Hai orang-orang yang beriman,
janganlah kamu mendahului Allah dan Rasul-Nya. Takutlah kamu kepada Allah.
Sesungguhnya Allah maha Mendengar dan maha Mengetahui. Hai orang-orang yang
beriman, janganlah kamu menaikkan suaramu di atas suara Nabi. janganlah kamu
mengeraskan suara kamu dalam percakapan dengan dia seperti mengeraskan suara
kamu ketika bercakap sesama kamu. Nanti hapus amal-amal kamu dan kamu tidak
menyadarinya.” (Al-Hujurat 1-2).
Hari itu seperti hari-hari yang
lainnya juga. Yang tidak biasa hanyalah rencana kedatangan rombongan Bani Tamim
kepada Rasulullah. Ada apakah? Itulah yang menjadi pertanyaan di benak
Rasulullah. Tapi Rasulullah tetap saja berlaku tenang.
Dan, saat yang ditunggu-tunggu oleh
Rasul pun datang. Kebiasaan Rasul memang selalu mengagungkan tamunya. Jika ia
sudah mempunyai janji, maka akan ia dahulukan janji itu. Apalagi jika itu
mengenai pertemuan yang sepertinya terasa penting ini.
Rasul mempersilahkan mereka semua
duduk dengan tertib. Tak satupun dari tamu itu yang ia lewatkan. Semaunya
disalaminya dan mendapat senyuman yang paling lembut. Sahabat-sahabat yang lain
sering merasa heran, bagaimana bisa Muhammad menghafal nama-nama orang di
dekatnya satu per satu tanpa pernah sekalipun melupakannya? Jika sudah begini,
masing-masing mereka selalu menganggap bahwa mereka adalah orang yang paling
penting dalam kehidupan Rasul.
Ketika semua sudah duduk dan menyantap
hidangan ala kadarnya yang dihidangkan oleh Rasulullah karena itulah yang
dipunyainya, maka Rasulullah pun berkata, “Semoga Allah ta’ala senantiasa
memberkahi kita semua. Apakah maksud kedatangan kalian ini, wahai
sahabat-sahabatku semua?”
“Kami semua baik-baik saja ya
Rasulullah. Terima kasih telah menerima kami semua. Sesungguhnya kami sekarang
ini sedang berada dalam keadaan yang sangat pelik. Kami membutuhkan bantuanmu
sekali, jika engkau sekiranya tidak keberatan.”
Rasulullah mengangguk-anggukkan
kepalanya. Ia menunggu saja.
Salah seorang dari mereka bicara lagi,
“Sesungguhnya kami ini hendak memilih pemimpin di antara kami….”
“Dan?” Rasulullah berkata ketika ia
tidak melanjutkan bicaranya.
“Dan kami tidak punya pengetahuan yang
sebagus engkau. Kami sebelumnya telah berselisih siapa kiranya yang akan dan
harus jadi pemimpin kami……”
“Begitu ya….?”
Semua orang diam sekarang. Mereka
menundukkan kepala mereka. Ada sejumput perasaan malu karena mereka telah
melibatkan Rasul dalam urusan yang tampaknya tidak seberapa itu. Rasul masih
terus mengangguk-angguk kepalanya. Beliau terdiam. Cukup lama.
Dan ketika Rasulullah hendak membuka
mulut, tiba-tiba Abu bakar yang berada bersama rombongan berkata cukup keras,
“Angkat Al-Qa’qa bin Ma’bad sebagai pemimpin!”
Umar yang juga datang bersama Abu
Bakar berdiri, “Tidak, angkatlah Al-Aqra bin Habis.”
Kedua orang itu kini berdiri. Suasana
tampak tegang. Rasulullah hanya diam saja. Apakah Abu Bakar dan Umar akan
bertengkar?
Abu Bakar dengan sedikit mendelik
berkata, “Kau hanya ingin membantah aku saja, hai Sahabatku!”
“Aku tidak bermaksud membantahmu!”
jawab Umar.
Keduanya untuk beberapa saat masih
saja saling berkata-kata sehingga suara mereka terdengar makin keras. Mereka
tampaknya tidak peduli bahwa di situ ada orang lain. Tidak peduli bahwa di
tempat itu pun ada Rasulullah, panutan mereka.
Waktu itu, turunlah ayat, “Hai
orang-orang yang beriman, janganlah kamu mendahului Allah dan Rasul-Nya.
Takutlah kamu kepada Allah. Sesungguhnya Allah maha Mendengar dan maha
Mengetahui. Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu menaikkan suaramu di
atas suara Nabi. janganlah kamu mengeraskan suara kamu dalam percakapan dengan
dia seperti mengeraskan suara kamu ketika bercakap sesama kamu. Nanti hapus
amal-amal kamu dan kamu tidak menyadarinya.” (Al-hujurat: 1-2).
Setelah mendengar teguran itu langsung
dari Allah, semua orang disitu tertegun. Sebaliknya Abu Bakar langsung
menangis. Setelah ia meminta maaf kepada sahabatnya Umar, ia menghadap
Rasulullah. “Ya Rasul Allah, demi Allah, sejak sekarang aku tidak akan
berbicara denganmu kecuali seperti seorang saudara yang membisikkan rahasia.”
Rasulullah mendegar itu hanya
mengelus-elus punggung Abu Bakar. Ia tersenyum kepadanya. Sedangkan Umar bin
Khattab setelah itu berbicara kepada Nabi hanya dengan suara yang lembut.
Bahkan kabarnya setelah peristiwa itu Umar banyak sekali bersedekah, karena
takut amal yang lalu telah terhapus. Para sahabat Nabi takut akan terhapus amal
mereka karena melanggar etika berhadapan dengan Nabi.
Rasulullah bersyukur dalam hati
mempunyai sahabat-sahabat yang hatinya begitu lembut. Memang, apalah yang lebih
menyedihkan dan mengerikan daripada ditegur oleh Allah secara langsung? Itulah
gunanya mempunyai sahabat yang bersedia selalu mengingatkan.
Semoga dalam tulisan singkat ini dapat
memberi kita hikmah dan pelajaran akan kewajiban melembutkan suara jika
berbicara dengan nabi, namun beliau sudah tiada, maka sabda Rasulullah tidaklah
pantas di debat, melainkan dipelajari dan diamalkan. Semoga Allah ta’ala selalu
melimpahkan taufiq dan hidayahNya kepada kita semua. Aamiiin...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Tuliskan Komentar, Kritik dan Saran SAHABAT Disini .... !!!