Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Jika seseorang meninggal dunia, maka terputuslah amalannya kecuali tiga perkara (yaitu) : sedekah jariyah, ilmu yang bermanfaat, dan do’a anak yang sholeh” (HR. Muslim no. 1631)

Cari Berkah

Senin, 25 November 2013

Hukum Mengelap Bekas Wudhu

Banyak ulama yang berpendapat bolehnya menyeka anggota wudhu dengan handuk atau semisalnya. Diantaranya adalah Utsman bin Affan, Anas bin Malik, Hasan bin Ali, Hasan al-Basri, Ibnu Sirin, Asy-Sya’bi, Ishaq bin Rahawaih, Abu Hanifah, Malik, Ahmad, dan salah satu pendapat Madzhab Asy-Syafii. Ini juga berdasarkan riwayat dari Ibnu Umar.

Dalil yang menguatkan pendapat mereka: Pertama, hadist dari Aisyah radhiyallahu ‘anha, beliau mengatakan:

كَانَ لِرَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ خِرْقَةٌ يُنَشِّفُ بِهَا بَعْدَ الوُضُوءِ

“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memiliki handuk kecil yang beliau gunakan untuk mengeringkan anggota badan setelah wudhu.” (HR. Turmudzi, An-Nasai dalam al-Kuna dengan sanad shahih. Hadis ini dinilai hasan oleh al-Albani dalam Shahih Al-Jami’, 4706).

Kedua, hadis dari Salman al-Farisi,

أن رسول الله صلى الله عليه وسلم «توضأ، فقلب جبة صوف كانت عليه، فمسح بها وجهه

Bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah berwudhu, kemudian beliau membalik jubah wol yang beliau pakai, dan beliau gunakan untuk mengusap wajahnya. (HR. Ibn Majah 468. Fuad Abdul Baqi mengatakan: Dalam Zawaid sanadnya shahih dan perawinya tsiqat. Al-Albani menilai hasan).

Sementara itu, sebagian ulama lain berpendapat makruh mengeringkan anggota wudhu dengan handuk. Mereka berdalil dengan hadis dari Maimunah radhiyallahu ‘anha, ketika beliau menjelaskan tata cara mandi junub Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dalam hadis tersebut, Maimunah mengatakan:

فَنَاوَلْتُهُ الْمِنْدِيلَ فَلَمْ يَأْخُذْهُ

“Kemudian aku ambilkan handuk, namun beliau tidak menggunankannya.” (HR. Bukhari dan Muslim).

Namun hadist ini tidaklah menunjukkan hukum makruh mengeringkan anggota badan setelah wudhu. Karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak menggunakan handuk setelah mandi, tidaklah menunjukkan bahwa itu dibenci.

Allahu a’lam.

Rabu, 20 November 2013

Ketika Para Saksi Memberikan Kesaksiannya


Kita harus senantiasa dalam kesadaran penuh, dan yakin bahwa apapun yang kita lakukan selalu ada yang menyaksikannya. Dan kelak di hari pertanggungjawaban, mereka akan memberikan kesaksian, tanpa ada sedikitpun yang terluput. Lewat firman-firman-Nya yang suci dan terjaga, yang termaktub dalam Al-Qur’anul Karim, Allah SWT menyampaikan siapa saja yang akan menjadi saksi atas setiap perbuatan kita.

Allah, Rasul-Nya dan Orang-orang Beriman

“Dan katakanlah, “Beramallah kamu, maka Allah dan rasul-Nya serta orang-orang mukmin akan melihat amalmu itu, dan kamu akan dikembalikan kepada (Allah) yang mengetahui yang gaib dan yang nyata, lalu Dia memberitakan kepadamu apa yang telah kamu kerjakan.” (Qs. At-Taubah: 105).

