Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Jika seseorang meninggal dunia, maka terputuslah amalannya kecuali tiga perkara (yaitu) : sedekah jariyah, ilmu yang bermanfaat, dan do’a anak yang sholeh” (HR. Muslim no. 1631)

Cari Berkah

Selasa, 17 Juni 2014

Tafsir Al-Quran, Surat Al-Araf Ayat 143-146

Ayat ke 143, Artinya:
Dan tatkala Musa datang untuk (munajat dengan Kami) pada waktu yang telah Kami tentukan dan Tuhan telah berfirman (langsung) kepadanya, berkatalah Musa: "Ya Tuhanku, nampakkanlah (diri Engkau) kepadaku agar aku dapat melihat kepada Engkau". Tuhan berfirman: "Kamu sekali-kali tidak sanggup melihat-Ku, tapi lihatlah ke bukit itu, maka jika ia tetap di tempatnya (sebagai sediakala) niscaya kamu dapat melihat-Ku". Tatkala Tuhannya menampakkan diri kepada gunung itu, dijadikannya gunung itu hancur luluh dan Musa pun jatuh pingsan. Maka setelah Musa sadar kembali, dia berkata: "Maha Suci Engkau, aku bertaubat kepada Engkau dan aku orang yang pertama-tama beriman". (7: 143)

Sebelumnya telah disebutkan bahwa Allah Swt telah memerintahkan kepada Nabi Musa as agar pergi ke sebuah miqat (tempat pertemuan) yang terletak di bukit Thur untuk bermunajat kepada-Nya selama 40 hari, guna memperoleh kitab suci Taurat. Ayat ini menceritakan saat-saat ketika Musa as telah tiba di miqat dan berbicara dengan Tuhannya. Salah satu permintaan Bani Israil kepada Nabi Musa adalah melihat Tuhan dengan mata mereka. Karena itu Nabi Musa as menyampaikan permintaan kaumnya ini kepada Tuhan dengan mengatakan, "Ya Allah, tunjukkanlah diri-Mu  kepadaku, sehingga aku dapat melihat-Mu dengan kedua mataku, dan akupun akan dapat mengatakan kepada kaumku bahwa aku telah melihat Tuhanku."

Kemudian terdengar jawaban, "Wahai Musa! Engkau tidak akan bisa melihat-Ku, karena Aku bukanlah Zat yang bisa dilihat dengan mata kasar, namun Aku tetap bisa kalian saksikan melalui sifat kekuasaan dan keagungan-Ku. Karena itu lihatlah gunung ini bagaimana ia hancur berantakan dengan kehendak-Ku." Kejadian itu sedemikian dahsyatnya, sehingga Nabi Musa as pun terjatuh dan tak sadarkan diri. Sewaktu beliau sadar kembali, Nabi Musa as berkata, "Ya Allah, Ya Tuhanku! Aku adalah orang pertama yang menyaksikan kekuasaan, kedahsyatan dan kebesaran-Mu, karena itu aku mohon ampun atas permintaanku yang tidak pada tempatnya itu. Engkau Sungguh Maha Suci dari segala pandangan mata."

Imam Ali bin Abi Thalib suatu hari ditanya oleh seseorang, "Apakah engkau melihat Tuhan sehingga kau beribadah sedemikian tekun dan khusyuk kepada-Nya?"
Imam Ali as menjawab, "Aku tidak akan menjadi hamba dari Tuhan yang tidak bisa aku lihat, namun bukan Tuhan bisa dilihat dengan mata kepala, akan tetapi Tuhan yang dapat dirasakan dengan mata hati." Dilain kesempatan Imam Ali as juga mengatakan, "Aku tidak pernah melihat sesuatupun kecuali sebelum dan sesudahnya, senantiasa bersama Tuhan."

Dalam al-Quran al-Karim surat al-An'am ayat 103 dengan tegas disebutkan artinya, "Semua mata tidak akan bisa menyaksikan Dia, akan tetapi Dia bisa melihat semua mata makhluk-Nya."

Dari ayat tadi terdapat dua poin pelajaran yang dapat dipetik:‎
1. Guna mengenal Allah Swt, kita harus memperhatikan berbagai segala ciptaan dan makhluk yang di alam semesta ini. Karena segala sesuatu di alam merupakan manifestasi dari perwujudan dan keagungan Allah Swt.
2. Segala bentuk pemikiran atau permohonan yang tidak pada tempatnya harus ditebus dengan taubat. Karena itu, ketika manusia memiliki segala bentuk keraguan yang batil dan tidak pada proporsinya terhadap Tuhan Pencipta alam semesta, maka dia harus bertaubat.

Minggu, 15 Juni 2014

Tafsir Al-Qur’an : Melihat Wujud Allah SWT (QS. Al-A’raaf : 143)

Ahlus-Sunnah menyatakan bahwa Allah ta’ala kelak akan dilihat oleh orang-orang beriman di akhirat. Namun bagaimana dengan ayat :

وَلَمَّا جَاءَ مُوسَى لِمِيقَاتِنَا وَكَلَّمَهُ رَبُّهُ قَالَ رَبِّ أَرِنِي أَنْظُرْ إِلَيْكَ قَالَ لَنْ تَرَانِي وَلَكِنِ انْظُرْ إِلَى الْجَبَلِ فَإِنِ اسْتَقَرَّ مَكَانَهُ فَسَوْفَ تَرَانِي فَلَمَّا تَجَلَّى رَبُّهُ لِلْجَبَلِ جَعَلَهُ دَكًّا وَخَرَّ مُوسَى صَعِقًا فَلَمَّا أَفَاقَ قَالَ سُبْحَانَكَ تُبْتُ إِلَيْكَ وَأَنَا أَوَّلُ الْمُؤْمِنِينَ

“Dan tatkala Musa datang untuk (munajat dengan Kami) pada waktu yang telah Kami tentukan dan Tuhan telah berfirman (langsung) kepadanya, berkatalah Musa: "Ya Tuhanku, nampakkanlah (diri Engkau) kepadaku agar aku dapat melihat kepada Engkau". Tuhan berfirman: "Kamu sekali-kali tidak sanggup melihat-Ku, tapi lihatlah ke bukit itu, maka jika ia tetap di tempatnya (sebagai sediakala) niscaya kamu dapat melihat-Ku". Tatkala Tuhannya menampakkan diri kepada gunung itu, dijadikannya gunung itu hancur luluh dan Musa pun jatuh pingsan. Maka setelah Musa sadar kembali, dia berkata: "Maha Suci Engkau, aku bertobat kepada Engkau dan aku orang yang pertama-tama beriman" [QS. Al-A’raaf : 143].

Sudah lazim dalam bahasa Arab bahwa huruf lan (لَنْ) itu menunjukkan makna ‘tidak untuk selama-lamanya (ta’biid)’.

Penggunaan ayat di tersebut untuk menafikkan kemungkinan dapat dilihatnya Allah kelak di akhirat merupakan salah satu hujjah primer yang dibawakan Mu’tazilah untuk menentang Ahlus-Sunnah.

Namun hujjah itu baathil dalam beberapa segi sebagai berikut :
a.     Perhatikan firman Allah ta’ala berikut :

وَلَنْ يَتَمَنَّوْهُ أَبَدًا بِمَا قَدَّمَتْ أَيْدِيهِمْ وَاللَّهُ عَلِيمٌ بِالظَّالِمِينَ

“Dan sekali-kali mereka (orang Yahudi) tidak akan mengingini kematian itu selama-lamanya, karena kesalahan-kesalahan yang telah diperbuat oleh tangan mereka (sendiri). Dan Allah Maha Mengetahui siapa orang-orang yang aniaya” [QS. Al-Baqarah : 95].

Namun dalam ayat lain, Allah ta’ala menjelaskan bahwa orang Yahudi dan juga umumnya orang-orang kafir berharap kematian datang kepada mereka saat menghadapi adzab akhirat :

وَنَادَوْا يَا مَالِكُ لِيَقْضِ عَلَيْنَا رَبُّكَ قَالَ إِنَّكُمْ مَاكِثُونَ

“Mereka berseru: "Hai Malik, biarlah Tuhanmu membunuh kami saja". Dia menjawab: "Kamu akan tetap tinggal (di neraka ini)" [QS. Az-Zukhruuf : 77].

b.     Seandainya huruf lan (لَنْ) menunjukkan penafikkan selama-lamanya secara mutlak, niscaya ia tidak menerima adanya pembatasan. Namun dalam beberapa nash, disebutkan beberapa pembatasan, di antaranya firman Allah ta’ala :

فَكُلِي وَاشْرَبِي وَقَرِّي عَيْنًا فَإِمَّا تَرَيِنَّ مِنَ الْبَشَرِ أَحَدًا فَقُولِي إِنِّي نَذَرْتُ لِلرَّحْمَنِ صَوْمًا فَلَنْ أُكَلِّمَ الْيَوْمَ إِنْسِيًّا

“Maka makan, minum dan bersenang hatilah kamu. Jika kamu melihat seorang manusia, maka katakanlah: "Sesungguhnya aku telah bernazar berpuasa untuk Tuhan Yang Maha Pemurah, maka aku tidak akan berbicara dengan seorang Manusia pun pada hari ini" [QS. Maryam : 26].

