Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Jika seseorang meninggal dunia, maka terputuslah amalannya kecuali tiga perkara (yaitu) : sedekah jariyah, ilmu yang bermanfaat, dan do’a anak yang sholeh” (HR. Muslim no. 1631)

Cari Berkah

Rabu, 27 November 2013

Arrahim, Ar Rahmi Keduanya Berasal Dari Akar Kata "Rahima"

Shilaturrahim= Hubungan kasih sayang
Shilaturrahmi= penghubung uterus(tali pusar sang Ibu), dzurrahmi=yang punya hubungan kerabat.

Kedua kata diatas sama-sama berasal dari akar kata "Ra-Hi-Ma"(rahima)

Yang pertama : Rahima, rahmatan, marhamatan
Yang kedua : rahima, wa rahuma, rahman, rahaman, warahaamatan ruhimatilmar ah.

Yang dimaksud dalam AlQuran dan hadits adalah keduanya.

Memutuskan tali hubungan yang satu ikatan dengan ibu, karib kerabat tali darah Memutuskan hubungan dengan selain kerabat tali darah.(orang lain)

Yang pasti, kita dilarang memutuskan hubungan dengan siapapun, baik dengan yang punya hubungan persaudaraan, tali darah, ataupun yang punya hubungan kasih sayang, selain saudara, yakni orang lain.

Kita justru dalam sebuah hadits, Rasulullah disuruh menjauh dari mereka yang mencoba menyuruh kita untuk memutuskan tali silaturrahm tersebut.

Saya sengaja tidak menyebutkan dengan jelas tulisan Shilaturrahm baik dengan tulisan "Silaturrahmi, ataupun silaturrahim".

Karena apa, karena keduanya kita dilarang memutuskannya. saudara ataupun mereka yang punya hubungan kasih sayang selain saudara pertalian darah.

Suami istri bukan pertalian darah, tetapi Mushaharah(akibat perkawinan), juga dilarang memutuskannya bukan, selain apabila "bercerai dengan baik-baik". Ada jalannya yang sudah diatur oleh Allah Ta'ala dan RasulNya.

Teman, sahabat, atasan, atau siapa saja orang lain, kita dilarang memutuskannya. Kecuali yang diperintahkan oleh Allah Ta'ala, semacam ahli Bid'ah, kita disuruh menjauhi orang tersebut. Juga kita disuruh menjauh dari orang-orang yang jahil, musyrik, juga disuruh menjauh dari mereka yang suka berkata laghw=perkataan sia-sia, mencela, mencaci maki, menghina dan sebagainya yang tidak ada manfaatnya sama sekali.

fasda'bimaa tukmar wa'arid 'anilmusyrikiin Wa'anillaghwi hum mu'ridhuun

(lakukan apa yang disuruh Allah atas kamu, dan jauhilah orang-orang musyrik, Dan mereka (hamba yang diberi kasih sayang oleh Allah ta'ala), selalu menjauhi (berpaling) dari perkataan yang sia-sia, semacam cacian, makian, hinaan, ejekan, dllnya.

Kalau ditanya orang mana yang artinya kasih sayang, maka jawabnya "Ar Rahim".
Mana yang artinya Uterus, jawabnya adalah "Ar rahmi"

Kedua kata sama-sama berasal dari akar kata yang sama yakni "Rahima"

Senin, 25 November 2013

Hukum Mengelap Bekas Wudhu

Banyak ulama yang berpendapat bolehnya menyeka anggota wudhu dengan handuk atau semisalnya. Diantaranya adalah Utsman bin Affan, Anas bin Malik, Hasan bin Ali, Hasan al-Basri, Ibnu Sirin, Asy-Sya’bi, Ishaq bin Rahawaih, Abu Hanifah, Malik, Ahmad, dan salah satu pendapat Madzhab Asy-Syafii. Ini juga berdasarkan riwayat dari Ibnu Umar.

Dalil yang menguatkan pendapat mereka: Pertama, hadist dari Aisyah radhiyallahu ‘anha, beliau mengatakan:

كَانَ لِرَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ خِرْقَةٌ يُنَشِّفُ بِهَا بَعْدَ الوُضُوءِ

“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memiliki handuk kecil yang beliau gunakan untuk mengeringkan anggota badan setelah wudhu.” (HR. Turmudzi, An-Nasai dalam al-Kuna dengan sanad shahih. Hadis ini dinilai hasan oleh al-Albani dalam Shahih Al-Jami’, 4706).

