Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Jika seseorang meninggal dunia, maka terputuslah amalannya kecuali tiga perkara (yaitu) : sedekah jariyah, ilmu yang bermanfaat, dan do’a anak yang sholeh” (HR. Muslim no. 1631)

Cari Berkah

Minggu, 06 Oktober 2013

Hari Perhitungan Amal Manusia (oleh Bunga - Pildacil Cilik)

Berkata Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah : Allah Azza wajalla akan menghisab para makhluk. Hisab adalah ditampakkannya amalan-amalan hamba kepada-Nya pada hari kiamat. Dan sungguh al Quran dan as Sunnah, ijma’, dan akal telah menunjukkan hal ini.
Adapun dalam al Quran, Allah Subhanahu wata’ala berfirman, “Adapun orang yang diberikan kitabnya dari sebelah kanannya, maka dia akan diperiksa dengan pemeriksaan yang mudah,” (al Insyiqaaq: 7-8)
“Adapun orang yang diberikan kitabnya dari belakang, maka dia akan berteriak: “Celakalah aku”. Dan dia 
akan masuk ke dalam api yang menyala-nyala (neraka).” (al Insyiqaaq: 10-12)


Adapun dalam as Sunnah maka telah tsabit dari nabi Shallallahu’alaihi wasallam bahwasanya Allah Subhanahu wata’ala akan menghisab para makhluk. Adapun ijma’ maka sesungguhnya telah sepakat di antara semua umat, bahwasanya Allah Subhanahu wata’ala akan menghisab para makhluk. Adapun dalam akal maka sangat jelas karena sesungguhnya kita telah diberi beban syari’at, apakah berupa amalan yang harus dikerjakan ataupun yang harus ditinggalkan atau yang harus dipercayai. Maka akal dan hikmah itu menetapkan bahwa seseorang yang diberi beban syari’at, maka sesungguhnya dia akan dihisab dan dimintai pertanggung jawaban.

Perkataan penulis: kholaiq, adalah jamak dari makluk, mencakup setiap makhluk. Akan tetapi dikecualikan dari makhluk tersebut orang yang masuk surga tanpa hisab tanpa adzab, sebagaimana hal ini tsabit dalam as shahihain: Bahwasanya nabi Shallallahu’alaihi wasallam melihat umatnya dan bersama mereka ada 70.000 orang yang masuk surga tanpa hisab tanpa adzab. Mereka adalah orang yang tidak pernah minta diruqyah, tidak pernah berobat dengan kai (besi yang dipanaskan hingga membara), tidak pernah bertathayyur (beranggapan sial dengan sesuatu yang dilihat atau didengar) dan hanya kepada Rabbnya mereka bertawakkal [Diriwayatkan Bukhari (6541) dan Muslim (220) dari Ibnu Abbas Radhiallahu’anhu.

Hadits selengkapnya berbunyi sebagai berikut: Husain bin Abdurrahman berkata, “Suatu ketika aku berada di sisi Said bin Zubair, lalu ia bertanya, “Siapa diantara kalian melihat bintang yang jatuh semalam?” Kemudian aku menjawab, “aku” Kemudian kataku, “Ketahuilah, sesungguhnya aku ketika itu tidak sedang melaksanakan sholat, karena aku disengat kalajengking.” Lalu ia bertanya kepadaku, “lalu apa yang kau lakukan?” Aku menjawab, “Aku minta diruqyah” Ia bertanya lagi, “Apa yang mendorong kamu melakukan hal itu?” Aku menjawab, “yaitu sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Asy Sya’by kepada kami” Ia bertanya lagi, “Dan apakah hadits yang dituturkan kepadamu itu?” Aku menjawab, “Dia menuturkan hadits kepada kami dari Buraidah bin Hushaib,
“Tidak boleh Ruqyah kecuali karena ain atau terkena sengatan”.

Kamis, 03 Oktober 2013

Doa Berjama’ah Dan Jabat Tangan Setelah Shalat

Imam disuatu masjid merasa tidak dihargai kalau ada jamah yang tidak ikut doa bersama dan tidak ikut bersalam-salaman setelah sholat. Sesungguhnya, bagaimanakah hukum berdoa berjama’ah dan salam salaman setelah selesi sholat?

Pertama : Perlu diketahui bahwa imam shalat itu wajib diikuti sampai selesai shalat. Mulai dari takbiratul ihrom (Allahu akbar) sampai salam (setelah selesai membaca tasyahud akhir). Sehingga setelah selesai salam, makmum sudah tidak harus mengikuti imamnya.

