Wahai manusia!
Sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang
perempuan, kemudian menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu
saling mengenal. Sungguh, yang paling mulia diantaramu di mata Allah adalah dia
yang paling taqwa diantaramu. Sungguh, Allah Maha Tahu lagi Maha Mengenal
(segala sesuatu)" (QS. 49:13).
"Tuhanmu adalah
Satu. Kamu semua berasal dari Adam, dan Adam dibuat dari tanah. Tidak ada
kelebihan seorang Arab dari yang bukan Arab, tidak pula seorang kulit putih
atas seorang kulit hitam kecuali taqwa" (HR. Tabarani, dalam Majma'
al-Zawa'id, 8:84).
Islam bertujuan
membentuk suatu tertib sosial dimana semua orang diikat dengan tali
persaudaraan dan kasih sayang, seperti anggota-anggota satu keluarga yang
diciptakan oleh Allah SWT dari sepasang manusia. Persaudaraan ini adalah
universal dan tidak picik. Ia tidak dibatasi oleh batas-batas geografis maupun
demografis, tetapi meliputi seluruh umat manusia, bukan hanya satu kelompok
keluarga, suku atau ras. Qur'an menegaskan: "Katakanlah:
Wahai manusia! Sesungguhnya aku adalah utusan Allah kepadamu semuanya"
(QS. 7:158).
Konsekuensi yang wajar
dari konsep persaudaraan universal ini adalah kerjasama dan tolong menolong,
khususnya diantara sesama kaum Muslimin. Dengan demikian, kaum muslimin
disamping dipersatukan satu sama lain oleh asal usul yang sama, juga lebih
khusus lagi dipersatukan oleh ikatan persamaan ideologi, yang disifatkan
Al-Qur'an sebagai "saudara-saudara
seiman" (QS.9:11), "yang
saling berkasih sayang diantara mereka" (QS.48:29).
Nabi SAW menekankan: "Umat manusia adalah keluarga Allah dan
yang paling tercinta di mata-Nya adalah yang paling baik kepada
keluarga-Nya" (HR. Baihaqi, Misykat, 2:613).
"Berlaku baiklah kamu kepada mereka yang ada di bumi,
niscaya Dia yang ada di langit akan berlaku baik kepadamu" (HR. Abu Dawud dan
Tirmidzi).
"Kamu lihat orang-orang beriman itu, yang saling
mengasihi, mencintai dan berlaku baik diantara sesamanya, mereka adalah laksana
satu tubuh: bila satu bagian merasa sakit, seluruh tubuh ikut merasakannya
dengan tidak bisa tidur dan demam panas" (HR. Bukhari, dalam Shahih-nya, 8:12;
dan Muslim, dalam Shahih-nya, 4:1999).
"Seorang Muslim adalah saudara bagi Muslim lainnya:
tak layak ia menzhaliminya, tidak menolongnya, ataupun menghinanya" (HR. Muslim, dalam
Shahih-nya, 4:1986).
Berhubungan erat dan
tak terpisahkan dari konsep persaudaraan ini adalah penekanan yang diberikan
Islam pada keadilan. Hal ini tegas dinyatakan Al-Qur'an untuk ditegakkan di
muka bumi sebagai salah satu tujuan utama ajaran Rasul-Rasul Allah, terutama
Muhammad SAW (QS. 57:25). Iman yang tercampur dengan ketidakadilan, tidak
diakui Allah sebagaimana dinyatakan oleh Al-Qur'an: "Mereka yang beriman dan tidak mencampur iman mereka dengan
ketidak-adilan, bagi mereka adalah kedamaian, dan merekalah orang-orang yang
mendapat bimbingan yang benar" (QS. 6:83).
Karena itu kaum
Muslimin tidak hanya diseru tapi juga didesak terus menerus oleh Qur'an untuk
menegakkan keadilan: "Allah
memerintahkan keadilan dan kebaikan" (QS. 16:90), dan "apabila kamu mengadili manusia,
adililah dengan adil" (QS. 3:58).
