Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Jika seseorang meninggal dunia, maka terputuslah amalannya kecuali tiga perkara (yaitu) : sedekah jariyah, ilmu yang bermanfaat, dan do’a anak yang sholeh” (HR. Muslim no. 1631)

Cari Berkah

Rabu, 24 Oktober 2012

Wanita Sejajar Pria

“Berangkatlah kamu (berjuang) baik dalam keadaan merasa ringan maupun berat, dan berjihadlah kamu dengan harta dan dirimu di jalan Allah. Yang demikian itu adalah lebih baik bagimu, jika kamu mengetahui.” (QS At Taubah: 41).

“Dan orang-orang yang beriman, lelaki dan perempuan, sebahagian mereka (adalah) menjadi penolong bagi sebahagian yang lain. Mereka menyuruh (mengerjakan) yang ma'ruf, mencegah dari yang munkar, mendirikan shalat, menunaikan zakat dan mereka taat pada Allah dan Rasul-Nya. Mereka itu akan diberi rahmat oleh Allah; sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” (QS At Taubah: 71).

Asma binti Yazid As Sakan. Ia merasakan kegundahan saat membandingkan dirinya sebagai perempuan dengan para lelaki. Dalam berbagai moment, lelaki lebih sering disebut dengan mendapat berbagai keutamaan. Pada saat yang sama, tidak sebut keutamaan untuk wanita. Ternyata, kondisi yang sama, dirasakan oleh para perempuan yang lain. Mereka pun berbagi kerisauan itu. Selanjutnya, setelah berembug, mereka menyepakati Asma untuk pergi menemui Rasulullah saw.

“Sesungguhnya saya utusan dari sekelompok wanita muslimah di belakangku, mereka semuanya berkata dan sependapat dengan perkataanku. Sesungguhnya Allah mengutusmu kepada kaum pria dan wanita, maka kami beriman mengikutimu. Dan kami kaum wanita (punya) (ke)terbatas(an), banyak halangan, dan penjaga rumah. Sementara kaum pria diutamakan dengan salat jamaah, mengantar jenazah, dan jihad. Ketika mereka keluar berjihad, kami (hanya) menjaga harta mereka dan mendidik anak mereka. Apakah kami Sdengan mereka dalam mendapatkan pahala wahai Rasulullah?” tanya Asma.

Maka Rasululah saw serta merta berpaling ke arah sahabat dan melontarkan pujian, “Tidakkah kalian mendengar ungkapan seorang wanita yang lebih baik pertanyaannya tentang agama dari wanita ini?” Para sahabat pun mengiyakan.


Rasulullah kemudian bersabda, “Pergilah kembali wahai Asma dan beritahukanlah kepada para wanita di belakangmu, bahwa kebaikan (ketaatan) salah seorang dari kalian kepada suaminya, mencari keridhaannya, dan mengikuti apa yang dia sukai, menyamai pahalanya dengan semua yang engkau sebutkan.” (HR Bukhari dan Muslim).

Dialog di atas mungkin hanya sekeping kisah dari keseharian penduduk Madinah Yang mengisi hari-hari mereka seperti biasanya. Beraktivitas sesuai dengan profesinya masing-masing, seraya terus belajar, menanyakan perihal agamanya kepada Rasulullah saw. Pertanyaan Asma binti Yazid radhiyallahu-anha juga hanya satu dari sekian banyak pertanyaan yang sering disampaikan oleh para wanita Madinah. Para sahabiyah (sahabat wanita Rasululllah) memang suka bertanya. Bahkan, untuk berbagai perkara pribadi (seperti hubungan intim suami-isteri), yang para suami mereka terkadang malu bertanya langsung kepada Rasulullah lalu “menitipkan” pertanyaan itu kepada mereka. “Contohlah para wanita Madinah, karena rasa malu tidak menghalangi mereka untuk bertanya tentang berbagai masalah agama” kata Rasulullah memberi penghargaan.


Tetapi dari sebuah dialog yang terlihat biasa, dari kisah itu ada sebuah prinsip mendasar sekaligus jawaban, yang menjadi sangat luar biasa untuk ditimbang dalam keseharian kita, saat-saat ini.

Ialah bahwa para perempuan itu tidak mengadukan “kelemahan” mereka kepada Rasulullah dalam perspektif diskriminatif. Dengan kata lain, mereka para wanita itu, tidak sedang mengadu tentang rasa rendah diri (“inferioritas”) mereka dibanding laki-laki. Tetapi, mereka mengadukan “kelemahan” itu dalam perspektif produktivitas kebaikan. Bahwa mereka merasakan, betapa kaum lelaki mempunyai banyak peluang memperoleh pahala besar, sedang mereka (merasa) tidak.

