Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Jika seseorang meninggal dunia, maka terputuslah amalannya kecuali tiga perkara (yaitu) : sedekah jariyah, ilmu yang bermanfaat, dan do’a anak yang sholeh” (HR. Muslim no. 1631)

Cari Berkah

Senin, 14 Februari 2011

Ta'addud (Poligami) : Merelakan Giliran Kepada Madu

Islam telah mensyari’atkan Ta’addud (polygami) sebagai salah satu pemecahan bagi problematika rumah tangga, khususnya manakala sebuah rumah tangga sudah diambang kehancuran.

Bila sebuah rumah tangga sudah tidak lagi harmonis dan hubungan suami-isteri selalu diwarnai oleh pertengkaran bahkan pengkhianatan (baca: perselingkuhan), maka kehancurannya hanya tinggal menunggu waktu. Secara logika, dalam kondisi yang sudah sampai ke taraf demikian itu, sangat sulit untuk memulihkan kembali hubungan tersebut seperti semula dan kalaupun bisa, maka akan membutuhkan waktu yang tidak singkat. Maka, jalan satu-satunya – bila masih menghendaki tetap utuhnya rumah tangga dan tidak menghendaki kehancuran itu – adalah dengan cara berdamai dan mengalah tetapi halal.

Dalam hal ini, kita mendapatkan keteladanan dari salah seorang Ummul Mukminin, yaitu Saudah binti Zam’ah.

Dia memiliki sikap yang perlu di tiru oleh setiap wanita shalihah, sikap yang menampilkan sosok seorang isteri shalihah, seorang Ummul Mukminin yang menyadari bahwa dirinya harus menjadi suriteladan yang baik bagi kaum Mukminat di dalam mempertahankan keutuhan sebuah rumah tangga.

Singkatnya, bahwa Rasulullah sebagai manusia biasa memiliki perasaan suka dan tidak suka secara alami. adalah Saudah wanita pertama yang dinikahinya setelah wafatnya, Khadijah. Dia seorang janda dan sudah berusia, namun karena ketabahan dan keimanannya-lah, beliau Shallallâhu 'alaihi wa sallam kemudian menikahinya dan memuliakannya sebagai Ummul Mukminin.

Setelah beberapa lama berumah tangga, dan Rasulullah juga setelah itu sudah memiliki isteri-isteri yang lain, tampak ada perubahan sikap dari diri beliau terhadapnya seakan-akan sudah tidak menginginkan serumah lagi dengannya alias ingin menceraikannya. Sikap ini ditangkap dengan baik oleh Saudah dan gelagat yang tidak menguntungkan dirinya ini dia manfa’atkan momennya, yaitu dengan suka rela dia mau berdamai dan mengalah, demi keutuhan rumah tangga dan mempertahankan martabatnya yang telah dimuliakan sebagai Ummul Mukminin. Artinya, dia dengan rela dan ikhlash memberikan jatah gilirnya kepada isteri Rasulullah yang lain, yaitu ‘Aisyah radliyallâhu 'anha.

Selasa, 18 Januari 2011

Niat Taubat Menukar Arak Menjadi Madu

Pada suatu hari, Omar Al-Khatab sedang bersiar-siar di lorong-lorong dalam kota Madinah. Di hujung simpang jalan beliau terserempak dengan pemuda yang membawa kendi. Pemuda itu menyembunyikan kendi itu di dalam kain sarung yang diselimutkan di belakangnya. Timbul syak di hati Omar AL-Khatab apabila terlihat keadaan itu, lantas bertanya, "Apa yang engkau bawa itu?" Kerana panik sebab takut dimarahi Omar yang terkenal dengan ketegasan, pemuda itu menjawab dengan terketar-ketar yaitu benda yang dibawanya ialah madu. Padahal benda itu ialah khamar.

Dalam keadaannya yang bercakap bohong itu pemuda tadi sebenarnya ingin berhenti dari terus minum arak.

Dia sesungguhnya telah menyesal dan insaf untuk melakukan perbuatan yang ditegah oleh agama itu. Dalam penyesalan itu dia berdoa kepada Tuhan supaya Omar Al-Khatab tidak sampai memeriksa isi kendinya yang ditegah oleh agama itu.

Pemuda itu masih menunggu sebarang kata-kata Khalifah, "Kendi ini berisikan madu."

Kerana tidak percaya, Khalifah Omar ingin melihat sendiri isi kendi itu. Rupanya doa pemuda itu telah dimakbulkan oleh Allah s.w.t. seketika itu juga telah menukarkan isi kendi itu kepada madu.

