Segala
puji bagi Allah, Rabb semesta alam. Shalawat dan salam kepada Nabi kita
Muhammad, keluarga dan sahabatnya serta orang-orang yang mengikuti mereka
dengan baik hingga akhir zaman.
Niat, Syarat Sahnya Mandi
Para
ulama mengatakan bahwa di antara fungsi niat adalah untuk membedakan manakah
yang menjadi kebiasaan dan manakah ibadah. Dalam hal mandi tentu saja mesti
dibedakan dengan mandi biasa. Pembedanya adalah niat. Dalam hadits dari ‘Umar
bin Al Khattab, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِنَّمَا
الأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ
“Sesungguhnya
setiap amalan tergantung pada niatnya.” (HR. Bukhari no. 1 dan Muslim no.
1907)
Rukun Mandi
Hakikat
mandi adalah mengguyur seluruh badan dengan air, yaitu mengenai rambut dan
kulit.
Inilah
yang diterangkan dalam banyak hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Di antaranya adalah hadits ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha yang menceritakan
tata cara mandi Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
ثُمَّ
يُفِيضُ الْمَاءَ عَلَى جَسَدِهِ كُلِّهِ
“Kemudian
beliau mengguyur air pada seluruh badannya.” (HR. An Nasa-i no. 247. Syaikh
Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih)
Ibnu
Hajar Al Asqolani mengatakan, “Penguatan makna dalam hadits ini menunjukkan
bahwa ketika mandi beliau mengguyur air ke seluruh tubuh.” [Fathul Bari,
Ibnu Hajar Al Asqolani, 1/361, Darul Ma’rifah, 1379]
Dari
Jubair bin Muth’im berkata, “Kami saling memperbincangkan tentang mandi janabah
di sisi Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, lalu beliau bersabda,
أَمَّا
أَنَا فَآخُذُ مِلْءَ كَفِّى ثَلاَثاً فَأَصُبُّ عَلَى رَأْسِى ثُمَّ أُفِيضُهُ
بَعْدُ عَلَى سَائِرِ جَسَدِى
“Saya
mengambil dua telapak tangan, tiga kali lalu saya siramkan pada kepalaku,
kemudian saya tuangkan setelahnya pada semua tubuhku.” (HR. Ahmad 4/81.
Syaikh Syu’aib Al Arnauth mengatakan bahwa sanad hadits ini shahih
sesuai syarat Bukhari Muslim)
Dalil
yang menunjukkan bahwa hanya mengguyur seluruh badan dengan air itu merupakan
rukun (fardhu) mandi dan bukan selainnya adalah hadits yang diriwayatkan oleh
Ummu Salamah. Ia mengatakan,
قُلْتُ
يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنِّى امْرَأَةٌ أَشُدُّ ضَفْرَ رَأْسِى فَأَنْقُضُهُ
لِغُسْلِ الْجَنَابَةِ قَالَ « لاَ إِنَّمَا يَكْفِيكِ أَنْ تَحْثِى عَلَى
رَأْسِكِ ثَلاَثَ حَثَيَاتٍ ثُمَّ تُفِيضِينَ عَلَيْكِ الْمَاءَ فَتَطْهُرِينَ ».
“Saya
berkata, wahai Rasulullah, aku seorang wanita yang mengepang rambut kepalaku,
apakah aku harus membuka kepangku ketika mandi junub?” Beliau bersabda, “Jangan
(kamu buka). Cukuplah kamu mengguyur air pada kepalamu tiga kali, kemudian
guyurlah yang lainnya dengan air, maka kamu telah suci.” (HR. Muslim no.
330)
Dengan
seseorang memenuhi rukun mandi ini, maka mandinya dianggap sah, asalkan
disertai niat untuk mandi wajib (al ghuslu). Jadi seseorang yang mandi
di pancuran atau shower dan air mengenai seluruh tubuhnya, maka mandinya
sudah dianggap sah.