Kedua, hadis dari Salman al-Farisi,

أن رسول الله صلى الله عليه وسلم «توضأ، فقلب جبة صوف كانت عليه، فمسح بها وجهه

Bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah berwudhu, kemudian beliau membalik jubah wol yang beliau pakai, dan beliau gunakan untuk mengusap wajahnya. (HR. Ibn Majah 468. Fuad Abdul Baqi mengatakan: Dalam Zawaid sanadnya shahih dan perawinya tsiqat. Al-Albani menilai hasan).

Sementara itu, sebagian ulama lain berpendapat makruh mengeringkan anggota wudhu dengan handuk. Mereka berdalil dengan hadis dari Maimunah radhiyallahu ‘anha, ketika beliau menjelaskan tata cara mandi junub Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dalam hadis tersebut, Maimunah mengatakan:

فَنَاوَلْتُهُ الْمِنْدِيلَ فَلَمْ يَأْخُذْهُ

“Kemudian aku ambilkan handuk, namun beliau tidak menggunankannya.” (HR. Bukhari dan Muslim).

Namun hadist ini tidaklah menunjukkan hukum makruh mengeringkan anggota badan setelah wudhu. Karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak menggunakan handuk setelah mandi, tidaklah menunjukkan bahwa itu dibenci.

Allahu a’lam.

Rabu, 20 November 2013

Ketika Para Saksi Memberikan Kesaksiannya


Kita harus senantiasa dalam kesadaran penuh, dan yakin bahwa apapun yang kita lakukan selalu ada yang menyaksikannya. Dan kelak di hari pertanggungjawaban, mereka akan memberikan kesaksian, tanpa ada sedikitpun yang terluput. Lewat firman-firman-Nya yang suci dan terjaga, yang termaktub dalam Al-Qur’anul Karim, Allah SWT menyampaikan siapa saja yang akan menjadi saksi atas setiap perbuatan kita.

Allah, Rasul-Nya dan Orang-orang Beriman

“Dan katakanlah, “Beramallah kamu, maka Allah dan rasul-Nya serta orang-orang mukmin akan melihat amalmu itu, dan kamu akan dikembalikan kepada (Allah) yang mengetahui yang gaib dan yang nyata, lalu Dia memberitakan kepadamu apa yang telah kamu kerjakan.” (Qs. At-Taubah: 105).

Semoga ayat ini selalu menjadi pengingat bagi kita. Bahwa setiap amal yang kita lakukan, disaksikan oleh Allah, Rasul-Nya dan orang-orang beriman. Dalam terminologi Syiah, orang-orang beriman yang dimaksud adalah para maksumin as. Bagi yang beriman kepada Allah dan Rasul-Nya, maka merasa selalu disaksikan adalah juga bagian dari keyakinan yang mesti menghujam dalam ke sanubari. Keyakinan merasa disaksikan adalah termasuk derajat tinggi dalam maqam keimanan seseorang. Ketika ditanya apakah ihsan itu, Nabi Muhammad saww menjawab, “Ihsan adalah kamu beramal seakan-akan melihat Allah, kalau kamu tidak bisa melihatnya, maka yakinlah, Allah menyaksikanmu.”

Di sini kita merasa perlu mengajukan pertanyaan, mengapa Allah harus mengikutkan Rasul-rasul-Nya dan orang-orang beriman sebagai saksi, dan tidak cukup dengan Dia saja yang menjadi saksi?. Di sini Allah ingin menunjukkan keMaha Kuasaan-Nya, merasa disaksikan oleh Rasul-rasul-Nya dan para Aimmah as, mendidik kita untuk menjadi insan yang tahu berterimakasih. Mengingatkan kita, bahwa keimanan dan keyakinan yang benar kita kepada Allah SWT tidak datang serta-merta, namun melalui perantaraan mereka. Mengingatkan kita akan dakwah dan perjuangan mereka yang penuh pengorbanan. Keyakinan disaksikan oleh mereka, mendidik kita bahwa ada manusia-manusia yang pada hakikatnya seperti kita juga, semasa hidup mereka layak sebagaimana kesibukan kita, beraktivitas sebagaimana biasanya, makan, minum, berjalan, bekerja dan beristrahat. Namun kemudian, mendapat posisi yang teramat istimewa di sisi Allah, karena ketakwaan dan loyalitas mereka di jalan Allah. Karenanya, untuk menjadi orang-orang yang didekatkan di sisi Allah sebagaimana mereka, menjadi sebuah keniscayaan bagi kita untuk mengenal dan menjadikan mereka sebagai suri tauladan dalam kehidupan kita. Di antara hikmahnya pula, kita akan merasa senantiasa punya keterikatan dan kedekatan maknawi dengan para Anbiyah as dan para Aimmah as, bahwa diantara bentuk keadilan Ilahi disetiap masa, umat manusia bisa merasakan keberkahan akan kehadiran mereka. Kalau mereka menjadi saksi atas setiap perbuatan kita, maka apa yang menghalangi mereka untuk menjadi penolong, ketika berseru kepada mereka?. Allah SWT berfirman, “Tiada seorangpun yang akan memberi syafa’at kecuali sesudah ada izin-Nya.” (Qs. Yunus: 3).
Syafa’at dan berbagai bentuk pertolongan semuanya pada hakikatnya datangnya dari Allah, melalui perantara orang-orang yang di ridhai-Nya. Dan adakah, yang lebih diridhai Allah melebihi keridhaan-Nya kepada para Anbiyah as dan Aimmah as?. Allah SWT berfirman, “Dia mengetahui yang ghaib, tetapi Dia tidak memperlihatkan kepada siapapun tentang yang ghaib itu, kecuali kepada Rasul yang diridhai-Nya..” (Qs. Al-Jinn: 27).

