1. Perang Hunain, 8 Hijriyah
Setelah pembebasan kota Mekah sebuah berita
sampai kepada Nabi Muhammad Saw bahwa kabilah Hawazin dan Tsaqif telah
berkumpul di lembah Hunain untuk memerangi kaum Muslimin. Nabi Muhammad Saw
lalu memerintahkan pasukannya untuk bersiap-siap menghadapi mereka pada bulan
Syawal tahun 8 Hijriyah.
Jumlah pasukan Muslimin sebanyak dua belas
ribu orang tentara, setelah mendapat tambahan dari penduduk Mekkah yang
bergabung. Selanjutnya, pasukan itu bertolak menuju lembah Hunain. Sesampainya
di sana mereka dikejutkan oleh pasukan Hawazin dan Tsaqif yang berada di
lembah-lembah dan gunung-gunung. Hampir saja mereka dapat mengalahkan pasukan
Muslimin. Sebagian pasukan Muslimin lari karena keterkejutan itu. Hanya
sedikit, sekitar sepuluh orang saja, yang menetap bersama Nabi Muhammad Saw.
Dengan suara tinggi Nabi Muhammad Saw berseru kepada kaum Muslimin, “Aku Nabi,
bukan kebohongan, aku putera Abdul Muthallib.”
Melihat keteguhan dan keberanian Nabi
Muhammad Saw, kaum Muslimin kembali menyatu di belakang Nabi Muhammad Saw.
Mereka kemudian melancarkan serangan dahsyat
dan berakhir dengan kemenangan. Berhasil membunuh tentara musuh dalam jumlah
besar, menawan sekitar enam ribu orang, dan mendapatkan banyak harta rampasan.
Perlu kita catat bahwa sebab kekalahan yang
hampir menimpa kaum Muslimin adalah kesilauan mereka terhadap jumlah mereka
yang banyak. Mereka mengatakan, “Pada hari ini kita tidak mungkin dikalahkan
oleh pasukan yang sedikit.”
Maka Allah Swt hendak memberikan pelajaran
kepada mereka bahwa jumlah yang banyak saja belum cukup, tetapi harus ada
pertolongan Allah Swt.
Diriwayatkan oleh Sa’id bin Janadah r.a, ia
berkata, “Tatkala Rasulullah Saw serta para sahabat kembali dari peperangan
Hunain, kami singgah di satu padang tandus.”
Lalu Nabi Muhamad Saw berkata, “Kumpulkanlah
oleh kalian apa saja. Barang siapa diantara kalian mendapatkan sesuatu, bawalah
kemari. Barang siapa menemukan tulang atau gigi, bawalah kemari.”
Said melanjutkan, “Dalam watu sekejap kami
telah berhasil mengumpulkan setumpukan besar benda-benda.”
Kemudian Nabi Muhammad Saw bersabda,
“Tidaklah kalian lihat benda-benda ini?
Begitu juga halnya dosa-dosa yang berkumpul
pada salah seorang kalian. Seperti apa yang telah kalian kumpulkan ini.
Karena itu, hendaklah orang takut kepada
Allah Swt, janganlah ia berbuat dosa, baik dosa kecil maupun dosa besar, karena
semuanya akan dihitung!”
2. Kisah Perang Mautah
Rasulullah Saw biasa mengirim surat kepada
para raja untuk berdakwah dan bertabligh kepada mereka. Salah satu surat beliau
telah dibawa oleh Harits bin Umair r.a yang akan diberikan kepada Raja Bushra.
Ketika sampai di Mautah, maka Syarahbil
Ghassani yang ketika itu menjadi salah seorang hakim kaisar telah membunuh
utusan Rasulullah Saw. Membunuh utusan, menurut aturan siapa saja, adalah suatu
kesalahan besar. Rasulullah Saw sangat marah atas kejadian itu. Maka Rasulullah
Saw menyiapkan pasukan sebanyak tiga ribu orang. Zaid bin Haritsah r.a telah
dipilih menjadi peniimpin pasukan tersebut.