Adapun
berkumur-kumur (madhmadhoh), memasukkan air dalam hidung (istinsyaq)
dan menggosok-gosok badan (ad dalk) adalah perkara yang disunnahkan
menurut mayoritas ulama. [Penjelasannya silakan lihat di Shahih Fiqh Sunnah,
Syaikh Abu Malik, 1/173-174 dan 1/177-178, Al Maktabah At Taufiqiyah ]
Tata Cara Mandi yang Sempurna
Berikut
kita akan melihat tata cara mandi yang disunnahkan. Apabila hal ini dilakukan,
maka akan membuat mandi tadi lebih sempurna. Yang menjadi dalil dari bahasan
ini adalah dua dalil yaitu hadits dari ‘Aisyah dan hadits dari Maimunah.
Hadits
pertama:
عَنْ
عَائِشَةَ زَوْجِ النَّبِىِّ – صلى الله عليه وسلم – أَنَّ النَّبِىَّ – صلى الله
عليه وسلم – كَانَ إِذَا اغْتَسَلَ مِنَ الْجَنَابَةِ بَدَأَ فَغَسَلَ يَدَيْهِ ،
ثُمَّ يَتَوَضَّأُ كَمَا يَتَوَضَّأُ لِلصَّلاَةِ ، ثُمَّ يُدْخِلُ أَصَابِعَهُ
فِى الْمَاءِ ، فَيُخَلِّلُ بِهَا أُصُولَ شَعَرِهِ ثُمَّ يَصُبُّ عَلَى رَأْسِهِ
ثَلاَثَ غُرَفٍ بِيَدَيْهِ ، ثُمَّ يُفِيضُ الْمَاءَ عَلَى جِلْدِهِ كُلِّهِ
Dari ‘Aisyah,
isteri Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, bahwa jika Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam mandi junub, beliau memulainya dengan mencuci kedua
telapak tangannya. Kemudian beliau berwudhu sebagaimana wudhu untuk shalat.
Lalu beliau memasukkan jari-jarinya ke dalam air, lalu menggosokkannya ke kulit
kepalanya, kemudian menyiramkan air ke atas kepalanya dengan cidukan kedua
telapak tangannya sebanyak tiga kali, kemudian beliau mengalirkan air ke seluruh
kulitnya.” (HR. Bukhari no. 248 dan Muslim no. 316)
Hadits
kedua:
عَنِ
ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ قَالَتْ مَيْمُونَةُ وَضَعْتُ لِرَسُولِ اللَّهِ – صلى الله
عليه وسلم – مَاءً يَغْتَسِلُ بِهِ ، فَأَفْرَغَ عَلَى يَدَيْهِ ، فَغَسَلَهُمَا
مَرَّتَيْنِ مَرَّتَيْنِ أَوْ ثَلاَثًا ، ثُمَّ أَفْرَغَ بِيَمِينِهِ عَلَى
شِمَالِهِ ، فَغَسَلَ مَذَاكِيرَهُ ، ثُمَّ دَلَكَ يَدَهُ بِالأَرْضِ ، ثُمَّ
مَضْمَضَ وَاسْتَنْشَقَ ، ثُمَّ غَسَلَ وَجْهَهُ وَيَدَيْهِ ثُمَّ غَسَلَ رَأْسَهُ
ثَلاَثًا ، ثُمَّ أَفْرَغَ عَلَى جَسَدِهِ ، ثُمَّ تَنَحَّى مِنْ مَقَامِهِ
فَغَسَلَ قَدَمَيْهِ
Dari
Ibnu ‘Abbas berkata bahwa Maimunah mengatakan, “Aku pernah menyediakan air
mandi untuk Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Lalu beliau
menuangkan air pada kedua tangannya dan mencuci keduanya dua kali-dua kali atau
tiga kali. Lalu dengan tangan kanannya beliau menuangkan air pada telapak
tangan kirinya, kemudian beliau mencuci kemaluannya. Setelah itu beliau
menggosokkan tangannya ke tanah. Kemudian beliau berkumur-kumur dan memasukkan
air ke dalam hidung. Lalu beliau membasuh muka dan kedua tangannya. Kemudian
beliau membasuh kepalanya tiga kali dan mengguyur seluruh badannya. Setelah itu
beliau bergeser dari posisi semula lalu mencuci kedua telapak kakinya (di
tempat yang berbeda).” (HR. Bukhari no. 265 dan Muslim no. 317)
Dari
dua hadits di atas, kita dapat merinci tata cara mandi yang disunnahkan sebagai
berikut.
