Nash-nash al Qur`an dan as
Sunnah menunjukkan bahwa riya adalah perbuatan haram dan mencela pelakunya.
Allah Subhaanahu Wa Ta'aalaa
berfirman : “Aku Dzat yang paling tidak membutuhkan sekutu. Barang siapa yang
beramal dengan menyekutukanku, maka Aku tinggalkan dia dan perbuatan
syiriknya.” (HR Imam Muslim no 2985)
Dan Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa sallam
juga telah bersabda :
“Sesungguhnya
yang paling saya takutkan pada kalian adalah syirik paling kecil” Para sahabat
bertanya : “Apa yang dimaksud syirik paling kecil itu?” Beliau menawab :
“Riya`” Sesungguhnya Allah Subhaanahu Wa Ta'aalaa berfirman pada hari semua
amal hamba dibalas (hari kiamat) : “ Datangilah orang yang dulu kalian
tunjukkan amal kalian padanya di dunia, lihatlah apakah kalian mendapatkan
balasan dari mereka.” (HR Ahmad no 22742 dan Al Baghawi. Syekh al Albani
berkata : sanadnya baik (jayyid) (lihat Silsilah Hadits Shahihah no 951)
Abu Umamah al Bahiliy
melihat seorang lelaki di dalam masjid sedang menangis ketika sujud, kemudian
beliau berkata : “Anda, seandainya ini anda lakukan di rumah anda (tentu lebih
baik).”
Hakekat
Riya`
Kata riya` berasal dari kata ru`yah
(melihat). Asalnya adalah mencari kedudukan di hati manusia dengan menunjukkan
kepada mereka berbagai perangai dan sifat baik. Adapun yang ditunjukkan kepada
manusia cukup banyak, namun bisa dikelompokkan menjadi lima bagian, yang
semuanya merupakan sarana yang biasa digunakan oleh seorang hamba untuk berhias
di hadapan manusia, yaitu : fisik (badan), pakaian, perkataan, perbuatan,
pengikut, dan barang-barang yang tampak di luar.
Adapun riya` dalam agama dengan badannya
adalah dengan menampakkan keletihan dan kelelahan yang mengesankan kerja keras,
merasa sedih memikirkan berbagai persoalan agama dan sangat takut dengan
akhirat.
Adapun riya` dengan penampilan dan
pakaian seperti rambut kusut, menundukkan kepala ketika berjalan, sangat tenang
dalam melakukan aktivitas dan membiarkan bekas sujud menempel di wajahnya.
Riya` dengan perkataan seperti riya`
yang dilakukan oleh orang-orang mendalami agama dengan memberikan mau’izhah
(nasehat), peringatan dan berbicara dengan kata-kata hikmah (mutiara) dan
atsaar (Hadits Nabi atau perkataan ‘ulama`) untuk menampakkan perhatiannya
dengan perbuataan orang-orang shaleh serta menggerakkan kedua bibirnya untuk
bedzikir di depan orang banyak.
Riya` dengan amal seperti riya`nya orang
yang shalat dengan memanjangkan berdiri, sujud dan ruku’, menundukkan kepala
dan tidak menoleh.
Sedangkan riya` dengan teman dan
orang-orang yang mengunjungi seperti orang yang meminta seorang alim ulama
mengunjungi supaya dikatakan bahwa (alim) fulan sudah mengunjungi fulan.
Tujuan Riya`
Orang yang riya` mempunyai tujuan-tujuan
yang bisa kita bagi menjadi beberapa tingkat,
Pertama
: Tujuannya adalah agar ia dapat lebih
leluasa berbuat ma’siyat. Seperti orang yang riya` dengan menampakkan taqwa dan
wara`. Tujuannya agar dikenal orang sebagai orang yang mempunyai sifat amanah
kemudian orang-orang memberikan kedudukan untuk posisi tertentu atau
mempercayakan pembagian harta (zakat, infak dan yang sejenis) kepadanya. Ia
mendapat keuntungan dari kepercayaan tersebut. Ini adalah jenis riya` yang
dibenci oleh Allah Subhaanahu Wa Ta'aalaa karena menjadikan ta’at kepada Allah
Subhaanahu Wa Ta'aalaa sebagai salah satu tangga menuju kema’siyatan kepada
Nya.
Kedua
: Tujuannya mendapatkan keuntungan duniawi
semata, baik berupa harta ataupun wanita yang ingin dinikahinya. Seperti orang
yang menampakkan ilmu dan ketaqwaannya karena ingin menikah atau mendapatkan
uang. Ini juga riya` yang dicela, karena ia melakukan ketaatan karena mencari
keuntungan duniawi, tetapi tingkatannya di bawah yang pertama.
Ketiga
: Tidak bertujuan mendapatkan harta atau
menikahi wanita, tetapi ia menampakkan ibadah karena takut dilihat kurang oleh
orang, tidak dianggap orang-orang khusus dan zuhud serta dianggap seperti
orang-orang pada umumnya.
Pembagian Riya`
1. Riya`
Jaliy (tampak jelas) yaitu riya` yang menjadi pendorong untuk beramal meski
dimaksudkan untuk mendapatkan pahala.
2. Riya`
Khafiy (samar). Riya` ini lebih ringan. Meski bukan motivasi untuk beramal
tetapi membuat amalnya yang ditujukan karena Allah Subhaanahu Wa Ta'aalaa
lemah. Seperti orang yang biasa melakukan tahajjud setiap malam dan itu ia
jalani dengan berat, tetapi kalau ada tamu yang datang (menginap) ia tambah
semangat dan ia jalani shalat tersebut dengan ringan. Tergolong dalam jenis
riya` khafiy juga adalah orang yang menyembunyikan berbagai ketaatannya, tetapi
jika orang-orang melinhatnya ia senang jika orang-orang menyambutnya dengan
penuh ceria dan penghormatan, memujinya, bersemangat untuk membantu memenuhi
keperluannya, tidak banyak menuntutnya dalam berjual beli dan memberinya tempat
(dalam berbagai pertemuan) dan jika ada orang yang kurang memberikan haknya
hatinya merasa keberatan.
Orang-orang
yang ikhlas senantiasa takut terhadap riya` khafiy. Kesungguhannya untuk
menyembunyikan berbagai ketaatannya lebih besar daripada kesungguhan
orang-orang menyembunyikan keburukan mereka. Semua itu ia lakukan karena mengharap
agar seluruh amal shalehnya ikhlas, kemudian hanya Allah Subhaanahu Wa Ta'aalaa
yang membalasnya pada hari kiamat karena keikhlasan mereka. Sebab mereka
mengetahui bahwa pada hari kiamat nanti tidak akan diterima (amalan) kecuali
dari orang yang ikhlas dan mereka menyadari bahwa pada saat itu mereka sangat
membutuhkannya.
Obat Riya` Dan Cara Membersihkan
Hati Dari Riya`
Anda telah mengetahui bahwa riya`
menghapuskan amal, sebab kemurkaan Allah Subhaanahu Wa Ta'aalaa dan merupakan
pembinasa yang paling besar. Kalau memang begini sifatnya maka sudah
sepantasnya untuk secara sungguh-sungguh menghilangkannya. Ada beberapa
tingkatan untuk mengatasinya.
Pertama : Memotong
akar dan asal usulnya yaitu senang dipuji, menghindari pahitnya dicela dan
sangat tamak terhadap yang dimiliki manusia. Tiga hal inilah yang menggerakan
orang untuk riya`. Cara mengatasinya : Menyadari bahaya riya` dan akibat yang
ditimbulkannya dengan tidak didapatkannya hati yang baik (bersih), terhalang
mendapatkan taufiq di dunia, tidak mendapatkan kedudukan di sisi Allah
Subhaanahu Wa Ta'aalaa di akhirat nanti, balasan yang akan diterima berupa
siksaan, kemurkaan yang dahsyat dan kehinaan yang tampak. Bagaimanapun, jika
seorang hamba memikirkan kehinaan tersebut, kemudian membandingkan apa yang
didapatkannya dari menampakkan keindahan (perkataan, amal dll) dihadapan
manusia di dunia dengan apa yang tidak bisa ia raih di akhirat dan pahala yang
terhapus, ia akan dengan mudah menghilangkan keinginan tersebut. Seperti orang
yang mengetahui bahwa madu itu enak tetapi kalau ternyata di dalamnya ada racun
yang akan berakibat buruk baginya, ia akan tinggalkan madu tersebut.
Kedua : Menghilangkan
berbagai (bisikan) yang sempat mengganggunya ketika melakukan ibadah. Ini juga
perlu dipelajari. Orang yang berjuang memerangi (penyakit) jiwanya dengan
memotong akar-akar riya`, menghilangkan rasa tamak dan menganggap hina pujian
dan celaan orang, kadang-kadang syetan tidak membiarkannya pada saat
menjalankan ibadah, tetapi membisikkan riya`. Jika terbetik dalam benaknya
bahwaorang-orang sedang melihatnya, melawannya dengan mengatakan pada dirinya :
Apa urasanmu dengan orang-orang itu, merek tahu atau tidak, Allah Subhaanahu Wa
Ta'aalaa mengetahui keadaanmu. Apa faidahnya orang mengetahui (amal kita) ?
Jika keinginan untuk mendapatkan pujian sedang bergejolak, ingat dengan
penyakit riya` yang ada dalam hatinya yang menyebabkannya mendapatkan murka
dari Allah Subhaanahu Wa Ta'aalaa dan kerugian ukhrawi lainnya.
Salah, Jika Orang Meninggalkan
Ketaatan Karena Takut Riya`
Ada orang yang meninggalkan amal karena
takut riya`. Ini satu sikap salah, cocok dengan keinginan syetan untuk mengajak
manusia malas (beramal) dan meninggalkan kebaikan. Selama motivasi untuk
beramalnya sudah benar dan sesuai dengan tuntunansyari’at yang lurus, maka
jangan meninggalkan amal karena ada bisikan riya`, tetapi ia wajib berusaha
mengatasi bisikan riya`, menanamkan dalam dirinya malu terhadap Allah
Subhaanahu Wa Ta'aalaa dan mengganti pujian manusia dengan pujian Nya.
Fudhail bin Iyadl berkata : “Beramal
karena manusia adalah syirik, meninggalkan amal karena manusia adalah riya` dan
ikhlas adalah Allah Subhaanahu Wa Ta'aalaa selamatkan anda dari keduanya.”
Ada orang alim lain yang berkata :
“Barang siapa yang meninggalkan amal karena takut ikhlas maka ia telah
meninggalkan ikhlas dan amal.
(Diterjemahkan
dari buku Al Bahrur Roo-iq fiz Zuhdi War Roqoo-iq karya DR Ahmad Farid.
Penerbit Muassasah al Kutub ats Tsaqofiyah, cetakan pertama, hal 117-120)
Terima kasih, admin haturkan kepada Ridwan hamidi, Lc yang telah mengirimkan artikel ini untuk dipublikasikan di blog ruang.berkah ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Tuliskan Komentar, Kritik dan Saran SAHABAT Disini .... !!!