Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Jika seseorang meninggal dunia, maka terputuslah amalannya kecuali tiga perkara (yaitu) : sedekah jariyah, ilmu yang bermanfaat, dan do’a anak yang sholeh” (HR. Muslim no. 1631)

Cari Berkah

Selasa, 17 September 2013

Hukum Punya Rekening Di Bank

Riba itu termasuk dosa besar yang paling besar sebagaimana yang Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam sabdakan dan terdapat ancaman keras yang tidak dijumpai pada maksiat selainnya bagi orang yang memakan riba. Termasuk riba adalah seseorang menabungkan uang di bank lalu mendapatkan bunganya adalah memakan riba yang diharamkan oleh Allah dan rasul-Nya.

Akan tetapi jika seorang muslim terpaksa menyimpan uangnya di bank yang masih mengandung riba, karena belum dijumpai bank yang bersih dari riba atau karena perusahaan tempat dia bekerja mengharuskan semua karyawan memiliki rekening di bank, karena gaji bulanan langsung dikirimkan ke rekening atau pemerintah mengharuskan agar seseorang memiliki rekening di bank ribawi atau sebab-sebab yang lain maka hukumnya insyaAllah tidak mengapa dengan syarat tidak mengambil bunga dari tabungan yang disimpan di bank. Jika sistem di bank yang bersangkutan tidak memungkinkan adanya nasabah semacam itu dan pihak bank mengharuskan nasabah untuk menerima bunga maka nasabah yang mengambil uang bunga tersebut memiliki kewajiban untuk membebaskan diri dari uang yang haram dengan cara menyalurkan uang tersebut pada berbagai kegiatan sosial.

Berikut ini fatwa para ulama terkait hal di atas:

Para ulama yang duduk di Lajnah Daimah KSA mengatakan, “Haram hukumnya menyimpan uang di bank yang masih memakai sistem riba kecuali dalam kondisi terpaksa dan itu pun tanpa mengambil bunganya.” (Fatawa Lajnah Daimah, 13:384).

Lajnah Daimah juga mengatakan, “Bunga bank itu termasuk harta haram karena Allah berfirman yang artinya, “Dan Allah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba” (QS. Al-Baqarah: 275).

Orang yang memegang uang riba berkewajiban untuk membebaskan dirinya dengan menyalurkan uang bunga tersebut ke berbagai kegiatan yang memberi manfaat bagi kaum muslimin. Di antaranya adalah membuat jalan, membangun sekolah (pondok pesantren) atau memberikannya kepada fakir miskin.” (Fatawa Lajnah Daimah, 13:354).

Bunga Bank Itu Riba

Dalam bahasa Arab bunga bank itu disebut dengan fawaid. Fawaid merupakan bentuk plural dari kata ‘faedah’ artinya suatu manfaat. Seolah-olah bunga ini diistilahkan dengan nama yang indah sehingga membuat kita tertipu jika melihat dari sekedar nama. Bunga ini adalah bonus yang diberikan oleh pihak perbankan pada simpanan dari nasabah, yang aslinya diambil dari keuntungan dari utang-piutang yang dilakukan oleh pihak bank.

Apapun namanya, bunga ataukah fawaid, tetap perlu dilihat hakekatnya. Keuntungan apa saja yang diambil dari utang piutang, senyatanya itu adalah riba walau dirubah namanya dengan nama yang indah. Inilah riba yang haram berdasarkan Al Qur'an, hadits dan ijma' (kesepakatan) ulama. Para ulama telah menukil adanya ijma' akan haramnnya keuntungan bersyarat yang diambil dari utang piutang. Apa yang dilakukan pihak bank walaupun mereka namakan itu pinjaman, namun senyatanya itu bukan pinjaman. Mufti Saudi Arabia di masa silam, Syaikh Muhammad bin Ibrahim rahimahullah berkata,
“Secara hakekat, walaupun (pihak bank) menamakan hal itu qord (utang piutang), namun senyatanya bukan qord. Karena utang piutang dimaksudkan untuk tolong menolong dan berbuat baik. Transaksinya murni non komersial. Bentuknya adalah meminjamkan uang dan akan diganti beberapa waktu kemudian. Bunga bank itu sendiri adalah keuntungan dari transaksi pinjam meminjam. Oleh karena itu yang namanya bunga bank yang diambil dari pinjam-meminjam atau simpanan, itu adalah riba karena didapat dari penambahan (dalam utang piutang). Maka keuntungan dalam pinjaman dan simpanan boleh sama-sama disebut riba.”

Tulisan singkat di atas diolah dari penjelasan Syaikh Sholih bin Ghonim As Sadlan –salah seorang ulama senior di kota Riyadh- dalam kitab fikih praktis beliau “Taysir Al Fiqh” hal. 398, terbitan Dar Blancia, cetakan pertama, 1424 H.

Senin, 16 September 2013

Kisah Pelacur Tobat Dalam Al-Qur’an

Hari itu, Abdullah bin Ubay bin Salul --tokoh kaum munafik-- sedang istirahat, melepas penat dan lelah. Tetapi istirahat Ibnu Salul harus terusik karena penjaga rumah tiba-tiba mengetuk pintu.  Ibnu Salul terpaksa bangun dan melihat penjaga bermuka sedih di depannya.