1.
Mencuci tangan terlebih dahulu sebanyak tiga kali sebelum tangan tersebut
dimasukkan dalam bejana atau sebelum mandi.
Ibnu
Hajar Al Asqolani rahimahullah mengatakan, “Boleh jadi tujuan untuk
mencuci tangan terlebih dahulu di sini adalah untuk membersihkan tangan dari
kotoran … Juga boleh jadi tujuannya adalah karena mandi tersebut dilakukan
setelah bangun tidur.” [Fathul Bari, 1/360]
2.
Membersihkan kemaluan dan kotoran yang ada dengan tangan kiri.
3.
Mencuci tangan setelah membersihkan kemaluan dengan menggosokkan ke tanah atau
dengan menggunakan sabun.
An
Nawawi rahimahullah mengatakan, “Disunnahkan bagi orang yang beristinja’
(membersihkan kotoran) dengan air, ketika selesai, hendaklah ia mencuci
tangannya dengan debu atau semacam sabun, atau hendaklah ia menggosokkan
tangannya ke tanah atau tembok untuk menghilangkan kotoran yang ada.” [Al
Minhaj Syarh Shahih Muslim, Yahya bin Syarf An Nawawi, 3/231, Dar Ihya’ At
Turots Al ‘Arobi, 1392]
4.
Berwudhu dengan wudhu yang sempurna seperti ketika hendak shalat.
Asy
Syaukani rahimahullah mengatakan, “Adapun mendahulukan mencuci anggota
wudhu ketika mandi itu tidaklah wajib. Cukup dengan seseorang mengguyur badan
ke seluruh badan tanpa didahului dengan berwudhu, maka itu sudah disebut mandi
(al ghuslu).” [Ad Daroril Mudhiyah Syarh Ad Duroril Bahiyyah, Muhammad
bin ‘Ali Asy Syaukani, hal. 61, Darul ‘Aqidah, terbitan tahun 1425 H ]
Untuk
kaki ketika berwudhu, kapankah dicuci?
Jika
kita melihat dari hadits Maimunah di atas, dicontohkan oleh Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam bahwa beliau membasuh anggota wudhunya dulu sampai
membasuh kepala, lalu mengguyur air ke seluruh tubuh, sedangkan kaki dicuci
terakhir. Namun hadits ‘Aisyah menerangkan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam berwudhu secara sempurna (sampai mencuci kaki), setelah itu beliau
mengguyur air ke seluruh tubuh.
Dari
dua hadits tersebut, para ulama akhirnya berselisih pendapat kapankah kaki itu
dicuci. Yang tepat tentang masalah ini, dua cara yang disebut dalam hadits
‘Aisyah dan Maimunah bisa sama-sama digunakan. Yaitu kita bisa saja mandi
dengan berwudhu secara sempurna terlebih dahulu, setelah itu kita mengguyur air
ke seluruh tubuh, sebagaimana disebutkan dalam riwayat ‘Aisyah. Atau boleh jadi
kita gunakan cara mandi dengan mulai berkumur-kumur, memasukkan air dalam
hidup, mencuci wajah, mencuci kedua tangan, mencuci kepala, lalu mengguyur air
ke seluruh tubuh, kemudian kaki dicuci terakhir.
Syaikh
Abu Malik hafizhohullah mengatakan, “Tata cara mandi (apakah dengan cara
yang disebut dalam hadits ‘Aisyah dan Maimunah) itu sama-sama boleh digunakan,
dalam masalah ini ada kelapangan.” [Shahih Fiqh Sunnah, 1/175-17]
5.
Mengguyur air pada kepala sebanyak tiga kali hingga sampai ke pangkal rambut.
6.
Memulai mencuci kepala bagian kanan, lalu kepala bagian kiri.
7.
Menyela-nyela rambut.
