Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Jika seseorang meninggal dunia, maka terputuslah amalannya kecuali tiga perkara (yaitu) : sedekah jariyah, ilmu yang bermanfaat, dan do’a anak yang sholeh” (HR. Muslim no. 1631)

Cari Berkah

Sabtu, 08 Juni 2013

Para Saksi Di Akhirat


Al-Qur'an yang mulia menjelaskan bahwa kesaksian yang diberikan oleh para pendosa dalam pengadilan ilahi akan benar-benar unik sifatnya, yang pasti tidak sama dengan prosedur pengadilan dunia.

Ayat-ayat Al-Qur'an yang berbicara mengenai pemberian kesaksian pada hari kebangkitan kembali menyatakan bahwa tangan, kaki dan bahkan kulit para pendosa akan mengungkapkan dosa-dosa tersembunyi yang mereka lakukan selama kehidupan mereka dan yang sebelumnya tidak diketahui oleh semua orang kecuali Tuhan; pendosa tersebut akan menampakkan, kecemasan dan ketakutan mereka. Animasi mengenai saksi-saksi dan kesaksian yang mereka berikan mengenai kejadian-kejadian yang telah terjadi di dunia tersebut menunjukkan bahwa seluruh perbuatan yang kita lakukan tercatat, baik di dunia luar maupun di dalam berbagai organ dan anggota tubuh kita.

Bila kondisi dunia ini digantikan oleh kondisi akhirat, pada hari ketika, sebagaimana dinyatakan dalam Al-Qur'an, Rahasia-rahasia akan di-ungkap dan tidak satu pun orang yang akan bisa menutup sesuatu atau mencari pertolongan dari orang lain. (QS. ath-Thariq: 9-10), seluruh perbuatan yang telah tercatat tersebut akan dibuka dan mulai memberikan kesaksian.

A. Kesaksian Para Malaikat

Allah mengutus dua malaikat untuk mencatat semua amal manusia, baik amal baik maupun amal buruk. Amal baik dicatat oleh Malaikat Raqib, sedangkan amal buruk dicatat oleh Malaikat Atid. Tidak ada satupun amal yang terlewat oleh malaikat. Tidak ada yang bisa disembunyikan dari malaikat. Sebab, segala tingkah laku manusia senantiasa diawasi dan dicatat setiap saat. Mereka memiliki beberapa sifat yang menjadikannya terpercaya untuk dijadikan saksi pada hari kiamat. diantaranya yaitu:

·          Malaikat Raqib dan Atid adalah makhluk Allah yang bertugas mencatat amal manusia. Untuk melaksanakan tugasnya, kedua malaikat tersebut dikaruniai keahlian yang sempurna, alat pencatat dengan akurasi tinggi, serta data base yang tidak akan habis.
·          Mereka merupakan makhluk yang paling mulia dan sama sekali tidak mempunyai potensi berbuat maksiat. Mereka diciptkan hanya untuk mengabdi kepada Allah Swt.
·          Mereka mengetahui segala sesuatu yang dilakukan oleh manusia, meskipun amal sekecil apapun, yang bersifat samar, tersembunyi atau nyata.

Allah Ta’ala berfirman,

“Dan datanglah tiap-tiap hari, bersama dengannya satu malaikat penggiring dan satu malaikat penyaksi. Sesungguhnya kamu berada dalam keadaan lalai dari (hal) ini, Kami singkapkan darimu tutup (yang menutupi) matamu, maka penglihatanmu pada hari itu amat tajam. Dan yang menyertainya berkata, ‘Inilah (catatan amalnya) yang tersedia pada sisiku’.” (Qaaf; 21-23)

Rabu, 05 Juni 2013

Sang Muadzin Bilal bin Rabah

Kalau kita mendengar  nama Bilal bin Rabah, kita pasti terbayang kisah keteguhan hati seorang Muslim sejati. Betapa tidak. Saat umat Islam masih berjumlah sekian orang serta kekejaman yang diterima kaum Muslim, seorang budak berkulit kelam bertekad bulat dan mengikrarkan diri beriman kepada Allah SWT.

Nama lengkapnya Bilal bin Rabah Al-Habasyi. Ia berasal dari negeri Habasyah, sekarang Ethiopia. Ia biasa dipanggil Abu Abdillah dan digelari Muadzdzin Ar-Rasul. Bilal lahir di daerah as-Sarah sekitar 43 tahun sebelum hijrah. Ia berpostur tinggi, kurus, warna kulitnya cokelat, pelipisnya tipis, dan rambutnya lebat.

Ibunya adalah hamba sahaya (budak) milik Umayyah bin Khalaf dari Bani Jumuh. Bilal menjadi budak mereka hingga akhirnya ia mendengar tentang Islam. Lalu, ia menemui Rasulullah SAW dan mengikrarkan diri masuk Islam. Ia merupakan kalangan sahabat Rasulullah yang berasal dari non-Arab.

Dalam Tokoh-Tokoh Besar Islam Sepanjang Sejarah karya Syekh Muhammad Sa’id Mursi, dipaparkan bahwa Umayyah bin Khalaf pernah menyiksa dan membiarkannya di jemur di tengah gurun pasir selama beberapa hari. Di perutnya, diikat sebuah batu besar dan lehernya diikat dengan tali. Lalu, orang-orang kafir menyuruh anak-anak mereka untuk menyeretnya di antara perbukitan Makkah.

