Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Jika seseorang meninggal dunia, maka terputuslah amalannya kecuali tiga perkara (yaitu) : sedekah jariyah, ilmu yang bermanfaat, dan do’a anak yang sholeh” (HR. Muslim no. 1631)

Cari Berkah

Kamis, 26 September 2013

Do’a-Do’a Dalam Sujud

1. سُبْحَانَ رَبِّيَ اْلأَعْلَى. (3×)

Subhaana Robbiyal A’laa

“Maha Suci Robb Yang Maha Tinggi.” (dibaca tiga kali)

{Dikeluarkan oleh Ahlussunan dan Ahmad, lihat shahih At-Tirmidzi, I/83.}

2. سُبْحَانَ رَبِّيَ الْأَعْلَى وَبِحَمْدِهِ (3×)

Subhaana Robbiyal A’laa Wabihamdihi (dibaca tiga kali)

“Maha Suci Robb Yang Maha Tinggi, dan bagi-Nya segala puji.”

{HR. Abu Dawud.}

3. سُبْحَانَكَ اللَّهُمَّ رَبَّنَا وَبِحَمْدِكَ اللَّهُمَّ اغْفِرْ لِيْ.

Subhaanaka Allaahumma Robbanaa Wabihamdika Allaahummaghfirly

“Maha Suci Engkau. Ya Allah, Robb kami, aku memuji-Mu. Ya Allah, ampunilah dosa-dosaku.”

{HR. Bukhori, I/99 dan Muslim,I/350.}

4. سُبُّوْحٌ قُدُّوْسٌ رَبُّ الْمَلاَئِكَةِ وَالرُّوْحِ.

Subbuuhun Qudduusun Robbul Malaaikati Warruuh

“Maha Suci dan Maha Mulia, Robb para malaikat dan juga Ruh (malaikat Jibril).”

{ HR. Muslim 1/533}

5. اَللَّهُمَّ لَكَ سَجَدْتُ وَبِكَ آمَنْتُ، وَلَكَ أَسْلَمْتُ، سَجَدَ وَجْهِيَ لِلَّذِيْ خَلَقَهُ وَصَوَّرَهُ وَشَقَّ سَمْعَهُ وَبَصَرَهُ، تَبَارَكَ اللهُ أَحْسَنُ الْخَالِقِيْنَ.

Allaahumma Laka Sajadtu Wabika Aamantu Walaka Aslamtu Sajada Wajhiya Lilladzii Kholaqohu Washowarohu Wasyaqqo Sam’ahu Wabashorohu Tabaaroka Allaahu Ahsanul Khooliqiin

“Ya Allah, hanya kepada-Mu lah kami bersujud, kepada-Mu pula kami beriman dan hanya kepada-Mu kami berserah diri. wajahku bersujud kepada Yang telah menciptakan dan membentuknya, memberikan pendengaran dan penglihatannya, Maha Suci Allah, sebaik-baiknya Pencipta.”

{ HR. Muslim 1/534 }

6. سُبْحَانَ ذِي الْجَبَرُوْتِ وَاْلمَلَكُوْتِ وَالْكِبْرِيَاءِ وَالْعَظَمَةِ.

Subhaana Dzil Jabaruuti Wal Malakuuti Wal Kibriyaa-I Wal ‘Azhomati

“Maha suci Allah yang memiliki kerajaan langit, kekuasaan, kebesaran dan keagungan.”

{ HR. Abu Dawud 1/230, An-Nasai dan Ahmad. Dinyatakan shahih oleh Al-Albani dalam Shahih Abi Dawud 1/166.}

7. اَللَّهُمَّ اغْفِرْ لِيْ ذَنْبِيْ كُلَّهُ، دِقَّهُ وَجِلَّهُ، وَأَوَّلَهُ وَآخِرَهُ وَعَلاَنِيَّتَهُ وَسِرَّهُ.

Allaahummaghfirliy Dzanbiy Kullahu Diqqohu Wa Jillahu Wa Awwalahu Wa Aakhirohu Wa ‘Alaaniyyatahu Wa Sirrohu

“Ya Allah, ampunilah dosa-dosaku seluruhnya, yang besar maupun yang kecil, yang terdahulu maupun dan yang akan datang, yang kulakukan dengan terang-terangan dan yang tersembunyi.”

{ HR. Muslim 1/350.}

8. اَللَّهُمَّ إِنِّيْ أَعُوْذُ بِرِضَاكَ مِنْ سَخَطِكَ، وَبِمُعَافَاتِكَ مِنْ عُقُوْبَتِكَ، وَأَعُوْذُ بِكَ مِنْكَ، لاَ أُحْصِيْ ثَنَاءً عَلَيْكَ أَنْتَ كَمَا أَثْنَيْتَ عَلَى نَفْسِكَ.

