Betapa banyak kaum muslimin
yang mampu untuk menjalankan perintah Allah SWT dengan baik, bisa menjalankan sunnah-sunnah Nabi Muhammad SAW, mampu untuk menjauhkan
dirinya dari zina, berkata dusta, minum khomer, bahkan mampu untuk sholat malam
setiap hari, senantiasa puasa senin kamis, namun, mereka tidak mampu
menghindarkan dirinya dari ghibah. Bahkan walaupun mereka telah tahu bahwasanya
ghibah itu tercela dan merupakan dosa besar namun tetap saja mereka tidak mampu
menghindarkan diri mereka dari ghibah.
Allah SWT benar-benar telah mencela penyakit ghibah ini dan telah menggambarkan orang yang berbuat ghibah dengan gambaran yang sangat hina dan jijik. Berkata Syaikh Nasir As-Sa’di : “Kemudian Allah SWT menyebutkan suatu permisalan yang membuat (seseorang) lari dari gibah.
Allah SWT berfirman :
وَلاَ
يغتبَْ بَعْضُكُمْ بَعْضًا أَيُحِبُّ أَحَدُكُمْ أَنْ يَأْكُلَ لَحْمَ أَخِيْهِ
مَيْتًا فَكَرِهْتُمُوْهُ وَاتَّقُوْا اللهَ إِنَّ اللهَ تَوَّابٌ رَحِيْمٌ
Dan janganlah sebagian kalian mengghibahi sebagian yang
lain. Sukakah salah seorang dari kalian memakan daging bangkai saudaranya yang
telah mati, pasti kalian membencinya. Maka bertaqwalah kalian kepada Allah,
sungguh Allah Maha Menerima taubat dan Maha Pengasih. (Al Hujurat 12)
Allah SWT telah menyamakan mengghibahi
saudara kita dengan memakan daging saudara (yang digibahi tadi) yang telah
menjadi bangkai yang (hal ini) sangat dibenci oleh jiwa-jiwa manusia
sepuncak-puncaknya kebencian. Sebagaimana kalian membenci memakan dagingnya, apalagi
dalam keadaan bangkai, tidak bernyawa- maka demikian pula hendaklah kalian
membenci mengghibahinya dan memakan dagingnya dalam keadaan hidup”. Memakan
bangkai hewan yang sudah busuk saja menjijikkan, namun hal ini masih lebih baik
daripada memakan daging saudara kita. Sebagaimana dikatakan oleh ‘Amru bin
Al-‘Ash :
َ عنْ قَيْسٍ قَالَ : مَرَّ عَمْرُو بْنُ
العَاصِ عَلَى ببَغْلٍ مَيِّتٍ, فَقَال: وَاللهِ لأََنْ يَأْكُلَ أَحَدُكُمْ مِنْ
لَحْمِ هَذَا (حَتَّى يمْلَأََ بَطْنَهُ) خَيْرٌ لَهُ مِنْ أَنْ يَأْكُلَ لَحْمَ
أَخِيْهِ (الْمُسْلِم)
Dari Qois berkata : ‘Amru bin
Al-‘Ash melewati bangkai seekor begol (hasil persilangan kuda dan keledai),
maka beliau berkata :”Demi Allah, salah seorang dari kalian memakan daging
bangkai ini (hingga memenuhi perutnya) lebih baik baginya daripada ia memakan
daging saudaranya (yang muslim)” (Riwayat Bukhori dalam Al-adab Al-Mufrod no
736, lihat Kitab As-Somt no 177, berkata Syaikh Abu Ishaq Al-Huwaini: "Isnadnya shohih",
sedangkan tambahan yang ada dalam dua tanda kurung terdapat dalam kitab
Az-Zuhud hal 748). Syaikh Salim Al-Hilaly
berkata : “..Sesungguhnya memakan daging manusia merupakan sesuatu yang paling
menjijikan untuk bani Adam secara tabi’at walaupun (yang dimakan tersebut)
orang kafir atau musuhnya yang melawan, bagaimana pula jika (yang engkau makan
adalah) saudara engkau seagama ?, sesungguhnya rasa kebencian dan jijiknya
semakin bertambah. Dan bagaimanakah lagi jika dalam keadaan bangkai? karena
sesungguhnya makanan yang baik dan halal dimakan, akan menjadi menjijikan jika
telah menjadi bangkai…” (Bahjatun
Nadzirin 3/6)
Dari Abu Huroiroh r.a bahwasanya Rosulullah saw bersabda : Semua muslim
terhadap muslim yang lain adalah harom, yaitu darahnya, kehormatannya, dan
hartanya.
(Muslim)
Orang yang mengghibah berati dia telah mengganggu kehormatan saudaranya,
karena yang dimaksud dengan kehormatan adalah sesuatu yang ada pada manusia
yang bisa dipuji dan dicela.
Definisi ghibah
Dari Abu Huroiroh r.a bahwsanya
Rosulullah saw
bersabda : Tahukah kalian apakah ghibah itu? Sahabat menjawab : Allah dan
Rosul-Nya yang lebih mengetahui. Rosulullah saw berkata : “Yaitu engkau menyebutkan
sesuatu yang tidak disukai oleh saudaramu”, Rosulullah saw ditanya :
Bagaimanakah pendapatmu jika itu memang benar ada padanya ? Rosulullah saw menjawab : “Kalau
memang sebenarnya begitu berarti engkau telah mengghibahinya, tetapi jika apa
yang kau sebutkan tidak benar maka berarti engkau telah berdusta atasnya”. (Muslim
no 2589, Abu Dawud no 4874, At-Tirmidzi no 1999 dan lain-lain)
Hal ini juga telah dijelaskan
oleh Ibnu Mas’ud r.a :
Dari Hammad dari Ibrohim berkata
: Ibnu Mas’ud r.a berkata :”Ghibah adalah engkau menyebutkan apa yang kau
ketahui pada saudaramu, dan jika engkau mengatakan apa yang tidak ada pada
dirinya berarti itu adalah kedustaan” (Lihat Kitab
As-Somt no 211, berkata Syaikh Abu Ishaq Al-Huwaini : “Rijalnya tsiqoh”)
Dari hadits ini para ulama
menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan ghibah adalah :”Engkau menyebutkan
sesuatu yang ada pada saudaramu yang seandainya dia tahu maka dia akan
membencinya”. Sama saja apakah yang engkau sebutkan adalah kekurangannya yang
ada pada badannya atau nasabnya atau akhlaqnya atau perbuatannya atau pada
agamanya atau pada masalah duniawinya. Dan engkau menyebutkan aibnya dihadapan
manusia dalam keadaan dia goib (tidak hadir).