Rasulullah Saw bersabda, “Jika ia mati syahid
dalam peperangan, maka Ja’far bin Abi Thalib r.a menggantinya sebagai pemimpin
pasukan. Jika ia juga mati syahid, maka pemimpin pasukan digantikan oleh Abdullah
bin Rawahah r.a. Jika ia juga mati syahid, maka terserah kaum muslim untuk
memilih siapa pemimpinnya”.
Seorang Yahudi, ketika mendengar perkataan
ini berkata, “Ketiga orang sahabat yang telah ditunjuk sebagai amir tersebut
pasti akan mati. Anbiya a.s pun, dahulu telah mengucapkan kata-kata yang
demikian”.
Kemudian Rasulullah Saw memberikan bendera
berwarna putih kepada Zaid bin Haritsah r.a. Beliau sendiri ikut mengantar
rombongan untuk melepas mereka. Di luar kota, ketika orang-orang yang
mengantarkan pasukan tersebut akan kembali, maka beliau berdo’a untuk para
mujahidin ini dengan do’a keselamatan, kejayaan, dan agar mereka dijauhkan dari
semua perkara yang buruk sampai mereka kembali.
Do’a Rasulullah Saw ini dijawab oleh Abdullah
bin Rawahah r.a dengan membaca tiga bait syair yang maksudnya:
“Engkau meminta ampunan dari Tuhanmu.
Sedangkan kami menginginkan pedang yang akan
memutuskan pembuluh-pembuluh darah atau tombak yang akan menusuk lambung dan
hatiku
Jika nanti, orang-orang melewati kuburan kami,
mereka akan berkata:
Inilah orang-orang yang telah berjuang untuk
Allah. Sungguh, kalian betul-betul telah mendapat petunjuk dan kejayaan”
Setelah itu, berangkatlah pasukan tersebut.
Syarahbil pun telah mendengar tentang keberangkatan pasukan ini. Dia telah
menyiapkan pasukan sebanyak seratus ribu tentara untuk melawan kaum muslimin.
Dalam pada itu, para sahabat r.huma juga telah mendengar kabar bahwa Heraclius,
raja Romawi, juga telah mengirim seratus ribu tentaranya untuk ikut menyerang
kaum muslimin. Maka dengan jumlah musuh yang demikian banyak tersebut membuat
sebagian sahabat r.huma menjadi ragu: meneruskan bertempur melawan musuh,
ataukah memberitahukan kepada Rasulullah Saw. Abdullah bin Rawahah r.a berkata,
“Hai orang-orang. Apa yang kalian takuti?
Untuk apa kalian keluar meninggalkan Romawiah
kalian?
Apakah kalian keluar ini bukan untuk mati
syahid?
Kami adalah orang-orang yang tidak
memperhitungkan kekuatan ataupun banyaknya orang dalam pertempuran.
Kami hanya berperang agar di suatu hari
nanti, Allah Swt memuliakan kita.
Majulah. Setidaknya salah satu diantara dua
kemenangan mesti kita dapatkan. Mati syahid, atau menang dalam pertempuran
ini”.
Mendengar kata-kata tersebut, semangat kaum
muslimin pun bangkit kembali. Mereka terus maju sehingga sampailah pasukan
tersebut di Mut’ah dan mulailah pertempuran berlangsung antara mereka dengan
pasukan musuh. Dalam permulaan pertempuran, bendera dibawa oleh Zaid bin
Haritsah r.a. Dengan bendera di tangan, ia telah menyerang ke tengah Pertempuran.
Mulailah berlangsung pertempuran. Ketika itu saudara Syarahbil telah terbunuh
sedangkan kawan-kawannya melarikan diri. Syarahbil sendiri telah lari ke sebuah
benteng dan bersembunyi di dalamnya.
