“Setiap
Rasulullah Saw mengirimkan suatu pasukan yang disertai oleh Zaid, pastilah ia
yang selalu diangkat Nabi jadi pemimpinnya. Seandainya ia masih hidup sesudah
Rasul, tentulah ia akan diangkatnya sebagai khalifah!” (Aisyah, r.ha).
Tampang
dan perawakannya biasa saja, pendek dengan kulit coklat kemerah-merahan, dan
hidung yang agak pesek. Demikian yang dilukiskan oleh ahli sejarah dan riwayat.
Masalahnya
bukan fisik. Yang membuat sejarah hidupnya hebat dan besar adalah perjalanan
panjang sejarahnya bersama Rasulullah Saw. Zaid yang berasal dari suku yang
jauh dari Mekah, sampai ke Mekah dengan status budak. Tetapi begitulah Allah
Yang Maha Mempunyai rencana agar Zaid bisa bertemu dengan Rasul-Nya. Dan inilah
kisah selengkapnya.
Sudah
lama sekali isteri Haritsah berniat hendak berziarah ke kaum keluarganya
di kampung Bani Ma’an. Ia sudah gelisah dan seakan-akan tak sabar lagi menunggu
waktu keberangkatannya. Pada suatu pagi yang cerah, suaminya ialah ayah Zaid,
mempersiapkan kendaraan dan perbekalan untuk keperluan itu. Kelihatan isterinya
sedang menggendong anak mereka yang masih kecil, Zaid.
Di
waktu ia akan menitipkan isteri dan anaknya kepada
rombongan kafilah yang akan berangkat bersama dengan
isterinya, dan ia harus menunaikan tugas pekerjaannya, menyelinaplah rasa sedih
di hatinya, perasaan aneh menyeluruh di hatinya, menyuruh agar ia turut serta
mendampingi anak dan isterinya. Akhirnya perasaan gundah itu hilang jua. Dan
kafilah pun mulai bergerak memulai perjalanannya meninggalkan kampung itu, dan
tibalah waktunya bagi Haritsah untuk mengucapkan selamat jalan bagi putera dan
isterinya ….
Demikianiah,
ia melepas isteri dan anaknya dengan air mata berlinang. Lama ia diam terpaku
di tempat berdirinya sampai keduanya lenyap dari pandangan. Haritsah merasakan
hatinya tergoncang, seolah-olah tidak berada di tempatnya yang biasa. Ia
hanyut dibawa perasaan seolah-olah ikut berangkat bersama rombongan kafilah.
Setelah
beberapa lama Su’da, isteri Haritsah berdiam bersama kaum keluarganya di
kampung Bani Ma’an. Hingga pada suatu hari, desa itu dikejutkan oleh serangan
gerombolan perampok badui yang menggerayangi desa tersebut. Kampung dibuat
porak poranda. Karena tak dapat mempertahankan diri, semua milik yang berharga
dikuras habis dan penduduk yang tertawan digiring oleh para perampok itu
sebagai tawanan, termasuk si kecil Zaid bin Haritsah. Dengan perasaan duka
kembalilah ibu Zaid kepada suaminya seorang diri.
Demi
Haritsah mengetahui kejadian tersebut, ia pun jatuh tak sadarkan diri. Dengan
tongkat di pundaknya ia berjalan mencari anaknya. Kampung demi kampung
diselidikinya, padang pasir dijelajahinya. Dia bertanya pada kabilah yang
lewat, kalau-kalau ada yang tahu tentang anaknya tersayang dan buah hatinya
“Zaid.”
Tetapi
usaha itu tidak berhasil. Maka bersyairlah ia menghibur diri sambil menuntun
untanya, yang diucapkannya dari lubuk perasaan yang haru: “Kutangisi Zaid, ku
tak tahu apa yang telah terjadi, Dapatkah ia diharapkan hidup, atau telah
mati Demi AIlah ku tak tahu, sungguh aku hanya bertanya. Apakah di lembah ia
celaka atau di bukit ia binasa. Di kala matahari terbit ku terkenang
padanya. BiIa surya terbenam ingatan kembali menjelma. Tiupan angin yang
membangkitlkan kerinduan pula, Wahai, alangkah lamanya duka nestapa diriku jadi
merana.”
Perbudakan
kala itu adalah sesuatu yang lumrah menurut kondisi masyarakat pada zaman itu.
Dan itu tidak hanya terjadi di Jazirah Arab saja tapi bahkan hampir mendunia.
Terjadi di Athena Yunani, begitu di kota Roma, dan begitu pula di seantero
dunia, dan tidak terkecuali di jazirah Arab sendiri.

.jpg)
