Sebagian
orang akan mengernyitkan keningnya dan bertanya: “Apa itu kun-yah?” Secara umum
masyarakat belum mengenal istilah kun-yah, termasuk masyarakat islam sendiri
umumnya masih merasa asing dengan istilah tersebut, padahal berdasarkan
hadist-hadist yang telah diriwayatkan oleh para salaf telah menerangkan dan
mengindikasikan, sunnahnya kun-yah bagi setiap muslim.
Dilihat
dari segi bahasa arti kun-yah sendiri berarti “panggilan”, “sapaan”, ataupun
sebutan penghormatan pada seseorang. Biasanya “kun-yah” dinisbahkan kepada nama
anak ataupun kepada nama bapaknya.
Misalnya
bila si fulan memiliki anak bernama Umar maka ia bisa memakai kun-yah yakni
“Abu Umar (bapaknya umar)”. Atau bila si fulan mempunyai orang tua bernama
Hanif, maka ia bisa memakai kun-yah yakni “Ibnu Hanif (anaknya hanif)” dan
sebagainya. Indikasi bahwa kun-yah ini disunnahkan oleh rasulullah
salallahu’alaihi wassalam bisa ditemukan pada beberapa hadist antara lain:
Sabda
rasulullah salallahu’alaihi wassalam ketika memberi kun-yah kepada Ummul
Mu`miniin `Aaisyah radhiallahu `anha yaitu “Ummu `Abdillah”.
‘Aisyah
berkata kepada Nabi Shallallahu’alaihiwasallam;
“Wahai
Rasulullah! Semua istrimu memiliki julukan kecuali aku.”
Lalu
Rasulullah Shallallahu’alaihiwasallam bersabda kepadanya:
اكْتَنِي أَنْتِ أُمَّ عَبْدِ اللَّهِ
“Aku
juluki kamu Ummu Abdillah.”
Perawi
berkata: “Selanjutnya Aisyah dipanggil Umu Abdullah sampai beliau meninggal
sedangkan ia belum pernah melahirkan seorang anakpun.”
[Shahiih,
HR. Ahmad; Dishahiihkan oleh asy-Syaikh al-Albaaniy dalam “Silsilatul Ahaadist
As Shohiihah”].
Kemudian
pada hadist berikut yang berbunyi:
dari
Anas, dia berkata;
“Nabi
shallallahu ‘alaihi wasallam adalah sosok yang paling mulia akhlaknya, aku
memiliki saudara yang bernama Abu ‘Umair -Perawi mengatakan; aku mengira Anas
juga berkata; ‘Kala itu ia habis disapih.”- Dan apabila beliau datang, maka
beliau akan bertanya:
يَا أَبَا عُمَيْرٍ
مَا فَعَلَ النُّغَيْرُ
‘Hai
Abu ‘Umeyr, bagaimana kabar si nughair (burung pipitnya)?’
Abu
Umair memang senang bermain dengannya, dan ketika waktu shalat telah tiba,
sedangkan beliau masih berada di rumah kami, maka beliau meminta dihamparkan
tikar dengan menyapu bawahnya dan memercikinya, lalu kami berdiri di belakang
beliau, dan beliau pun shalat mengimami kami.”
(Hadist
dikeluarkan oleh : Al Imam Al Bukhariy (7/133 no. 6129, dan hal. 155 no. 6203)
“Baab
Al Kunyah Lisshobiy wa Qabla An Yuulad Lirrajuli”
(Bab
kunyah bagi anak yang masih kecil dan sebelum dilahirkan bagi seorang lelaki
tersebut), Muslim (3/1692 no. 2150), Abu Daawuud (5/251-252 no. 4969), At
Tirmidziy (2/154 no. 333 dan 4/314 no. 1989), berkata Abu `Iisaa : “Hadist Anas
hadist hasan shohih,” Ibnu Maajah (2/1226 no. 3720).
Dalam
hadits lain, bahwasanya pernah ada seorang datang bersama kaumnya kepada
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, beliau mendengar orang-orang
memanggilnya dengan nama Abul Hakam. Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wasallam memanggilnya, beliau bersabda:
إِنَّ اللَّهَ هُوَ الْحَكَمُ
وَإِلَيْهِ الْحُكْمُ
فَلِمَ تُكْنَى أَبَا الْحَكَمِ
“Sesungguhnya
Allah-lah Al Hakam (penentu hukum) dan hanya kepada-Nya (kita) berhukum. Lalu
kenapa kamu diberi gelar Abul Hakam?”
