut uban di kepala, kita membutuhkan bantuan orang lain.
Lalu, masih sombongkah kita untuk bersikeras
berjalan sendiri tanpa menghiraukan seruan-seruan dari orang lain? Masih
egoiskah diri ini untuk yakin tetap selamat tanpa mempedulikan nasihat-nasihat
dari siapapun? Percayalah, dari manapun datangnya, jika ia membawa nasihat,
teguran yang terkadang teramat pahit terasa, bahkan tamparan yang memilukan,
namun jika untuk keselamatan kita, merekalah sahabat sebenarnya. Bersyukurlah
Allah masih berkenan menghadirkan mereka dalam hidup ini. Sesungguhnya, tidak
lain mereka adalah tangan-tangan Allah yang menyentuh dan melindungi kita.
Wallaahu ‘a’lam bishshowaab.
Terima
kasih, admin haturkan kepada Bayu Gautama yang
telah mengirimkan artikel ini untuk dipublikasikan di blog ruang.berkah ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Tuliskan Komentar, Kritik dan Saran SAHABAT Disini .... !!!