Ada pertanyaan yang saya anggap
menarik pada rubrik yang diasuh oleh KH Achmad Daroini pada Rakyat Bengkulu
tanggal 12 September 2008. Pertanyaannya adalah sebagai berikut: “Saya ingin
bertanya, apakah boleh mas kawin yang berupa mukena tidak digunakan lagi untuk
sholat. Berhubung mukena tersebut sudah usang jadi untuk sholat saya
menggunakan mukena yang lain. Dan boleh tidak kalau mukena yang usang tersebut
saya sedekahkan kepada orang yang membutuhkan (fakir miskin misalnya) dan
bagaimanakan pertanggungjawaban saya terhadap mas kawin tersebut.
Pertanyaan tersebut mengingatkan
kepada saya bahwa ada sementara pendapat yang beredar di masyarakat Bengkulu
bahwa mas kawin itu harus digunakan oleh sang isteri sampai habis. Oleh
sebab itu, beberapa tokoh menyarankan untuk memberikan mas kawin berupa barang
yang cepat habis jika dipakai oleh sang isteri. Selain itu, mereka berpendapat
bahwa mas kawin itu tidak boleh dipakai oleh sang suami. Oleh sebab itu, mereka
menganjurkan bahwa mas kawin jangan berupa Al Qur’an, sajadah atau yang lainnya
yang memungkinkan san suami nanti ikut menggunakannya. Saya juga sempat
membatin apa benar demikian? Sebab, selama ini saya tidak mendengar tentang hal
itu. Saya juga ingat ketika saya menikan saya juga memberi mas kawin berupa Al
Qur’an dan sebentuk cincin. Lah yang menjadi ganjalan setelah mendengar
pendapat itu adalah karena saya juga membaca Al Qur’an itu. Isteri saya
juga tidak melarangnya.
Nah, jawaban dari KH Achmad Daroini
membuat hati saya plong. Berikut jawaban beliau: “Jika mas kawin sudah
diserahkan oleh suami kepada isterinya setelah akad nikah, maka barang itu
mutlak menjadi hak milik isteri. Dipakai untuk sholat atau tidak dipakai karena
keleihatannya sudah kurang menarik (usang) itu tidak menimbulkan risiko apa-apa
bagi Anda. Disedekahkan kepada orang yang memerlukannya boleh saja. Yang tidak
boleh adalah jika disia-siakan (mubazir).