Keadilan menempati
kedudukan yang sangat penting dalam Islam, sehingga berlaku adil dianggap
sebagai persyaratan untuk bisa disebut saleh dan bertaqwa kepada Allah, yaitu
ciri pokok seorang Muslim. Berkata Qur'an:"Wahai
orang-orang beriman! Jadilah penegak-penegak kesaksian yang adil karena Allah,
dan janganlah kebencianmu kepada suatu golongan, menjadikanmu berlaku tidak
adil. Berlaku adillah. Itu lebih dekat kepada taqwa. Bertaqwalah kepada Allah.
Sungguh, Allah Maha Tahu akan apa yang kamu lakukan" (QS. 5:8).
Lebih-lebih lagi,
keadilan harus diikuti walaupun merugikan kepentingan diri sendiri atau
kepentingan orang-orang yang hubungannya dekat dengan kita. "Dan bila kamu berbicara, berbicaralah
dengan adil, walaupun menyangkut seorang sanak keluarga" (QS. 6:152),
dan "Jadilah penegak-penegak
keadilan, sebagai saksi-saksi bagi Allah, walaupun hal itu merugikan dirimu
sendiri, orang tuamu, atau orang-orang yang dekat denganmu, baik mereka yang
kaya ataupun miskin, karena Allah mampu melindungi kedua-duanya, Janganlah kamu
mengikuti hawa nafsumu, agar kamu tidak menyimpang (dari keadilan). Dan bila
kamu menyimpang (dari keadilan) atau menolak untuk bertindak adil, maka
ingatlah bahwa Allah mengetahui benar-benar apa yang kamu kerjakan"
(QS. 4:135).
Implikasi-implikasi
keadilan dalam Islam akan lebih jelas terlihat dalam uraian berikut tentang
keadilan sosial dan ekonomi.
a.
Keadilan sosial
Karena Islam memandang
umat manusia sebagai satu keluarga, maka setiap manusia adalah sama derajatnya
di mata Allah dan di depan hukum yang diwahyukan-Nya. Tidak ada perbedaan
antara si kaya dan si miskin, antara yang berpangkat tinggi dan yang berpangkat
rendah, antara kulit putih dengan kulit hitam. Tidak boleh ada diskriminasi
karena perbedaan ras, warna kulit atau kedudukan di masyarakat.
Satu-satunya kriteria
nilai diri seseorang adalah akhlaknya, kemampuan dan pengabdiannya kepada
kemanusiaan. Rasulullah saw bersabda:
"Sesungguhnya Allah tidak melihat kepada rupamu atau
kekayaanmu, tetapi kepada hati dan perbuatanmu" (HR. Muslim, dalam
Shahih-nya, 4:1987).
"Orang yang paling mulia diantaramu adalah yang
paling baik budi pekertinya" (HR. Bukhari, dalam Shahih-nya, 8:15).
Untuk lebih menekankan
lagi, Nabi memperingatkan akan malapetaka yang akan terjadi, akibat
diskriminasi perseorangan atau antara bangsa di muka hukum.
"Umat-umat sebelum kamu telah tersesat karena apabila
ada golongan yang berkedudukan tinggi diantara mereka melakukan pencurian, maka
dibebaskan; tetapi golongan rendah yang mencuri, maka hukum dipaksakan atas
mereka. Demi Allah, seandainya Fathimah anak Muhammad mencuri, pasti akan
kupotong tangannya" (HR. Bukhari, dalam Shahih-nya, 8:199).
"Barangsiapa menghina seorang Muslim, laki-laki atau
perempuan, karena kemiskinan atau kekurang mampuannya, maka Allah akan
menghinanya pada Hari Pengadilan" (Musnad, Imam Ali Ar-Ridha, hal.474).
Umar bin Khathab,
Khalifah kedua, menulis surat kepada Abu Musa Al-Asy'ari, salah seorang
Gubernurnya, dan memerintahkannya: "Perlakukanlah setiap orang yang berada
di hadapanmu sama hormatnya, agar orang yang lemah tidak berputus asa akan
keadilanmu, dan yang berpangkat tidak mengharap keuntungan yang tidak menjadi
haknya". Semangat keadilan sosial ini betul-betul meresap di kalangan
masyarakat Islam selama masa pemerintahan empat Khalifah yang pertama. Pada
masa-masa sesudahnya juga masih terlihat, walaupun agak menurun.
