Imam
Abu Hanifah (w 150 H) Berkeyakinan "Allah Ada Tanpa Tempat", Tidak
Seperti Keyakinan Kaum Wahhabiyyah.. Awas Terkecoh!!
Suatu
ketika al-Imam Abu Hanifah ditanya makna "Istawa", beliau menjawab:
“Barang siapa berkata: Saya tidak tahu apakah Allah berada di langit atau
barada di bumi maka ia telah menjadi kafir. Karena perkataan semacam itu
memberikan pemahaman bahwa Allah bertempat. Dan barangsiapa berkeyakinan bahwa
Allah bertempat maka ia adalah seorang musyabbih; menyerupakan Allah dengan
makhuk-Nya” (Pernyataan al-Imam Abu Hanifah ini dikutip oleh banyak ulama. Di
antaranya oleh al-Imam Abu Manshur al-Maturidi dalam Syarh al-Fiqh al-Akbar,
al-Imam al-Izz ibn Abd as-Salam dalam Hall ar-Rumuz, al-Imam Taqiyuddin
al-Hushni dalam Daf’u Syubah Man Syabbah Wa Tamarrad, dan al-Imam Ahmad
ar-Rifa’i dalam al-Burhan al-Mu’yyad).
Di
sini ada pernyataan yang harus kita waspadai, ialah pernyataan Ibn al-Qayyim
al-Jawziyyah. Murid Ibn Taimiyah ini banyak membuat kontroversi dan melakukan
kedustaan persis seperti yang biasa dilakukan gurunya sendiri. Di antaranya,
kedustaan yang ia sandarkan kepada al-Imam Abu Hanifah. Dalam beberapa bait
sya’ir Nuniyyah-nya, Ibn al-Qayyim menuliskan sebagai berikut:
“Demikian
telah dinyatakan oleh Al-Imam Abu Hanifah an-Nu’man ibn Tsabit, juga oleh
Al-Imam Ya’qub ibn Ibrahim al-Anshari. Adapun lafazh-lafazhnya berasal dari
pernyataan Al-Imam Abu Hanifah...
bahwa
orang yang tidak mau menetapkan Allah berada di atas arsy-Nya, dan bahwa Dia di
atas langit serta di atas segala tempat, ...
Demikian
pula orang yang tidak mau mengakui bahwa Allah berada di atas arsy, --di mana
perkara tersebut tidak tersembunyi dari setiap getaran hati manusia--,...
Maka
itulah orang yang tidak diragukan lagi dan pengkafirannya. Inilah pernyataan
yang telah disampaikan oleh al-Imam masa sekarang (maksudnya gurunya sendiri;
Ibn Taimiyah).
Inilah
pernyataan yang telah tertulis dalam kitab al-Fiqh al-Akbar (karya Al-Imam Abu
Hanifah), di mana kitab tersebut telah memiliki banyak penjelasannya”.
Sesungguhnya
memang seorang yang tidak memiliki senjata argumen, ia akan berkata apapun
untuk menguatkan keyakinan yang ia milikinya, termasuk melakukan
kebohongan-kebohongan kepada para ulama terkemuka. Inilah tradisi ahli bid’ah,
untuk menguatkan bid’ahnya, mereka akan berkata: al-Imam Malik berkata
demikian, atau al-Imam Abu Hanifah berkata demikian, dan seterusnya. Padahal
sama sekali perkataan mereka adalah kedustaan belaka.
Dalam
al-Fiqh al-Akbar, al-Imam Abu Hanifah menuliskan sebagai berikut:
“Dan
sesungguhnya Allah itu satu bukan dari segi hitungan, tapi dari segi bahwa
tidak ada sekutu bagi-Nya. Dia tidak melahirkan dan tidak dilahirkan, tidak ada
suatu apapun yang meyerupai-Nya. Dia bukan benda, dan tidak disifati dengan
sifat-sifat benda. Dia tidak memiliki batasan (tidak memiliki bentuk; artinya
bukan benda), Dia tidak memiliki keserupaan, Dia tidak ada yang dapat
menentang-Nya, Dia tidak ada yang sama dengan-Nya, Dia tidak menyerupai suatu
apapun dari makhluk-Nya, dan tidak ada suatu apapun dari makhluk-Nya yang
menyerupainya” (Lihat al-Fiqh al-Akbar dengan Syarh-nya karya Mulla ‘Ali al-Qari’,
h. 30-31).