Semoga ayat ini selalu menjadi pengingat bagi kita. Bahwa setiap amal yang kita lakukan, disaksikan oleh Allah, Rasul-Nya dan orang-orang beriman. Dalam terminologi Syiah, orang-orang beriman yang dimaksud adalah para maksumin as. Bagi yang beriman kepada Allah dan Rasul-Nya, maka merasa selalu disaksikan adalah juga bagian dari keyakinan yang mesti menghujam dalam ke sanubari. Keyakinan merasa disaksikan adalah termasuk derajat tinggi dalam maqam keimanan seseorang. Ketika ditanya apakah ihsan itu, Nabi Muhammad saww menjawab, “Ihsan adalah kamu beramal seakan-akan melihat Allah, kalau kamu tidak bisa melihatnya, maka yakinlah, Allah menyaksikanmu.”

Di sini kita merasa perlu mengajukan pertanyaan, mengapa Allah harus mengikutkan Rasul-rasul-Nya dan orang-orang beriman sebagai saksi, dan tidak cukup dengan Dia saja yang menjadi saksi?. Di sini Allah ingin menunjukkan keMaha Kuasaan-Nya, merasa disaksikan oleh Rasul-rasul-Nya dan para Aimmah as, mendidik kita untuk menjadi insan yang tahu berterimakasih. Mengingatkan kita, bahwa keimanan dan keyakinan yang benar kita kepada Allah SWT tidak datang serta-merta, namun melalui perantaraan mereka. Mengingatkan kita akan dakwah dan perjuangan mereka yang penuh pengorbanan. Keyakinan disaksikan oleh mereka, mendidik kita bahwa ada manusia-manusia yang pada hakikatnya seperti kita juga, semasa hidup mereka layak sebagaimana kesibukan kita, beraktivitas sebagaimana biasanya, makan, minum, berjalan, bekerja dan beristrahat. Namun kemudian, mendapat posisi yang teramat istimewa di sisi Allah, karena ketakwaan dan loyalitas mereka di jalan Allah. Karenanya, untuk menjadi orang-orang yang didekatkan di sisi Allah sebagaimana mereka, menjadi sebuah keniscayaan bagi kita untuk mengenal dan menjadikan mereka sebagai suri tauladan dalam kehidupan kita. Di antara hikmahnya pula, kita akan merasa senantiasa punya keterikatan dan kedekatan maknawi dengan para Anbiyah as dan para Aimmah as, bahwa diantara bentuk keadilan Ilahi disetiap masa, umat manusia bisa merasakan keberkahan akan kehadiran mereka. Kalau mereka menjadi saksi atas setiap perbuatan kita, maka apa yang menghalangi mereka untuk menjadi penolong, ketika berseru kepada mereka?. Allah SWT berfirman, “Tiada seorangpun yang akan memberi syafa’at kecuali sesudah ada izin-Nya.” (Qs. Yunus: 3).
Syafa’at dan berbagai bentuk pertolongan semuanya pada hakikatnya datangnya dari Allah, melalui perantara orang-orang yang di ridhai-Nya. Dan adakah, yang lebih diridhai Allah melebihi keridhaan-Nya kepada para Anbiyah as dan Aimmah as?. Allah SWT berfirman, “Dia mengetahui yang ghaib, tetapi Dia tidak memperlihatkan kepada siapapun tentang yang ghaib itu, kecuali kepada Rasul yang diridhai-Nya..” (Qs. Al-Jinn: 27).

Minggu, 17 November 2013

Kisah Nabi Yasa’ A.s

Al-Yasa’ A.s adalah Nabi selanjutnya untuk bangsa Israel. Dia menghadapi sikap penyangkalan Raja dan Ratu Israel terhadap agama sepeninggal Ilyas A.s. Al-Yasa’ A.s menunjukkan banyak mukjizat untuk menunjukkan kekuasaan Allah Swt, tapi mereka malah menyebutnya tukang sihir, sama seperti ketika mereka menyebut Nabi Ilyas A.s sebelumnya. Mereka terus membangkang sepanjang hidup Al-Yasa’ A.s. Setelah beberapa lama, bangsa Israel ditaklukkan oleh Bangsa Assyria. Bangsa Assyria menghancurkan Kuil Gunung dan menyebabkan kerusakan parah di Israel.