قَالَ كَبِيرُهُمْ أَلَمْ تَعْلَمُوا أَنَّ أَبَاكُمْ قَدْ أَخَذَ عَلَيْكُمْ مَوْثِقًا مِنَ اللَّهِ وَمِنْ قَبْلُ مَا فَرَّطْتُمْ فِي يُوسُفَ فَلَنْ أَبْرَحَ الأرْضَحَتَّى يَأْذَنَ لِي أَبِي أَوْ يَحْكُمَ اللَّهُ لِي وَهُوَ خَيْرُ الْحَاكِمِينَ

“Berkatalah yang tertua di antara mereka: "Tidakkah kamu ketahui bahwa sesungguhnya ayahmu telah mengambil janji dari kamu dengan nama Allah dan sebelum itu kamu telah menyia-nyiakan Yusuf. Sebab itu aku tidak akan meninggalkan negeri Mesir, sampai ayahku mengizinkan kepadaku (untuk kembali), atau Allah memberi keputusan terhadapku. Dan Dia adalah Hakim yang sebaik-baiknya" [QS. Yuusuf: 80].

c.   Beberapa pakar bahasa Arab mengelirukan pernyataan Mu’tazilah bahwa huruf lan (لَنْ) menunjukkan penafikkan selama-lamanya, atau menguatkan penafikkan.

Jumat, 13 Juni 2014

Biografi Umar Bin Abdul-Aziz

Umar bin Abdul-Aziz (bahasa Arab: عمر بن عبد العزيز, bergelar Umar II, lahir pada tahun 63 H / 682 – Februari 720; umur 37–38 tahun) adalah khalifah Bani Umayyah yang berkuasa dari tahun 717 (umur 34–35 tahun) sampai 720 (selama 2–3 tahun). Tidak seperti khalifah Bani Umayyah sebelumnya, ia bukan merupakan keturunan dari khalifah sebelumnya, tetapi ditunjuk langsung, dimana ia merupakan sepupu dari khalifah sebelumnya, Sulaiman.

Keluarga

Ayahnya adalah Abdul-Aziz bin Marwan, gubernur Mesir dan adik dari Khalifah Abdul-Malik. Ibunya adalah Ummu Asim binti Asim. Umar adalah cicit dari Khulafaur Rasyidin kedua Umar bin Khattab, dimana umat Muslim menghormatinya sebagai salah seorang Sahabat Nabi yang paling dekat.

Silsilah

Umar dilahirkan sekitar tahun 682. Beberapa tradisi menyatakan ia dilahirkan di Madinah, sedangkan lainnya mengklaim ia lahir di Mesir. Umar dibesarkan di Madinah, di bawah bimbingan Ibnu Umar, salah seorang periwayat hadis terbanyak.

Kisah Umar bin Khattab berkaitan dengan kelahiran Umar II

Menurut tradisi Muslim Sunni, silsilah keturunan Umar dengan Umar bin Khattab terkait dengan sebuah peristiwa terkenal yang terjadi pada masa kekuasaan Umar bin Khattab.
"Khalifah Umar sangat terkenal dengan kegiatannya beronda pada malam hari di sekitar daerah kekuasaannya. Pada suatu malam beliau mendengar dialog seorang anak perempuan dan ibunya, seorang penjual susu yang miskin.

Kata ibu “Wahai anakku, segeralah kita tambah air dalam susu ini supaya terlihat banyak sebelum terbit matahari”
Anaknya menjawab “Kita tidak boleh berbuat seperti itu ibu, Amirul Mukminin melarang kita berbuat begini”
Si ibu masih mendesak “Tidak mengapa, Amirul Mukminin tidak akan tahu”.
Balas si anak “Jika Amirul Mukminin tidak tahu, tapi Tuhan Amirul Mukminin tahu”.

Umar yang mendengar kemudian menangis. Betapa mulianya hati anak gadis itu.
Ketika pulang ke rumah, Umar bin Khattab menyuruh anak lelakinya, Asim menikahi gadis itu.
Kata Umar, "Semoga lahir dari keturunan gadis ini bakal pemimpin Islam yang hebat kelak yang akan memimpin orang-orang Arab dan Ajam”.

Asim yang taat tanpa banyak tanya segera menikahi gadis miskin tersebut. Pernikahan ini melahirkan anak perempuan bernama Laila yang lebih dikenal dengan sebutan Ummu Asim. Ketika dewasa Ummu Asim menikah dengan Abdul-Aziz bin Marwan yang melahirkan Umar bin Abdul-Aziz.

Kehidupan awal
Tahun 682 – 715

Umar dibesarkan di Madinah, di bawah bimbingan Ibnu Umar, salah seorang periwayat hadits terbanyak. Ia tinggal di sana sampai kematian ayahnya, dimana kemudian ia dipanggil ke Damaskus oleh Abdul-Malik dan menikah dengan anak perempuannya Fatimah. Setelah Ayah mertuanya meninggal ia diangkat pada tahun 706 sebagai gubernur Madinah oleh khalifah Al-Walid I.