Masih
dalam al-Fiqh al-Akbar, Al-Imam Abu Hanifah juga menuliskan sebagai berikut:
وَاللهُ تَعَالى يُرَى فِي الآخِرَة، وَيَرَاهُ الْمُؤْمِنُوْنَ وَهُمْ فِي الْجَنّةِ بِأعْيُنِ رُؤُوسِهِمْ بلاَ تَشْبِيْهٍ وَلاَ كَمِّيَّةٍ وَلاَ يَكُوْنُ بَيْنَهُ وَبَيْنَ خَلْقِهِ مَسَافَة.
“Dan
kelak orang-orang mukmin di surga nanti akan melihat Allah dengan mata kepala
mereka sendiri. Mereka melihat-Nya tanpa adanya keserupaan (tasybih), tanpa
sifat-sifat benda (Kayfiyyah), tanpa bentuk (kammiyyah), serta tanpa adanya
jarak antara Allah dan orang-orang mukmin tersebut (artinya bahwa Allah ada
tanpa tempat, tidak di dalam atau di luar surga, tidak di atas, bawah,
belakang, depan, samping kanan atau-pun samping kiri)”” ( Lihat al-Fiqh
al-Akbar dengan syarah Syekh Mulla Ali al-Qari, h. 136-137).
Pernyataan
al-Imam Abu Hanifah ini sangat jelas dalam menetapkan kesucian tauhid. Artinya,
kelak orang-orang mukmin disurga akan langsung melihat Allah dengan mata kepala
mereka masing-masing. Orang-orang mukmin tersebut di dalam surga, namun Allah
bukan berarti di dalam surga. Allah tidak boleh dikatakan bagi-Nya “di dalam”
atau “di luar”. Dia bukan benda, Dia ada tanpa tempat dan tanpa arah. Inilah
yang dimaksud oleh Al-Imam Abu Hanifah bahwa orang-orang mukmin akan melihat
Allah tanpa tasybih, tanpa Kayfiyyah, dan tanpa kammiyyah.
Pada
bagian lain dari Syarh al-Fiqh al-Akbar, yang juga dikutip dalam al-Washiyyah,
al-Imam Abu Hanifah berkata:
ولقاء الله تعالى لأهل الجنة بلا كيف ولا تشبيه ولا جهة حق
“Bertemu
dengan Allah bagi penduduk surga adalah kebenaran. Hal itu tanpa dengan
Kayfiyyah, dan tanpa tasybih, dan juga tanpa arah” (al-Fiqh al-Akbar dengan
Syarah Mulla ‘Ali al-Qari’, h. 138).
Kemudian
pada bagian lain dari al-Washiyyah, beliau menuliskan:
وَنُقِرّ بِأنّ اللهَ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى عَلَى العَرْشِ اسْتَوَى مِنْ غَيْرِ أنْ يَكُوْنَ لَهُ حَاجَةٌ إليْهِ وَاسْتِقْرَارٌ عَلَيْهِ، وَهُوَ حَافِظُ العَرْشِ وَغَيْرِ العَرْشِ مِنْ غَبْرِ احْتِيَاجٍ، فَلَوْ كَانَ مُحْتَاجًا لَمَا قَدَرَ عَلَى إيْجَادِ العَالَمِ وَتَدْبِيْرِهِ كَالْمَخْلُوقِيْنَ، وَلَوْ كَانَ مُحْتَاجًا إلَى الجُلُوْسِ وَالقَرَارِ فَقَبْلَ خَلْقِ العَرْشِ أيْنَ كَانَ الله، تَعَالَى اللهُ عَنْ ذَلِكَ عُلُوّا كَبِيْرًا.
“Kita
menetapkan sifat Istiwa bagi Allah pada arsy, bukan dalam pengertian Dia
membutuhkan kepada arsy tersebut, juga bukan dalam pengertian bahwa Dia
bertempat atau bersemayam di arsy. Allah yang memelihara arsy dan memelihara
selain arsy, maka Dia tidak membutuhkan kepada makhluk-makhluk-Nya tersebut.