Dalam
hadits ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha disebutkan,
كَانَ
رَسُولُ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – إِذَا اغْتَسَلَ مِنَ الْجَنَابَةِ غَسَلَ
يَدَيْهِ ، وَتَوَضَّأَ وُضُوءَهُ لِلصَّلاَةِ ثُمَّ اغْتَسَلَ ، ثُمَّ يُخَلِّلُ
بِيَدِهِ شَعَرَهُ ، حَتَّى إِذَا ظَنَّ أَنْ قَدْ أَرْوَى بَشَرَتَهُ ، أَفَاضَ
عَلَيْهِ الْمَاءَ ثَلاَثَ مَرَّاتٍ ، ثُمَّ غَسَلَ سَائِرَ جَسَدِهِ
“Jika
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mandi junub, beliau mencuci tangannya
dan berwudhu sebagaimana wudhu untuk shalat. Kemudian beliau mandi dengan
menggosok-gosokkan tangannya ke rambut kepalanya hingga bila telah yakin merata
mengenai dasar kulit kepalanya, beliau mengguyurkan air ke atasnya tiga kali.
Lalu beliau membasuh badan lainnya.” (HR. Bukhari no. 272)
Juga
‘Aisyah radhiyallahu ‘anha mengatakan,
كُنَّا
إِذَا أَصَابَتْ إِحْدَانَا جَنَابَةٌ ، أَخَذَتْ بِيَدَيْهَا ثَلاَثًا فَوْقَ
رَأْسِهَا ، ثُمَّ تَأْخُذُ بِيَدِهَا عَلَى شِقِّهَا الأَيْمَنِ ، وَبِيَدِهَا
الأُخْرَى عَلَى شِقِّهَا الأَيْسَرِ
“Jika
salah seorang dari kami mengalami junub, maka ia mengambil air dengan kedua
tangannya dan disiramkan ke atas kepala, lalu mengambil air dengan tangannya
dan disiramkan ke bagian tubuh sebelah kanan, lalu kembali mengambil air dengan
tangannya yang lain dan menyiramkannya ke bagian tubuh sebelah kiri.” (HR.
Bukhari no. 277)
8.
Mengguyur air pada seluruh badan dimulai dari sisi yang kanan setelah itu yang
kiri.
Dalilnya
adalah hadits ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, ia berkata,
كَانَ
النَّبِىُّ – صلى الله عليه وسلم – يُعْجِبُهُ التَّيَمُّنُ فِى تَنَعُّلِهِ
وَتَرَجُّلِهِ وَطُهُورِهِ وَفِى شَأْنِهِ كُلِّهِ
“Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa mendahulukan yang kanan ketika memakai
sendal, ketika bersisir, ketika bersuci dan dalam setiap perkara (yang
baik-baik).” (HR. Bukhari no. 168 dan Muslim no. 268)
Mengguyur
air ke seluruh tubuh di sini cukup sekali saja sebagaimana zhohir (tekstual)
hadits yang membicarakan tentang mandi. Inilah salah satu pendapat dari madzhab
Imam Ahmad dan dipilih oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah. [Al Ikhtiyaarot Al
Fiqhiyah li Syaikhil Islam Ibni Taimiyah, ‘Alauddin Abul Hasan ‘Ali bin
Muhammad Al Ba’li Ad Dimasyqi Al Hambali, hal. 14, Mawqi’ Misykatul Islamiyah ]
Bagaimanakah Tata Cara Mandi pada Wanita?
Tata
cara mandi junub pada wanita sama dengan tata cara mandi yang diterangkan di
atas sebagaimana telah diterangkan dalam hadits Ummu Salamah, “Saya berkata,
wahai Rasulullah, aku seorang wanita yang mengepang rambut kepalaku, apakah aku
harus membuka kepangku ketika mandi junub?” Beliau bersabda, “Jangan
(kamu buka). Cukuplah kamu mengguyur air pada kepalamu tiga kali, kemudian
guyurlah yang lainnya dengan air, maka kamu telah suci.” (HR. Muslim no.
330)
Untuk
mandi karena haidh dan nifas, tata caranya sama dengan mandi junub namun
ditambahkan dengan beberapa hal berikut ini:
1.
Menggunakan sabun dan pembersih lainnya beserta air.
