Izinkan mericau tentang sebuah kisah keagungan dan
keindahan hukum. Agar tetap terjaga harap dan sangka baik untuk negeri ini.
Umar sedang duduk beralas surban di bebayang pohon
kurma dekat Masjid Nabawi. Sahabat di sekelilingnya bersyura’ bahas aneka soal.
Tiga orang pemuda datang menghadap; dua bersaudara berwajah marah yang mengapit
pemuda lusuh yang tertunduk
dalam belengguan mereka.
“Tegakkan keadilan untuk kami, hai Amirul Mukminin,”
ujar seorang. “Qishashlah pembunuh ayah kami sebagai had atas kejahatannya!”
Umar bangkit. “Bertakwalah kepada Allah,” serunya pada
semua. “Benarkah engkau membunuh ayah mereka wahai anak muda?” selidiknya.
Pemuda itu menunduk sesal. “Benar wahai Amirul
Mukminin!” jawabnya ksatria. “Ceritakanlah pada kami kejadiannya!” tukas Umar.
“Aku datang dari pedalaman yang jauh, kaumku
memercayakan berbagai urusan muamalah untuk kuselesaikan di kota ini,”
ungkapnya. “Saat sampai,” lanjutnya, “kutambatkan untaku di satu tunggul kurma,
lalu kutinggalkan ia. Begitu kembali, aku terkejut dan terpana. Tampak olehku
seorang lelaki tua sedang menyembelih untaku di lahan kebunnya yang tampak
rusak terinjak dan ragas-rigis tanamannya. Sungguh aku sangat marah dan dengan
murka kucabut pedang hingga terbunuhlah si bapak itu. Dialah rupanya ayah kedua
saudaraku ini.”