Berkata Syaikh Salim
Al-Hilali :”Ghibah adalah menyebutkan aib (saudaramu) dan dia dalam keadaan
goib (tidak hadir dihadapan engkau), oleh karena itu saudaramu) yang goib
tersebut disamakan dengan mayat, karena si goib tidak mampu untuk membela
dirinya. Dan demikian pula mayat tidak mengetahui bahwa daging tubuhnya dimakan
sebagaimana si goib juga tidak mengetahui gibah yang telah dilakukan oleh orang
yang mengghibahinya ” (Bahjatun
Nadzirin 3/6).
Adapun menyebutkan
kekurangannya yang ada pada badannya, misalnya engkau berkata pada saudaramu
itu : “Dia buta”, “Dia tuli”, “Dia sumbing”, “Perutnya besar”, “Pantatnya
besar”, “Kaki meja (jika kakinya tidak berbulu)”, “Dia juling”, “Dia hitam”,
“Dia itu orangnya bodoh”, “Dia itu agak miring sedikit”, “Dia kurus”, “Dia
gendut”, “Dia pendek” dan lain
sebagainya.
Dari Abu Hudzaifah dari ‘Aisyah
bahwasanya beliau (‘Aisyah) menyebutkan seorang wanita lalu beliau (‘Aisyah)
berkata :”Sesungguhnya dia (wanita tersebut) pendek”….maka Rosulullah
saw berkata :”Engkau
telah mengghibahi wanita tersebut” (Riwayat Abu Dawud no 4875 dan
Ahmad (6/189,206), berkata Syaikh Abu Ishaq : “Isnadnya shohih”)
Dari ‘Aisyah beliau berkata : Aku
berkata kepada Rosulullah saw
: “Cukup bagimu dari Sofiyah ini dan itu”. Sebagian rowi berkata
:”’Aisyah mengatakan Sofiyah pendek”. Maka Rosulullah saw berkata :”Sungguh
engkau telah mengucapkan suatu kalimat yang seandainya kalimat tersebut
dicampur dengan air laut niscaya akan merubahnya” (yaitu merubah rasanya atau
baunya karena saking busuk dan kotornya perkataan itu –pent, sebagaimana yang
dijelaskan oleh Syaikh Salim Al-Hilali dalam Bahjatun Nadzirin 3/25, dan hadits
ini shohih, riwayat Abu Dawud no 4875, At-Thirmidzi 2502 dan Ahmad 6/189)
عَنْ
جَرِيْرِ بْنِ حَازِمٍ قَالَ : ذَكَرَ ابْنُ سِيْرِيْنَ رَجُلاً فَقَألَ : ذَاكَ
الرَّجُلُ الأَسْوَدُ. ثُمَّ قَالَ : أَسْتَغْفِرُ اللهَ, إِنِّيْ أَرَانِيْ قَدِ
اغْتَبْتُهُ
Dari Jarir bin Hazim berkata :
Ibnu Sirin menyebutkan seorang laki-laki kemudian dia berkata :”Dia
lelaki yang hitam”. Kemudian dia berkata :”Aku mohon ampunan dari
Allah”, sesungguhnya aku melihat bahwa diriku telah mengghibahi laki-laki
itu” (Kitab As-Somt no 213,753, berkata Syaikh Abu Ishaq Al-Huwwaini:
“Rijalnya tsiqoh”)
Adapun pada nasab misalnya
engkau berkata :”Dia dari keturunan orang rendahan”, “Dia keturunan maling”,
“Dia keturunan pezina”, “Bapaknya orang fasik”, dan lain-lain. Adapun pada
akhlaknya, misalnya engkau berkata :”Dia akhlaqnya jelek…orang yang pelit”,
“Dia sombong, tukang cari muka (cari perhatian)”, “Dia penakut”, “Dia itu
orangnya lemah”, “Dia itu hatinya lemah”, “Dia itu tempramental”. Adapun pada
agamanya, misalnya engkau berkata :”Dia pencuri”, “Dia pendusta”, “Dia peminum
khomer”, “Dia pengkhianat”, “Dia itu orang yang dzolim, tidak mengeluarkan
zakat”, “Dia tidak membaguskan sujud dan ruku’ kalau sholat”, “Dia tidak
berbakti kepada orang tua”, dan lain-lain. Adapun pada perbuatannya yang
menyangkut keduniaan, misalnya engkau berkata : “Tukang makan”, “Tidak punya
adab”, “Tukang tidur”, “Tidak ihtirom kepada manusia”, “Tidak memperhatikan
orang lain”, “Jorok”, “Si fulan lebih baik dari pada dia” dan lain-lain.
Imam Baihaqi meriwayatkan dari jalan Hammad bin Zaid
berkata :Telah menyampaikan kepada kami Touf bin Wahbin, dia berkata : “Aku
menemui Muhammad bin Sirin dan aku dalam keadaan sakit. Maka dia (Ibnu Sirin)
berkata :”Aku melihat engkau sedang sakit”, aku berkata :”Benar”. Maka dia
berkata :”Pergilah ke tabib fulan, mitalah resep kepadanya”, (tetapi) kemudian
dia berkata :”Pergilah ke fulan (tabib yang lain) karena dia lebih baik dari
pada si fulan (tabib yang pertama)”. Kemudian dia berkata : “Aku mohon
ampun kepada Allah, menurutku aku telah mengghibahi dia (tabib yang pertama)”. (Kitabuz Zuhud jilid 3 hal 748)
Termasuk ghibah yaitu
seseorang meniru-niru orang lain, misalnya berjalan dengan pura-pura pincang
atau pura-pura bungkuk atau berbicara dengan pura-pura sumbing, atau yang
selainnya dengan maksud meniru-niru keadaan seseorang, yang hal ini berarti
merendahkan dia. Sebagaimana disebutkan dalam suatu hadits :
قَالَتْ
: وَحَكَيْتُ لَهُ إِنْسَانًا فَقَالَ : مَا أُحِبُّ أَنِّيْ حَكَيْتُ إِنْسَانًا
وَ إِنَّ لِيْ كَذَا
‘Aisyah berkata : “Aku
meniru-niru (kekurangan/cacat) seseorang seseorang pada Rosulullah saw”. Maka Rosulullah saw pun berkata :”Saya
tidak suka meniru-niru (kekurangan/cacat) seseorang (walaupun) saya mendapatkan
sekian-sekian” (maksudnya walaupun saya mendapatkan
kedunaiaan yang banyak). (Hadits Shohih, riwayat Abu Dawud no 4875, At-Thirmidzi
2502 dan Ahmad 6/189)
Termasuk ghibah yaitu seorang
penulis menyebutkan seseorang tertentu dalam kitabnya seraya berkata :”Si fulan
telah berkata demikian-demikian”, dengan tujuan untuk merendahkan dan
mencelanya. Maka hal ini adalah harom. Jika si penulis menghendaki untuk
menjelaskan kesalahan orang tersebut agar tidak diikuti, atau untuk menjelaskan
lemahnya ilmu orang tersebut agar orang-orang tidak tertipu dengannya dan
menerima pendapatnya (karena orang-orang menyangka bahwa dia adalah orang yang
‘alim), maka hal ini bukanlah ghibah, bahkan merupakan nasihat yang wajib yang
mendatangkan pahala jika dia berniat demikian.