Simaklah apa yang ditulis
oleh seorang ahli hukum termasyhur, Abu Yusuf, kepada Khalifah Harun Al-Rasyid:
"Perlakukanlah semua orang dengan sama tanpa memandang apakah mereka dekat
hubungannya denganmu atau jauh. Dan bahwa kesejahteraan rakyatmu tergantung
pada tegaknya hukum Allah dan terberantasnya ketidak-adilan!" (Abu Yusuf,
dalam kitab Al-Kharaj, hal.4 dan 6).
b.
Keadilan ekonomi
Konsep persaudaraan
dan perlakuan yang sama terhadap seluruh anggota masyarakat di muka hukum
tidaklah berarti apa-apa, kalau tidak disertai dengan keadilan ekonomi yang
memungkinkan setiap orang memperoleh hak atas sumbangannya terhadap masyarakat
atau terhadap produksi sosial. Agar tidak ada eksploitasi terhadap seseorang
oleh orang lain, Al-Qur'an mendesak kaum Muslimin untuk "tidak menahan hak orang lain" (QS. 26:183).
Disini diisyaratkan
bahwa setiap orang harus memperoleh apa yang benar-benar menjadi haknya, bukan
dengan merampas hak orang lain. Nabi dengan tepat sekali telah memperingatkan: "Hati-hatilah dengan ketidakadilan,
karena ketidakadilan akan mendatangkan kegelapan pada Hari Pengadilan".
Nabi memberi peringatan terhadap ketidakadilan dan eksploitasi ini adalah untuk
melindungi hak-hak anggota masyarakat (baik para konsumen maupun produsen serta
distributor, baik buruh maupun majikan) dan untuk memajukan kesejahteraan umum,
yang merupakan tujuan utama Islam.
Hal yang sangat
penting dalam keadilan ekonomi adalah hubungan antara majikan dan buruh, antara
direktur dengan karyawan, yang oleh Islam ditempatkan pada tempat yang
selayaknya dan diberi norma-norma khusus sebagai pedoman untuk memperlakukan
kedua belah pihak sebagaimana mestinya. Juga untuk menciptakan keadilan
diantara mereka. Seorang buruh atau karyawan berhak menerima upah yang
"adil" atas hasil pekerjaannya dan tidaklah halal bagi seorang
majikan Muslim untuk memeras tenaga dan potensi buruhnya.
Nabi menyatakan bahwa "ada tiga jenis orang yang pasti akan
menghadapi balasan kemurkaan Allah pada Hari Pengadilan, yaitu: Seorang yang
mati tanpa memenuhi janji-janjinya kepada Allah, seorang yang menjual orang
yang merdeka dan memakan hasil penjualannya tersebut, dan seorang yang
mempekerjakan buruh atau karyawannya yang memberikan hasil/keuntungan kepadanya
tetapi tidak membayar upah yang layak kepada buruh tersebut" (HR.
Bukhari, dalam Shahih-nya, 3:112).
Dengan menempatkan
eksploitasi terhadap buruh/karyawan sejajar dengan memperbudak seorang yang
merdeka, hadits tersebut menyatakan betapa Islam sangat membenci eksploitasi
terhadap kaum buruh.
Batasan upah yang
"adil" dan apa yang disebut "eksploitasi" terhadap kaum
buruh haruslah ditentukan berdasarkan keterangan-keterangan dari ajaran Qur'an
dan Sunnah. Islam tidak mengakui kontribusi produksi yang dihasilkan oleh
faktor-faktor produksi selain kerja buruh, dan karena itu konsep eksploitasi
buruh dalam Islam tidak punya sangkut paut dengan konsep 'nilai lebih' (surplus
value) yang digagas oleh Marx.