Ia
menjawab,
“Sesungguhnya
jika kaumku berselisih dalam satu permasalahan, mereka mendatangiku, lalu
aku-lah yang memberi putusan hukum atas perselisihan mereka, dan mereka ridha.”
Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wasallam lalu bersabda:
مَا أَحْسَنَ هَذَا فَمَا لَكَ مِنْ الْوَلَدِ
“Betapa
baiknya ini! Apakah kamu mempunyai anak?”
ia
menjawab, “Aku mempunyai anak yang bernama Syuraih, Muslim dan Abdullah.”
Beliau
bertanya lagi:
فَمَنْ أَكْبَرُهُمْ
“Di
antara mereka siapa yang paling besar?”
ia
menjawab, “Syuraih.”
Beliau
bersabda:
فَأَنْتَ أَبُو شُرَيْحٍ
“Kalau
begitu namamu adalah Abu Syuraih (bapaknya Syuraih).”
Abu
Dawud berkata, “Syuraih ini adalah seorang laki-laki yang telah menghancurkan
rantai, dan termasuk orang yang masuk ke Tustar.” Abu Dawud berkata, “telah
sampai kabar kepadaku bahwa Syuraih telah memecahkan pintu gerbang Tustar, dan
dia masuk dari jalan bawah tanah.”
(HR.
Abu dawud dan Nasai, dishahihkan oleh Al-Albani dalam Al-Irwa’ no. 2615).
Dalam
Ahkam Ath-Thifli dinyatakan,
“Hadits
ini menunjukkan bahwa berkun-yah dengan nama Allah semisal Abul Ahkam dan Abul
‘Ala adalah tidak dibolehkan.”
(Ahkam
Ath-Thifli karya Ahmad Al-Isawi hal. 165).
Abdurrahman
bin Muhammad bin Qosim mengatakan,
“Dalam
Hadits di atas Nabi memberi kun-yah dengan anak yang paling tua dan itulah yang
sesuai dengan sunnah sebagaimana terdapat dalam beberapa Hadits. Jika tidak
memiliki anak laki-laki maka dengan nama anak perempuan yang paling tua.
Ketentuan ini juga berlaku untuk kun-yah seorang perempuan.”
(Hasyiah
Kitab At-Tauhid hal. 318).
Dari
hadist-hadist diatas bisa diambil kesimpulan bahwa kun-yah merupakan suatu hal
yang disunnahkan bagi rasulullah salallahu’alaihi wassalam untuk umat muslim.
Namun sayangnya, sunnah ini termasuk yang jarang diketahui dan diamalkan oleh
umat islam pada umumnya.
Justru
dalam beberapa kasus, beberapa orang yang merasa dirinya mengikuti salafusholih
(sahabat) dan mengaku termasuk didalam barisan ahlussunnah waljama’ah malah menganggap
kun-yah tersebut merupakan sesuatu yang tidak perlu dan bukan termasuk kedalam
kategori sunnah dari rasulullah, kun-yah dianggap sekedar tradisi dan budaya
orang Arab saja serta tidak termasuk yang disyari`atkan Rasulullah
Shalallahu`alaihi wasallam, padahal apabila mereka termasuk didalam golongan
thulabul ilmy, sesungguhnya hadist ini bisa menjadi pegangan yang kokoh dan
cahaya yang terang benderang dalam menyebarkan sunnah-sunnah yang diajarkan
oleh rasulullah salallahu’alaihi wassalam, sungguh sangat disayangkan.
Kemudian
timbul pertanyaan, apakah yang berhak menggunakan kun-yah tersebut adalah orang
yang telah mempunyai anak saja? Ataukah orang yang belum mempunyai anak pun
boleh menggunakannya?
Hal
ini terjawab dari nama-nama ulama besar yang dalam hidupnya tidak pernah
menikah, antara lain mereka adalah:
-
Abdullah ibni Abi Quhaafah Ash-Shiddiq (khalifah pertama, sekaligus seorang
sahabat yang paling utama), yang berkun-yah dengan Abu Bakar, yang padahal
anaknya tidak ada satupun yang bernama bakar. (‘Abdullaah, ‘Abdurrahmaan,
Muhammad, ‘A’isyah, Asma’ and Ummu kaltsum)
-
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah (inipun merupakan kun-yah beliau, karena nama
beliau Ahmad) – kun-yah beliau adalah Abbul `Abbaas, (“Al Waasithiyyah,” hal.