Rabu, 11 Juni 2014

Biografi Al-Imam Malik Bin Anas

Dahulu kala tepatnya tahun 93 H di kota Madinah lahir seorang anak yang di kemudian hari dikenal dengan sebutan Imam Malik. Kunyah beliau Abu Abdillah, dan nama lengkap beliau Malik bin Anas bin Malik bin Abu ‘Amir bin ‘Amr bin Al Harits bin Ghaiman bin Khutsail bin ‘Amr bin Al Harits Al Himyari Al Ashbahi Al Madani. Beliau diberi gelar Syaikhul Islam, Hujjatul Ummah, Mufti Al Haramain (Mufti dua tanah suci) dan Imam Daarul Hijrah.

Pada tahun yang sama wafat shahabat Nabi Anas bin Malik Radhiyallahu ‘Anhu, pelayan Rasulullah Sholallahu ‘Alaihi Wasallam. Ayah beliau, Anas adalah seorang ulama besar dari kalangan Tabi’in. Ibu beliau bernama ‘Aliyah bintu Syariik Al Adziyyah. Paman-paman beliau bernama Abu Suhail Nafi’, Uwais, Ar Rabi’, An Nadhar, semuanya putra Abu ‘Amr.

Imam Malik tumbuh dalam suasana yang penuh pengawasan dan perhatian kedua orang tuanya, serba berkecukupan, dan beliau memiliki ketabahan hati yang luar biasa. Beliau berperawakan tinggi besar, berambut putih (beruban) dan berjenggot putih lebat. Beliau berwajah tampan dan kulit beliau putih bersih dengan mata jernih kebiru-biruan. Beliau suka sekali memakai baju putih dan beliau selali memakai pakaian yang bersih.

Pada usia belasan tahun Al Imam Malik mulai menuntut ilmu. Ketika berumur 21 tahun beliau mulai mengajar dan berfatwa. Beliau berguru pada ulama terkenal di antaranya Nafi’, Sa’id Al Maqburi, Amir bin Abdullah bin Zubair, Ibnu Al Mukandir, Az Zuhri, Abdullah bin Dinaar, dan sederet ulama-ulama besar lainnya.

Murid-murid Al Imam Malik banyak sekali. Di antara mereka yang sangat terkenal adalah Ishaq bin Abadullah bin Abu Thalhah, Ayyub bin Abu Tamimah As Sakhtiyani, Ayyub bin Habiib Al Juhani, Ibrahim bin ‘Uqbah, Isma’il bin Abi Hakim, Ismail Ibnu Muhammad bin Sa’ad, dan Al Imam Asy Syafi’i.

Sahabat-sahabat Al Imam Malik diantaranya adalah Ma’mar, Ibnu Juraij, Abu Hanifah, ‘Amr bin Al Harits, Al Auza’i, Syu’bah, Ats Tsauri, Juwairiyyah bin Asma’, Al Laits, Hammad bin Zaid.

Al Imam Malik mempunyai karya yang besar di bidang hadits, yaitu kitab Al Muwattha, karya beliau lainnya adalah Risalah fi Al Qadar, Risalah fi Al Aqdhiyyah, dan satu juz tentang tafsir. Di samping karya-karya beliau lainnya yang tidak disebutkan di sini.
Pujian-pujian yang datang dari para ulama kepada Al Imam Malik membuktikan tingginya reputasi beliau dalam bidang keilmuan, tidak kurang dari murid beliau, Al Imam Asy Syafi’i yang mengatakan, “Ilmu itu berputar-putar di sekitar tiga orang, Malik, Laits, dan Ibnu ‘Uyainah”.

Al Imam Ahmad bin Hanbal menuturkan bahwa Imam Malik ditinjau dari sisi ilmu lebih utama dari Al Auza’i, Ats Tsauri, Al Laits, Hammad, dan Al Hakam.

Al Qaththan berkata, “Beliau (Al Imam Malik) adalah imam yang patut dijadikan panutan”.

Al Imam Malik adalah seorang tokoh yang gigih menyebarkan dan mempertahankan aqidah Ahlus Sunnah Wal Jama’ah. Pendapat-pendapat beliau tentang Aqidah Ahlus Sunnah Wal Jama’ah tercermin dari ucapan-ucapan beliau diantaranya:

1. Beliau berkata, “Iman itu ucapan dan perbuatan (maksudnya: iman itu keyakinan di dalam hati yang disertai dengan ucapan lisan dan perbuatan anggota badan), bisa bertambah dan berkurang dan sebagiannya lebih utama dari sebagian yang lain.”