Nama Al-Yasa A.s disebut dalam kisah Nabi Ilyas A.s, saat rasul itu dikejar-kejar oleh kaumnya dan bersembunyi di rumah Al-Yasa A.s. Maka besar kemungkinan Al-Yasa A.s juga tinggal di seputar lembah sungai Jordan.

Ketika Ilyas A.s bersembunyi di rumahnya, Al-Yasa A.s masih seorang belia. Saat itu ia tengah menderita sakit kemudian Ilyas A.s membantu menyembuhkan penyakitnya. Setelah sembuh, Al-Yasa A.s pun menjadi anak angkat Ilyas A.s yang selalu mendampingi untuk menyeru ke jalan kebaikan. Al-Yasa A.s melanjutkan tugas kenabian tersebut begitu Ilyas A.s meninggal. Al-Yasa A.s melanjutkan misi ayah angkatnya, agar kaumnya kembali taat kepada ajaran Allah Swt.

Al-Yasa’ A.s kemudian mendapati bahwa manusia ternyata begitu mudah kembali ke jalan sesat. Itu terjadi tak lama setelah Ilyas A.s wafat. Padahal masyarakat lembah sungai Yordania itu sempat mengikuti seruan Ilyas A.s agar meninggalkan pemujaannya pada berhala. Pada kalangan itulah Ilyasa A.s tak lelah menyeru ke jalan kebaikan. Dikisahkan bahwa mereka tetap tak mau mendengar seruan Al-Yasa’ A.s, dan mereka kembali menanggung bencana kekeringan yang luar biasa.

Nabi Yasa’ A.s termasuk salah satu nabi yang diutus oleh Allah Swt Allah Swt menyebut namanya dan memujinya tetapi Dia tidak menceritakan kisahnya. Allah Swt berfirman dalam surah Shad:

“Dan inilah hamba-hamba Kami: Ibrahim, Ishak, dan Yakub yang mempunyai perbuatan-perbuatan besar dan ilmu-ilmu yang tinggi. Sesungguhnya Kami telah menyucikan mereka dengan (menganugerahkan kepada mereka) akhlak yang tinggi, yaitu selalu mengingatkan (manusia) kepada negeri akhirat. Dan sesungguhnya mereka pada sisi Kami benar-benar termasuk orang-orang pilihan yang baik. Dan ingatlah akan Ismail, Ilyasa’ dan Zulkilfi. Semuanya termasuk orang-orang yang paling baik.” (QS. Shad: 45-48)

Pendapat yang utama menyatakan bahawa Nabi Yasa’ A.s adalah Yasa’ yang disebutkan dalam Taurat, sementara Injil Barnabas menceritakan bahwa beliau mampu menghidupkan orang yang gila. Ini adalah mukzijat beliau.

Kisah Terbelahnya Bulan Oleh Rasulullah SAW

Di zaman Jahilliyah hiduplah raja bernama Habib bin Malik di Syam, Dia penyembah berhala yang fanatik dan menentang serta membenci agama yang didakwahkan Rasulullah Saw.

Suatu hari Abu Jahal menyurati Raja Habib bin Malik perihal Rasulullah Saw. Surat itu membuatnya penasaran dan ingin bertemu dengan Rasulullah Saw dan membalas surat itu Ia akan berkunjung ke Mekkah.

Pada hari yang telah ditentukan berangkatlah Ia dengan 10.000 orang ke Mekah. Sampai di Desa Abtah, dekat Mekah, Ia mengirim utusan untuk memberitahu Abu Jahal bahwa Dia telah tiba di perbatasan Mekkah. Maka disambutlah Raja Habib oleh Abu Jahal dan pembesar Quraisy.