Minggu, 17 November 2013

Kisah Nabi Yasa’ A.s

Al-Yasa’ A.s adalah Nabi selanjutnya untuk bangsa Israel. Dia menghadapi sikap penyangkalan Raja dan Ratu Israel terhadap agama sepeninggal Ilyas A.s. Al-Yasa’ A.s menunjukkan banyak mukjizat untuk menunjukkan kekuasaan Allah Swt, tapi mereka malah menyebutnya tukang sihir, sama seperti ketika mereka menyebut Nabi Ilyas A.s sebelumnya. Mereka terus membangkang sepanjang hidup Al-Yasa’ A.s. Setelah beberapa lama, bangsa Israel ditaklukkan oleh Bangsa Assyria. Bangsa Assyria menghancurkan Kuil Gunung dan menyebabkan kerusakan parah di Israel.

Nama Al-Yasa A.s disebut dalam kisah Nabi Ilyas A.s, saat rasul itu dikejar-kejar oleh kaumnya dan bersembunyi di rumah Al-Yasa A.s. Maka besar kemungkinan Al-Yasa A.s juga tinggal di seputar lembah sungai Jordan.

Ketika Ilyas A.s bersembunyi di rumahnya, Al-Yasa A.s masih seorang belia. Saat itu ia tengah menderita sakit kemudian Ilyas A.s membantu menyembuhkan penyakitnya. Setelah sembuh, Al-Yasa A.s pun menjadi anak angkat Ilyas A.s yang selalu mendampingi untuk menyeru ke jalan kebaikan. Al-Yasa A.s melanjutkan tugas kenabian tersebut begitu Ilyas A.s meninggal. Al-Yasa A.s melanjutkan misi ayah angkatnya, agar kaumnya kembali taat kepada ajaran Allah Swt.

Al-Yasa’ A.s kemudian mendapati bahwa manusia ternyata begitu mudah kembali ke jalan sesat. Itu terjadi tak lama setelah Ilyas A.s wafat. Padahal masyarakat lembah sungai Yordania itu sempat mengikuti seruan Ilyas A.s agar meninggalkan pemujaannya pada berhala. Pada kalangan itulah Ilyasa A.s tak lelah menyeru ke jalan kebaikan. Dikisahkan bahwa mereka tetap tak mau mendengar seruan Al-Yasa’ A.s, dan mereka kembali menanggung bencana kekeringan yang luar biasa.

Nabi Yasa’ A.s termasuk salah satu nabi yang diutus oleh Allah Swt Allah Swt menyebut namanya dan memujinya tetapi Dia tidak menceritakan kisahnya. Allah Swt berfirman dalam surah Shad:

“Dan inilah hamba-hamba Kami: Ibrahim, Ishak, dan Yakub yang mempunyai perbuatan-perbuatan besar dan ilmu-ilmu yang tinggi. Sesungguhnya Kami telah menyucikan mereka dengan (menganugerahkan kepada mereka) akhlak yang tinggi, yaitu selalu mengingatkan (manusia) kepada negeri akhirat. Dan sesungguhnya mereka pada sisi Kami benar-benar termasuk orang-orang pilihan yang baik. Dan ingatlah akan Ismail, Ilyasa’ dan Zulkilfi. Semuanya termasuk orang-orang yang paling baik.” (QS. Shad: 45-48)

Pendapat yang utama menyatakan bahawa Nabi Yasa’ A.s adalah Yasa’ yang disebutkan dalam Taurat, sementara Injil Barnabas menceritakan bahwa beliau mampu menghidupkan orang yang gila. Ini adalah mukzijat beliau.