Karena jika Allah membutuhkan kapada makhluk-Nya maka berarti Dia tidak mampu
untuk menciptakan alam ini dan mengaturnya. Dan jika Dia tidak mampu atau lemah
maka berarti sama dengan makhluk-Nya sendiri. Dengan demikian jika Allah
membutuhkan untuk duduk atau bertempat di atas arsy, lalu sebelum menciptakan
arsy dimanakah Ia? (Artinya, jika sebelum menciptakan arsy Dia tanpa tempat,
dan setelah menciptakan arsy Dia berada di atasnya, berarti Dia berubah,
sementara perubahan adalah tanda makhluk). Allah maha suci dari pada itu semua
dengan kesucian yang agung” (Lihat al-Washiyyah dalam kumpulan risalah-risalah
Imam Abu Hanifah tahqiq Muhammad Zahid al-Kautsari, h. 2. juga dikutip oleh
Mullah Ali al-Qari dalam Syarh al-Fiqhul Akbar, h. 70).
Dalam
al-Fiqh al-Absath, al-Imam Abu Hanifah menuliskan:
قُلْتُ: أرَأيْتَ لَوْ قِيْلَ أيْنَ اللهُ؟ يُقَالُ لَهُ: كَانَ اللهُ تَعَالَى وَلاَ مَكَانَ قَبْلَ أنْ يَخْلُقَ الْخَلْقَ، وَكَانَ اللهُ تَعَالَى وَلَمْ يَكُنْ أيْن وَلاَ خَلْقٌ وَلاَ شَىءٌ، وَهُوَ خَالِقُ كُلّ شَىءٍ.
“Aku
katakan: Tahukah engkau jika ada orang berkata: Di manakah Allah? Jawab: Dia
Allah ada tanpa permulaan dan tanpa tempat, Dia ada sebelum segala makhluk-Nya
ada. Allah ada tanpa permulaan sebelum ada tempat, sebelum ada makhluk dan
sebelum segala suatu apapun. Dan Dia adalah Pencipta segala sesuatu” (Lihat
al-Fiqh al-Absath karya al-Imam Abu Hanifah dalam kumpulan risalah-risalahnya
dengan tahqiq Muhammad Zahid al-Kautsari, h. 20).
Pada
bagian lain dalam kitab al-Fiqh al-Absath, al-Imam Abu Hanifah menuliskan:
“Allah
ada tanpa permulaan (Azali, Qadim) dan tanpa tempat. Dia ada sebelum
menciptakan apapun dari makhluk-Nya. Dia ada sebelum ada tempat, Dia ada
sebelum ada makhluk, Dia ada sebelum ada segala sesuatu, dan Dialah pencipta
segala sesuatu. Maka barangsiapa berkata saya tidak tahu Tuhanku (Allah) apakah
Ia di langit atau di bumi?, maka orang ini telah menjadi kafir. Demikian pula
menjadi kafir seorang yang berkata: Allah bertempat di arsy, tapi saya tidak
tahu apakah arsy itu di bumi atau di langit” (al-Fiqh al-Absath, h. 57).
Dalam
tulisan al-Imam Abu Hanifah di atas, beliau mengkafirkan orang yang berkata:
“Saya tidak tahu Tuhanku (Allah) apakah Ia di langit atau di bumi?”. Demikian
pula beliau mengkafirkan orang yang berkata: “Allah bertempat di arsy, tapi
saya tidak tahu apakah arsy itu di bumi atau di langit”.
Klaim
kafir dari al-Imam Abu Hanifah terhadap orang yang mengatakan dua ungkapan
tersebut adalah karena di dalam ungkapan itu terdapat pemahaman adanya tempat
dan arah bagi Allah. Padahal sesuatu yang memiliki tempat dan arah sudah pasti
membutuhkan kepada yang menjadikannya dalam tempat dan arah tersebut. Dengan
demikian sesuatu tersebut pasti baharu (makhluk), bukan Tuhan.
Tulisan
al-Imam Abu Hanifah ini seringkali disalahpahami atau sengaja diputarbalikan
pemaknaannya oleh kaum Musyabbihah. Perkataan al-Imam Abu Hanifah ini
seringkali dijadikan alat oleh kaum Musyabbihah untuk mempropagandakan
keyakinan mereka bahwa Allah berada di langit atau berada di atas arsy. Padahal
sama sekali perkataan al-Imam Abu Hanifah tersebut bukan untuk menetapkan tempat
atau arah bagi Allah. Justru sebaliknya, beliau mengatakan demikian adalah
untuk menetapkan bahwa Allah ada tanpa tempat dan tanpa arah. Hal ini terbukti
dengan perkataan-perkataan al-Imam Abu Hanifah sendiri seperti yang telah kita
kutip di atas. Di antaranya tulisan beliau dalam al-Washiyyah: “Jika Allah
membutuhkan untuk duduk atau bertempat di atas arsy, lalu sebelum menciptakan
arsy dimanakah Ia?”.
