Dalam Islam wanita pada dasarnya mempunyai tempat istimewa
dan sejajar kedudukannya dengan pria.
Pada tataran lebih lanjut, berdasar pendapat mayoritas
ulama, wanita bekerja di wilayah publik (masyarakat) hukumnya boleh dengan
catatan memperhatikan dan menjaga batas-batas atau adab Islam, yaitu tidak ikhtilath (berbaur antara lelaki
perempuan) tidak membuka aurat, tidak khalwah
(berdua saja dengan lelaki), dan terhindar dari fitnah.
Dalam kondisi tertentu, yakni adanya kebutuhan objektif
dalam skala umum atau dalam ruang lingkup khusus dan tidak ada yang dapat
melakukannya selain wanita yang bersangkutan, ia boleh tampil di depan umum untuk
mennyampaikan dakwah atau memberikan pelajaran dengan memperhatikan
ketentuan-ketentuan Islam. Salim Segaf Al Jufri (2005) menghimpun beberapa
kaidah yang penting diperhatikan oleh kita terkait dengan keberadaan wanita di
muka umum (masyarakat luas).
Ketentuan dimaksud
adalah:
Pertama,
mengenaikan pakaian yang menutup aurat. Ini didasari oleh firman Allah, “Hai Nabi, katakanlah kepada
isteri-isterimu, anak-anak perempuanmu dan isteri-isteri orang mukmin: ‘Hendaklah
mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka.’ Yang demikian itu supaya
mereka lebih mudah untuk dikenal, karena itu mereka tidak di ganggu. Dan Allah
adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS Al Ahzaab: 59).
Kedua, tidak tabarruj atau memamerkan perhiasan dan
kecantikan. Ini didasari oleh firman Allah “…dan janganlah kamu berhias dan bertingkah
laku seperti orang-orang Jahiliyah yang dahulu dan dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat dan taatilah Allah
dan Rasul-Nya…” (QS Al
Ahzaab: 27).