Dengan perangai serta mentalitas luhur seperti itu, para wanita Madinah itu sesungguhnya telah merubah dirinya menjadi sejajar dengan lelaki—sebagaimana pujian dan jawaban Rasulullah kepada Asma. Kesejajaran itu bukan dilihat dari sisi amaliyah (aplikasi teknis) tetapi dari sisi maknawiyah (substansi, filosofi).

            Para penduduknya Maka, dialog itu juga sebentuk fragmen “kecemburuan” orang-orang mukmin(ah) terhadap orang-orang mukmin yang lain. Sebuah kecemburuan yang sah menurut Islam. Kecemburuan dalam berlomba melakukan kebaikan (fastabiqul khairat). Sekaligus, sebuah kecemburuan yang memberi tafsir baru tentang kesejajaran.
            Alangkah indahnya sosiografi Madinah. Yang berdenyut dalam dinamika dan harmoni iman dan kebajikan. Ya. Tetap saja ada perbedaan itu. Pria memang terlahir berbeda dengan wanita. Tetapi mereka sama-sama mengerti tentang peran dan fungsinya. Mereka mengerti kewajiban asasi masing-masing.

            Dari sebuah kisah yang sarat makna, dialog Asma-Rasulullah sesungguhnya juga memberi jawaban yang sederhana. Ya. Hari ini kita seperti menghadapi permasalahan pelik tentang upaya menyejajarkan lelaki-perempuan. Betapa debat hukum dalam forum-forum diskusi, berbagai tulisan buku, serta aksi-aksi massa telah banyak dilakukan tanpa memberi hasil yang memuaskan. Polemik antara posisi wanita antara di ranah publik (masyarakat luat) dan ranah domestik (rumah tangga) seolah tidak kunjung habis. Tak urung, ketika masalah itu tampak runyam, hukum agama dipandang sebagai biang keladi persoalan. Lahirlah kelompok-kelompok yang memperjuangkan kesetaraan gender dalam bingkai sekuler/menafikan agama. Alih-alih berhasil, perjuangan kesetaraan (dengan menafikan agama) itu malah menimbulkan kemudharatan lain yang lebih besar.

            Seperti itulah yang terjadi pada “euforia emansipasi” yang kita dapati pada moment peringatan hari Kartini. Para perempuan serentak berkebaya—yang makin sulit kita pahami apa maknanya kecuali seremonial belaka. Berbagai profesi wanita dipuji berlebihan karena menggantikan posisi lelaki. RUU Anti Pornografi (yang sebenarnya diniatkan untuk melindungi perempuan) ditolak dengan alasan diskriminatif, “menghina” perempuan.
            Semua itu sesungguhnya punya jawaban sederhana, pada bingkai (paradigma) keimanan itu. Kemuliaan dan kesejajaran itu terukur dari amal kebajikan yang kita lakukan dalam rangka beribadah kepada Allah.

Ahmad Mansur Suryanegara, seorang sejarawan, berdasarkan kajiannya memberikan simpulan bahwa Kartini, sosok yang ditahbiskan sebagai pejuang emansipasi itu, punya apresiasi yang tinggi terhadap Islam. Kartini hanya memperoleh beberapa bagian saja dari terjemah Al Qur’an, yang memang masih susah didapat kala itu. Namun hal itu telah mengilhaminya untuk membuat tulisan fenomenal. Buku kumpulan suratnya, Habis Gelap Terbitlah Terang, sesungguhnya diilhami dari QS Al Baqarah: 257; “Allah Pelindung orang-orang yang beriman; Dia mengeluarkan mereka dari kegelapan (kekafiran) kepada cahaya (iman).”

Andai saja Kartini punya kesempatan khatam meng(k)aji Al Qur’an, tentu ia akan lebih agamis. Dengan kata lain, sosok Kartini modern mestilah mereka yang faham Islam,  bertutur santun seraya berjilbab dengan anggun. Bukan yang berpakaian seksi itu atau sekadar berkebaya sekali setahun.

Kerangka keimanan itu akan mewujudkan kesetaraan itu dalam posisinya yang adil dan proporsional. Bahkan saat perkembangan waktu atau budaya menuntut penilaian berbeda atas sebuah aktivitas, tetap akan melahirkan penilaian positif. Seperti Asma binti Yazid As Sakan,yang tetap dipandang mulia, saat di kemudian hari ia tercatat sebagai sosok wanita yang turut serta ke medan perang mengangkat senjata. Seperti itu pula selayaknya penilaian kita terhadap kiprah para muslimah di ruang publik (masyarakat),  yang nampak musykil kita tolak—walau tidak ada di jaman Rasulullah.Tidak ada yang tercela, sejauh bingkai keimanan itu selalu terjaga.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Tuliskan Komentar, Kritik dan Saran SAHABAT Disini .... !!!