Di tangan penjaga itu ada segenggam uang.Uang itu ternyata hasil kerja pegawainya, tapi Ibnu Salul gusar sebab uang itu jumlahnya tak seperti yang diharapkan.
“Sesungguhnya, uang sebesar ini adalah hasil kerja setengah hari bukan hasil kerja sehari penuh…” ujar Ibnu Salul berang.

Tak ingin dituduh menggelapkan uang maka penjaga rumah itu lantas menukas, “Tahukah tuan, kenapa penghasilan tuan sekarang ini menurun?”
“Ya, aku tahu! Semua ini gara-gara Muhammad telah merampas mahkotaku. Ia menjadikan orang-orang menjauh dari budak-budak wanitaku lantaran mereka terpengaruh ajaran-ajaran yang diserukan oleh Muhammad.”
Bersamaan itu, Ibnu Salul mendengarkan suara orang memanggil namanya. Ia kemudian menyuruh penjaga rumahnya untuk melihat siapa yang datang dan penjaga rumah cepat-cepat keluar. Sekeluar dari kamar, penjaga rumah mendapati beberapa orang dari Bani Tamim yang berkunjung ke Madinah.

Penjaga rumah sudah mengenal mereka, yang tidak lain adalah para pembesar dari Bani Tamim yang biasa menginap beberapa hari  di tempat Ibnu Salul untuk bersenang-senang setiap kali mereka kembali dari  berdagang atau perjalanan dari Syam.
“Di manakah tuanmu, Ibnu Salul?”  tanya salah seorang dari mereka.
“Ada di dalam…”  jawab penjaga rumah
Tidak ada rasa canggung, para pembesar Bani Tamim itu kemudian masuk. Ibnu Salul cepat-cepat menyembunyikan uang di kamar, lantas segera keluar untuk menemui mereka. Ibnu Salul menyambut dengan hormat dan mereka pun membalas.
“Manakah wanita yang dulu pernah Anda kirimkan untuk kami?”  tanya seorang lelaki di antara para pembesar Bani Tamim itu.    
 “Wanita yang mana, ya? Mereka itu banyak….,”  jawab Ibnu Salul.
“Budak wanita Anda yang paling cantik!”
“Apakah dia itu Masikah?” tanya Ibnu Salul.
“Ya, dia! Tidak salah lagi… ” jawab seorang laki-laki, dengan girang.
“Nanti akan kami kirim dia untuk kalian semua bersama yang lainnya jika mereka mau…”
“Segeralah, wahai Abul Hubab, segeralah… Nanti kami akan memberinya uang sebagai upah kepadanya.”
Tak sabar ingin cepat mendapat upah, Ibnu Salul pun menyuruh penjaga rumah untuk memanggil Masikah serta budak-budak wanita yang lain. Tetapi penjaga rumah menukas, “Masikah tidak mau lagi melakukan hal itu, Tuan.”
“Bagaimana hal itu bisa terjadi?” ujar Ibnu Salul gusar.
“Hal ini terjadi sejak hari ini, Tuanku. Ia telah meluruskan pikirannya...”
Ibnu Salul pun bangkit, pergi ke kamar Masikah dan mendorong pintu dengan kakinya. Tetapi betapa terkejutnya Ibnu Salul, saat ia melongok ke kamar ternyata mendapati Masikah, budak wanita yang ia miliki sedang menunaikan shalat.

Bolehkah Kencing Sambil Berdiri

Bolehkah kita kencing sambil berdiri? entah laki-laki atau perempuan. Ketahuilah bahwa setiap aktifitas muslim ada tuntunan dan petunjuknya dalam Islam.

Salah satunya dalam perkara buang air atau aktifitas di kamar kecil. Islam menuntun umatnya agar menggunakan adab-adab buang air yang sudah diajarkan oleh Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam. Tujuannya, supaya mereka menjadi makhluk mulia yang berbeda dengan binatang yang tak memiliki aturan saat buang hajatnya.

Di antara adab tersebut, bersembunyi atau menutup diri dari pandangan orang saat buang air, tidak menghadap ke kiblat atau membelakanginya, tidak buang hajat sambil berbincang-bincang, buang hajat tidak dengan berdiri agar lebih aman dari cipratan najis dan tidak terlihat auratnya oleh manusia, dan adab-adab lainnya.

Berkaitan dengan posisi saat buang air kecil, maka sambil duduk adalah lebih utama. Walaupun dengan berdiri bukan berarti haram mutlak, walau ada sebagian ulama yang memakruhkannya dengan makruh tanzih. Sebabnya, Nabi biasa buang air kecil dengan duduk dan pernah sesekali beliau buang air dengan bediri untuk menjelaskan bolehnya. Sehingga 'Aisyah ra tidak mengetahui dari posisi buang air kecil Nabi SAW kecuali dengan duduk.

Aisyah ra menyampaikan,

مَنْ حَدَّثَكَ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَبُوْلُ قَائِماً، فَلَا تُصَدِّقْهُ، مَا كَانَ النَّبِيُّ يَبُوْلُ إِلَّا قَاعِداً

"Siapa yang menyampaikan kepadamu bahwa Nabi SAW buang air kecil sambil berdiri maka janganlah percaya kepadanya. Nabi SAW tidak pernah buang air kecil kecuali dengan duduk." (HR. Al-Nasai, no. 3227, Abu Dawud, no. 2050).