Allaahumma Inniy A’uudzu Biridhooka Min Sakhothika Wabimu’aafaatika Min ‘Uquubatika Wa A’uudzu Bika Minka Laa Ahshiy Tsanaa-an ‘Alayka Anta Kamaa Atnayta ‘Alaa Nafsika

“Ya Allah, sesungguhnya aku berlindung kepada-Mu dengan keridhoan-Mu dari kemurkaan-Mu, dengan pertolongan-Mu dari siksa-Mu. Aku berlindung kepadaMu (dari siksa dan kemurkaan-Mu). Tidaklah aku dapat menghitung-hitung pujian terhadap diri-Mu sebagaimana Engkau memuji diri-Mu sendiri.”

{ HR. Muslim 1/532.}

Senin, 23 September 2013

Membangun Kubur Adalah Larangan Nabi, Bukan Larangan Wahabi

Jaabir bin ‘Abdillah radliyallaahu ‘anhu berkata :

نَهَى رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ يُجَصَّصَ الْقَبْرُ، وَأَنْ يُقْعَدَ عَلَيْهِ، وَأَنْ يُبْنَى عَلَيْهِ
“Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam telah melarang kubur untuk dikapur, diduduki, dan dibangun sesuatu di atasnya”.

Hadits ini diriwayatkan oleh Muslim no. 970, Abu Daawud no. 3225, At-Tirmidziy no. 1052, An-Nasaa’iy no. 2027-2028 dan dalam Al-Kubraa 2/463 no. 2166, ‘Abdurrazzaaq 3/504 no. 6488, Ahmad 3/295, ‘Abd bin Humaid 2/161 no. 1073, Ibnu Maajah no. 1562, Ibnu Hibbaan no. 3163-3165, Al-Haakim 1/370, Abu Nu’aim dalam Al-Musnad Al-Mustakhraj ‘alaa Shahiih Muslim no. 2173-2174, Al-Baihaqiy dalam Al-Kubraa 3/410 & 4/4, Ath-Thayaalisiy 3/341 no. 1905, Ath-Thabaraaniy dalam Asy-Syaamiyyiin 3/191 no. 2057 dan dalam Al-Ausath 6/121 no. 5983 & 8/207 8413, Abu Bakr Asy-Syaafi’iy dalam Al-Fawaaaid no. 860, Abu Bakr Al-‘Anbariy dalam Hadiits-nya no. 68, Ath-Thahawiy dalam Syarh Ma’aanil-Aatsaar 1/515-516 no. 2945-2946, dan yang lainnya.

Asal dari larangan Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam menunjukkan keharaman sebagaimana telah dimaklumi dalam ilmu ushul fiqh. Bahkan ‘Aliy bin Abi Thaalib radliyallaahu ‘anhu – nenek moyang para habaaib – adalah salah seorang shahabat yang sangat bersemangat melaksanakan perintah Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam tersebut sebagaimana terdapat dalam riwayat :

عَنْ أَبِي الْهَيَّاجِ الْأَسَدِيِّ، قَالَ: قَالَ لِي عَلِيُّ بْنُ أَبِي طَالِبٍ: " أَلَا أَبْعَثُكَ عَلَى مَا بَعَثَنِي عَلَيْهِ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ لَا تَدَعَ تِمْثَالًا إِلَّا طَمَسْتَهُ، وَلَا قَبْرًا مُشْرِفًا إِلَّا سَوَّيْتَهُ "

Dari Abul-Hayyaaj Al-Asadiy, ia berkata : ‘Aliy bin Abi Thaalib pernah berkata kepadaku : “Maukah engkau aku utus sebagaimana Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam telah mengutusku ? Hendaklah engkau tidak meninggalkan gambar-gambar kecuali engkau hapus dan jangan pula kamu meninggalkan kuburan yang ditinggikan kecuali kamu ratakan” [Diriwayatkan oleh Muslim no. 969, Abu Daawud no. 3218, At-Tirmidziy no. 1049, An-Nasaa’iy no. 2031, dan yang lainnya].

Larangan membangun kubur ini kemudian diteruskan oleh para ulama madzhab.

Madzhab Syaafi’iyyah, maka Muhammad bin Idriis Asy-Syaafi’iy rahimahullah berkata :

وأحب أن لا يبنى ولا يجصص فإن ذلك يشبه الزينة والخيلاء وليس الموت موضع واحد منهما ولم أر قبور المهاجرين والانصار مجصصة ...... وقد رأيت من الولاة من يهدم بمكة ما يبنى فيها فلم أر الفقهاء يعيبون ذلك

“Dan aku senang jika kubur tidak dibangun dan tidak dikapur/disemen, karena hal itu menyerupai perhiasan dan kesombongan. Orang yang mati bukanlah tempat untuk salah satu di antara keduanya. Dan aku pun tidak pernah melihat kubur orang-orang Muhaajiriin dan Anshaar dikapur..... Dan aku telah melihat sebagian penguasa meruntuhkan bangunan yang dibangunan di atas kubur di Makkah, dan aku tidak melihat para fuqahaa’ mencela perbuatan tersebut” [Al-Umm, 1/316 – via Syamilah].

