“Berangkatlah
kamu (berjuang) baik dalam keadaan merasa ringan maupun berat, dan berjihadlah
kamu dengan harta dan dirimu di jalan Allah. Yang demikian itu adalah lebih
baik bagimu, jika kamu mengetahui.” (QS
At Taubah: 41).
“Dan
orang-orang yang beriman, lelaki dan perempuan, sebahagian mereka (adalah)
menjadi penolong bagi sebahagian yang lain. Mereka menyuruh (mengerjakan) yang
ma'ruf, mencegah dari yang munkar, mendirikan shalat, menunaikan zakat dan
mereka taat pada Allah dan Rasul-Nya. Mereka itu akan diberi rahmat oleh Allah;
sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” (QS At Taubah: 71).
Asma binti Yazid As Sakan. Ia merasakan kegundahan saat
membandingkan dirinya sebagai perempuan dengan para lelaki. Dalam berbagai moment,
lelaki lebih sering disebut dengan mendapat berbagai keutamaan. Pada saat yang
sama, tidak sebut keutamaan untuk wanita. Ternyata, kondisi yang sama, dirasakan
oleh para perempuan yang lain. Mereka pun berbagi kerisauan itu. Selanjutnya, setelah
berembug, mereka menyepakati Asma untuk pergi menemui Rasulullah saw.
“Sesungguhnya saya utusan dari sekelompok wanita muslimah
di belakangku, mereka semuanya berkata dan sependapat dengan perkataanku.
Sesungguhnya Allah mengutusmu kepada kaum pria dan wanita, maka kami beriman
mengikutimu. Dan kami kaum wanita (punya) (ke)terbatas(an), banyak halangan,
dan penjaga rumah. Sementara kaum pria diutamakan dengan salat jamaah,
mengantar jenazah, dan jihad. Ketika mereka keluar berjihad, kami (hanya)
menjaga harta mereka dan mendidik anak mereka. Apakah kami Sdengan mereka dalam
mendapatkan pahala wahai Rasulullah?” tanya Asma.
Maka Rasululah saw serta merta berpaling ke arah sahabat
dan melontarkan pujian, “Tidakkah kalian mendengar ungkapan seorang wanita yang
lebih baik pertanyaannya tentang agama dari wanita ini?” Para
sahabat pun mengiyakan.
Rasulullah kemudian bersabda, “Pergilah kembali wahai Asma dan
beritahukanlah kepada para wanita di belakangmu, bahwa kebaikan (ketaatan)
salah seorang dari kalian kepada suaminya, mencari keridhaannya, dan mengikuti
apa yang dia sukai, menyamai pahalanya dengan semua yang engkau sebutkan.” (HR
Bukhari dan Muslim).
Dialog di atas mungkin hanya sekeping kisah dari keseharian
penduduk Madinah Yang mengisi hari-hari mereka seperti biasanya. Beraktivitas
sesuai dengan profesinya masing-masing, seraya terus belajar, menanyakan
perihal agamanya kepada Rasulullah saw. Pertanyaan Asma binti Yazid radhiyallahu-anha juga hanya satu dari
sekian banyak pertanyaan yang sering disampaikan oleh para wanita Madinah. Para sahabiyah (sahabat
wanita Rasululllah) memang suka bertanya. Bahkan, untuk berbagai perkara pribadi
(seperti hubungan intim suami-isteri), yang para suami mereka terkadang malu
bertanya langsung kepada Rasulullah lalu “menitipkan” pertanyaan itu kepada
mereka. “Contohlah para wanita Madinah, karena rasa malu tidak menghalangi
mereka untuk bertanya tentang berbagai masalah agama” kata Rasulullah memberi
penghargaan.
Tetapi dari sebuah dialog yang terlihat biasa, dari kisah
itu ada sebuah prinsip mendasar sekaligus jawaban, yang menjadi sangat luar
biasa untuk ditimbang dalam keseharian kita, saat-saat ini.
Ialah bahwa para perempuan itu tidak mengadukan “kelemahan”
mereka kepada Rasulullah dalam perspektif diskriminatif. Dengan kata lain,
mereka para wanita itu, tidak sedang mengadu tentang rasa rendah diri
(“inferioritas”) mereka dibanding laki-laki. Tetapi, mereka mengadukan
“kelemahan” itu dalam perspektif produktivitas kebaikan. Bahwa mereka
merasakan, betapa kaum lelaki mempunyai banyak peluang memperoleh pahala besar,
sedang mereka (merasa) tidak.
Dengan perangai serta mentalitas luhur seperti itu, para
wanita Madinah itu sesungguhnya telah merubah dirinya menjadi sejajar dengan lelaki—sebagaimana pujian
dan jawaban Rasulullah kepada Asma. Kesejajaran itu bukan dilihat dari sisi amaliyah (aplikasi teknis) tetapi dari
sisi maknawiyah (substansi,
filosofi).
