Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Jika seseorang meninggal dunia, maka terputuslah amalannya kecuali tiga perkara (yaitu) : sedekah jariyah, ilmu yang bermanfaat, dan do’a anak yang sholeh” (HR. Muslim no. 1631)

Cari Berkah

Senin, 26 Agustus 2013

Tata Cara Mandi Wajib

Segala puji bagi Allah, Rabb semesta alam. Shalawat dan salam kepada Nabi kita Muhammad, keluarga dan sahabatnya serta orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik hingga akhir zaman.

Niat, Syarat Sahnya Mandi

Para ulama mengatakan bahwa di antara fungsi niat adalah untuk membedakan manakah yang menjadi kebiasaan dan manakah ibadah. Dalam hal mandi tentu saja mesti dibedakan dengan mandi biasa. Pembedanya adalah niat. Dalam hadits dari ‘Umar bin Al Khattab, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إِنَّمَا الأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ

Sesungguhnya setiap amalan tergantung pada niatnya.” (HR. Bukhari no. 1 dan Muslim no. 1907)

Rukun Mandi

Hakikat mandi adalah mengguyur seluruh badan dengan air, yaitu mengenai rambut dan kulit.

Inilah yang diterangkan dalam banyak hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Di antaranya adalah hadits ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha yang menceritakan tata cara mandi Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,

ثُمَّ يُفِيضُ الْمَاءَ عَلَى جَسَدِهِ كُلِّهِ

Kemudian beliau mengguyur air pada seluruh badannya.” (HR. An Nasa-i no. 247. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih)

Ibnu Hajar Al Asqolani mengatakan, “Penguatan makna dalam hadits ini menunjukkan bahwa ketika mandi beliau mengguyur air ke seluruh tubuh.” [Fathul Bari, Ibnu Hajar Al Asqolani, 1/361, Darul Ma’rifah, 1379]

Dari Jubair bin Muth’im berkata, “Kami saling memperbincangkan tentang mandi janabah di sisi Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, lalu beliau bersabda,

أَمَّا أَنَا فَآخُذُ مِلْءَ كَفِّى ثَلاَثاً فَأَصُبُّ عَلَى رَأْسِى ثُمَّ أُفِيضُهُ بَعْدُ عَلَى سَائِرِ جَسَدِى

Saya mengambil dua telapak tangan, tiga kali lalu saya siramkan pada kepalaku, kemudian saya tuangkan setelahnya pada semua tubuhku.” (HR. Ahmad 4/81. Syaikh Syu’aib Al Arnauth mengatakan bahwa sanad hadits ini shahih sesuai syarat Bukhari Muslim)

Dalil yang menunjukkan bahwa hanya mengguyur seluruh badan dengan air itu merupakan rukun (fardhu) mandi dan bukan selainnya adalah hadits yang diriwayatkan oleh Ummu Salamah. Ia mengatakan,

قُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنِّى امْرَأَةٌ أَشُدُّ ضَفْرَ رَأْسِى فَأَنْقُضُهُ لِغُسْلِ الْجَنَابَةِ قَالَ « لاَ إِنَّمَا يَكْفِيكِ أَنْ تَحْثِى عَلَى رَأْسِكِ ثَلاَثَ حَثَيَاتٍ ثُمَّ تُفِيضِينَ عَلَيْكِ الْمَاءَ فَتَطْهُرِينَ ».

Saya berkata, wahai Rasulullah, aku seorang wanita yang mengepang rambut kepalaku, apakah aku harus membuka kepangku ketika mandi junub?” Beliau bersabda, “Jangan (kamu buka). Cukuplah kamu mengguyur air pada kepalamu tiga kali, kemudian guyurlah yang lainnya dengan air, maka kamu telah suci.” (HR. Muslim no. 330)

Kamis, 22 Agustus 2013

Kemanakah Arah Pandangan Saat Sedang Shalat

Apakah yang harus dilihat kala sedang melaksanakan shalat, saat sedang berdiri menjalankan shalat, apakah kita harus melihat ke atas, ke bawah ataukah ke kanan dan ke kiri. Kayaknya ini seringkali dipertanyakan oleh umat Islam sendiri. Kemanakan arah pandangan mata saat sedang melaksanakan shalat...

Pandangan seseorang memiliki pengaruh dalam kekhusyuannya saat shalat. Sementara khusyu' merupakan salah satu unsur penting untuk diterimanya shalat. Bahkan seseorang tidak akan merasakan nikmatnya ibadah teragung ini kecuali dengan kekhusyu'an.

Oleh sebab itu, Syariat mengatur hukum berkaitan dengan pandangan mata dalam shalat. Kita temukan larangan keras dari Rasulullah SAW melihat ke atas atau ke langit, dan melarang pula menengok dan melirik ke arah kanan-kiri.

Penjelasan Al-Hafidz di atas adalah sebagai upaya menjama' (mengompromikan) hadits-hadits yang disebutkan Imam al-Bukhari dan hadits-hadits menundukkan pandangan ke arah sujud. Ini adalah kompromi yang sangat bagus.