Hal
ini berdasarkan hadits ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha,
أَنَّ
أَسْمَاءَ سَأَلَتِ النَّبِىَّ -صلى الله عليه وسلم- عَنْ غُسْلِ الْمَحِيضِ
فَقَالَ « تَأْخُذُ إِحْدَاكُنَّ مَاءَهَا وَسِدْرَتَهَا فَتَطَهَّرُ فَتُحْسِنُ
الطُّهُورَ ثُمَّ تَصُبُّ عَلَى رَأْسِهَا فَتَدْلُكُهُ دَلْكًا شَدِيدًا حَتَّى
تَبْلُغَ شُئُونَ رَأْسِهَا ثُمَّ تَصُبُّ عَلَيْهَا الْمَاءَ. ثُمَّ تَأْخُذُ
فِرْصَةً مُمَسَّكَةً فَتَطَهَّرُ بِهَا ». فَقَالَتْ أَسْمَاءُ وَكَيْفَ
تَطَهَّرُ بِهَا فَقَالَ « سُبْحَانَ اللَّهِ تَطَهَّرِينَ بِهَا ». فَقَالَتْ
عَائِشَةُ كَأَنَّهَا تُخْفِى ذَلِكَ تَتَبَّعِينَ أَثَرَ الدَّمِ. وَسَأَلَتْهُ
عَنْ غُسْلِ الْجَنَابَةِ فَقَالَ « تَأْخُذُ مَاءً فَتَطَهَّرُ فَتُحْسِنُ
الطُّهُورَ – أَوْ تُبْلِغُ الطُّهُورَ – ثُمَّ تَصُبُّ عَلَى رَأْسِهَا
فَتَدْلُكُهُ حَتَّى تَبْلُغَ شُئُونَ رَأْسِهَا ثُمَّ تُفِيضُ عَلَيْهَا الْمَاءَ
»
“Asma’
bertanya kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang mandi wanita
haidh. Maka beliau bersabda, “Salah seorang dari kalian hendaklah mengambil
air dan daun bidara, lalu engkau bersuci, lalu membaguskan bersucinya. Kemudian
hendaklah engkau menyiramkan air pada kepalanya, lalu menggosok-gosoknya dengan
keras hingga mencapai akar rambut kepalanya. Kemudian hendaklah engkau
menyiramkan air pada kepalanya tadi. Kemudian engkau mengambil kapas bermisik,
lalu bersuci dengannya. Lalu Asma’ berkata, “Bagaimana dia dikatakan suci
dengannya?” Beliau bersabda, “Subhanallah, bersucilah kamu dengannya.” Lalu
Aisyah berkata -seakan-akan dia menutupi hal tersebut-, “Kamu sapu bekas-bekas
darah haidh yang ada (dengan kapas tadi)”. Dan dia bertanya kepada
beliau tentang mandi junub, maka beliau bersabda, ‘Hendaklah kamu mengambil air
lalu bersuci dengan sebaik-baiknya bersuci, atau bersangat-sangat dalam bersuci
kemudian kamu siramkan air pada kepala, lalu memijatnya hingga mencapai dasar
kepalanya, kemudian mencurahkan air padanya’.” (HR. Bukhari no. 314 dan
Muslim no. 332)
2.
Melepas kepangan sehingga air sampai ke pangkal rambut.
Dalil
hal ini adalah hadits yang telah lewat,
ثُمَّ تَصُبُّ عَلَى رَأْسِهَا
فَتَدْلُكُهُ دَلْكًا
شَدِيدًا حَتَّى تَبْلُغَ
شُئُونَ رَأْسِهَا
“Kemudian
hendaklah kamu menyiramkan air pada kepalanya, lalu menggosok-gosoknya dengan
keras hingga mencapai akar rambut kepalanya.”
Dalil
ini menunjukkan tidak cukup dengan hanya mengalirkan air seperti halnya mandi
junub. Sedangkan mengenai mandi junub disebutkan,
ثُمَّ
تَصُبُّ عَلَى رَأْسِهَا فَتَدْلُكُهُ حَتَّى تَبْلُغَ شُئُونَ رَأْسِهَا ثُمَّ
تُفِيضُ عَلَيْهَا الْمَاءَ
“Kemudian
kamu siramkan air pada kepala, lalu memijatnya hingga mencapai dasar kepalanya,
kemudian mengguyurkan air padanya.”
Dalam
mandi junub tidak disebutkan “menggosok-gosok dengan keras”. Hal ini
menunjukkan bedanya mandi junub dan mandi karena haidh/nifas.
3.
