Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Jika seseorang meninggal dunia, maka terputuslah amalannya kecuali tiga perkara (yaitu) : sedekah jariyah, ilmu yang bermanfaat, dan do’a anak yang sholeh” (HR. Muslim no. 1631)

Cari Berkah

Sabtu, 31 Mei 2014

Kedermawanan Khalifah‬ Abu Bakar r.a

Kisah ini kami angkat dari kedermawanan Khalifah Rasulullah SAW Pertama yakni Abu Bakar-r.a dalam mensedekahkan hartanya dijalan Allah SWT.

“hari ini saya akan mengalahkan Abu Bakar!! ” ujar Umar bin Khattab dengan yakin.

Saat itu pada masa Perang Tabuk, Rasulullah mendatangi para sahabat-sahabatnya dan menganjurkan para sahabat untuk bersedekah. Kali ini Umar bin Khattab betul-betul ingin mengalahkan Abu Bakar dalam hal bersedekah untuk jihad dan dia sangat yakin akan memenanginya karna jumlah harta yang dimiliki Umar bin Khattab saat itu sangat jauh lebih banyak dibandingkan jumlah harta Abu Bakar.

Dengan penuh semangat Umar lalu pulang ke rumahnya dan segera kembali dengan membawa setengah dari seluruh harta yang dimilikinya kemudian beliau meletakkannya kehadapan Nabi. Rasulullah sangat memahami keinginan Umar yang bersemangat luar biasa bersedekah dalam jihad.
Maka yang Rasulullah tanyakan adalah “berapa yang telah engkau tinggalkan untuk keluargamu ?”
Umar pun menjawab “telah kutinggalkan separuh dari seluruh hartaku, wahai Rasulullah”
Kemudian beberapa saat setelah itu datanglah Abu Bakar
Harta yang dibawa oleh Abu Bakar jauh lebih sedikit daripada harta yang dibawa oleh Umar
Kemudian beliau juga meletakkannya kehadapan Nabi
Rasulullah pun sangat memahami keinginan sahabatnya Abu Bakar yang ingin bersedekah dalam jihad
Maka yang Rasulullah tanyakan adalah “apa yang telah engkau tinggalkan untuk keluargamu, wahai Abu Bakar ?”
Abu Bakar menjawab “aku meninggalkan Allah dan Rasul-Nya untuk mereka”
Umar yang juga mendengar penuturan Abu Bakar berkata “demi Allah, aku tidak dapat mengunggulimu setelah hari ini, wahai Abu Bakar”

Dan ini adalah kali ketiga ia menyedekahkan semua hartanya setelah awal keislamannya dan saat hijrah bersama Nabi SAW.

Semoga kedermawanan Abu Bakar r.a menjadi teladan bagi kita dalam hal bersedekah, walaupun tidak sedermawan beliau, setidaknya kita dapat tanamkan prinsif bahwa harta itu dari Allah, Maha kuasa_Nya dapat mengambilnya dari kita dengan cara apapun dan kapanpun Allah kehendaki atau menambahkan yang lebih banyak bahkan berlipat-lipat dari jumlah yang kita sedekahkan dijalan Allah jika Allah menghendaki. Satu hal yang sangat penting, kedermawanan Abu Bakar dan Umar bin Khattab r.huma tentu karena meneladani Rasulullah SAW. Semoga Allah memuliakan Nabi Muhammad SAW dan meninggikan derajat Nabi Muhammad SAW sebagaimana yang Allah janjikan kepada beliau. Semoga Allah juga meridhoi keluarga Nabi SAW, Para Sahabatnya yang Mulia, kaum Muslimin pada umumnya termasuk kita, semoga digolongkan sebagai Umatnya Nabi Muhammad SAW. Aamiiin...