Dengan
demikian menjadi jelas bagi kita bahwa klaim kafir yang sematkan oleh al-Imam
Abu Hanifah adalah terhadap mereka yang berakidah tasybih; yaitu mereka yang
berkeyakinan bahwa Allah bersemayam di atas arsy. Inilah maksud yang dituju
oleh al-Imam Abu Hanifah dengan dua ungkapannya tersebut di atas, sebagaimana
telah dijelaskan oleh al-Imam al-Bayyadli al-Hanafi dalam karyanya; Isyarat
al-Maram Min ‘Ibarat al-Imam (Lihat Isyarat al-Maram, h. 200). Demikian pula
prihal maksud perkataan al-Imam Abu Hanifah ini telah dijelasakan oleh
al-Muhaddits al-Imam Muhammad Zahid al-Kautsari dalam kitab Takmilah as-Saif
ash-Shaqil (Lihat Takmilah ar-Radd ‘Ala an-Nuniyyah, h. 180).
Asy-Syaikh
‘Ali Mulla al-Qari di dalam Syarah al-Fiqh al-Akbar menuliskan sebagai berikut:
“Ada
sebuah riwayat berasal dari Abu Muthi’ al-Balkhi bahwa ia pernah bertanya
kepada Abu Hanifah tentang orang yang berkata “Saya tidak tahu Allah apakah Dia
berada di langit atau berada di bumi!?”. Abu Hanifah menjawab: “Orang tersebut
telah menjadi kafir, karena Allah berfirman “ar-Rahman ‘Ala al-arsy Istawa”,
dan arsy Allah berada di atas langit ke tujuh”. Lalu Abu Muthi’ berkata:
“Bagaimana jika seseorang berkata “Allah di atas arsy, tapi saya tidak tahu
arsy itu berada di langit atau di bumi?!”. Abu Hanifah berkata: “Orang tersebut
telah menjadi kafir, karena sama saja ia mengingkari Allah berada di langit.
Dan barangsiapa mengingkari Allah berada di langit maka orang itu telah menjadi
kafir. Karena Allah berada di tempat yang paling atas. Dan sesungguhnya Allah
diminta dalam doa dari arah atas bukan dari arah bawah”.
Kita
jawab riwayat Abu Muthi’ ini dengan riwayat yang telah disebutkan oleh al-Imam
al-Izz ibn Abd as-Salam dalam kitab Hall ar-Rumuz, bahwa al-Imam Abu Hanifah
berkata: “Barangsiapa berkata “Saya tidak tahu apakah Allah di langit atau di
bumi?!”, maka orang ini telah menjadi kafir. Karena perkataan semacam ini
memberikan pemahaman bahwa Allah memiliki tempat. Dan barangsiapa berkeyakinan
bahwa Allah memiliki tempat maka orang tersebut seorang musyabbih; menyerupakan
Allah dengan makhluk-Nya”. Al-Imam al-Izz ibn Abd as-Salam adalah ulama besar
terkemuka dan sangat terpercaya. Riwayat yang beliau kutip dari al-Imam Abu
Hanifah dalam hal ini wajib kita pegang teguh. Bukan dengan memegang tegung
riwayat yang dikutip oleh Ibn ‘Abi al-Izz; (yang telah membuat syarah Risalah
al-‘Aqidah ath-Thahawiyyah versi akidah tasybih). Di samping ini semua, Abu
Muthi’ al-Balkhi sendiri adalah seorang yang banyak melakukan pemalsuan,
seperti yang telah dinyatakan oleh banyak ulama hadits” (Syarh al-Fiqh
al-Akbar, h. 197-198).
Asy-Syaikh
Musthafa Abu Saif al-Hamami, salah seorang ulama al-Azhar terkemuka, dalam
kitab karyanya berjudul Ghauts al-‘Ibad Bi Bayan ar-Rasyad menuliskan beberapa
pelajaran penting terkait riwayat Abu Muthi’ al-Balkhi di atas, sebagai
berikut:
Pertama:
Bahwa pernyataan yang dinisbatkan kepada al-Imam Abu Hanifah tersebut sama
sekali tidak ada penyebutannya dalam al-Fiqh al-Akbar. Pernyataan semacam itu
dikutip oleh orang yang tidak bertanggungjawab, dan dengan sengaja ia berdusta
mengatakan bahwa itu pernyataan al-Imam Abu Hanifah dalam al-Fiqh al-Akbar,
tujuannya tidak lain adalah untuk mempropagandakan kesesatan orang itu sendiri.