Dari Anas, dia berkata: “Rasulullah Shallallahu’alaihi wa Sallam suatu hari sholat mengimami kami. Setelah selesai sholat beliau menghadapkan wajahnya kepada kami kemudian bersabda, ”Wahai manusia sesungguhnya aku adalah imam (sholat) kamu, maka janganlah kamu mendahuluiku dengan ruku’, sujud, berdiri, atau salam! (HR Muslim,no.426)

Adapun tentang berdoa setelah shalat adalah dilakukan sendiri sendiri, sebagaimana tertuang dalam hadits berikut ini :

Dari al-Bara’, dia berkata: ”Kami para Sahabat dahulu, jika melakukan shalat dibelakang Rasulullah Shallallahu’alaihi wa Sallam, kami suka berada disebelah kanan beliau, karena beliau akan menghadapkan wajahnya kepada kami”. Al-Bara’ juga berkata, ”Wahai Rabb-ku, jagalah aku dari siksa-Mu pada hari Engkau akan membangkitkan atau mengumpulkan hamba-hambamu”.(HR Muslim,no 709)

Walaupun ada sebagian kaum muslimin yang menyukai doa jama’ah setelah shalat, namun sesungguhnya Nabi Shallallahu’alaihi wa Sallam tidak pernah melakukan doa berjama’ah setelah memimpin shalat. Sebaik baik petunjuk adalah petunjuk Nabi Shallallahu’alaihi wa Sallam.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata, ”Al-hamdulillah, Nabi Shallallahu’alaihi wa Sallam dan makmum tidak pernah berdoa (bersama-sama) setelah shalat lima waktu, sebagaiman dilakukan oleh sebagian orang setelah shalat subuh dan ashar. Dan hal itu tidak pernah diriwayatkan oleh seorang pun (ulama salaf), juga tidak ada seorangpun dari para imam (ulama) yang menyukainya. Barang siapa meriwayatkan dari Imam Syafi’i bahwa beliau menyukainya, maka orang tersebut telah berbuat keliru.terhadap Al Imam As-Syafi’i. Perkataan imam Syafi’i yang ada didalam kitab kitab beliau meniadakan hal itu.

Demikian juga dengan Imam Ahmad dan lainnya tidak menyukainya. Walaupun ada sejumlah orang dari pengikut Imam Ahmad, Imam Abi Hanifah, dan lainnya menyukai doa (jama’ah) setelah sholat subuh dan ashar. Mereka berkata, ”Karena tidak ada shalat setelah dua shalat ini, maka diganti dengan doa”, ada juga kelompok orang dari pengikut imam Syafi’i dan lainnya menyukai doa (berjama’ah) itu tidak diperintahkan, baik dengan perintah wajib maupun sunnah, pada tempat ini (setelah shalat). Majmi’Fatawa 22/512-513

Kedua: Berjabat tangan itu dianjurkan ketika bertemu dan keutamaanya adalah akan menggugurkan dosa orang islam yang berjabat tangan tersebut. Adapun kebiasaan berjabat tangan setelah shalat, maka hal ini diingkari oleh banyak ulama, kecuali bagi orang yang belum bertemu sebelumnya.

Selasa, 01 Oktober 2013

Hadits-Hadits Lemah Dan Palsu Seputar Bulan Muharram

Hadits Pertama:

Imam Ath-Thobroni rahimahullah berkata: Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Rozin bin Jami’ Al-Mishri Abu Abdillah Al-Mu’addal, ia berkata; telah menceritakan kepada kami Al-Haitsam bin Habib, ia berkata; telah menceritakan kepada kami Sallaam Ath-Thowil, dari Hamzah Az-Zayyaat, dari Laits bin Abi Saliim, dari Mujahid, dari Ibnu Abbas, ia berkata: Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda:

مَنْ صَامَ يَوْمَ عَرَفَةَ كَانَ لَهُ كَفَّارَةَ سَنَتَيْنِ وَمَنْ صَامَ يَوْمًا مِنَ الْمُحَرَّمِ فَلَهُ بِكُلِّ يَوْمٍ ثَلاَثُوْنَ يَوْمًا

“Barangsiapa berpuasa pada hari Arofah maka puasa itu akan menghapuskan (dosa-dosa) selama dua tahun. Dan barangsiapa yang berpuasa satu hari di bulan Muharram maka baginya dari setiap hari (bagaikan berpuasa) 30 hari”. (Dikeluarkan oleh Ath-Thobaroni dalam Al-Mu’jam Ash-Shoghir II/164 no.963).

Derajat Hadits:

Hadits ini derajatnya PALSU (Maudhu’).

Berkata Syaikh Al-Albani rahimahullah: “Ini adalah hadits PALSU (maudhu’).
Di dalam sanadnya ada dua orang perowi pendusta (pemalsu hadits), yaitu:

1. Sallam Ath-Thowil dan dia adalah pendusta.

Ibnu Khorrosy berkata tentangnya: “Dia seorang pendusta.”
Ibnu Hibban berkata tentangnya: “Dia meriwayatkan hadits-hadits palsu dari para perowi yang tsiqoh (terpercaya/kredibel), dan sepertinya dia yang sengaja memalsukannya.”
Al-Hakim berkata tentangnya pula: “Dia meriwayatkan hadits-Hadits palsu.”

2. Al-Haitsam bin Habib diklaim oleh imam Adz-Dzahabi sebagi orang yang meriwayatkan hadits bathil”. (Lihat Silsilah Al-Ahadits Adh-Dho’ifah I/596 no.412, dan Dho’if At-Targhib wat Tarhib I/154 no. 615).