Kamis, 29 Mei 2014

Kisah Amru Bin Ash r.a

Amru bin Ash lahir setengah abad sebelum hijrah. Beliau salah seorang Arab yang cerdik dan jenius. Lantang dan fasih berbicara. Memiliki daya pikir yang luar biasa dan memiliki pandangan yang jauh. Ayahnya (Ash bin Wail) seorang tokoh dan penguasa Arab zaman Jahiliah. Amru bin Ash meninggalkan kenangan yang mengagumkan dan menarik perhatian dunia selama kurun waktu yang sangat panjang.

Pada saat sebagian kaum Muslimin hijrah ke Habasyah atas izin Nabi, bangsa Quraisy tidak mendapatkan orang yang pantas untuk merayu Najasyi, raja Habasyah ketika itu, untuk mengembalikan kaum muhajirin kecuali Amru bin Ash. Bangsa Quraisy memilihnya karena mengetahui kecerdikan dan eratnya hubungan antara mereka berdua. Tetapi setelah mendengarkan kata-kata Amru bin Ash dan kaum muhajirin Muslim, hati Najasyi malah menjadi yakin dan tenang, lalu memeluk Islam.

Memeluk Islam

Ketika hendak pulang dari Habasyah, Amru bin Ash diajak oleh Najasyi untuk memeluk Islam setelah disampaikan betapa besar karunia Allah yang diberikan kepada bangsa Arab dengan‎ diutusnya Nabi Muhammad kepada mereka. Nasihat yang disampaikan oleh raja yang besar seperti Najasyi itu ternyata masuk ke dalam hati Amru bin Ash. Dia pun mulai tertarik kepada Islam, akhirnya hatinya dibuka oleh Allah untuk menerima petunjuk pada tahun ke 8 H.

Amru bin Ash bertekad untuk menemui Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam di Madinah. Di tengah jalan dia bertemu dengan Khalid bin Walid dan Usman bin Thalhah, ternyata tujuan mereka adalah sama.

Setibanya mereka bertiga di hadapan Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam, Khalid bin Walid dan Usman bin Thalhah langsung menyampaikan janji setia kepada Nabi, sedang Amru malah memegangi tangan Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam hingga membuat beliau mengatakan, “Kenapa kamu ini wahai Amru?” Dia menjawab, “Saya akan menyampaikan janji setia asal Allah mengampuni dosa-dosaku yang telah lewat.” Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam mengatakan, “Islam dan Hijrah menghapus hal-hal yang telah lalu.” Dia pun menyampaikan sumpah suci.

Setelah Nabi tahu kecerdikan, kejeniusan dan keberaniannya, dia ditugasi untuk menjadi panglima dalam perang Zatus Salasil.

Perjuangannya Di Jalan Allah ‘Azza wa Jalla

Pada masa Abu Bakar Sidik, Amru bin Ash mempunyai peran besar dalam meredam pemberontakan kaum murtad. Sedang pada masa Umar bin Khatab Amru bin Assh berhasil menaklukan Palestina dan Mesir. Tidak perlu dijelaskan lagi tentunya betapa penting dua penaklukan itu. Penaklukan Palestina telah memberikan keamanan daerah pantai Syuria kepada kaum Muslimin. Penaklukan Mesir adalah pintu gerbang Islam menuju Afrika, negeri-negeri Arab Magribi dan Spanyol di kemudian hari.

Selasa, 27 Mei 2014

Secuil Kisah Keadilan Khalifah Umar bin Abdul Aziz

Kisah-kisah para pendahulu kita dari kalangan shohabat maupun thabi’in  memang penuh dengan hikmah-hikmah yang mengagumkan. Tiap kali selesai membaca satu kisah maka hati akan tergerak menuju kisah lain di lembar berikutnya. Kini, kami suguhkan satu kisah menarik yang dituliskan Dr. Abdurrahman Ra’fat Al-Basya dalam kitabnya Shuwar Min Hayati At-Thabi’in. Ath-Tabari telah mengisahkan kepada kita dari Thufail bin Mirdas:

Ketika Amirul Mukminin Umar bin Abdul Aziz diangkat menjadi Khilafah beliau menulis surat untuk Sulaiman bin Abi As-Sari, gubernur beliau di Shugdi yang isinya:

“Buatlah di negerimu pondok-pondok untuk menjamu kaum muslimin. Jika salah seorang di antara mereka lewat, maka jamulah ia sehari semalam, perbaguslah keadaannya dan rawatlah kendaraannya. Jika dia mengeluhkan kesusahan, maka perintahkan pegawaimu untuk menjamunya selama dua hari dan bantulah ia keluar dari kesusahannya. Jika ia tersesat jalan, tidak ada penolong baginya dan tidak ada kendaraannya yang bisa dia tunggangi, maka berikanlah kepadanya sesuatu yang menjadi kebutuhannya hingga ia bisa kembali ke negerinya.”

Maka sang gubernur segera mewujudkan perintah Amirul Mukminin. Dia membangun pondok-pondok sebagaimana yang diperintahkan Amirul Mukminin untuk disediakan bagi kaum muslimin. Lalu tersebarlah berita tersebut ke segala penjuru. Orang-orang dari belahan bumi Islam di barat dan timur ramai membicarakannya dan menyebut-nyebut keadilan Khalifah serta ketakwaannya.

Mendengar hal itu penduduk Samarkand tidak menyia-nyiakan kesempatan tersebut, hingga mereka mendatangi gubernur mereka Sulaiman bin As-Sari dan berkata,

“Sesungguhnya pendahulu anda yang bernama Qutaibah bin Muslim Al-Bahili (Panglima Mujahidin) telah merampas negeri kami tanpa memberikan peringatan (dakwah) terlebih dahulu, dia tidak sebagaimana yang kalian lakukan wahai kaum muslimin yakni memberikan peluang sebelum memerangi. Yang kami tahu, kalian menyeru musuh-musuh agar mau masuk Islam terlebih dahulu. Jika mereka menolak kalian menyuruh mereka untuk membayar jiyzah. Jika mereka menolaknya barulah kalian mengumumkan perang.

Sesungguhnya kami melihat keadilan Khilafah anda dan ketakwaannya sehingga kami berhasrat untuk mengadukan kepada kalian atas apa yang telah dilakukan salah seorang panglima perang kalian terhadap kami. Maka izinkanlah, wahai Amir, agar salah satu dari kami melaporkan hal itu kepada Khalifah anda dan untuk mengadukan kezaliman yang telah kami rasakan. Jika kami memang memiliki hak untuk itu, maka berikanlah untuk kami, namun jika tidak, kami akan pulang kembali ke asal kami.”

Minggu, 25 Mei 2014

Hadits : “Seandainya Setelahku Ada Nabi,……”

Al-Imaam At-Tirmidziy rahimahullah berkata :

حَدَّثَنَا سَلَمَةُ بْنُ شَبِيبٍ، حَدَّثَنَا الْمُقْرِئُ، عَنْ حَيْوَةَ بْنِ شُرَيْحٍ، عَنْ بَكْرِ بْنِ عَمْرٍو، عَنْ مِشْرَحِ بْنِ هَاعَانَ، عَنْ عُقْبَةَ بْنِ عَامِرٍ، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيهِ وَسَلَّمَ: " لَوْ كَانَ بَعْدِي نَبِيٌّ لَكَانَ عُمَرَ بْنَ الْخَطَّابِ

Telah menceritakan kepada kami Salamah bin Syabiib : Telah menceritakan kepada kami Al-Muqri’, dari Haiwah bin Syuraih, dari Bakr bin ‘Amru, dari Misyrah bin Haa’aan, dari ‘Uqbah bin ‘Aamir, ia berkata : Telah bersabda Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam : “Seandainya setelahku ada nabi, niscaya ia adalah ‘Umar bin Al-Khattaab” [As-Sunan, no. 3686].