Demikian pula jika seorang
penulis berkata atau yang lainnya berkata : “Telah berkata suatu kaum -atau
suatu jama’ah- demikian-demikian…, dan pendapat ini merupakan kesalahan atau
kekeliruan atau kebodohan atau keteledoran dan semisalnya”, maka hal ini
bukanlah ghibah. Yang disebut ghibah jika kita menyebutkan orang tertentu atau
kaum tertentu atau jama’ah tertentu. (Bahjatun
Nadzirin 3/26)
Ghibah itu bisa dengan
perkataan yang jelas atau dengan yang lainnya seperti isyarat dengan perkataan
atau isyarat dengan mata atau bibir dan lainnya, yang penting bisa dipahami
bahwasanya hal itu adalah merendahkan saudaranya yang lain. Diantaranya yaitu
jika seseorang namanya disebutkan di sisi engkau lantas engkau berkata: “Segala
puji bagi Allah swt yang telah menjaga kita dari
sifat pelit”, atau “Semoga Allah swt melindungi kita dari memakan
harta manusia dengan kebatilan”, atau yang lainnya, sebab orang yang mendengar
perkataan engkau itu faham bahwasanya berarti orang yang namanya disebutkan
memiliki sifat-sifat yang jelek. Bahkan lebih parah lagi, perkataan engkau
tidak hanya menunjukkan kepada ghibah, tetapi lebih dari itu dapat menjatuhkan
engkau ke dalam riya’. Sebab engkau telah menunjukan kepada manusia bahwa
engkau tidak melakukan sifat jelek orang yang disebutkan namanya tadi.
Bagaimana
jika yang dighibahi adalah orang kafir ?
Berkata
As-Shon’ani : “Dan perkataan Rosulullah saw (dalam hadits Abu Huroiroh di atas)
أَخَاكَ
(saudaramu) yaitu saudara seagama merupakan dalil bahwasanya selain mukmin
boleh mengghibahinya”. Berkata Ibnul Mundzir :”Dalam hadits ini ada dalil
bahwasanya barang siapa yang bukan saudara (se-Islam) seperti yahudi, nasrani,
dan seluruh pemeluk agama-agama (yang lain), dan (juga) orang yang
kebid’ahannya telah mengeluarkannya dari Islam, maka tidak ada (tidak mengapa)
ghibah terhadapnya”. Subulus salam 4/299 dan Taudhilhul Ahkam
6/328)
Bagaimana
jika kita memberi laqob (julukan) yang jelek kepada saudara kita, namun saudara
kita tersebut tidak membenci laqob itu, apakah tetap termasuk ghibah?
Berkata
As-Shon’ani : “ Dan pada perkataan Rosulullah saw بِمَا يَكْرَهُ (dengan apa yang dia benci), menunjukan bahwa
jika dia (saudara kita yang kita ghibahi tersebut) tidak membencinya aib yang
ditujukan kepadanya, seperti orang-orang yang mengumbar nafsunya dan orang
gila, maka ini bukanlah ghibah”. (Subulus salam 4/299)
Berkata Syaikh Salim Al-Hilal
:”Jika kita telah mengetahui hal itu (yaitu orang yang dipanggil dengan
julukan-julukan yang jelek namun dia tidak membenci julukan-julukan jelek
tersebut) bukanlah suatu ghibah yang harom, sebab ghibah adalah engkau menyebut
saudaramu dengan apa yang dia benci, tetapi orang yang memanggil saudaranya
dengan laqob (yang jelek) telah jatuh di dalam larangan Al-Qur’an (yaitu firman
Allah :ولاَ
تَنَابَزُوْا بِالأَلْقَابِ Dan janganlah kalian saling-
panggil-memanggil dengan julukan-julukan yang buruk. (Al-Hujurot: 11) yang
jelas melarang saling panggil-memanggil dengan julukan (yang jelek) sebagaimana
tidak samar lagi (larangan itu)”. (Bahjatun Nadzirin 3/47)
Hukum ghibah
Dari Anas bin Malik r.a berkata : Rosulullah
saw bersabda :”Pada malam isro’ aku melewati sebuah kaum yang mereka melukai
(mencakar) wajah-wajah mereka dengan kuku-kuku mereka”, lalu aku berkata
:”Siapakah mereka ya Jibril?”, Beliau berkata :”Yaitu orang-orang yang
mengghibahi manusia, dan mereka mencela kehormatan-kehormatan manusia”.
Dalam riwayat yang lain :
قَالَ
رَسُوْلُ الله r:
لَمَّا عُرِجَ بِيْ, مَرَرْتُ بِقَوْمٍ لَهُمْ أَظْفَارٌ مِنْ نُحَاسٍ
يَخْمِشُوْنَ وُجُوْهَهُمْ وَ صُدُوْرَهُمْ فَقُلْتُ : مَنْ هَؤُلآء يَا
جِبْرِيْلُِ؟ قَالَ : هَؤُلآء الَّذِيْنَ يَأْكُلُوْنَ لُحُوْمَ النَّاسَ
وَيَقَعُوْنَ فِيْ أَعْرَاضِهِمْ
Rosulullah saw bersabda : Ketika
aku dinaikkan ke langit, aku melewati suatu kaum yang memiliki kuku-kuku dari
tembaga, mereka melukai (mencakari) wajah-wajah mereka dan dada-dada mereka.
Maka aku bertanya :”Siapakah mereka ya Jibril?”, beliau berkata :”Mereka
adalah orang-orang yang memakan daging-daging manusia dan mereka
mencela kehormatan-kehormatan manusia”. (Riwayat Ahmad
(3/223), Abu Dawud (4878,4879), berkata Syaikh Abu ishaq Al-Huwaini : Isnadnya
shohih, lihat kitab As-Somt hadits no 165 dan 572)
Hukum ghibah
adalah harom berdasarkan Al-Kitab dan As-Sunnah dan ijma’ kaum muslimin. Namun
terjadi khilaf diantara para ulama, apakah ghibah termasuk dosa besar atau
termasuk dosa kecil?. Imam Al-Qurthubi menukilkan ijma’ bahwasanya ghibah termasuk
dosa besar. Sedangkan Al-Gozhali dan penulis Al-‘Umdah dari Syafi’iyah
berpendapat bahwasanya ghibah termasuk dosa kecil.
Berkata
Al-Auza’i : “Aku tidak mengetahui ada orang yang jelas menyatakan bahwa ghibah
termasuk dosa kecil selain mereka berdua”. Az-Zarkasyi berkata : “Dan sungguh
aneh orang yang menganggap bahwasanya memakan bangkai daging (manusia) sebagai
dosa besar (tetapi) tidak menganggap bahwasanya ghibah juga adalah dosa besar,
padahal Allah menempatkan ghibah sebagaimana memakan bangkai daging manusia.
Dan hadits-hadits yang memperingatkan ghibah sangat banyak sekali yang
menunjukan akan kerasnya pengharaman ghibah. (Subulus Salam 4/299)
Berkata Syaikh
Nasir As-Sa’di :”Dalam ayat ini (Al-Hujurot :12) ada peringatan keras terhadap
gibah dan bahwasanya gibah termasuk dosa-dosa besar karena diserupakan dengan
memakan daging bangkai (manusia) dan hal itu (memakan daging bangkai) termasuk
dosa besar”. (Taisir karimir Rohman, tafsir surat Al-Hujurot 12)
Alasan mereka yang menyatakan
bahwa ghibah adalah dosa kecil diantaranya perkataan mereka : ”Kalau seandainya
ghibah itu bukan dosa kecil maka sebagian besar manusia tentu menjadi fasik,
atau seluruh manusia menjadi fasik, kecuali hanya sedikit sekali yang bisa
lolos dari penyakit ini. Dan hal ini adalah kesulitan yang sangat besar”. Namun
alasan ini terbantahkan, karena bahwasanya tersebarnya suatu kemaksiatan dan
banyak manusia yang melakukannya tidaklah menunjukan bahwa kemaksiatan tersebut
adalah dosa kecil. Dan alasan ini juga tertolak sebab tersebarnya kemaksiatan
ini hanya kalau ditinjau pada zaman sekarang. Adapun pada zaman dahulu (zaman
para salaf) kemaksiatan-kemaksiatan (termasuk ghibah) tidak tersebar
sebagaimana sekarang. Justru yang tersebar adalah kebaikan.
Hukum mendengarkan ghibah
Berkata Imam
Nawawi dalam Al-Adzkar :”Ketahuilah bahwasanya ghibah itu sebagaimana
diharamkan bagi orang yang menggibahi, diharamkan juga bagi orang yang
mendengarkannya dan menyetujuinya.
Maka wajib
bagi siapa saja yang mendengar seseorang mulai menggibahi (saudaranya yang
lain) untuk melarang orang itu kalau dia tidak takut kepada mudhorot yang
jelas.
Dan jika dia
takut kepada orang itu, maka wajib baginya untuk mengingkari dengan hatinya dan
meninggalkan majelis tempat ghibah tersebut jika memungkinkan hal itu.
Jika dia mampu untuk mengingkari
dengan lisannya atau dengan memotong pembicaraan ghibah tadi dengan pembicaraan
yang lain, maka wajib bagi dia untuk melakukannya. Jika dia tidak melakukannya
berarti dia telah bermaksiat.
Jika dia berkata dengan
lisannya :”Diamlah”, namun hatinya ingin pembicaraan gibah tersebut
dilanjutkan, maka hal itu adalah kemunafikan yang tidak bisa membebaskan dia
dari dosa. Dia harus membenci gibah tersebut dengan hatinya (agar bisa
bebas dari dosa).
Jika dia terpaksa di majelis yang
ada ghibahnya dan dia tidak mampu untuk mengingkari ghibah itu, atau dia telah
mengingkari namun tidak diterima, serta dia tidak memungkinkan baginya untuk
meninggalkan majelis tersebut, maka harom baginya untuk istima’ (mendengarkan)
dan isgo’ (mendengarkan dengan saksama) pembicaraan ghibah itu. Yang dia
lakukan adalah hendaklah dia berdzikir kepada Allah swt dengan lisannya dan hatinya, atau dengan
hatinya, atau dia memikirkan perkara yang lain, agar dia bisa melepaskan diri
dari mendengarkan gibah itu. Setelah itu maka tidak mengapa baginya untuk
mendengar ghibah (yaitu sekedar mendengar namun tidak memperhatikan dan tidak faham
dengan apa yang didengar), tanpa mendengarkan dengan baik ghibah itu jika
memang keadaannya seperti ini (karena terpaksa tidak bisa meninggalkan majelis
gibah itu). Namun jika (beberapa waktu) kemudian memungkinkan dia untuk
meninggalkan majelis dan mereka masih terus melanjutkan ghibah, maka wajib
baginya untuk meninggalkan majelis” (Bahjatun
Nadzirin 3/29,30).
Allah swt berfirman :
وَإذَا
رَأَيْتَ الَّذِيْنَ يَخُوْضُوْنَ فِيْ آيَاتِنَا فَأَعْرِضْ عَنْهُمْ حَتَّى
يَخُوْضُوْا فِيْ حَدِيْثٍ غَيْرِهِ, وَ إِمَّ يُنْسِيَنَّكُمُ الشَّيْطَانُ فَلاَ
تَقْعُدْ بَعْدَ الذِكْرِ مَعَ الْقَوْمِ الظَّالِمِيْنَ
Dan apabila kalian melihat
orang-orang yang mengejek ayat Kami, maka berpalinglah dari mereka hingga
mereka mebicarakan pembicaraan yang lainnya. Dan apabila kalian dilupakan oleh
Syaithon, maka janganlah kalian duduk setelah kalian ingat bersama kaum yang
dzolim. (Al-An’am 68)
Benarlah perkataan seorang
penyair…
وَسَمْعَكَ صُنْ عَنْ سَمَاعِ
الْقَبِيْحِ كَصَوْنِ
اللِّسَانِ عَنِ النُّطْقِ بِهْ
فَإِنَّكَ عِنْدَ سَمَاعِ
الْقَبِيْحِ شَرِيْكٌ
لِقَائِلِهِ فَانْتَبِهْ
Dan
pendengaranmu, jagalah dia dari mendengarkan kejelekan
Sebagaimana
menjaga lisanmu dari mengucapkan kejelekan itu.
Sesungguhnya
ketika engkau mendengarkan kejelekan,
Engkau
telah sama dengan orang yang mengucapkannya, maka waspadalah
Dan meninggalkan mejelis ghibah
merupakan sifat-sifat orang yang beriman, sebagaimana firman Allah swt :
وَإِذَا
سَمِعُوْا اللَّغْوَ أَعْرَضُوْا عَنْهُ
Dan apabila mereka mendengar
lagwu (kata-kata yang tidak bermanfaat) mereka berpaling darinya. (Al-Qosos
: 55)
وَالَّذِيْنَ
هُمْ عَنِ اللَّغْوِ مُعْرِضِيْنَ
Dan orang-orang yang menjauhkan diri dari (perbuatan dan
perkataan) yang tiada berguna
(Al-Mu’minun :3)
Bahkan sangat dianjurkan bagi
seseorang yang mendengar saudaranya dighibahi bukan hanya sekedar mencegah
gibah tersebut tetapi untuk membela kehormatan saudaranya tersebut, sebagaimana
sabda Rosulullah saw :
عَنْ
أَبِيْ الدَّرْدَاءِ tعَنِ
النَّبِيِّ r قَالَ : مَنْ رَدَّ عَنْ عِرْضِ أَخِيْهِ,
رَدَّ اللهُ وَجِهَهُ النَّارَ
Dari Abu Darda’ r.a
berkata : Rosulullah saw bersabda
: Siapa yang mempertahankan kehormatan saudaranya yang akan dicemarkan orang,
maka Allah akan menolak api neraka dari mukanya pada hari kiamat. (Riwayat At-Tirmidzi 1931 dan Ahmad 6/450,
berkata Syaikh Salim Al-Hilali : “Shohih atau hasan”)
Dan demikinlah pengamalan para salaf ketika ada
saudaranya yang digibahi mereka membelanya, sebagaimana dalam hadits :
Dari ‘Itban bin Malik r.a berkata : Rosulullah
saw menegakkan sholat, lalu (setelah
selesai sholat) beliau berkata : “Di manakah Malik bin Addukhsyum?”, lalu ada
seorang laki-laki menjawab :”Ia munafik, tidak cinta kepada Allah dan Rosul-Nya”,
Maka Rosulullah saw berkata : Janganlah engkau berkata demikian, tidakkah
engkau lihat bahwa ia telah mengucapkan la ila ha illallah dengan ikhlash
karena Allah ?, dan Allah telah mengharamkan
api neraka atas orang yang mengucapkan la ilaha illallah dengan ikhlas karena
Allah (Bukhori dan Muslim).
Ka’ab bin Malik r.a berkata : Ketika Rosulullah
saw telah sampai di Tabuk, dan dia sambil duduk bertanya : “Apa yang dilakukan
Ka’ab ?”, maka ada seorang laki-laki dari bani Salamah menjawab :”Wahai Rosulullah, ia
telah tertahan oleh mantel dan selendangnya”. Lalu Mu’adz bin Jabal r.a berkata : “Buruk
sekali perkataanmu itu, demi Allah wahai Rosulullah, kami tidak mengetahui
sesuatupun dari dia melainkan hanya kebaikan”. Rosulullah saw pun diam. (Bukhori
dan Muslim)
Bertaubat dari ghibah
Berkata Syaikh
Utsaimin : “…Yaitu engkau membicarakan dia dalam keadaan dia tidak ada, dan
engkau merendahkan dia dihadapan manusia dan dia tidak ada. Untuk masalah ini
para ulama berselisih. Diantara mereka ada yang berkata (bahwasanya) engkau
(yang menggibah) harus datang ke dia (yang digibahi) dan berkata kepadanya
:”Wahai fulan sesungguhnya aku telah membicarakan engkau dihadapan menusia,
maka aku mengharapkan engkau memaafkan aku dan merelakan (perbuatan) ku”. Sebagian
ulama (yang lainnya) mengatakan (bahwasanya) engkau jangan datang ke dia,
tetapi ada perincian : Jika yang digibahi telah mengetahui bahwa engkau telah
mengghibahinya, maka engkau harus datang kepadanya dan meminta agar dia
merelakan perbuatanmu. Namun jika dia tidak tahu, maka janganlah engkau
mendatanginya (tetapi hendaknya) engkau memohon ampun untuknya dan engkau
membicarakan kebaikan-kebaikannya di tempat-tempat engkau mengghibahinya.
Karena
sesungguhnya kebaikan-kebaikan bisa menghilangkan kejelekan-kejelekan. Dan
pendapat ini lebih benar, yaitu bahwasanya ghibah itu, jika yang dighibahi
tidak mengetahui bahwa engkau telah mengghibahinya maka cukuplah engkau
menyebutkan kebaikan-kebaikannya di tempat-tempat kamu mengghibahinya dan
engkau memohon ampun untuknya, engkau berkata : ”Ya Allah ampunilah dia”
sebagaimana yang terdapat dalam hadits :
كَفَّارَةُ مَنِ
اغْتَبْتَهُ أَنْ تَسْتَغْفِرْ لَهُ (Kafarohnya orang yang kau ghibahi adalah engkau memohon
ampunan untuknya) (Syarah
Riyadlus Sholihin 1/78) (Sedangkan hadits ini dikeluarkan oleh Ibnu Abi Dunya
dalam kitab Ash-Shomt no 291, berkata Syaikh Abu Ishaq : “Maudlu”, berkata
As-Subki :”Dalam sanad hadits ini ada rowi yang tidak bisa dijadikan hujjah,
dan kaidah-kaidah fiqh telah menolak (isi) hadits ini karena dia adalah
(menyangkut) hak seorang manusia maka tidak bisa gugur kecuali dengan berlepas
diri, oleh karena itu dia (si pengghibah) harus meminta penghalalan/perelaan
dari yang dighibahi. Namun jika yang dighibahi telah mati dan tidak bisa dilaksanakan
(permohonan penghalalan tersebut), maka berkata sebagian ulama : “Dia (si
pengghibah) memohon ampunan untuk yang dighibahi”)
Berkata Ibnu Katsir :”…Berkata para ulama yang lain
:”Tidaklah disyaratkan dia (yang mengghibah) meminta penghalalan (perelaan dosa
ghibahnya) dari orang yang dia ghibahi. Karena jika dia memberitahu orang yang
dia ghibahi tersebut bahwa dia telah mengghibahinya, maka terkadang malah orang
yang dighibahi tersebut lebih tersakiti dibandingkan jika dia belum tahu, maka
jalan keluarnya yaitu dia (si pengghibah) hendaknya memuji orang itu dengan
kebaikan-kebaikan yang dimiliki orang itu di tempat-tempat dimana dia telah
mencela orang itu…” (Tafsir
Ibnu Katsir 4/276)
Cara menghindarkan diri dari ghibah
Untuk
menghindari ghibah kita
harus sadar bahwa segala apa yang kita ucapkan semuanya akan dicatat dan akan
dimintai pertanggungjawaban oleh Allah swt .
Allah swt berfirman :
مَا
يَلْفِظُ مِنْ قَوْلٍ إِلاَّ لَدَيْهِ رَقِيْبٌ عَتِيْدٌ
Tiada suatu ucapanpun yang diucapkannya melainkan ada di
dekatnya malaikat pengawas yang selalu hadir.(Q 18)
وَلاَ
تَقْفُ مَا لَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ إِنَّ السَّمْعَ وَالْبَصَرَ وَالْفُؤَادَ
كُلُّ أُوْلَئِكَ كَانَ عَنْهُ مَسْئُوْلاً
Dan janganlah kalian mengikuti apa yang kalian tidak
mengetahuinya, sesungguhnya pendengaran, penglihatan, dan hati itu semua akan
ditanyai (dimintai pertanggungjawaban) (Al-Isro’ 36)
Dan jika kita tidak menjaga lisan kita -sehingga kita
bisa berbicara seenak kita tanpa kita timbang-timbang dahulu yang akhirnya
mengakibatkan kita terjatuh pada ghibah atau yang lainnya- maka hal ini
akibatnya sangat fatal. Sebab lisan termasuk sebab yang paling banyak
memasukkan manusia ke dalam neraka. Sebagaimana sabda Rosulullah saw :
وَ
هَلْ يَكُبُّ النَّاسَ فِيْ النَّارِ عَلَى وُجُوْهِهِمْ إِلاَّ حَصَائِدُ
أَلْسِنَتِهِمْ ؟
Bukankah tidak ada yang
menjerumuskan manusia ke dalam neraka melainkan akibat lisan-lisan mereka ?
Demikian juga sabda Rosulullah
saw :
أَكْثَرُ
مَا يُدْخِلُ النَّاسَ النَّارَ الأَجْوَفَانِ : الفَمُ و الْفَرَجُ
Yang paling banyak memasukkan
manusia ke dalam neraka adalah dua lubang, mulut dan kemaluan. (Riwayat
Thirmidzi 2004, Ahmad (2/291,292), dan lain-lain. Berkata Syaikh Salim
Al-Hilali : “Isnadnya hasan”)
Dari Abu Huroiroh r.a
bahwasanya beliau mendengar Rosulullah saw bersabda :”Sungguh seorang hamba benar-benar akan
mengatakan suatu kalimat yang mendatangkan murka Allah yang dia tidak
menganggap kalimat itu, akibatnya dia terjerumus dalam neraka jahannam gara-gara
kalimat itu”. (Bukhori)
Sehingga karena saking sulitnya menjaga lisan, Rosulullah
saw pernah bersabda :
Dari Sahl bin Sa’d r.a dia berkata : Rosulullah
saw bersabda :”Barangsiapa yang menjamin kepadaku (keselamatan) apa yang ada
diantara dagunya (yaitu lisannya) dan apa yang ada diantara kedua kakinya
(yaitu kemaluannya) maka aku jamin baginya surga”. (Bukhori dan Muslim)
Berkata Imam Nawawi :
“Ketahuilah, bahwasanya ghibah adalah seburuk-buruknya hal yang buruk, dan
ghibah merupakan keburukan yang paling tersebar pada manusia sehingga tidak ada
yang selamat dari ghibah ini kecuali hanya segelintir manusia” (Tuhfatul
Ahwadzi hal 63)
Berkata Imam Syafi’i :
اِحْفَظْ لِسَانَكَ أَيُّهَا
الإِنْسَـانُ لاَ
يَـلْدَغَنَّكَ فَإِنـَّهُ ثُعْـبَانٌ
كَمْ فِيْ الْمَقَايِرِ مِنْ قَتِيْلِ
لِسَانِهِ كَانَتْ تَهَابُ لِقَائَهُ
الشُّجْعَانُ
Jagalah lisanmu wahai manusia
Janganlah lisanmu sampai
menyengat engkau, sesungguhnya dia seperti ular
Betapa
banyak penghuni kubur yang terbunuh oleh lisannya
Padahal
dulu orang-orang yang pemberani takut bertemu dengannya
Ghibah yang dibolehkan
Berkata Syaikh
Salim Al-Hilali : “Ketahuilah bahwasanya ghibah dibolehkan untuk tujuan yang
benar yang syar’i yang tidak mungkin bisa dicapai tujuan tersebut kecuali
dengan ghibah itu” (Bahjatun Nadzirin 3/33)
Dan hal-hal yang dibolehkan
ghibah itu ada enam (sebagaimana disebutkan oleh An-Nawawi dalam Al-Adzkar),
sebagaimana tergabung dalam suatu syair :
الـذَّمُّ لَيْـسَ بِغِيْبَةٍٍ فِيْ
سِتـَّةٍ مُتَظَلِّطٍ وَ
مـُعَرِّفٍ وَ مُـحَذَِّرٍ
وَ لِمُظْهِرٍ فِسـْقًا وَ
مُسْتَفْـتٍ وَمَنْ طَلَبَ
الإِعَانَةِ فِيْ إِزَالَةِ مُنْكَرٍ
Celaan bukanlah ghibah pada
enam kelompok
Pengadu, orang yang
mengenalkan, dan orang yang memperingatkan
Dan
terhadap orang yang menampakkan kefasikan, dan peminta fatwa
Dan orang
yang mencari bantuan untuk mengilangkan kemungkaran
Pertama :
Pengaduan, maka dibolehkan bagi orang yang teraniaya mengadu kepada sultan
(penguasa) atau hakim dan yang selainnya yang memiliki kekuasaan dan kemampuan
untuk mengadili orang yang menganiaya dirinya. Maka dia (boleh) berkata : “Si
fulan telah menganiaya saya demikian-demikian”. Dalilnya firman Allah :
لاَ
يُحِبُّ اللهُ الْجهْرَ بِالسُّوْءِ مِنَ الْقَوْلِ إِلاَّ مِنْ ظُلِمَ
Allah tidak menyukai ucapan
yang buruk (yang diucapkan) dengan terus terang kecuali oleh orang yang
dianiyaya. (An-Nisa’ 148).
Pengecualian yang terdapat dalam
ayat ini menunjukan bahwa bolehnya orang yang didzholimi mengghibahi orang yang
mendzoliminya dengan hal-hal yang menjelaskan kepada manusia tentang kedzoliman
yang telah dialaminya dari orang yang mendzoliminya, dan dia mengeraskan
suaranya dengan hal itu dan menampakkannya di tempat-tempat berkumpulnya
manusia. Sama saja apakah dia nampakkan kepada orang-orang yang diharapkan
bantuan mereka kepadanya, atau dia nampakkan kepada orang-orang yang dia tidak
mengharapkan bantuan mereka. (Ini adalah perkataan As-Syaukani. Namun hal
ini dibantah oleh Syaikh Salim, yaitu bahwasanya ayat ini (An-Nisa’ 148)
menunjukan hanyalah dibolehkan orang yang didzolimi mencela orang yang
mendzoliminya jika dihadapan orang tersebut. Adapun mengghibahnya (mencelanya
dihadapan manusia, tidak dihadapannya) maka ini tidak boleh karena bertentangan
dengan ayat Al-Hujurot 12 dan hadits-hadits yang shohih yang jelas melarang
ghibah. Karena ghibah hanya dibolehkan jika dalam dhorurot. (Bahjatun Nadzirin
3/36,37))
Kedua : Minta
bantuan untuk mengubah kemungkaran dan mengembalikan pelaku kemaksiatan kepada
kebenaran. Maka dia (boleh) berkata kepada orang yang diharapkan kemampuannya
bisa menghilangkan kemungkaran : “Si fulan telah berbuat demikian, maka
hentikanlah dia dari perbuatannya itu” dan yang selainnya. Dan hendaknya
tujuannya adalah sebagai sarana untuk menghilangkan kemungkaran, jika niatnya
tidak demikian maka hal ini adalah harom.
Ketiga : Meminta
fatwa : Misalnya dia berkata kepada seorang mufti : “Bapakku telah berbuat
dzolim padaku, atau saudaraku, atau suamiku, atau si fulan telah mendzolimiku,
apakah dia mendapatkan hukuman ini?, dan bagaimanakah jalan keluar dari hal
ini, agar hakku bisa aku peroleh dan terhindar dari kedzoliman?”, dan yang
semisalnya. Tetapi yang yang lebih hati-hati dan lebih baik adalah hendaknya
dia berkata (kepada si mufti) : “Bagaimana pendapatmu tentang seseorang atau
seorang suami yang telah melakukan demikian ..?”. Maka dengan cara ini tujuan
bisa diperoleh tanpa harus menyebutkan orang tertentu, namun menyebutkan orang
tertentupun boleh sebagaimana dalam hadits Hindun.
Dari ‘Aisyah r.a berkata : Hindun istri Abu Sofyan
berkata kepada Rosulullah saw :
”Sesungguhnya Abu Sufyan seorang yang kikir dan tidak mempunyai cukup belanja
untukku dan untuk anak-anakku, kecuali jika saya ambil diluar pengetahuannya”. Rosulullah
saw berkata : “Ambillah
apa yang cukup untukmu dan untuk anak-anakmu dengan cara yang baik” (jangan
terlalu banyak dan jangan terlalu sedikit)”. (Riwayat Bukhori dalam Al-Fath
9/504,507, dan Muslim no 1714)
Keempat :
Memperingatkan kaum muslimin dari kejelekan. Hal ini diantaranya :
Apa yang telah dilakukan oleh
para Ahlul Hadits dengan jarh wa ta’dil. Mereka berdalil dengan ijma’ akan
bolehnya bahkan wajibnya hal ini. Karena para salaf umat ini
senantiasa menjarah orang-orang yang berhak mendapatkannya dalam rangka untuk
menjaga keutuhan syari’at. (Sebagaimana yang dilakukan oleh para salaf
ketika memperingatkan umat dari bahayanya para ahlul bid’ah, berkata Syaikhul
Islam Ibnu Taimiyah tentang penjelasan wajibnya nasihat untuk memperbaiki Islam
dan kaum muslimin :”..Seperti para imam kebid’ahan yaitu orang-orang yang
mengucapkan perkataan-perkataan yang menyimpang dari Kitab dan Sunnah atau yang
telah melakukan ibadah-ibadah yang menyimpang dari Kitab dan Sunnah, maka
menjelaskan keadaan mereka dan memperingatkan umat dari (bahaya) mereka adalah
wajib dengan kesepakatan kaum muslimin. Hingga dikatakan kepada Imam Ahmad :.”Seorang laki-laki puasa dan sholat dan
beri’tikaf lebih engkau sukai atau membicarakan tentang (kejelekan) ahlul
bid’ah ?”. Maka beliau menjawab :” Jika laki-laki itu sholat dan i’tikaf maka hal itu (kemanfaaatannya)
adalah untuk dirinya sendiri, dan jika dia membicarakan (kejelekan) ahlul
bid’ah maka hal ini adalah demi kaum muslimin, maka hal ini (membicarkan
kejelekan ahlul bid’ah) lebih baik.” Maka Imam Ahmad telah
menjelaskan bahwasanya hal ini (membicarakan ahlul bid’ah) bermanfaat umum bagi
kaum muslimin dalam agama mereka dan termasuk jihad fi sabilillah dan pada
agama-Nya dan manhaj-Nya serta syari’at-Nya. Dan menolak kekejian dan
permusuhan ahlul bid’ah atas hal itu adalah wajib kifayah dengan kesepakatan
kaum muslimin. Kalaulah bukan karena orang-orang yang telah Allah tegakkan
untuk menghilangkan kemudhorotan para ahlul bid’ah ini maka akan rusak agama
ini, yang kerusakannya lebih parah dari pada kerusakan (yang timbul) akibat
dikuasai musuh dari ahlul harbi (orang kafir yang menyerang-pent). Karena
musuh-musuh tersebut tidaklah merusak hati dan agama yang (telah tertanam)
dalam hati kecuali hanya belakangan. Sedangkan para ahlul bid’ah mereka merusak
hati sejak semula. (Al-fatawa 26/131,232, lihat Hajrul Mubtadi’ hal 9))
Seperti perkataan ahlul hadits
:”Si fulan pendusta”, “Si fulan lemah hafalannya”, “Si fulan munkarul hafits”,
dan lain-lainnya.
Contoh yang lain yaitu
mengghibahi seseorang ketika musyawarah untuk mencari nashihat. Dan tidak
mengapa dengan menta’yin (menyebutkan dengan jelas) orang yang dighibahi
tersebut.
Fatimah binti Qois berkata : Saya datang kepada Rosulullah
saw dan berkata : Sesungguhnya
Abul Jahm dan Mu’awiyah meminang saya. Maka Rosulullah saw berkata : “Adapun
Mu’awiyah maka ia seorang miskin adapun Abul Jahm maka ia tidak pernah
melepaskan tongkatnya dari bahunya”. (Bukhori dan Muslim). Dan dalam
riwayat yang lain di Muslim (no 1480) :”Adapun Abul Jahm maka ia tukang
pukul para wanita (istri-istrinya)” Dan ini merupakan tafsir dari riwayat :(ia
tidak pernah melepaskan tongkatnya dari bahunya)
Kelima : Ghibah
dibolehkan kepada seseorang yang terang-terangan menampakkan kefasikannya atau
kebid’ahannya. Seperti orang yang terang-terangan meminum khomer, mengambil
harta manusia dengan dzolim, dan lain sebagainya. Maka boleh menyebutkan
kejelekan-kejelekannya. Dalilnya :
عَنْ
عَائِشَةَ أَنَّ رَجُلاً اسْتَأْذَنَ عَلَى النَّبِيِّ فَقَالَ ائْذَنُوْا لَهُ,
بِئْسَ أَخُوْا الْعَشِيْرَةِ
‘Aisyah berkata : Seseorang
datang minta idzin kepada Rosulullah saw, maka Rosulullah saw bersabda :”Izinkankanlah
ia, ia adalah sejahat-jahat orang yang ditengah kaumnya”. (Riwayat
Bukhori dan Muslim no 2591), As-Syaukani menjelaskan bahwasanya dalil ini
tidaklah tepat untuk membolehkan menggibahi orang yang menampakkan
kefasikannya. Sebab ucapan (ia adalah
sejahat-jahat orang yang ditengah kaumnya) berasal dari Nabi r,
kalau benar ini adalah ghibah maka tidak boleh kita mengikutinya sebab Allah
dan Nabi r
telah melarang ghibah dalam hadits-hadits yang banyak. Dan karena kita tidak
mengetahui hakikat dan inti dari perkara ini. Dan juga, pria yang disinggung
oleh Nabi r
tersebut ternyata hanya Islam secara dzohir sedangkan keadaannya goncang dan
masih ada atsar jahiliah pada dirinya. (Penjelasan yang lebih lengkap lihat
Bahjatun Nadzirin 3/46)
Namun diharomkan menyebutkan
aib-aibnya yang lain yang tidak ia nampakkan, kecuali ada sebab lain yang
membolehkannya. (Bahjatun Nadzirin 3/35). As-Syaukani menjelaskan :Jika yang
tujuan menyebutkan aib-aib orang yang berbuat dzolim ini untuk memperingatkan
manusia dari bahayanya, maka telah masuk dalam bagian ke empat. Dan kalau
tujuannya adalah untuk mencari bantuan dalam rangka menghilangkan kemungkaran,
maka inipun telah masuk dalam bagian ke dua. Sehingga menjadikan bagian kelima
ini menjadi bagian tersendiri adalah kurang tepat.(Bahjatun Nadzirin 3/45,46)
Keenam : Untuk
pengenalan. Jika seseorang terkenal dengan suatu laqob (gelar) seperti
Al-A’masy (si rabun) atau Al-A’aroj (si pincang) atau Al-A’ma (si buta) dan
yang selainnya maka boleh untuk disebutkan. Dan diharomkan menyebutkannya dalam
rangka untuk merendahkan. Adapun jika ada cara lain untuk untuk mengenali
mereka (tanpa harus menyebutkan cacat mereka) maka cara tersebut lebih baik.
Perhatian
Berkata Syaikh Salim Al-Hilali :
1.
Bolehnya ghibah untuk hal-hal di atas adalah sifat yang
menyusul (bukan hukum asal), maka jika telah hilang ‘illahnya (sebab-sebab yang
membolehkan ghibah), maka dikembalikan hukumnya kepada hukum asal yaitu
haromnya ghibah.
2.
Dibolehkannya ghibah ini adalah karena darurat. Oleh
karena itu ghibah tersebut diukur sesuai dengan ukurannya (seperlunya saja).
Maka tidak boleh berluas-luas terhadap bentuk-bentuk di atas (yang dibolehkan
ghibah). Bahkan hendaknya orang yang terkena darurat ini (sehingga dia
dibolehkan ghibah) untuk bertaqwa kepada Allah dan janganlah dia menjadi termasuk
orang-orang yang melampaui batas. (Bahjatun Nadzirin 4/35,36)
Maroji’
:
- Kitab As-Somt, karya Ibnu Abi Dunya tahqiq Syaikh Abu Ishaq Al-Huwainy
- Syarah Riadlus Solihin, karya Syaikh Utsaimin, jilid 1, Bab Taubat
- Taisir Karimir Rohman, karya Syaikh Nasir As-Sa’di
- Bahjatun Nadzirin syarah riadlus sholihin, Karya Syaikh Salim bin ‘Ied Al-Hilaly, jilid 3
- Tafsir Ibnu Katsir, jilid 4, tafsir surat Al-Hujurot
- Al-Muntaqo Al-Mukhtar min kitab Al-Adzkar (Nawawi), karya Muhammad Ali As-Shobuni, bab tahrimul ghibah
- Tuhfatul Ahwadzi
- Kitabuz Zuhud, karya Imam Waki’ bin Jarroh, tahqiq Abdul Jabbar Al-Fariwai, jilid 3
- Subulus Salam, karya As-Shon’ani, jilid 4 bab tarhib min masawiil akhlaq.
- Taudlihul Ahkam, karya Syaikh Ali Bassam, jilid 6
- Hajrul Mubtadi’, karya Syaikh Bakr Abu Zaid.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Tuliskan Komentar, Kritik dan Saran SAHABAT Disini .... !!!