Kemudian Raja Heraclius mengirimkan bala
bantuan lagi kurang lebih sebanyak dua ratus ribu orang tentara. Pertempuran
berlangsung dengan begitu dahsyatnya. Akhirnya, Zaid bin Haritsa r.a. gugur
syahid. Maka bendera kaum Muslimin segera diambil oleh Ja’far bin Abi Thalib r.a,
setelah itu ia memotong kaki kudanya agar tidak berpikiran lagi untuk kembali.
Sambil menyerang musuh, ia membaca beberapa bait syair yang terjemahannya
sebagai berikut:
“Hai orang-orang, apakah tidak baik surga itu
Dan surga itu sudah dekat Betapa indahnya ia Dan betapa sejuknya air surga Telah
dekat masa siksa bagi raja Romawi Dan saya mempunyai kewajiban untuk
membunuhnya”
Setelah membaca syair tersebut, dipotonglah
kaki kudanya dengan tangannya sendiri. Agar hatinya tidak berpikir untuk
kembali. la menghunus pedangnya dan terjun ke tengah pertempuran melawan
orang-orang kafir tersebut. Karena ia adalah pimpinan pasukan, maka bendera itu
tetap berada di tangannya. Pada mulanya, bendera tersebut dipegang dengan
tangan kanannya. Tetapi salah seorang pasukan kafir telah memenggal tangan kanannya
sehingga bendera pun terjatuh. Maka bendera tersebut segera diambil dengan
tangan kirinya. Tetapi, orang kafir itu telah memotong kembali tangan kirinya.
Maka ia segera mendekap bendera itu di dada dengan kedua lengannya yang masih
tersisa dan digigitnya bendera itu dengan sekuat tenaga.
Kemudian, seorang musuh dari arah belakang
menebasnya dengan pedang sehingga tubuhnya terpotong menjadi dua. Ia pun roboh
ke tanah, dan gugur dalam keadaan syahid. Pada saat itu, Ja’far bin Abi Thalib r.a
baru berumur tiga puluh tiga tahun.
Abdullah bin Umar r.a berkata bahwa setelah
Jafar r.a menjadi mayat, ketika mayat tersebut di angkat, di bagian muka
tubuhnya terdapat sembilan puluh buah luka. Ketika Ja’far bin Abi Thalib r.a
telah mati syahid, maka orang-orang memanggil Abdullah bin Rawahah r.a.
Ketika itu, ia sedang berada di sebuah sudut
dengan beberapa tentara muslimin, sedang memakan sepotong daging karena sudah
tiga hari lamanya mereka tidak makan sesuatu pun. Mendengar suara yang
memanggilnya, maka dilemparkanlah sisa daging itu. Ia berkata memarahi dirinya
sendiri,
“Hai lihatlah, Ja’far telah syahid, sedangkan
kamu masih sibuk dengan keduniaanmu”.
Maka ia segera maju menyerang ke depan dan
mengambil bendera kaum muslimin. Tetapi, jari tangannya telah terluka
berlumuran darah dan terkulai hampir putus. Kemudian jari itu diinjak dengan
kakinya sendiri lalu ditarik tangannya sehingga terpotonglah jarinya tersebut.
Kemudian, jari yang sudah terputus itu ia lemparkan, kemudian ia maju kembali
ke medan pertempuran. Dalam keadaan susah dan payah seperti ini, ia merasa
sedikit ragu di dalam hatinya karena hampir tidak ada semangat dan kekuataan
lagi untuk berperang. Tetapi, keraguan tersebut hanya terlintas sebentar saja
dalam hatinya. Ia segera berkata pada dirinya sendiri,
“Wahai hati, apa yang masih kamu ragukan, apa
yang menyebabkan kamu ragu-ragu?
Isterikah? Ia sudah saya talak tiga.
Atau hamba sahaya yang kamu miliki? Semuanya
telah saya merdekakan.
Ataukah kebun? Itu pun telah saya korbankan
di jalan Allah”.
Setelah itu, ia membaca syair berikut:
“Wahai hati, kamu harus turun Meskipun dengan
senang hati, ataupun dengan berat hati Kamu telah hidup dengan ketenangan
beberapa lama.