Hadits Kedua:

Imam Ath-Thobroni rahimahullah berkata: Telah menceritakan kepada kami Yusuf Al-Qodhi dan Abdullah bin Ahmad bin Hanbal, keduanya berkata: Telah menceritakan kepada kami Abdul A’la bin Hammad An-Narsi, ia berkata; telah menceritakan kepada kami Abdul Jabbar bin Al-Ward, dari Ibnu Abu Mulaikah, dari Ubaidillah bin Abi Yazid, dari Ibnu Abbas, ia berkata: Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda:

لَيْسَ لِيَوْمٍ فَضْلٌ عَلَى يَوْمٍ فِي الصِّيَامِ إِلاَّ شَهْرُ رَمَضَانَ وَيَوْمُ عَاشُوْرَاءَ

“Tidak ada satu haripun yang memiliki keutamaan melebihi hari-hari yang lainnya dalam hal berpuasa kecuali bulan Ramadhan dan hari ‘Asyuro’”.  (Diriwayatkan oleh Ath-Thobaroni di dalam Al-Mu’jam Al-Kabir XI/127 no.11253).

Derajat Hadits:

Hadits ini derajatnya DHO’IF JIDDAN (Sangat Lemah).

Di dalam sanadnya terdapat seorang perowi yang bernama Abdul Jabbar bin Al-Ward yang dikatakan oleh Imam Al-Bukhori: “Dia menyelisihi pada sebagian hadits-haditsnya” dan berkata Ibnu Hibban tentangnya: “Dia sering salah dan keliru (wahm).”

Syaikh Al-Albani rahimahulla berkata: “Hadits ini MUNGKAR.” (Lihat Silsilah Al-Ahadits Adh-Dho’ifah I/453no. 285, dan Dho’if At-Targhib wa At-Tarhib I/155 no. 616).

Membalas Ucapan Jazakallahu Khairan & Barakallahu Fiik

Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

من صُنِعَ إليه مَعْرُوفٌ فقال لِفَاعِلِهِ جَزَاكَ الله خَيْرًا فَقَدْ أَبْلَغَ في الثَّنَاءِ

"Barangsiapa yang diberikan satu perbuatan kebaikan kepadanya lalu dia membalasnya dengan mengatakan: 'Jazaakallahu khairan' (semoga Allah membalasmu dengan kebaikan), maka sungguh hal itu telah mencukupi dalam menyatakan rasa syukurnya."

[HR.At-Tirmidzi (2035), An-Nasaai dalam Al-Kubra (6/53), Al-Maqdisi dalam Al-Mukhtarah (4/1321), Ibnu Hibban (3413), Al-Bazzar dalam musnadnya (7/54). Hadits ini dishahihkan Al-Albani dalam shahih Tirmidzi]

"Apakah ada dalil, membalasnya dengan mengucapkan 'wa iyyakum' (dan kepadamu juga)?"

Al-Allamah Asy-Syaikh Al-Muhaddits Abdul Muhsin Al-Abbad hafizhahullah Ta'ala menjawab: "TIDAK, sepantasnya dia juga mengatakan 'Jazakallahu khairan' (semoga Allah membalasmu dengan kebaikan pula), yaitu didoakan sebagaimana dia berdo’a, meskipun perkataan seperti 'wa iyyakum' sebagai athaf (mengikuti) ucapan 'jazaakum', yaitu ucapan 'wa iyyakum' bermakna 'sebagaimana kami mendapat kebaikan, juga kalian', namun jika dia mengatakan 'jazaakallahu khairan' dan menyebut do’a tersebut secara nash, tidak diragukan lagi bahwa hal ini lebih utama dan lebih afdhal.”

(Transkrip dari kaset: durus syarah sunan At-Tirmidzi,oleh Al-Allamah Abdul Muhsin Al-Abbad hafidzahullah, kitab Al-Birr wa Ash-Shilah, nomor hadits: 222. Diterjemahkan oleh Abu Karimah Askari bin Jamal).

Banyak orang yang sering mengucapkan "wa iyyak" (dan kepadamu juga) atau "wa iyyakum" (dan kepada kalian juga) ketika telah dido’akan atau mendapat kebaikan dari seseorang. Apakah ada sunnahnya mengucapkan seperti ini? Lalu bagaimanakah ucapan yang sebenarnya ketika seseorang telah mendapat kebaikan dari orang lain misalnya ucapan “jazakallah khairan atau barakalahu fiikum”?

Berikut fatwa Ulama yang berkaitan dengan ucapan tersebut:

Asy Syaikh Muhammad ‘Umar Baazmool, pengajar di Universitas Ummul Quraa Mekah, ditanya: Beberapa orang sering mengatakan “Amiin, wa iyyaak” (amiin, dan kepadamu juga) setelah seseorang mengucapkan “Jazakallahu khairan” (semoga Allah membalas kebaikanmu). Apakah merupakan suatu keharusan untuk membalas dengan perkataan ini setiap saat?

Beliau menjawab: "Ada banyak riwayat dari sahabat dan dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan ada riwayat yang menjelaskan tindakan ulama. Dalam riwayat mereka yang mengatakan “Jazakalahu khairan,” tidak ada yang menyebutkan bahwa mereka secara khusus membalas dengan perkataan “wa iyyaakum.”