Ketika mandi sesuai masa haidh, seorang wanita disunnahkan membawa kapas atau
potongan kain untuk mengusap tempat keluarnya darah guna menghilangkan
sisa-sisanya. Selain itu, disunnahkan mengusap bekas darah pada kemaluan
setelah mandi dengan minyak misk atau parfum lainnya. Hal ini dengan tujuan
untuk menghilangkan bau yang tidak enak karena bekas darah haidh.
Perlukah Berwudhu Seusai Mandi?
Cukup
kami bawakan dua riwayat tentang hal ini,
عَنْ
عَائِشَةَ أَنَّ النَّبِىَّ -صلى الله عليه وسلم- كَانَ لاَ يَتَوَضَّأُ بَعْدَ
الْغُسْلِ
Dari
‘Aisyah, ia berkata, “Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak berwudhu
setelah selesai mandi.” (HR. Tirmidzi no. 107, An Nasai no. 252, Ibnu Majah
no. 579, Ahmad 6/68. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih)
Sebuah
riwayat dari Ibnu ‘Umar,
سُئِلَ
عَنِ الْوُضُوءِ بَعْدَ الْغُسْلِ؟ فَقَالَ:وَأَيُّ وُضُوءٍ أَعَمُّ مِنَ
الْغُسْلِ؟
Beliau
ditanya mengenai wudhu setelah mandi. Lalu beliau menjawab, “Lantas wudhu
yang mana lagi yang lebih besar dari mandi?” [HR. Ibnu Abi Syaibah secara marfu’
dan mauquf [Lihat Ad Daroril Mudhiyah, hal. 61]
Abu
Bakr Ibnul ‘Arobi berkata, “Para ulama tidak berselisih pendapat bahwa
wudhu telah masuk dalam mandi.” Ibnu Baththol juga telah menukil adanya
ijma’ (kesepakatan ulama) dalam masalah ini.
Penjelasan
ini adalah sebagai alasan yang kuat bahwa jika seseorang sudah berniat untuk
mandi wajib, lalu ia mengguyur seluruh badannya dengan air, maka setelah mandi
ia tidak perlu berwudhu lagi, apalagi jika sebelum mandi ia sudah berwudhu.
Apakah Boleh Mengeringkan Badan dengan Handuk Setelah Mandi?
Di dalam
hadits Maimunah disebutkan mengenai tata cara mandi, lalu diakhir hadits
disebutkan,
فَنَاوَلْتُهُ
ثَوْبًا فَلَمْ يَأْخُذْهُ ، فَانْطَلَقَ وَهْوَ يَنْفُضُ يَدَيْهِ
“Lalu
aku sodorkan kain (sebagai pengering) tetapi beliau tidak mengambilnya, lalu
beliau pergi dengan mengeringkan air dari badannya dengan tangannya” (HR.
Bukhari no. 276).
Berdasarkan
hadits ini, sebagian ulama memakruhkan mengeringkan badan setelah mandi. Namun
yang tepat, hadits tersebut bukanlah pendukung pendapat tersebut dengan
beberapa alasan:
1.
Perbuatan
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika itu masih mengandung beberapa
kemungkinan. Boleh jadi beliau tidak mengambil kain (handuk) tersebut karena
alasan lainnya yang bukan maksud untuk memakruhkan mengeringkan badan ketika
itu. Boleh jadi kain tersebut mungkin sobek atau beliau buru-buru saja karena
ada urusan lainnya.
2.
Hadits
ini malah menunjukkan bahwa kebiasaan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
adalah mengeringkan badan sehabis mandi. Seandainya bukan kebiasaan beliau,
maka tentu saja beliau tidak dibawakan handuk ketika itu.
3.
Mengeringkan
air dengan tangan menunjukkan bahwa mengeringkan air dengan kain bukanlah
makruh karena keduanya sama-sama mengeringkan.
Kesimpulannya,
mengeringkan air dengan kain (handuk) tidaklah mengapa. [Shahih Fiqh Sunnah,
1/181]
Demikian
pembahasan kami seputar mandi wajib (al ghuslu). Semoga bermanfaat. Alhamdulillahilladzi
bi ni’matihi tatimmush sholihaat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Tuliskan Komentar, Kritik dan Saran SAHABAT Disini .... !!!