Dari Jabir bin Samurah ra berkata, Rasulullah SAW bersabda,

لَيَنْتَهِيَنَّ أَقْوَامٌ يَرْفَعُونَ أَبْصَارَهُمْ إِلَى السَّمَاءِ فِى الصَّلاَةِ أَوْ لاَ تَرْجِعُ إِلَيْهِمْ

"Hendaknya kaum-kaum yang mengarahkan pandangan mereka ke langit dalam shalat itu bertaubat atau pandangan mereka tersebut tidak akan kembali kepada mereka." (HR. Al-Bukhari Muslim)

Dalam riwayat al-Bukhari, "Hendaknya mereka berhenti dari hal itu atau akan disambar pandangan mereka."

Dari 'Aisyah ra berkata, "Aku bertanya kepada Rasulullah SAW tentang menoleh dalam shalat, dan Beliau menjawab,

هُوَ اِخْتِلَاسٌ يَخْتَلِسُهُ اَلشَّيْطَانُ مِنْ صَلَاةِ اَلْعَبْدِ

"Itu adalah pencopetan yang dilakukan syetan terhadap shalat hamba." (HR. Al-Bukhari)

Minggu, 11 Agustus 2013

Onta Pun Berebut Minta Disembelih Rasulullah

Akhlaq terindah ada dalam pribadi sayyidina Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam, wajah yang paling indah adalah wajah sayyidina Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam. Sehingga suatu waktu ketika onta merah yang sedang beringas karena marah dan dikurung dalam sebuah kandang, namun ketika melihat wajah yang paling indah, wajah sayyidina Muhammad shallallahub 'alaihi wasallam maka onta itu berlari menunduk menuju kepada nabi Muhammad shallallahu 'alaihi wasallam kemudian mencium kaki beliau shallallahu ‘alaihi wasallam. Di suatu waktu ketika Idul Adha,

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam membeli 100 ekor onta dan 63 ekor onta Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam yang menyembelihnya, dan sisanya sayyidina Ali bin Abi Thalib RA yang akan menyembelihnya. Hewan sembelihan ketika akan disembelih maka harus dijauhkan dari hewan yang lain karena jika ia melihat darah hewan yang disembelih maka ia akan marah dan mengamuk.

Maka onta yang akan disembelih oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam kepalanya ditutup menggunakan kain, namun Rasulullah meminta untuk membuka kain yang menutupi kepala onta tersebut, dan Rasulullah telah siap dengan pisaunya untuk menyembelih onta tersebut, seketika itu onta-onta berebutan ingin segera disembelih oleh tangan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, onta tersebut bukan justru lari atau menghindar namun onta-onta tersebut rela jika lehernya dipotong oleh tangan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam.

Allahumma Shalli alaihi waalihi washahbihi wasallam

Kamis, 08 Agustus 2013

Bid'ah Hari Raya Ketupat (Hari Raya Al Abrar)

Di antara perkara yang diada- adakan (bid'ah) pada bulan Syawwal adalah Bid'ah hari raya Al Abrar (orang-orang baik) (atau dikenal dengan hari raya Ketupat), yaitu hari kedelapan Syawwal. Setelah orang-orang menyelesaikan puasa bulan Ramadhan dan mereka berbuka pada hari pertama bulan Syawwal -yaitu hari raya (iedul) fitri- mereka mulai berpuasa enam hari pertama dari bulan Syawwal dan pada hari kedelapan mereka membuat hari raya yang mereka namakan iedul abrar (biasanya dikenal dengan hari raya Ketupat)

Syaikhul Islam lbnu Taimiyah – rahimahullah- berkata: "adapun membuat musim tertentu selain musim yang disyariatkan seperti sebagian malam bulan Rabi'ul Awwal yang disebut malam maulid, atau sebagian malam bulan Rajab, tanggal 18 Dzulhijjah, Jum'at pertama bulan Rajab, atau tanggal 8 Syawwal yang orang-orang jahil menamakannya dengan hari raya Al Abrar (hari raya Ketupat) ; maka itu semua adalah bid'ah yang tidak disunnahkan dan tidak dilakukan oleh para salaf. Wallahu Subhanahu wata'ala a'lam.

Peringatan hari raya ini biasanya dilakukan di salah satu masjid yang terkenal, para wanita pun berikhtilat (bercampur) dengan laki-laki, mereka bersalam-salaman dan mengucapkan lafadz-lafadz jahiliyyah tatkala berjabatan tangan, kemudian mereka pergi ke tempat dibuatnya sebagian makanan khusus untuk perayaan itu.

Hari kedelapan dari syawwal ini orang umum menamakannya sebagai Iedul Abrar (hari raya orang yang baik) yaitu orang- orang yang telah puasa enam hari syawwal. Namun hal ini adalah bid'ah. Maka hari ke delapan ini bukanlah sebagai hari raya, bukan untuk orang baik (abrar) dan bukan pula bagi orang jahat (Fujjar). