Permasalahan
ini adalah permasalahan yang sering dibingungkan oleh sebagian orang. dan
kebanyakan kaum muslimin menganggap bahwa menyentuh wanita adalah membatalkan wudhu. Inilah yang dianut oleh
mayoritas kaum muslimin di negeri ini karena kebanyakan mereka menganut madzhab
Syafi’i yang berpendapat seperti ini. Lalu manakah yang tepat? Tentu saja kita
mesti mengembalikan hal ini pada pemahaman yang benar terhadap Al Qur’an dan As
Sunnah. [Pemabahasan
ini kami olah dari Shahih Fiqh Sunnah,
Syaikh Abu Malik, 1/138-140, Al Maktabah At Taufiqiyah dengan beberapa tambahan
seperlunya]
Silang Pendapat
Perlu
diketahui, dalam masalah apakah menyentuh wanita membatalkan wudhu ataukah
tidak, para ulama ada tiga macam pendapat.
Pendapat
pertama:
menyentuh wanita membatalkan wudhu secara mutlak. Pendapat ini dipilih oleh
Imam Asy Syafi’i, Ibnu Hazm, juga pendapat dari Ibnu Mas’ud dan Ibnu ‘Umar.
Pendapat
kedua:
menyentuh wanita tidak membatalkan wudhu secara mutlah. Pendapat ini dipilih
oleh madzhab Abu Hanifah, Muhammad bin Al Hasan Asy Syaibani, Ibnu ‘Abbas,
Thowus, Al Hasan Al Bashri, ‘Atho’, dan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah.
Pendapat
ketiga:
menyentuh wanita membatalkan wudhu jika dengan syahwat. Pendapat ini adalah
pendapat Imam Malik dan pendapat Imam Ahmad yang masyhur.
Untuk
melihat manakah pendapat yang lebih kuat, mari kita lihat beberapa yang
digunakan untuk masing-masing pendapat.
Batalnya Wudhu Karena Menyentuh Wanita Melalui Dalil Al Qur’an?
Sebagian
ulama yang menyatakan batal wudhu karena menyentuh wanita, berdalil dengan
firman Allah Ta’ala,
يَا
أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا إِذَا قُمْتُمْ إِلَى الصَّلَاةِ فَاغْسِلُوا
وُجُوهَكُمْ وَأَيْدِيَكُمْ إِلَى الْمَرَافِقِ وَامْسَحُوا بِرُءُوسِكُمْ
وَأَرْجُلَكُمْ إِلَى الْكَعْبَيْنِ وَإِنْ كُنْتُمْ جُنُبًا فَاطَّهَّرُوا وَإِنْ
كُنْتُمْ مَرْضَى أَوْ عَلَى سَفَرٍ أَوْ جَاءَ أَحَدٌ مِنْكُمْ مِنَ الْغَائِطِ
أَوْ لَامَسْتُمُ النِّسَاءَ فَلَمْ تَجِدُوا مَاءً فَتَيَمَّمُوا صَعِيدًا
طَيِّبًا
“Hai
orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat, maka basuhlah
mukamu dan tanganmu sampai dengan siku, dan sapulah kepalamu dan (basuh) kakimu
sampai dengan kedua mata kaki, dan jika kamu junub maka mandilah, dan jika kamu
sakit atau dalam perjalanan atau kembali dari tempat buang air (kakus) atau
menyentuh perempuan, lalu kamu tidak memperoleh air, maka bertayammumlah
dengan tanah yang baik (bersih); ...” (QS. Al Maidah: 6)
Mereka
menafsirkan kalimat “lamastumun nisaa’” dengan menyentuh perempuan.
Landasannya adalah perkataan Ibnu Mas’ud,
اللَّمْسُ،
مَا دُوْنَ الجِمَاعِ.
“Al
lams (lamastum) bermakna selain jima’”. [Lihat Tafsir Ath Thobari (Jaami’ Al Bayan fii Ta’wilil Qur’an), Ibnu Jarir Ath Thobari,
8/393, Muassasah Ar Risalah, cetakan pertama, tahun 1420 H. Syaikh Ahmad Syakir
dalam ‘Umdatut Tafsir (1/514)
mengatakan bahwa sanad riwayat inii yang paling shahih].
Perkataan
yang serupa juga dikatakan oleh Ibnu ‘Umar. Jadi, menurut keduanya lamastumun
nisaa’ bermakna selain berhubungan badan seperti menyentuh.
Akan
tetapi, tafsiran dua ulama sahabat ini bertentangan dengan perkataan sahabat
-yang lebih pakar dalam masalah tafsir yaitu Ibnu
‘Abbas -radhiyallahu ‘anhuma-. Beliau mengatakan,
إن”المس”
و”اللمس”، و”المباشرة”، الجماع، ولكن الله يكني ما شاء بما شاء
“Namanya
al mass, al lams dan al mubasyaroih bermakna jima’ (berhubungan badan). Akan
tetapi Allah menyebutkan sesuai dengan yang ia suka.”
Dalam
perkataan lainnya disebutkan,
أو
لامستم النساء”، قال: هو الجماع.
“Makna
ayat: lamastumun nisaa’ adalah jima’ (berhubungan badan).” [Lihat Tafsir Ath Thobari
(8/389). Sanad riwayat ini shahih
sebagaimana dikatakan oleh Syaikh Abu Malik dalam Shahih Fiqh Sunnah, 1/139].
Manakah dua tafsiran di atas yang lebih tepat?
Ada beberapa
jawaban untuk pertanyaan ini:
Pertama: Sebagaimana yang
dikatakan oleh Ibnu Jarir Ath Thobari bahwa makna “lamastmun nisaa‘”
dalam ayat tersebut adalah jima’ (berhubungan badan) dan bukan
dimaknakan dengan makna lain dari kata al lams. Alasannya, terdapat
hadits shahih dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa beliau
pernah mencium sebagian istrinya, lalu beliau shalat dan tidak berwudhu lagi.
Dari
‘Aisyah, beliau mengatakan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah
mencium sebagian istrinya, lalu ia pergi shalat dan tidak berwudhu. Seorang
perowi (‘Urwah) berkata pada ‘Aisyah, “Bukankah yang dicium itu engkau?”
Setelah itu ‘Aisyah pun tertawa. [Diriwayatkan oleh Ath Thobari (8/396). Beliau menshahihkan
hadits-hadits semacam ini ].
Juga terdapat riwayat Ibrahim At Taimiy, dari ‘Aisyah. Riwayat ini dishahihkan
oleh Al Albani. [HR. An Nasa-i no. 170. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih. Lihat
Misykah Al Mashobih 323 [24]]
Kedua:
Tafsiran
Ibnu ‘Abbas lebih didahulukan dari tafsiran Ibnu Mas’ud dan Ibnu ‘Umar karena
beliau lebih pakar dalam hal ini. [Alasan yang dikemukakan oleh Syaikh Abu Malik dalam Shahih Fiqh Sunnah, 1/139].
Ketiga: Kita pun bisa melihat
pada konteks ayat surat Al Maidah ayat 6,
يَا
أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا إِذَا قُمْتُمْ إِلَى الصَّلَاةِ فَاغْسِلُوا
“Hai
orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat, maka basuhlah”:
Dalam ayat ini disebutkan mengenai thoharoh (bersuci) dengan air dari hadats
kecil.
وَإِنْ
كُنْتُمْ جُنُبًا فَاطَّهَّرُوا
“dan
jika kamu junub maka mandilah”: Sedangkan ayat ini untuk bersuci dari
hadats besar.
Lalu
setelah itu, Allah menyebut:
وَإِنْ
كُنْتُمْ مَرْضَى أَوْ عَلَى سَفَرٍ أَوْ جَاءَ أَحَدٌ مِنْكُمْ مِنَ الْغَائِطِ
أَوْ لَامَسْتُمُ النِّسَاءَ فَلَمْ تَجِدُوا مَاءً فَتَيَمَّمُوا
“dan
jika kamu sakit atau dalam perjalanan atau kembali dari tempat buang air
(kakus) atau lamastumun nisaa’, lalu kamu tidak memperoleh air, maka
bertayammumlah.”
Dalam
firman Allah: “maka bertayamumlah”. Ini menunjukkan bahwa tayamum adalah
pengganti untuk dua thoharoh sekaligus jika tidak memungkinkan menggunakan air.
أَوْ
جَاءَ أَحَدٌ مِنْكُمْ مِنَ الْغَائِطِ
“atau
kembali dari tempat buang air (kakus)”:
ini adalah untuk hadats kecil. Jadi tayamum bisa sebagai pengganti wudhu.
أَوْ
لَامَسْتُمُ النِّسَاءَ
“ atau
lamastumun nisaa’”: ini
adalah untuk hadats besar. Jadi tayamum bisa mengganti mandi junub. Sehingga
dari sini, lamastumun nisaa’ termasuk hadats besar. Jadi maknanya bukan
hanya sekedar mencium atau menyentuh.
Catatan: Memang kata al lams bisa
bermakna menyentuh (meraba) dengan tangan sebagaimana disebutkan dalam ayat
berikut,
وَلَوْ
نَزَّلْنَا عَلَيْكَ كِتَابًا فِي قِرْطَاسٍ فَلَمَسُوهُ بِأَيْدِيهِمْ
“Dan
kalau Kami turunkan kepadamu tulisan di atas kertas, lalu mereka dapat
menyentuhnya dengan tangan mereka sendiri” (QS. Al An’am: 7)
Begitu
pula dapat dilihat dalam hadits,
وَالْيَدُ
زِنَاهَا اللَّمْسُ
“Zinanya
tangan adalah dengan meraba.” [HR. Ahmad 2/349. Syaikh Syu’aib Al Arnauth mengatakan bahwa hadits
ini shahih].
Namun
sebagaimana diutarakan oleh Ibnu Jarir Ath Thobari, makna “lamastmun nisaa‘”
dalam ayat tersebut adalah jima’ (berhubungan badan) dan bukan dimaknakan
dengan makna lain dari kata al lams.
Dalil Lain Bahwa Menyentuh Wanita Tidak Membatalkan Wudhu
Pertama: Hadits ‘Aisyah, ia
berkata,
فَقَدْتُ
رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- لَيْلَةً مِنَ الْفِرَاشِ فَالْتَمَسْتُهُ
فَوَقَعَتْ يَدِى عَلَى بَطْنِ قَدَمَيْهِ وَهُوَ فِى الْمَسْجِدِ
“Suatu
malam aku kehilangan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau
ternyata pergi dari tempat tidurnya dan ketika itu aku menyentuhnya. Lalu aku
menyingkirkan tanganku dari telapak kakinya (bagian dalam), sedangkan ketika
itu beliau sedang (shalat) di masjid …” [HR.
Muslim no. 486]
Kedua: Hadits ‘Aisyah, ia
berkata,
كُنْتُ
أَنَامُ بَيْنَ يَدَىْ رَسُولِ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – وَرِجْلاَىَ فِى
قِبْلَتِهِ ، فَإِذَا سَجَدَ غَمَزَنِى ، فَقَبَضْتُ رِجْلَىَّ ، فَإِذَا قَامَ
بَسَطْتُهُمَا . قَالَتْ وَالْبُيُوتُ يَوْمَئِذٍ لَيْسَ فِيهَا مَصَابِيحُ
“Aku
pernah tidur di hadapan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan kedua
kakiku di arah kiblat beliau. Ketika ia hendak sujud, ia meraba kakiku. Lalu
aku memegang kaki tadi. Jika bediri, beliau membentangkan kakiku lagi.”
‘Aisyah mengatakan, “Rumah Nabi ketika itu tidak ada penerangan.” [HR.
Bukhari no. 382 dan Muslim no. 512].
Ketiga:
Sudah
diketahui bahwa para sahabat pasti selalu menyentuh isti-istrinya. Namun tidak
diketahui kalau ada satu perintah dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk
berwudhu dan tidak ada satu riwayat yang menyebutkan bahwa ketika itu para
sahabat berwudhu. Padahal seperti ini sudah sering terjadi ketika itu. Bahkan
yang diketahui bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mencium sebagian
istrinya dan tanpa berwudhu lagi. Walaupun memang hadits ini diperselisihkan
oleh para ulama mengenai keshahihannya. Namun tidak ada riwayat yang menyatakan
bahwa beliau berwudhu karena sebab bersentuhan dengan wanita. Inilah penjelasan
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah yang kami sarikan.
Sedangkan
perkataan ulama yang menyatakan bahwa menyentuh wanita dengan syahwat saja yang
membatalkan wudhu, maka ini adalah pendapat yang tidak berdalil. Namun jika
sekedar menganjurkan untuk berwudhu sebagaimana orang yang marah dianjurkan
untuk berwudhu, maka ini baik. Akan tetapi, hal ini bukanlah wajib. Wallahu
Ta’ala a’lam.
Perhatian: Hukum Menyentuh Wanita Yang Bukan Mahrom
Jika
sudah jelas penjelasan menyentuh wanita di atas berkaitan dengan masalah wudhu.
Lalu bagaimana dengan hukum menyentuh wanita yang bukan mahrom, berdosa ataukah
tidak?
Ada
hadits yang bisa kita perhatikan, yaitu dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu
, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
كُتِبَ عَلَى ابْنِ آدَمَ نَصِيبُهُ
مِنَ الزِّنَى مُدْرِكٌ
ذَلِكَ لاَ مَحَالَةَ
فَالْعَيْنَانِ زِنَاهُمَا
النَّظَرُ وَالأُذُنَانِ
زِنَاهُمَا الاِسْتِمَاعُ
وَاللِّسَانُ زِنَاهُ
الْكَلاَمُ وَالْيَدُ
زِنَاهَا الْبَطْشُ
وَالرِّجْلُ زِنَاهَا
الْخُطَا وَالْقَلْبُ
يَهْوَى وَيَتَمَنَّى
وَيُصَدِّقُ ذَلِكَ الْفَرْجُ
وَيُكَذِّبُهُ
“Setiap
anak Adam telah ditakdirkan bagian untuk berzina dan ini suatu yang pasti
terjadi, tidak bisa tidak. Zina kedua mata adalah dengan melihat. Zina kedua
telinga dengan mendengar. Zina lisan adalah dengan berbicara. Zina tangan
adalah dengan meraba (menyentuh). Zina kaki adalah dengan melangkah. Zina
hati adalah dengan menginginkan dan berangan-angan. Lalu kemaluanlah yang nanti
akan membenarkan atau mengingkari yang demikian.” [HR. Muslim no. 6925].
Zina
tangan adalah dengan menyentuh lawan jenis yang bukan mahrom dan di sini
disebut dengan zina sehingga ini menunjukkan haramnya. Karena ada kaedah:
“Apabila sesuatu dinamakan dengan sesuatu lain yang haram, maka menunjukkan
bahwa perbuatan tersebut adalah haram.”. Semoga kita bisa memperhatikan hal
ini.
Kesimpulan:
Menyentuh wanita tidak membatalkan menurut pendapat yang lebih kuat. Namun jika
menyentuh wanita bukan mahrom, ada
konsekuensi berdosa berdasarkan penjelasan terakhir di atas. Wallahu a’lam.
Semoga
artikel yang singkat ini dapat bermanfaat dan menambah ilmu dan pengetahuan
kita dalam mendalami ajaran islam dan sunnah Rasulullah SAW.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Tuliskan Komentar, Kritik dan Saran SAHABAT Disini .... !!!