Para
penduduknya Maka, dialog itu juga sebentuk fragmen “kecemburuan” orang-orang
mukmin(ah) terhadap orang-orang mukmin yang lain. Sebuah kecemburuan yang sah
menurut Islam. Kecemburuan dalam berlomba melakukan kebaikan (fastabiqul khairat). Sekaligus, sebuah
kecemburuan yang memberi tafsir baru tentang kesejajaran.
Alangkah indahnya sosiografi
Madinah. Yang berdenyut dalam dinamika dan harmoni iman dan kebajikan. Ya.
Tetap saja ada perbedaan itu. Pria memang terlahir berbeda dengan wanita.
Tetapi mereka sama-sama mengerti tentang peran dan fungsinya. Mereka mengerti
kewajiban asasi masing-masing.
Dari sebuah kisah yang sarat makna,
dialog Asma-Rasulullah sesungguhnya juga memberi jawaban yang sederhana. Ya.
Hari ini kita seperti menghadapi permasalahan pelik tentang upaya menyejajarkan
lelaki-perempuan. Betapa debat hukum dalam forum-forum diskusi, berbagai tulisan
buku, serta aksi-aksi massa
telah banyak dilakukan tanpa memberi hasil yang memuaskan. Polemik antara
posisi wanita antara di ranah publik (masyarakat luat) dan ranah domestik
(rumah tangga) seolah tidak kunjung habis. Tak urung, ketika masalah itu tampak
runyam, hukum agama dipandang sebagai biang keladi persoalan. Lahirlah
kelompok-kelompok yang memperjuangkan kesetaraan gender dalam bingkai sekuler/menafikan
agama. Alih-alih berhasil, perjuangan kesetaraan (dengan menafikan agama) itu
malah menimbulkan kemudharatan lain yang lebih besar.
Seperti
itulah yang terjadi pada
“euforia emansipasi” yang kita dapati pada moment peringatan hari
Kartini. Para perempuan serentak berkebaya—yang makin sulit kita
pahami apa maknanya kecuali seremonial belaka. Berbagai profesi wanita
dipuji
berlebihan karena menggantikan posisi lelaki. RUU Anti Pornografi (yang
sebenarnya
diniatkan untuk melindungi perempuan) ditolak dengan alasan
diskriminatif,
“menghina” perempuan.
Semua itu sesungguhnya punya jawaban
sederhana, pada bingkai (paradigma) keimanan itu. Kemuliaan dan kesejajaran itu
terukur dari amal kebajikan yang kita lakukan dalam rangka beribadah kepada
Allah.
Ahmad Mansur Suryanegara, seorang sejarawan, berdasarkan
kajiannya memberikan simpulan bahwa Kartini, sosok yang ditahbiskan sebagai
pejuang emansipasi itu, punya apresiasi yang tinggi terhadap Islam. Kartini
hanya memperoleh beberapa bagian saja dari terjemah Al Qur’an, yang memang
masih susah didapat kala itu. Namun hal itu telah mengilhaminya untuk membuat tulisan
fenomenal. Buku kumpulan suratnya, Habis
Gelap Terbitlah Terang, sesungguhnya diilhami dari QS Al Baqarah: 257; “Allah
Pelindung orang-orang yang beriman; Dia mengeluarkan mereka dari kegelapan
(kekafiran) kepada cahaya (iman).”
Andai saja Kartini punya kesempatan khatam meng(k)aji Al
Qur’an, tentu ia akan lebih agamis. Dengan kata lain, sosok Kartini modern
mestilah mereka yang faham Islam,
bertutur santun seraya berjilbab dengan anggun. Bukan yang berpakaian
seksi itu atau sekadar berkebaya sekali setahun.
Kerangka keimanan itu akan mewujudkan kesetaraan itu dalam
posisinya yang adil dan proporsional. Bahkan saat perkembangan waktu atau
budaya menuntut penilaian berbeda atas sebuah aktivitas, tetap akan melahirkan penilaian
positif. Seperti Asma binti Yazid As Sakan,yang tetap dipandang mulia, saat di
kemudian hari ia tercatat sebagai sosok wanita yang turut serta ke medan perang mengangkat
senjata. Seperti itu pula selayaknya penilaian kita terhadap kiprah para
muslimah di ruang publik (masyarakat), yang nampak musykil kita tolak—walau tidak ada
di jaman Rasulullah.Tidak ada yang tercela, sejauh bingkai keimanan itu selalu terjaga.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Tuliskan Komentar, Kritik dan Saran SAHABAT Disini .... !!!