“Seperti apa sih Muhammad itu?” tanya Raja Habib setelah bertemu dengan Abu Jahal.
“Sebaiknya Tuan tanyakan kepada Bani Haasyim,” jawab Abu Jahal. Lalu Raja Habib menanyakan kepada Bani Hasyim.
“Di masa kecilnya, Muhammad adalah anak yang bisa di percaya, jujur, dan baik budi. Tapi, sejak berusia 40 tahun, Ia mulai menyebarkan agama baru, menghina dan menyepelekan tuhan-tuhan kami. Ia menyebarkan agama yang bertentangan dengan agama warisan nenek moyang kami,” jawab salah seorang keluarga Bani Hasyim.
Raja Habib memerintahkan untuk menjemput Rasulullah Saw dan menyuruh untuk memaksa bila Ia tidak mau datang.
Dengan menggunakan jubah merah dan sorban hitam, Rasulullah Saw datang bersama Abu Bakar As Siddiq r.a dan Sayyidatina Khadijah r.ha. Sepanjang jalan Sayyidatina Khadijah r.ha menangis karena khawatir akan keselamatan suaminya, demikian pula Abu Bakar r.a.
“Kalian jangan takut, kita serahkan semua urusan kepada Allah Swt,” Kata Rasulullah saw.

Sampai di Desa Abthah, Rasulullah Saw di sambut dengan ramah dan dipersilahkan duduk di kursi yang terbuat dari emas. Ketika Rasulullah Saw duduk di kursi tersebut, memancarlah cahaya kemilau dari wajahnya yang berwibawa, sehingga yang menyaksikannya tertegun dan kagum.
Maka berkata Raja Habib,”Wahai Muhammad setiap Nabi memiliki mukjizat, mukjizat apa yang Engkau miliki?”
Dengan tenang Rasulullah Saw balik bertanya,”Mukjizat apa yang Tuan kehendaki?”
“Aku menghendaki matahari yang tengah bersinar engkau tenggelamkan, kemudian munculkanlah bulan. Lalu turunkanlah bulan ke tanganmu, belah menjadi dua bagian, dan masukkan masing-masing ke lengan bajumu sebelah kiri dan kanan. Kemudian keluarkan lagi dan satukan lagi. Lalu suruhlah bulan mengakui engkau adalah Rasul. Setelah itu kembalikan bulan itu ke tempatnya semula. Jika engkau dapat melakukannya, aku akan beriman kepadamu dan mengakui kenabianmu,” Kata Raja Habib.

Mendengar itu Abu Jahal sangat gembira, pasti Rasulullah Saw tidak dapat melakukannya.
Dengan tegas dan yakin Rasulullah Saw menjawab, “Aku penuhi permintaan Tuan.”

Kemudian Rasulullah Saw berjalan ke arah Gunung Abi Qubaisy dan shalat dua rakaat. Usai shalat, Beliau berdo’a dengan menengadahkan tangan tinggi-tinggi, agar permintaan Raja Habib terpenuhi. Seketika itu juga tanpa diketahui oleh siapapun juga turunlah 12.000 malaikat.

Maka berkatalah malaikat, ”Wahai Rasulullah Saw, Allah Swt menyampaikan salam kepadamu. Allah Swt berfirman, ‘Wahai kekasih-Ku, janganlah engkau takut dan ragu. Sesunguhnya Aku senantiasa bersamamu. Aku telah menetapkan keputusan-Ku sejak Zaman Azali.’  Tentang permintaan Habib bin Malik, pergilah engkau kepadanya untuk membuktikan kerasulanmu. Sesungguhnya Allah Swt yang menjalankan matahari dan bulan serta mengganti siang dengan malam. Habib bin Malik mempunyai seorang puteri cacat, tidak punya kaki, dan tangan serta buta. Allah Swt telah  menyembuhkan anak itu, sehingga ia bisa berjalan, meraba, dan melihat.”