Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Jika seseorang meninggal dunia, maka terputuslah amalannya kecuali tiga perkara (yaitu) : sedekah jariyah, ilmu yang bermanfaat, dan do’a anak yang sholeh” (HR. Muslim no. 1631)

Cari Berkah

Rabu, 11 Mei 2011

Hikmah Poligami

Islam adalah hukum Allah yang terakhir yang dibawa oleh Nabi yang terakhir pula. Oleh kerana itu layak kalau ia datang dengan membawa undang-undang yang komplit, abadi dan universal. Berlaku untuk semua daerah, semua masa dan semua manusia.
Islam tidak membuat hukum yang hanya berlaku untuk orang kota dan melupakan orang desa, untuk daerah dingin dan melupakan daerah panas, untuk satu masa tertentu dan melupakan masa-masa lainnya serta generasi mendatang.

Islam telah menentukan keperluan perorangan dan masyarakat, dan menentukan ukuran kepentingan dan kemaslahatan manusia seluruhnya. Di antara manusia ada yang ingin mendapat keturunan tetapi sayang isterinya mandul atau sakit sehingga tidak mempunyai anak. Bukankah suatu kehormatan bagi si isteri dan keutamaan bagi si suami kalau dia kahwin lagi dengan seorang wanita tanpa mencerai isteri pertama dengan memenuhi hak-haknya?
Sementara ada juga laki-laki yang mempunyai nafsu seks yang luarbiasa, tetapi isterinya hanya dingin saja atau sakit, atau masa haidhnya itu terlalu panjang dan sebagainya, sedang si laki-laki tidak dapat menahan nafsunya lebih banyak seperti orang perempuan. Apakah dalam situasi seperti itu si laki-laki tersebut tidak boleh kahwin dengan perempuan lain yang halal sebagai tempat mencari kawan tidur?

Dan ada kalanya jumlah wanita lebih banyak daripada jumlah laki-laki, lebih-lebih kerana akibat dari peperangan yang hanya diikuti oleh laki-laki dan pemuda-pemuda. Maka di sini poligami merupakan suatu kemaslahatan buat masyarakat dan perempuan itu sendiri, sehingga dengan demikian mereka akan merupakan manusia yang bergharizah yang tidak hidup sepanjang umur berdiam di rumah, tidak kahwin dan tidak dapat melaksanakan hidup berumahtangga yang di dalamnya terdapat suatu ketenteraman, kecintaan, perlindungan, nikmatnya sebagai ibu dan keibuan sesuai pula dengan panggilan fitrah.

Selasa, 12 April 2011

Doa Terakhir Seorang Preman

Di sebuah kota besar yang padat penduduk, hiduplah seorang preman yang sudah berkali-kali melakukan perbuatan jahat dan keji. Loreng, begitu orang mengenalinya. Konon pria ini sudah sering keluar masuk penjara. Tubuhnya dempal dan berkulit hitam. Rambut keriting, agak gondrong dengan beberapa bekas luka mengerikan ada di wajah dan lengannya.

Ia sering memalak orang-orang yang dianggapnya lemah. Sehari ia bisa dapat Rp 200 ribu dan bila ia sedang merampok namun tak terciduk polisi, Loreng bisa memegang hingga dua juta di saku rompi kulitnya yang bau rokok. Ia akan tertawa girang setengah serak dengan komplotannya. Namun bila ia terciduk oleh polisi, maka ia harus bertahan di dalam penjara. Syukur bila ia disegani oleh penghuni selnya, namun bila ia menemukan lawan lebih kuat, kadang Loreng bisa babak belur di sana. Baru sebulan lalu Loreng bebas dari penjara, setelah untuk keenam kalinya ia masuk dalam bui.

Meski begitu, Loreng tidak kapok. Rokok masih menjadi kembang gulanya, bir masih menjadi air putihnya. Hidupnya masih bergantung pada jati dirinya sebagai preman. Kadang ia ingin insyaf dan menjadi tukang ojek atau buruh. Namun keinginan itu jatuh bangun hingga jatuh dan belum pernah bangun lagi. Dunia hitam masih begitu menggoda baginya.

Gara-Gara Kesiangan

Dunia serasa akan runtuh … (ehemm...). Mungkin kalau pernah mengalaminya tentu akan terasa lucu untuk dipikirkan saat sedang senggang. Bagaimana begitu menjadi sibuknya kita saat itu. Semua berjalan jauh dari rencana. Apa yang kita lakukan sepertinya salah semua. Belum lagi suasana yang terbangun menjadi tegang, akibat kita tidak dalam kondisi tenang. Kita menyalahkan angkot yang jalannya terasa seperti keong, mengumpat-umpat Jakarta yang begitu macet. Termasuk ngomelin pengendara-pengendara yang tidak disiplin, dan seabrek kata "menyalahkan" keadaan yang sebenarnya keadaan itu sendiri tidak bersalah.