Secara teoritis dapat
diajukan bahwa upah yang "adil" haruslah upah yang senilai dengan
nilai kontribusi terhadap produksi yang diberikan oleh buruh. Tetapi batasan
ini sulit ditentukan dan tidak memiliki nilai aplikatif yang cukup dalam
pengaturan upah. Akan tetapi ada sejumlah hadits yang darinya dapat disimpulkan
secara kuantitatif tingkat upah "minimum" dan "adil".
Menurut Nabi saw: "Seorang buruh/karyawan (laki-laki atau
perempuan) berhak, paling sedikit, memperoleh makanan dan pakaian yang baik
dengan ukuran layak, dan tidak dibebani dengan pekerjaan yang diluar batas
kemampuannya" (HR. Malik, Muwaththa', 2:980).
Dari hadits ini dapat
disimpulkan bahwa upah "minimum" haruslah upah yang memungkinkan
seorang buruh/karyawan untuk memperoleh makanan dan pakaian yang baik dan layak
dalam jumlah yang cukup untuk dirinya dan keluarganya tanpa harus bekerja
terlalu keras (diforsir). Ukuran ini dipandang oleh sahabat-sahabat Nabi
sebagai ukuran minimum untuk mempertahankan standar spiritual masyarakat Islam.
Utsman bin Affan,
Khalifah ketiga, telah menyatakan:
"Janganlah kamu bebani buruh perempuan (karyawati)
diluar batas kemampuan/ kekuatannya dalam usahanya mencari penghidupan, karena
bila kau lakukan itu terhadapnya, ia mungkin akan melakukan perbuatan-perbuatan
yang bertentangan dengan moral; dan janganlah kamu bebani bawahanmu yang
laki-laki dengan tugas yang diluar batas kemampuannya, karena bila kau lakukan
itu terhadapnya, mungkin ia akan melakukan pencurian (korupsi). Berlakulah
penuh pertimbangan terhadap pegawai-pegawaimu, niscaya Allah akan berlaku penuh
pertimbangan terhadapmu. Wajib bagimu untuk memberi mereka makanan yang baik
dan halal"
(HR. Malik, Muwaththa', 2:981).
Demikian pula upah yang "ideal", yakni upah
yang memungkinkan seorang pegawai memperoleh makanan dan pakaian yang sama
dengan yang bisa diperoleh majikannya. Hal tersebut merupakan kesimpulan
dari hadits berikut ini:
"Pegawai-pegawaimu adalah saudara-saudaramu yang
telah dijadikan Allah sebagai bawahan-bawahanmu. Karena itu barangsiapa yang
mempunyai saudara yang menjadi bawahannya, maka hendaklah ia memberi makanan
dengan apa yang dimakannya sendiri dan memberinya pakaian dengan apa yang
dipakainya sendiri......." (HR. Bukhari, dalam Shahih-nya, 1:16; 3:185;
juga Muslim, dalam Shahih-nya, 3:1283).
Karena itu, upah yang
"adil" tidak bisa berada dibawah upah "minimum". Tentu
saja, tingkat upah "adil" yang sangat baik adalah yang mendekati upah
"ideal" agar dapat meminimalkan perbedaan 'income' dan menjembatani
jurang antara tingkat hidup majikan dan buruh yang cenderung menciptakan dua
kelas masyarakat yang berbeda: kelompok the
haves dan the haves not. Kondisi demikian
akan melemahkan ikatan persaudaraan yang merupakan sifat yang mendasar dari
suatu masyarakat Islam yang sejati. Diantara kedua batas upah tersebut -upah
minimum dan upah ideal- maka tingkat upah yang aktual akan ditentukan oleh
interaksi persediaan dan permintaan (supply dan demand), tingkat pertumbuhan
ekonomi, tingkat kesadaran moral masyarakat Islam yang bersangkutan, dan
tingkat peranan yang dimainkan oleh negara.
