Jaabir
bin ‘Abdillah radliyallaahu ‘anhu berkata :
نَهَى رَسُولُ
اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ يُجَصَّصَ الْقَبْرُ، وَأَنْ
يُقْعَدَ عَلَيْهِ، وَأَنْ يُبْنَى عَلَيْهِ
“Rasulullah
shallallaahu ‘alaihi wa sallam telah melarang kubur untuk dikapur,
diduduki, dan dibangun sesuatu di atasnya”.
Hadits
ini diriwayatkan oleh Muslim no. 970, Abu Daawud no. 3225, At-Tirmidziy no.
1052, An-Nasaa’iy no. 2027-2028 dan dalam Al-Kubraa 2/463 no. 2166,
‘Abdurrazzaaq 3/504 no. 6488, Ahmad 3/295, ‘Abd bin Humaid 2/161 no. 1073, Ibnu
Maajah no. 1562, Ibnu Hibbaan no. 3163-3165, Al-Haakim 1/370, Abu Nu’aim dalam Al-Musnad
Al-Mustakhraj ‘alaa Shahiih Muslim no. 2173-2174, Al-Baihaqiy dalam Al-Kubraa
3/410 & 4/4, Ath-Thayaalisiy 3/341 no. 1905, Ath-Thabaraaniy dalam Asy-Syaamiyyiin
3/191 no. 2057 dan dalam Al-Ausath 6/121 no. 5983 & 8/207 8413,
Abu Bakr Asy-Syaafi’iy dalam Al-Fawaaaid no. 860, Abu Bakr Al-‘Anbariy
dalam Hadiits-nya no. 68, Ath-Thahawiy dalam Syarh Ma’aanil-Aatsaar 1/515-516
no. 2945-2946, dan yang lainnya.
Asal
dari larangan Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam menunjukkan keharaman
sebagaimana telah dimaklumi dalam ilmu ushul fiqh. Bahkan ‘Aliy bin Abi Thaalib
radliyallaahu ‘anhu – nenek moyang para habaaib – adalah salah
seorang shahabat yang sangat bersemangat melaksanakan perintah Nabi shallallaahu
‘alaihi wa sallam tersebut sebagaimana terdapat dalam riwayat :
عَنْ أَبِي
الْهَيَّاجِ الْأَسَدِيِّ، قَالَ: قَالَ لِي عَلِيُّ بْنُ أَبِي طَالِبٍ: "
أَلَا أَبْعَثُكَ عَلَى مَا بَعَثَنِي عَلَيْهِ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ لَا تَدَعَ تِمْثَالًا إِلَّا طَمَسْتَهُ، وَلَا قَبْرًا
مُشْرِفًا إِلَّا سَوَّيْتَهُ "
Dari
Abul-Hayyaaj Al-Asadiy, ia berkata : ‘Aliy bin Abi Thaalib pernah berkata
kepadaku : “Maukah engkau aku utus sebagaimana Rasulullah shallallaahu
‘alaihi wa sallam telah mengutusku ? Hendaklah engkau tidak meninggalkan
gambar-gambar kecuali engkau hapus dan jangan pula kamu meninggalkan kuburan
yang ditinggikan kecuali kamu ratakan” [Diriwayatkan oleh Muslim no. 969, Abu
Daawud no. 3218, At-Tirmidziy no. 1049, An-Nasaa’iy no. 2031, dan yang
lainnya].
Larangan
membangun kubur ini kemudian diteruskan oleh para ulama madzhab.
Madzhab
Syaafi’iyyah, maka Muhammad bin Idriis Asy-Syaafi’iy rahimahullah berkata
:
وأحب أن لا يبنى
ولا يجصص فإن ذلك يشبه الزينة والخيلاء وليس الموت موضع واحد منهما ولم أر قبور
المهاجرين والانصار مجصصة ...... وقد رأيت من الولاة من يهدم بمكة ما يبنى فيها
فلم أر الفقهاء يعيبون ذلك
“Dan
aku senang jika kubur tidak dibangun dan tidak dikapur/disemen,
karena hal itu menyerupai perhiasan dan kesombongan. Orang yang mati bukanlah
tempat untuk salah satu di antara keduanya. Dan aku pun tidak pernah
melihat kubur orang-orang Muhaajiriin dan Anshaar dikapur..... Dan aku telah
melihat sebagian penguasa meruntuhkan bangunan yang dibangunan di atas kubur di
Makkah, dan aku tidak melihat para fuqahaa’ mencela perbuatan tersebut”
[Al-Umm, 1/316 – via Syamilah].
An-Nawawiy
rahimahullah ketika mengomentari riwayat ‘Aliy radliyallaahu ‘anhu di
atas berkata :
فيه أن السنة أن
القبر لا يرفع على الأرض رفعاً كثيراً ولا يسنم بل يرفع نحو شبر ويسطح وهذا مذهب
الشافعي ومن وافقه،
“Pada
hadits tersebut terdapat keterangan bahwa yang disunnahkan kubur tidak terlalu
ditinggikan di atas permukaan tanah dan tidak dibentuk seperti punuk onta, akan
tetapi hanya ditinggikan seukuran sejengkal dan meratakannya. Ini adalah
madzhab Asy-Syaafi’iy dan orang-orang yang sepakat dengan beliau” [Syarh
An-Nawawiy ‘alaa Shahih Muslim, 3/36].