Kedua:
Kutipan riwayat semacam ini jelas berasal dari seorang pemalsu (wadla’).
Riwayat orang semacam ini, dalam masalah-masalah furu’iyyah (fiqih) saja sama
sekali tidak boleh dijadikan sandaran, terlebih lagi dalam masalah-masalah
ushuliyyah (akidah). Mengambil periwayatan orang pemalsu semacam ini adalah
merupakan pengkhiatan terhadap ajaran-ajaran agama. Dan ini tidak dilakukan
kecuali oleh orang yang hendak menyebarkan kesesatan atau bid’ah yang ia
yakini.
Ketiga:
Periwayatan pemalsu ini telah terbantahkan dengan periwayatan yang benar dari
seorang al-Imam agung terpercaya (tsiqah), yaitu al-Imam al-Izz ibn Abd
as-Salam. Periwayatan al-Imam Ibn Abd as-Salam tentang perkataan al-Imam Abu
Hanifah jauh lebih terpercaya dan lebih benar dibanding periwayatan pemalsu
tersebut. Berpegang teguh kepada periwayatan seorang pendusta (kadzdzab) dengan
meninggalkan periwayatan seorang yang tsiqah adalah sebuah pengkhianatan, yang
hanya dilakukan seorang ahli bid’ah saja. Seorang yang melakukan pemalsuan
semacam ini, cukup untuk kita klaim sebagai orang yang tidak memiliki amanah.
Jika orang awam saja melakukan pemalsuan semacam ini dapat menjadikannya
seorang yang tidak dapat dihormati lagi, terlebih jika pemalsuan ini dilakukan
oleh seorang yang alim, maka jelas orang alim ini tidak bisa
dipertanggungjawabkan lagi dengan ilmu-ilmunya. Dan “orang alim” semacam itu
tidak pantas untuk kita sebut sebagai orang alim, terlebih kita golongkannya
dari jajaran Imam-Imam terkemuka, atau para ahli ijtihad. Dan lebih parah lagi
jika pengkhianatan pemalsu ini dalam tiga perkara ini sekaligus. Padahal dengan
hanya satu pengkhianatan saja sudah dapat menurunkannya dari derajat tsiqah.
Karena jika satu riwayat sudah ia dikhianati, maka kemungkinan besar terhadap
riwayat-riwayat yang lainpun ia akan melakukan hal sama (Lebih lengkap lihat
Ghauts al-‘Ibad Bi Bayan ar-Rasyad, h. 99-100).
Kemudian
dalam bait sya’ir di atas, Ibn al-Qayyim tidak hanya membuat kedustaan kepada
al-Imam Abu Hanifah, namun ia juga melakukan kedustaan yang sama terhadap
al-Imam Ya’qub. Yang dimaksud al-Imam Ya’qub dalam bait sya’ir ini adalah
sahabat al-Imam Abu Hanifah; yaitu Abu Yusuf Ya’qub ibn Ibrahim al-Anshari.
Dalam menyikapi perbuatan Ibn al-Qayyim ini, asy-Syaikh Musthafa Abu Saif
al-Humami berkata: “Tidak diragukan lagi apa yang ia nyatakan ini adalah sebuah
kedustaan untuk tujuan mempropagandakan keyakinan bid’ahnya” (Lihat Ghauts
al-‘Ibad Bi Bayan ar-Rasyad, h. 99).
Penilaian
yang sama terhadap Ibn al-Qayyim semacam ini juga telah diungkapkan oleh
al-Muhaddits al-Imam Muhammad Zahid al-Kautsari dalam kitab bantahannya
terhadap Ibn al-Qayyim sendiri, berjudul Takmilah ar-Radd ‘Ala Nuniyyah Ibn
al-Qayyim. Karya Al-Imam al-Kautsari ini adalah sebagai tambahan atas kitab
karya Al-Imam Taqiyyuddin as-Subki berjudul as-Saif ash-Shaqil Fi ar-Radd ‘Ala
ibn Zafil, kitab yang juga berisikan serangan dan bantahan terhadap
bid’ah-bid’ah Ibn al-Qayyim. Yang dimaksud dengan “Ibn Zafil” oleh Al-Imam
Taqiyyuddin as-Subki dalam judul kitabnya ini adalah Ibn al-Qayyim
al-Jawziyyah; murid dari Ibn Taimiyah (Lihat Takmilah ar-Radd ‘Ala an-Nuniyyah,
h. 108).