Disamping diberi upah,
sedikit-dikitnya upah minimum dan sebaik-baiknya upah ideal, maka Islam
menuntut agar buruh tidak dipekerjakan terlampau berat, atau dalam kondisi yang
buruk, sehingga kesehatan mereka, atau kesempatan mereka untuk menikmati
penghasilannya dan menjalani kehidupan rumah tangganya tidak terganggu. Apabila
mereka disuruh mengerjakan suatu pekerjaan yang diluar batas kemampuan mereka,
maka hendaklah mereka diperlengkapi dengan bantuan yang cukup untuk
memungkinkan mereka mengerjakan pekerjaan tersebut tanpa kesukaran. Dalam
hadits yang dikutip di atas, Rasulullah menasehatkan para majikan untuk
memandang buruh-buruhnya sebagai saudara.
Sabda Rasulullah SAW: "........dan janganlah kamu bebani
mereka dengan pekerjaan yang diluar batas kemampuan mereka. Bila kamu lakukan
hal itu, maka bantulah mereka" (HR. Bukhari, Ibid). Dari hadits ini
dapat disimpulkan bahwa penetapan jumlah hari dan jam kerja maksimum,
kondisi-kondisi kerja yang layak, dan pengambilan langkah-langkah penjagaan
terhadap akibat resiko pekerjaan yang dijalani haruslah sesuai dengan semangat
ajaran-ajaran Islam.
Sementara hal-hal
tersebut di atas merupakan perlakuan yang diharapkan dari pihak majikan
terhadap buruhnya, maka karena komitmennya pada keadilan, Islam juga melindungi
kepentingan majikan dengan memberikan kewajiban-kewajiban moral tertentu kepada
pihak buruh/karyawan. Kewajiban buruh
yang pertama adalah mengerjakan pekerjaannya dengan jujur, teliti, rajin dan
dengan kecermatan yang tinggi.
Nabi mengajarkan: "Allah telah mewajibkan kepadamu semua
untuk bekerja dengan baik" (HR. Muslim, dalah Shahih-nya, 3:1548), dan
bahwa "Allah suka apabila seseorang
diantaramu mengerjakan sesuatu pekerjaan, ia mengerjakannya dengan
sempurna" (HR. Baihaqi, dalam Syu'ab al-Iman, Syuyuti, 1:75).
Tak perlu dipersoalkan
lagi bahwa keadilan sosial ekonomi -yang jelas-jelas ditekankan Islam- menuntut
pelaksanaan yang efisien dari fungsi yang telah ditetapkan bagi seseorang.
Pada kesempatan lain
Nabi saw bersabda: Seorang buruh/karyawan
yang tinggi pengabdiannya kepada Allah dan juga melaksanakan kewajibannya
terhadap majikannya yang menyangkut tugas, kejujuran dan kepatuhan terhadapnya,
akan mendapat pahala dua kali lipat (dari Allah)" (HR. Bukhari, dalam
Shahih-nya, 3:186).
Kewajiban kedua bagi seorang buruh adalah berlaku jujur
dan bisa dipercaya.
Qur'an mengatakan bahwa pekerja yang paling baik adalah yang kuat (mampu) dan
jujur (QS. 28:26). Nabi SAW juga mengingatkan: "Barangsiapa yang telah kami serahi suatu pekerjaan dan telah kami
sediakan (cukupkan) nafkahnya, maka apa yang diperolehnya diluar itu adalah
haram!" (HR. Abu Dawud, dalam Sunan-nya, 2:121).
Jadi, bila Islam
membebankan sejumlah kewajiban-kewajiban terhadap pihak majikan, ia juga
menuntut pihak buruh/pekerja untuk bekerja dengan teliti dan rajin, berlaku
jujur dan bisa dipercaya. Tujuannya adalah memberikan keadilan bagi kedua belah
pihak dalam setiap hubungan ekonomi. Hanya dengan keserasian seperti inilah
(yang mengatur tanggung jawab kedua belah pihak dan menekankan kerja sama dan
pemenuhan kewajiban masing-masing dengan cermat, dalam suasana persaudaraan,
keadilan, dan memegang teguh nilai-nilai moral) yang akan dapat melenyapkan
konflik dan perpecahan antara buruh dan majikan, dan terciptanya kesehatan dan
kedamaian iklim industri.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Tuliskan Komentar, Kritik dan Saran SAHABAT Disini .... !!!