Ada 4 lilin yang menyala, Sedikit demi sedikit habis meleleh.
Suasana begitu sunyi sehingga terdengarlah percakapan mereka
Yang pertama berkata: “Aku adalah Damai.” “Namun manusia tak
mampu menjagaku: maka lebih baik aku mematikan diriku saja!” Demikianlah
sedikit demi sedikit sang lilin padam.
Yang kedua berkata: “Aku adalah Iman.” “Sayang aku tak berguna
lagi.”
“Manusia tak mau mengenalku, untuk itulah tak ada gunanya aku tetap
menyala.” Begitu selesai bicara, tiupan angin memadamkannya.
Dengan sedih giliran Lilin ketiga bicara: “Aku adalah Cinta.”
“Tak mampu lagi aku untuk tetap menyala.” “Manusia tidak lagi memandang dan
mengganggapku berguna.”
“Mereka saling membenci, bahkan membenci mereka yang
mencintainya, membenci keluarganya.” Tanpa menunggu waktu lama, maka matilah
Lilin ketiga.
Tanpa terduga…
Seorang anak saat itu masuk ke dalam kamar, dan melihat ketiga
Lilin telah padam. Karena takut akan kegelapan itu, ia berkata: “Ekh apa yang
terjadi?? Kalian harus tetap menyala, Aku takut akan kegelapan!”
Lalu ia mengangis tersedu-sedu.
La Haula Wala Quwwata Illa Billahil Aliyil Adzim - Semoga Jalan Kami Jalan Fisabilillah - (Insya Allah)
Cari Berkah
Selasa, 16 Juni 2009
Rabu, 20 Mei 2009
Gunung Menangis Karena Takut Tergolong Batu Api Neraka
Pada suatu hari
Uqa'il bin Abi Thalib telah pergi bersama-sama dengan Nabi Muhammad s.a.w.. Pada waktu itu Uqa'il telah
melihat berita ajaib yang menjadikan tetapi hatinya tetap bertambah kuat di dalam
Islam dengan sebab tiga perkara tersebut. Peristiwa pertama adalah, bahwa Nabi Muhammad s.a.w. akan mendatangi hajat yakni
membuang air besar dan di hadapannya terdapat beberapa batang pohon. Maka Baginda s.a.w. berkata kepada Uqa'il, "Hai
Uqa'il teruslah engkau berjalan sampai ke pohon itu, dan katalah kepadanya,
bahwa sesungguhnya Rasulullah berkata;
"Agar kamu semua datang kepadanya untuk menjadi aling-aling atau penutup
baginya, kerana sesungguhnya Baginda akan
mengambil air wuduk dan buang air besar."
Uqa'il pun keluar dan pergi mendapatkan pohon-pohon itu dan sebelum dia menyelesaikan tugas itu ternyata pohon-pohon sudah tumbang dari akarnya serta sudah mengelilingi di sekitar Baginda s.a.w. selesai dari hajatnya. Maka Uqa'il kembali ke tempat pohon-pohon itu.
Peristiwa kedua
adalah, bahwa Uqa'il berasa haus dan setelah mencari air ke mana pun jua namun
tidak ditemui. Maka Baginda s.a.w. berkata
kepada Uqa'il bin Abi Thalib, "Hai Uqa'il, dakilah gunung itu, dan
sampaikanlah salamku kepadanya serta katakan, "Jika padamu ada air,
berilah aku minum!"
Selasa, 12 Mei 2009
Kesederhanaan Rasulullah
Suatu hari ‘Umar bin Khaththab r.a. menemui Rasulullah
SAW di kamar beliau, lalu ‘Umar mendapati beliau tengah berbaring di atas
sebuah tikar usang yang pinggirnya telah lapuk.
Jejak tikar itu membekas di belikat beliau, sebuah bantal yang keras membekas di bawah kepala beliau, dan jalur kulit samakan membekas di kepala beliau.
Di salah satu sudut kamar
itu terdapat gandum sekitar satu gantang. Di bawah dinding terdapat qarzh
(semacam tumbuhan untuk menyamak kulit).