Saat berada dalam siksaan itu, tiada yang diminta Bilal kepada para penyiksanya, kecuali hanya memohon kepada Allah. Berkali-kali Umayyah bin Khalaf menyiksa dan memintanya agar meninggalkan agama yang dibawa oleh Rasulullah SAW. Namun, Bilal tetap teguh pendirian.
Ia selalu mengucapkan, “Ahad-Ahad.” Ia menolak mengucapkan kata kufur (mengingkari Allah). Abu Bakar as-Sidiq lalu memerdekakannya. Umar bin Khattab berujar, “Abu Bakar adalah seorang pemimpin (sayyid) kami dan dia telah memerdekakan seorang pemimpin (sayyid) kami.”

Sabtu, 01 Juni 2013

Kenapa Orang Islam Tidak Perlu Syahadat

Setiap orang kafir -baik kafir asli maupun kafir murtad- yang ingin masuk Islam maka dia wajib untuk mengucapkan dua kalimat syahadat. Berdasarkan keumuman hadits Ibnu Umar, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam telah bersabda:

أُمِرْتُ أَنْ أُقَاتِلَ النَّاسَ حَتَّى يَشْهَدُوا أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَأَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللَّهِ وَيُقِيمُوا الصَّلَاةَ وَيُؤْتُوا الزَّكَاةَ فَإِذَا فَعَلُوا ذَلِكَ عَصَمُوا مِنِّي دِمَاءَهُمْ وَأَمْوَالَهُمْ إِلَّا بِحَقِّ الْإِسْلَامِ وَحِسَابُهُمْ عَلَى اللَّهِ

“Aku diperintahkan untuk memerangi manusia hingga mereka bersaksi; tidak ada ilah kecuali Allah dan bahwa sesungguhnya Muhammad adalah utusan Allah, menegakkan shalat, menunaikan zakat. Jika mereka lakukan yang demikian maka mereka telah memelihara darah dan harta mereka dariku kecuali dengan haq Islam dan perhitungan mereka ada pada Allah.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)

Dan sudah dimaklumi bahwa sebelum dia mengerjakan shalat maka dia harus masuk Islam dulu, karena jika tidak maka walaupun dia shalat maka shalatnya tidak syah.

Adapun anak yang asalnya memang sudah muslim -karena sudah keturunan (orang tuanya muslim) misalnya, maka ketika dia baligh tidak perlu bagi dia untuk mengucapkan syahadatain. Hal itu karena fitrahnya adalah Islam dan fitrahnya itu tidak mengalami perubahan karena kedua orang tuanya muslim.

BAB IV : Konsep Perang Dalam Islam Dan Kristen

Perbandingan Jihad Dan Perang Suci

A. Perang Dalam Islam Dan Jihad

Menurut Prof. Dr. Azyumardi Azra, M.A, Jihad adalah salah satu konsep Islam yang sering dipahami oleh para ahli dan pengamat Barat sebagai penyerbuan yang dilakukan laskar Muslim ke wilayah timur tengah dan tempat lain memaksa orang-orang non muslim memeluk agama Islam. Azyumardi Azra, Islam Substantif; Agar Umat tidak Jadi Buih, Mizan, Bandung, 2000, hlm 96

Namun yang muncul sekarang adalah Jihad dalam arti Perang karena selama ini diartikan sebagai perang saja. Ada perang yang disebut agresi. Jadi, Jihad diartikan memerangi orang Kristen yang tidak hostile, memperlihatkan sikap permusuhan terhadap Islam. Itu tidak dibenarkan dalam agama Islam. Jihad dalam pengertian perang memang muncul dalam konteks-konteks tertentu. Misalnya; dalam kasus Ambon, karena pemberitaan, cerita dari mulut kemulut, internet dan sebagainya timbul kesan bagi kaum muslim, terutama diluar Ambon, bahwa orang Islam di Ambon terdesak bahkan sampai melakukan eksodus. Jadi, dalam konteks-konteks seperti itu, istilah Jihad akan selalu muncul.


Seperti yang telah dikemukakan  pada bab sebelumnya perang merupakan bagian dari Jihad. Dari sekian bentuk jihad  mulai dari Jihad harta, jihad pendidikan dan pengajaran, jihad politik, jihad pengetahuan maka termasuklah didalamnya Jihad dalam bentuk pertempuran.
Selain itu jihad juga dapat diaplikasikan kepada diri sendiri dalam hal ini Allah menilai kesungguhan Islam kita serta (iman kita kepada-Nya, Firman Allah:

Artinya: “Apakah kamu mengira bahwa kamu akan dibiarkan (begitu saja), sedang Allah belum mengetahui (dalam kenyataan) orang-orang yang berjihad diantara kamu dan tidak mengambil teman yang setia selain Allah, Rasul-Nya, dan orang-orang yang beriman. Dan Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan.” Departemen Agama RI, Al-quran Dan Tejemahannya, CV. Diponegoro, Bandung, 1995, hlm 15