21),
- Al
Imam An Nawawiy-kun-yahnya adalah Abu Zakariya. “Dan tidak ada Zakariya
baginya,” kata As Syaikh Saliim Al Hilaaliy, (“Bahjatun Naazhiriin,” 1/8)
Hal
ini berdasarkan hadist perihal kun-yah yang diriwayatkan dari Anas bin Maalik
radiallahu’anhu diatas, bahwa adalah boleh seorang laki-laki menggunakan kun-yah
meski tidak mempunyai anak.
Imam
Ibnu Muflih berkata,
“Diperbolehkan
berkun-yah meskipun belum memiliki anak.”
(Al-Adab
Asy-Syar’iyyah karya Ibnu Muflih 3/152, Muassasah Ar-Risalah).
Berkata
syaikh Al Albani rahimullah mengenai hadist yang diriwayatkan dari Anas bin
Maalik radiallahu’anhu diatas:
“Dan
hadist ini menunjukan akan “masyruu`iyyatut Takannaa” (disyari`atkan memakai
kun-yah) walaupun bagi seseorang yang tidak mempunyai anak. Dan ini merupakan
adabun islaamiyyun (adab islam) yang tidak ada pada ummat ummat yang lainnya
sepanjang pengetahuan saya, maka atas kaum muslimiin hendaklah mereka berpegang
teguh dengannya, baik dari kalangan kaum lelaki maupun kaum wanita, kemudian
hendaklah mereka meninggalkan segala bentuk adat istiadat orang orang kuffar
yang telah menyelusup, seperti “Al Beiik,” “Al Afandiy,” “Al Baasyaa,”dan
selainnya.”
Jadi,
diantara adab yang berkenaan dengan nama kun-yah adalah:
“Anak
laki-laki paling tua atau (jika tidak punya) maka anak perempuan paling tua”
atau ;
“Gelar
yang diberikan orang karena kebiasaannya, seperti Abu Hurairah yang diberikan
Rasulullah (ﷺ)
kepada, Abdurrahman bin Sakhr Al-Azdi. (yang artinya bapaknya kucing karena
kecintaannya terhadap kucing)”
atau;
“Gelar
yang diberikan orang karena perangainya, contohnya Umar bin Hisyam, yang
digelari Abu Jahal (Bapaknya orang bodoh) oleh Rasulullah (ﷺ),
karena kebodohannya yang terus menolak Islam walaupun telah nampak dan nyata
kebenarannya”
“Nama-nama
tertentu yang disukainya” Contoh: Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah dengan
kunyahnya Abul ’Abbas.
Orang
yang belum atau tidak punya anak boleh berkun-yah. Oleh karena itu anak kecil
yang jelas belum menikah diperbolehkan untuk berkun-yah.
Tidak
boleh berkun-yah dengan nama Allah semisal Abul A’la (Al-Maududi)
Tidak
boleh berkunyah ‘Abul Qosim’ berdasarkan Hadits Rasulullah
shollahu’alaihiwasallam,
“Hendaklah
kalian bernama dengan nama-namaku tetapi jangan berkun-yah dengan kunyahku
(Abul Qosim).”
(HR.
Bukhori no. 3537 dll)
Ibnul
Qoyyim mengatakan,
“Pendapat
yang benar bernama dengan nama Nabi itu diperbolehkan. Sedangkan berkun-yah
dengan kun-yah Nabi itu terlarang. Berkun-yah dengan kun-yah Nabi saat beliau
masih hidup itu terlarang lagi. Terkumpulnya nama dan kun-yah Nabi pada diri
seseorang juga terlarang.”
(Zaadul
Ma’ad, 2/317, Muassasah Ar-Risalah).
Beliau
juga mengatakan,
“Kun-yah
adalah salah satu bentuk penghormatan terhadap orang yang diberi kun-yah…
diantara petunjuk Nabi adalah memberi kepada orang yang sudah punya ataupun
yang tidak punya anak. Tidak terdapat Hadits yang melarang berkun-yah dengan
nama tertentu, kecuali berkun-yah dengan nama Abul Qasim.”
(Zaadul
Maad, 2/314)
Berkun-yah
merupakan hal yang sunnah untuk diterapkan bagi umat islam, menghidupkan sebuah
sunnah merupakan jalan menghilangkan kebid’ahan, karena munculnya satu bid’ah
lah yang mematikan satu sunnah. Menegakkan dan melestarikan keberadaan sunnah
adalah bukti nyata bagi kita dalam menunjukkan kecintaan kita kepada rasulullah
salallahu’alaihi wassalam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Tuliskan Komentar, Kritik dan Saran SAHABAT Disini .... !!!