Terlambat datang ke kantor, tugas sudah menumpuk, harus menghubungi bapak Anu, konfirmasi ke ibu itu, boro-boro mikirin perut, ingat untuk minum segelas airpun sudah alhamdulillah. Harus mengawasi ini, membuat laporan itu dan entah ada saja yang harus dilakukan. Belum lagi ibadah rutin yang menjadi biasa sedikit terganggu. Saat makan siang menjadi sesuatu yang dinanti. Bisa bernafas lega saat sudah duduk di bus yang membawa saya pulang. Ups... membawa saya ke Kampus, saya masih ada kuliah. Teringat akan tugas dosen yang belum di print. Ah, saya memilih untuk tidak ambil pusing. Saat itu saya hanya butuh untuk bersandar dan tertidur, nanti jika sudah sampai di Kampus tinggal telepon ke kantor (berharap masih ada yang dikantor) untuk mengirimkan file yang saya butuhkan ke e-mail saya saat itu juga hingga saya bisa menge-print-nya.

Tunggu... saya kelewatan hingga sampai terminal, karena saking lelah dan nyenyaknya tertidur. Lagi-lagi saya seperti dikejar waktu. Belum sholat maghrib membuat saya semakin deg-degan. Telat masuk kelas. Hanya mendapat menit-menit terakhir disesi pertama. Mending kalau tidak ada kelas gabungan, nyatanya tidak. Jadilah saya intermezo yang sukses dilihat teman-teman satu kelas yang isinya lebih dari empat puluh orang. Sedih…
Saya menghempaskan nafas dalam-dalam. Jika teringat hal itu. Ternyata banyak hal yang selama ini menjadi berarti saat saya sering menganggap itu sepele. Tapi minimal saya masih merasakan teguran Allah kepada saya agar saya lebih menghargai waktu. Nggak buruk-buruk amat kok kalau dicermati. Menjadi salah satu kisah yang unik dan menjadi penghias sejarah perjalanan hidup saya.

Selasa, 05 April 2011

Abu Nawas Berdoa Minta Jodoh

Ada saja cara Abu Nawas berdoa agar dirinya mendapatkan jodoh dan menikah. Karena kecerdasan dan semangat dalam dirinya, akhirnya Abu Nawas mendapatkan istri yang cantik dan shalihah.

Sehebat apapun kecerdasan Abu Nawas, ia tetaplah manusia biasa. Kala masih bujangan, seperti pemuda lainnya, ia juga ingin segera mendapatkan jodoh lalu menikah dan memiliki sebuah keluarga.

Pada suatu ketika ia sangat tergila-gila pada seorang wanita. Wanita itu sungguh cantik, pintar serta termasuk wanita yang ahli ibadah. Abu Nawas berkeinginan untuk memperistri wanita salihah itu. Karena cintanya begitu membara, ia pun berdoa dengan khusyuk kepada Allah SWT.

"Ya Allah, jika memang gadis itu baik untuk saya, dekatkanlah kepadaku. Tetapi jika memang menurutmu ia tidak baik buatku, tolong Ya Allah, sekali lagi tolong pertimbangkan lagi ya Allah," ucap doanya dengan menyebut nama gadis itu dan terkesan memaksa kehendak Allah.

Abu Nawas melakukan doa itu setiap selesai shalat lima waktu. Selama berbulan-bulan ia menunggu tanda-tanda dikabulkan doanya. Berjalan lebih 3 bulan, Abu Nawas merasa doanya tak dikabulkan Allah. Ia pun introspeksi diri.

"Mungkin Allah tak mengabulkan doaku karena aku kurang pasrah atas pilihan jodohku," katanya dalam hati.

Kemudian Abu Nawas pun bermunajat lagi. Tapi kali ini ganti strategi, doa itu tidak diembel-embeli spesifik pakai nama si gadis, apalagi berani "maksa" kepada Allah seperti doa sebelumnya.

"Ya Allah berikanlah istri yang terbaik untukku," begitu bunyi doanya.

Berbulan-bulan ia terus memohon kepada Allah, namun Allah tak juga mendekatkan Abu Nawas dengan gadis pujaannya. Bahkan Allah juga tidak mempertemukan Abu Nawas dengan wanita yang mau diperistri. Lama-lama ia mulai khawatir juga. Takut menjadi bujangan tua yang lapuk dimakan usia. Ia pun memutar otak lagi bagaimana caranya berdoa dan bisa cepat terkabul.