Keterangan :

1.      Salamah bin Syabiib An-Naisaabuuriy, Abu ‘Abdirrahmaan Al-Hajuriy Al-Masma’iy; seorang yang tsiqah (w. 247 H). Dipakai Muslim dalam Shahih-nya [Taqriibut-Tahdziib, hal. 400 no. 2507].
2.      Al-Muqri’ namanya : ‘Abdullah bin Yaziid Al-Qurasyiy Al-‘Adawiy Al-Makkiy, Abu ‘Abdirrahmaan Al-Muqri’ Al-Qashiir; seorang yang tsiqah lagi mempunyai keutamaan (w. 213 H). Dipakai Al-Bukhaariy dan Muslim dalam Shahih-nya [idem, hal. 558-559 no. 3739].
3.      Haiwah bin Syuraih bin Shafwaan bin Maalik At-Tujiibiy, Abu Zur’ah Al-Mishriy; seorang yang tsiqah, tsabat, faqiih, lagi zaahid (w. 158/159 H). Dipakai Al-Bukhaariy dan Muslim dalam Shahih-nya [idem, hal. 282 no. 1610].
4.      Bakr bin ‘Amru Al-Ma’aafiriy Al-Mishriy; seorang yang shaduuq lagi ‘aabid (w. setelah 140 H pada masa pemerintahan Abu Ja’far). Dipakai Al-Bukhaariy dan Muslim dalam Shahih-nya [idem, hal. 176 no. 753].
5.      Misyrah bin Haa’aan Al-Ma’aafiriy, Abu Mush’ab Al-Mishriy; seorang yang dihukumi Ibnu Hajar maqbuul, yaitu jika ada mutaba’ah (namun jika tidak ada, maka lemah) (w. 128 H) [idem, hal. 944-945 no. 6724].

Saya (Abul-Jauzaa’) berkata :
Ahmad bin Hanbal berkata : “Ma’ruuf”. Ibnu Ma’iin berkata : “Tsiqah”. ‘Utsmaan bin Sa’iid Ad-Daarimiy berkata : “Shaduuq”. Al-‘Ijliy berkata : “Taabi’iy tsiqah”. Ibnu Hibbaan menyebutkannya dalam Ats-tsiqaat dan berkata : “Sering keliru dan menyelisihi”. Ia juga menyebutkannya dalam Al-Majruuhiin dan berkata : “Meriwayatkan dari ‘Uqbah bin ‘Aamir hadits-hadits munkar yang tidak ada mutaba’ah-nya. Yang benar tentang perkaranya adalah meninggalkan riwayat-riwayatnya yang ia bersendirian, dan boleh dijadikan i’tibar jika berkesesuaian dengan perawi tsiqaat”. Ibnu ‘Adiy berkata : “Aku harap, tidak mengapa dengannya”. Adz-Dzahabiy berkata : “Shaduuq”. Di lain tempat ia berkata : “Tsiqah”.

Al-Albaaniy berkata : “Padanya terdapat pembicaraan, namun ia tidak turun dari tingkatan hasan”. Abu Ishaaq Al-Huwainiy berkata : “Shaduuq, terdapat sedikit pembicaraan dalam hapalannya”. Basyar ‘Awwaad dan Al-Arna’uth menyimpulkan : “Shaduuq hasanul-hadiits”.
[lihat : Taariikh Ibni Ma’iin lid-Daarimiy hal. 204 no. 755, Ma’rifatuts-Tsiqaat 2/279 no. 1728, Tahdziibul-Kamaal 28/7-8 no. 5974, Tahdziibut-Tahdziib 10/55 no. 295, Al-Kaasyif 2/265 no. 5456, Miizaanul-I’tidaal 4/117 no. 8549, Ash-Shahiihah 1/646,Natsnun-Nabaal hal. 1366 no. 3371, dan Tahriir Taqriibit-Tahdziib 3/380-381 no. 6679].
Kesimpulan : Misyrah seorang yang shaduuq. Ibnu Hibbaan telah menyendiri dalam penyebutan jarh tersebut.
6.      ‘Uqbah bin ‘Aamir Al-Juhhaniy; salah seorang shahabat Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam (w. 60 H di Mesir). Dipakai Al-Bukhaariy dan Muslim dalam Shahih-nya [At-Taqriib, hal. 684 no. 4675].