Berpikirlah, pada hakikatnya, kamu berasal
dari setetes air mani. Lihatlah orang-orang kafir telah menyerang orang-orang
Islam. Apakah kamu tidak menyukai surga jika kamu tidak mati sekarang suatu
saat nanti, akhirnya kamu akan mati juga”.
Setelah itu, ia turun dari kudanya. Seorang
sepupunya, yaitu anak pamannya, telah memberi sekerat daging kepadanya sambil
berkata, “Makanlah ini untuk meluruskan tulang punggungmu.” Karena sudah
berhari-hari ia tidak makan, maka daging tersebut diterimanya. Baru saja ia
mengambil daging tersebut, terdengarlah suara kekalahan. Akhirnya, dilemparkanlah
daging tersebut. Ia segera mengambil pedangnya dan menyerbu ke kancah
pertempuran melawan orang-orang kafir. Ia terus bertempur hingga mati syahid.
3. Kisah Perang Badar
Perang Badar terjadi pada 7 Ramadhan, dua
tahun setelah hijrah. Ini adalah peperangan pertama yang mana kaum Muslim
(Muslimin) mendapat kemenangan terhadap kaum Kafir dan merupakan peperangan
yang sangat terkenal karena beberapa kejadian yang ajaib terjadi dalam
peperangan tersebut. Rasulullah Saw telah memberikan semangat kepada Muslimin
untuk menghadang khafilah suku Quraish yang akan kembali ke Mekkah dari Syam.
Muslimin keluar dengan 300 lebih tentara tidak ada niat untuk menghadapi
khafilah dagang yang hanya terdiri dari 40 lelaki, tidak berniat untuk
menyerang tetapi hanya untuk menunjuk kekuatan terhadap mereka. Khafilah dagang
itu lolos, tetapi Abu Sufyan telah mengantar pesan kepada kaumnya suku Quraish
untuk datang dan menyelamatkannya. Kaum Quraisy maju dengan pasukan besar yang
terdiri dari 1000 lelaki, 600 pakaian perang, 100 ekor kuda, dan 700 ekor unta,
dan persediaan makanan mewah yang cukup untuk beberapa hari.
Kafir Quraisy ingin menjadikan peperangan ini
sebagai kemenangan bagi mereka yang akan meletakkan rasa takut di dalam hati
seluruh kaum bangsa Arab. Mereka hendak menghancurkan Muslimin dan mendapatkan
keagungan dan kehebatan. Banyangkan, pasukan Muslimin dengan jumlah tentara
yang kecil (termasuk 2 ekor kuda), keluar dengan niat mereka hanya untuk
menghadang 40 lelaki yang tidak bersenjata akan tetapi harus menghadapi pasukan
yang dipersiapkan dengan baik -3 kali- dari jumlah mereka.
Rasulullah Saw dengan mudah meminta mereka
Muslimin untuk perang dan mereka tidak akan menolak, akan tetapi, beliau Saw
ingin menekankan kepada pengikutnya bahwa mereka harus mempertahankan keyakinan
dan keimanan dan untuk menjadi pelajaran bagi kita.
Beliau Saw mengumpulkan para sahabatnya untuk
mengadakan musyawarah. Banyak diantara sahabat Muhajirin yang memberikan
usulan, dengan menggunakan kata-kata yang baik untuk menerangkan dedikasi
mereka.
Tetapi ada seorang sahabat yaitu Miqdad bin
Al-Aswad r.a, dia berdiri dihadapan mereka yang masih merasa takut dan berkata
kepada Rasulullah Saw,
“Ya Rasulullah (Saw)!, Kami tidak akan
mengatakan kepadamu seperti apa yang dikatakan oleh bani Israel kepada Musa
(A.s), ‘Pergilah kamu bersama Tuhanmu, kami duduk (menunggu) di sini’( Dalam
surah Al-Maidah). Pergilah bersama dengan keberkahan Allah dan kami akan
bersama dengan mu !”.