Dengan
demikian riwayat yang sering dipropagandakan oleh Ibn al-Qayyim, yang juga
sering dipropagandakan oleh kaum Wahhabiyyah bahwa al-Imam Abu Hanifah
berkeyakinan “Allah berada di langit” adalah kedustaan belaka. Riwayat ini sama
sekali tidak benar. Dalam rangkaian sanad riwayat ini terdapat nama-nama perawi
yang bermasalah, di antaranya; Abu Muhammad ibn Hayyan, Nu’aim ibn Hammad, dan
Nuh ibn Abi Maryam Abu ‘Ishmah.
Orang
pertama, yaitu Abu Muhammad ibn Hayyan, dinilai dla’if oleh ulama hadits
terkemuka yang hidup dalam satu wilayah dengan Abu Muhammad ibn Hayyan sendiri.
Ulama hadits tersebut adalah al-Imam al-Hafizh al-‘Assal. Kemudian orang kedua,
yaitu Nu’aim ibn Hammad adalah seorang mujassim (Lihat Tahdzib at-Tahdzib, j.
10, h. 409).
Demikian
pula Nuh ibn Abi Maryam yang merupakan ayah tiri dari Nu’aim ibn Hammad, juga
seorang mujassim (Lihat Tahdzib at-Tahdzib, j. 10, h. 433).
Dan
Nuh ibn Abi Maryam ini adalah anak tiri dari Muqatil ibn Sulaiman; pemuka kaum
mujassimah. Dengan demikian, Nu’aim ibn Hammad telah dirusak oleh ayah tirinya
sendiri, yaitu Nuh ibn Abi Maryam. Demikian pula Nuh ibn Abi Maryam telah
dirusak oleh ayah tirinya sendiri, yaitu Muqatil ibn Sulaiman. Orang-orang yang
kita sebutkan ini, sebagaimana dinilai oleh para ulama ahli kalam, mereka semua
adalah orang-orang yang berkeyakinan tasybih dan tajsim. Dengan demikian
bagaimana mungkin riwayat orang-orang yang berakidah tasybih dan tajsim semacam
mereka dapat dijadikan sandaran dalam menetapkan permasalahan akidah?!
Sesungguhnya orang yang bersandar kepada mereka adalah bagian dari mereka sendiri.
Al-Imam
al-Hafizh Ibn al-Jawzi dalam kitab Daf’u Syubah at-Tasybih, dalam penilaiannya
terhadap Nu’aim ibn Hammad, mengutip perkataan Ibn ‘Adi, mengatakan: “Dia
(Nu’aim ibn Hammad) adalah seorang pemalsu hadits” (Lihat Daf’u Syubah
at-Tasybih, h. 32).
Kemudian
al-Imam Ahmad ibn Hanbal pernah ditanya tentang riwayat Nu’im ibn Hammad,
tiba-tiba beliau memalingkan wajahnya sambil berkata: “Hadits munkar dan
majhul” (Daf’u Syubah at-Tasybih, h. 32). Penilaian Al-Imam Ahmad ini artinya
bahwa riwayat Nu’aim ibn Hammad ada sesuatu yang sama sekali tidak benar.
(Masalah):
Jika kaum Musyabbihah, seperti kaum Wahhabiyyah, mengatakan bahwa adz-Dzahabi
telah mengutip riwayat dari kitab al-Asma’ Wa ash-Shifat karya al-Hafizh
al-Bayhaqi bahwa pernyataan “Allah berada di langit” adalah berasal dari
al-Imam Abu Hanifah.