An-Nawawiy rahimahullah ketika mengomentari riwayat ‘Aliy radliyallaahu ‘anhu di atas berkata :

فيه أن السنة أن القبر لا يرفع على الأرض رفعاً كثيراً ولا يسنم بل يرفع نحو شبر ويسطح وهذا مذهب الشافعي ومن وافقه،

“Pada hadits tersebut terdapat keterangan bahwa yang disunnahkan kubur tidak terlalu ditinggikan di atas permukaan tanah dan tidak dibentuk seperti punuk onta, akan tetapi hanya ditinggikan seukuran sejengkal dan meratakannya. Ini adalah madzhab Asy-Syaafi’iy dan orang-orang yang sepakat dengan beliau” [Syarh An-Nawawiy ‘alaa Shahih Muslim, 3/36].

Selasa, 17 September 2013

Hukum Punya Rekening Di Bank

Riba itu termasuk dosa besar yang paling besar sebagaimana yang Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam sabdakan dan terdapat ancaman keras yang tidak dijumpai pada maksiat selainnya bagi orang yang memakan riba. Termasuk riba adalah seseorang menabungkan uang di bank lalu mendapatkan bunganya adalah memakan riba yang diharamkan oleh Allah dan rasul-Nya.

Akan tetapi jika seorang muslim terpaksa menyimpan uangnya di bank yang masih mengandung riba, karena belum dijumpai bank yang bersih dari riba atau karena perusahaan tempat dia bekerja mengharuskan semua karyawan memiliki rekening di bank, karena gaji bulanan langsung dikirimkan ke rekening atau pemerintah mengharuskan agar seseorang memiliki rekening di bank ribawi atau sebab-sebab yang lain maka hukumnya insyaAllah tidak mengapa dengan syarat tidak mengambil bunga dari tabungan yang disimpan di bank. Jika sistem di bank yang bersangkutan tidak memungkinkan adanya nasabah semacam itu dan pihak bank mengharuskan nasabah untuk menerima bunga maka nasabah yang mengambil uang bunga tersebut memiliki kewajiban untuk membebaskan diri dari uang yang haram dengan cara menyalurkan uang tersebut pada berbagai kegiatan sosial.

Berikut ini fatwa para ulama terkait hal di atas:

Para ulama yang duduk di Lajnah Daimah KSA mengatakan, “Haram hukumnya menyimpan uang di bank yang masih memakai sistem riba kecuali dalam kondisi terpaksa dan itu pun tanpa mengambil bunganya.” (Fatawa Lajnah Daimah, 13:384).

Lajnah Daimah juga mengatakan, “Bunga bank itu termasuk harta haram karena Allah berfirman yang artinya, “Dan Allah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba” (QS. Al-Baqarah: 275).

Orang yang memegang uang riba berkewajiban untuk membebaskan dirinya dengan menyalurkan uang bunga tersebut ke berbagai kegiatan yang memberi manfaat bagi kaum muslimin. Di antaranya adalah membuat jalan, membangun sekolah (pondok pesantren) atau memberikannya kepada fakir miskin.” (Fatawa Lajnah Daimah, 13:354).

Bunga Bank Itu Riba

Dalam bahasa Arab bunga bank itu disebut dengan fawaid. Fawaid merupakan bentuk plural dari kata ‘faedah’ artinya suatu manfaat. Seolah-olah bunga ini diistilahkan dengan nama yang indah sehingga membuat kita tertipu jika melihat dari sekedar nama. Bunga ini adalah bonus yang diberikan oleh pihak perbankan pada simpanan dari nasabah, yang aslinya diambil dari keuntungan dari utang-piutang yang dilakukan oleh pihak bank.

Apapun namanya, bunga ataukah fawaid, tetap perlu dilihat hakekatnya. Keuntungan apa saja yang diambil dari utang piutang, senyatanya itu adalah riba walau dirubah namanya dengan nama yang indah. Inilah riba yang haram berdasarkan Al Qur'an, hadits dan ijma' (kesepakatan) ulama. Para ulama telah menukil adanya ijma' akan haramnnya keuntungan bersyarat yang diambil dari utang piutang. Apa yang dilakukan pihak bank walaupun mereka namakan itu pinjaman, namun senyatanya itu bukan pinjaman. Mufti Saudi Arabia di masa silam, Syaikh Muhammad bin Ibrahim rahimahullah berkata,
“Secara hakekat, walaupun (pihak bank) menamakan hal itu qord (utang piutang), namun senyatanya bukan qord. Karena utang piutang dimaksudkan untuk tolong menolong dan berbuat baik. Transaksinya murni non komersial. Bentuknya adalah meminjamkan uang dan akan diganti beberapa waktu kemudian. Bunga bank itu sendiri adalah keuntungan dari transaksi pinjam meminjam. Oleh karena itu yang namanya bunga bank yang diambil dari pinjam-meminjam atau simpanan, itu adalah riba karena didapat dari penambahan (dalam utang piutang). Maka keuntungan dalam pinjaman dan simpanan boleh sama-sama disebut riba.”

Tulisan singkat di atas diolah dari penjelasan Syaikh Sholih bin Ghonim As Sadlan –salah seorang ulama senior di kota Riyadh- dalam kitab fikih praktis beliau “Taysir Al Fiqh” hal. 398, terbitan Dar Blancia, cetakan pertama, 1424 H.