Rasulullah Saw merasa sangat suka, akan
tetapi Rasulullah Saw hanya diam, beliau menunggu dan beberapa orang dari
sahabat dapat mengetahui keinginan Beliau Saw. Sejauh ini hanya sahabat
Muhajirin yang telah menyatakan kesungguhan mereka, akan tetapi Beliau menuggu
para sahabat Anshor yang sebagian besar tidak hadir dalam baiat ‘Aqaabah untuk
turut serta dalam berperang melawan kekuatan musuh bersama-sama Rasulullah Saw
di luar kawasan mereka. Maka, pemimpin besar sahabat Anshor, Sa’ad bin Muadz
angkat bicara, “Ya Rasulullah (Saw) mungkin yang engkau maksudkan adalah kami”.
Rasulullah Saw menyetujuinya. Sa’ad kemudian
menyampaikan pidatonya yang sangat indah yang mana dia berkata,
“Wahai utusan Allah, kami telah mempercayai
bahwa engkau berkata benar, Kami telah memberikan kepadamu kesetiaan kami untuk
mendengar dan taat kepadamu…
Demi Allah, Dia yang telah mengutusmu dengan
kebenaran, jika engkau memasuki laut, kami akan ikut memasukinya bersamamu dan
tidak ada seorang pun dari kami yang akan tertinggal di belakang…
Mudah-mudahan Allah akan menunjukkan kepadamu
yang mana tindakan kami akan menyukakan mu.
Maka Majulah bersama-sama kami, letakkan
kepercayaan kami di dalam keberkahan Allah”.
Rasulullah Saw sangat menyukai apa yang
disampaikan dan kemudian beliau Saw bersabda, “Majulah ke depan dan yakinlah
yang Allah telah menjajikan kepadaku satu dari keduanya (khafilah dagang atau
perang), dan demi Allah, seolah-olah aku telah dapat melihat pasukan musuh
terbaring kalah”.
Pasukan Muslimin bergerak maju dan kemudian
berhenti sejenak di tempat yang berdekatan dengan Badar (tempat paling dekat ke
Madinah yang berada di utara Mekkah). Seorang sahabat bernama, Al-Hubab bin
Mundhir r.a, bertanya kepada Rasulullah Saw, ” Apakah Allah Swt mewahyukan
kepadamu untuk memilih tempat ini atau hanya strategi perang hasil keputusan
musyawarah?”.
Rasulullah Saw bersabda, “Ini adalah hasil
strategi perang dan keputusan musyawarah”.
Maka Al-Hubab telah mengusulkan kembali
kepada Rasulullah Saw agar pasukan Muslimin sebaiknya bermarkas lebih ke
selatan tempat yang paling dekat dengan sumber air, kemudian membuat kolam
persediaan air untuk mereka dan menghancurkan sumber air yang lain sehingga
dapat menghalang orang kafir Quraisy dari mendapatkan air.
Rasulullah Saw menyetujui usulan tersebut dan
melaksanakannya. Kemudian Sa’ad bin Muadz mengusulkan untuk membangun benteng
untuk Rasulullah Saw untuk melindungi beliau dan sebagai markas bagi pasukan
Muslimin. Rasulullah Saw dan Abu Bakar r.a. tinggal di dalam benteng sementara
Sa’ad bin Muadz dan sekumpulan lelaki menjaganya.
Rasulullah Saw telah menghabiskan
sepanjang-panjang malam dengan berdo’a dan beribadah walaupun beliau Saw bahwa
Allah Swt telah menjanjikannya kemenangan. Hanya melebihi cintanya dan
penghambaannya dan penyerahan diri kepada Allah Swt dengan ibadah yang Beliau
Saw kerjakan. Dan hanya telah dikatakan sebagai bentuk tertinggi dari ibadah
yang dikenal sebagai ‘Ainul Yaqiin.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Tuliskan Komentar, Kritik dan Saran SAHABAT Disini .... !!!