Jejak tikar itu membekas di belikat beliau, sebuah bantal yang keras membekas di bawah kepala beliau, dan jalur kulit samakan membekas di kepala beliau.

Air mata ‘Umar bin Khaththab r.a. meleleh. Ia tidak
kuasa menahan tangis karena iba dengan kondisi pimpinan tertinggi umat Islam
itu. Rasulullah SAW melihat air mata ‘Umar r.a. yang berjatuhan, lalu bertanya
“Apa yang membuatmu menangis, Ibnu Khaththab?”
‘Umar r.a. menjawab dengan kata-kata yang bercampur-aduk dengan air mata dan perasaannya yang terbakar, “Wahai Nabi Allah, bagaimana aku tidak menangis, sedangkan tikar ini membekas di belikat Anda, sedangkan aku tidak melihat apa-apa di lemari Anda? Kisra dan Kaisar duduk di atas tilam dari emas dan kasur dari beludru dan sutera, dan dikelilingi buah-buahan dan sungai-sungai, sementara Anda adalah Nabi dan manusia pilihan Allah!”
Lalu Rasulullah SAW menjawab dengan senyum tersungging
di bibir beliau, “Wahai Ibnu Khaththab, kebaikan mereka dipercepat datangnya,
dan kebaikan itu pasti terputus. Sementara kita adalah kaum yang kebaikannya
ditunda hingga hari akhir. Tidakkah engkau rela jika akhirat untuk kita dan
dunia untuk mereka?”
‘Umar menjawab, “Aku rela.” (HR. Hakim, Ibnu Hibban
dan Ahmad)
Dalam riwayat lain disebutkan: ‘Umar berkata, “Wahai
Rasulullah, sebaiknya Anda memakai tikar yang lebih lembut dari tikar ini.”
Lalu, Rasulullah SAW menjawab dengan khusyuk dan merendah diri, “Apa urusanku dengan dunia? Perumpamaan diriku dengan dunia itu tidak lain seperti orang yang berkendara di suatu hari di musim panas, lalu ia berteduh di bawah sebuah pohon, kemudian ia pergi dan meninggalkannya.” (HR. Tirmidzi)
Lalu, Rasulullah SAW menjawab dengan khusyuk dan merendah diri, “Apa urusanku dengan dunia? Perumpamaan diriku dengan dunia itu tidak lain seperti orang yang berkendara di suatu hari di musim panas, lalu ia berteduh di bawah sebuah pohon, kemudian ia pergi dan meninggalkannya.” (HR. Tirmidzi)
Betapa Rasulullah SAW
sangat sederhana. Ia menyadari bahwa akhirat jauh lebih berharga daripada dunia
dan seisinya.
Selasa, 21 April 2009
Datang Untuk Membunuh Rasulullah
Diceritakan bahwa suatu saat, Rasulullah SAW terlelap
sendirian di bawah pohon. Da’sur, seorang penunggang kuda yang sangat memusuhi Rasulullah
SAW datang menghampirinya.
Terganggu oleh suara berisik, Rasulullah membuka
kedua matanya dan melihat sebilah pedang mengkilap terayun-ayun tepat di atas
kepala beliau.

“Siapa yang akan melindungimu sekarang?” bentak Da’sur
kasar dan mengejek.
“Allah,” jawab Rasulullah SAW tenang dan penuh percaya diri.
“Allah,” jawab Rasulullah SAW tenang dan penuh percaya diri.
Da’sur tersentak oleh jawaban yang sangat tenang itu.
Tubuhnya bergetar hingga membuat pedangnya lepas dari tangan.
Rasulullah SAW bangkit, lalu memungut pedang itu seraya bertanya, “Siapa yang akan melindungimu sekarang?”
“Tidak ada,” jawab ksatria musyrik itu.
Rasulullah SAW bangkit, lalu memungut pedang itu seraya bertanya, “Siapa yang akan melindungimu sekarang?”
“Tidak ada,” jawab ksatria musyrik itu.
“Ada,” kata Rasulullah SAW, “Allah juga yang akan
melindungimu. Ambil kembali pedangmu, dan pergi dari sini!”
Langganan:
Komentar (Atom)