(Jawab):
Kita katakan: Riwayat al-Hafizh al-Bayhaqi dalam kitab al-Asma’ Wa ash-Shifat
dengan memepergunakan kata “In shahhat al-hikayah...” (al-Asma’ Wa ash-Shifat,
h. 429). Hal ini menunjukan bahwa riwayat tersebut bermasalah. Artinya, riwayat
yang dikutip al-Hafizh al-Bayhaqi ini bukan untuk dijadikan dalil. Yang menjadi
masalah besar ialah bahwa tulisan al-Bayhaqi “In shahhat ar-riwayah...” ini
diacuhkan oleh adz-Dzahabi untuk tujuan memberikan pemahaman kepada para
pembaca bahwa pernyataan “Allah berada di langit” adalah statemen al-Imam Abu
Hanifah. Ini menunjukan bahwa adz-Dzahabi tidak memiliki amanat ilmiyah. Hal
ini juga menunjukan bahwa adz-Dzahabi telah banyak dipengaruhi oleh faham-faham
gurunya sendiri, yaitu Ibn Taimiyah. al-Imam al-Muhaddits Muhammad Zahid
al-Kautsari dalam Takmilah ar-Radd ‘Ala Nuniyyah Ibn al-Qayyim menuliskan bahwa
pernyataan al-Bayhaqi dalam al-Asma’ Wa ash-Shifat: “In shahhat ar-riwayah...”
menunjukan bahwa dalam riwayat tersebut terdapat beberapa cacat (al-khalal).
Namun
hal terpenting dari pada itu ialah bahwa al-Imam al-Bayhaqi dalam kitab
al-Asma’ Wa ash-Shifat tersebut, di dalam banyak tempat banyak menyebutkan
tentang kesucian Allah dari pada tempat dan arah, salah satunya pernyataan
beliau berikut ini:
“Sebagian
sahabat kami (kaum Ahlussunnah dari madzhab Asy’ariyyah Syafi’iyyah) mengambil
dalil dalam menafikan tempat dari Allah dengan sebuah hadits sabda Rasulullah:
“Engkau ya Allah az-Zahir (Yang segala sesuatu menunjukan akan keberadaan-Nya)
tidak ada suatu apapun di atas-Mu, dan Engkau ya Allah al-Bathin (Yang tidak
dapat diraih oleh akal pikiran) tidak ada suatu apapun di bawah-Mu”. Dari
hadits ini dipahami jika tidak ada suatu apapun di atas Allah, dan tidak ada
suatu apapun di bawah-Nya maka berarti Dia ada tanpa tempat” (al-Asma’ Wa
ash-Shifat, h. 400).
Pada
halaman lain dalam kitab al-Asma’ Wa ash-Shifat, Al-Imam al-Bayhaqi menuliskan:
“Apa yang diriwayatkan secara menyendiri (tafarrud) oleh al-Kalbi dan lainnya
memberikan pemahaman bahwa Allah memiliki bentuk, padahal sesuatu yang memiliki
bentuk maka pasti dia itu baharu, membutuhkan kepada yang menjadikannya dalam
bentuk tersebut. Sementara Allah itu Qadim dan Azali (tanpa permulaan)”
(al-Asma’ Wa ash-Shifat, h. 415).
Pada
bagian lain dari kitab di atas, al-Imam al-Bayhaqi menuliskan: “Sesungguhnya
Allah ada tanpa tempat” (al-Asma’ Wa ash-Shifat, h. 448-449).
Juga
mengatakan: “Sesungguhnya gerak, diam, dan bersemayam atau bertempat itu adalah
termasuk sifat-sifat benda. Sementara Allah tidak ada sekutu bagi-Nya, Dia
tidak membutuhkan kepada suatu apapun, dan tidak ada suatu apapun yang
menyerupai-Nya” (al-Asma’ Wa ash-Shifat, h. 448-449).
Dengan
penjelasan ini menjadi sangat terang bagi kita bahwa keyakinan Allah berada di
langit yang dituduhkan sebagai keyakinan Al-Imam Abu Hanifah adalah kedustaan
belaka yang sama seakali tidak benar dan tidak dapat dipertanggungjawabkan.
Tuduhan semacam ini tidak hanya kedustaan kepada Al-Imam Abu Hanifah semata,
tapi juga kedusataan terhadap orang-orang Islam secara keseluruhan dan
kedustaan terhadap ajaran-ajaran Islam itu sendiri.
Al
Hamdu Lillahi Rabb al-Alamin.
Segala
puji bagi Allah ta’ala tuhan semesta alam, semoga hidayah_Nya selalu
tercurahkan kepada kita semua, dan kita selalu dijauhkan dari segala macam
bentuk Bid’ah. Aamiiin...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Tuliskan Komentar, Kritik dan Saran SAHABAT Disini .... !!!