Begitu dia berniat untuk bertaubat, dan Tuhan memberikan hidayah, sehingga niatnya yang ikhlas, ia terhindar dari pergolakan Khalifah Omar Al-Khatab, yang mungkin membahayakan pada dirinya sendiri kalau kendi itu masih berisi khamar.

Allah Taala berfirman:, "Seteguk khamar diminum maka tidak diterima Allah amal fardhu dan sunatnya selama tiga hari. Dan sesiapa yang minum khamar segelas, maka Allah Taala tidak menerima sholatnya selama empat puluh hari. Dan orang yang tetap minum khamar, maka selayaknya Allah memberinya dari 'Nahrul Khabal'.

Sabtu, 01 Januari 2011

Makna Tahun Baru

Tahun baru, dimana kita akan hidup didalam suasana dan alam baru yang tidak hanya berdimensi materialistik, tapi juga mengandung arti perubahan tingkah laku secara keseluruhan seperti pengetahuan, wawasan, sikap, kebiasaan, dan lain sebagainya.

Hingga saat ini masih banyak diantara kita yang menyambut tahun baru dengan cara yang berlebihan. Contohnya dengan cara glamour, bersorak ria sambil berdansa, mabuk-mabukan, dan berpesta pora. Yang demikian itu mereka lakukan dengan dalih ingin menyambut tahun baru dengan cara modern.

Padahal sebenarnya cara ini adalah cara yang kuno. Dalam ajaran agama islam, tahun baru tidak dipandang sebagai peristiwa yang luar biasa, tetapi dipandang sebagai peralihan tahun yang biasa terjadi seiring dengan gerak hukum alam yang diciptakan Tuhan. Allah berfirman dalam surat Ali Imron ayat 140 :

“Itulah hari-hari yang telah kami edarkan diantara umat manusia”

Sebab itu setiap gerak dan langkah kita lakukan sebenarnya harus berjalan seirama dengan sunatullah diatas. Menyadari hal itu, alangkah baiknya bila kita dalam menyambut tahun baru dengan mengadakan intropeksi diri, merenung dan muhasabah terhadap keberhasilan, kegagalan, kesalahan, dan dosa-dosa kita. Bukan dengan berpesta pora menghamburkan uang dan waktu. Allah berfirman

Selasa, 14 Desember 2010

Persaudaraan Dan Keadilan Universal

Wahai manusia! Sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan, kemudian menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu saling mengenal. Sungguh, yang paling mulia diantaramu di mata Allah adalah dia yang paling taqwa diantaramu. Sungguh, Allah Maha Tahu lagi Maha Mengenal (segala sesuatu)" (QS. 49:13).

"Tuhanmu adalah Satu. Kamu semua berasal dari Adam, dan Adam dibuat dari tanah. Tidak ada kelebihan seorang Arab dari yang bukan Arab, tidak pula seorang kulit putih atas seorang kulit hitam kecuali taqwa" (HR. Tabarani, dalam Majma' al-Zawa'id, 8:84).

Islam bertujuan membentuk suatu tertib sosial dimana semua orang diikat dengan tali persaudaraan dan kasih sayang, seperti anggota-anggota satu keluarga yang diciptakan oleh Allah SWT dari sepasang manusia. Persaudaraan ini adalah universal dan tidak picik. Ia tidak dibatasi oleh batas-batas geografis maupun demografis, tetapi meliputi seluruh umat manusia, bukan hanya satu kelompok keluarga, suku atau ras. Qur'an menegaskan: "Katakanlah: Wahai manusia! Sesungguhnya aku adalah utusan Allah kepadamu semuanya" (QS. 7:158).

Konsekuensi yang wajar dari konsep persaudaraan universal ini adalah kerjasama dan tolong menolong, khususnya diantara sesama kaum Muslimin. Dengan demikian, kaum muslimin disamping dipersatukan satu sama lain oleh asal usul yang sama, juga lebih khusus lagi dipersatukan oleh ikatan persamaan ideologi, yang disifatkan Al-Qur'an sebagai "saudara-saudara seiman" (QS.9:11), "yang saling berkasih sayang diantara mereka" (QS.48:29).

Nabi SAW menekankan: "Umat manusia adalah keluarga Allah dan yang paling tercinta di mata-Nya adalah yang paling baik kepada keluarga-Nya" (HR. Baihaqi, Misykat, 2:613).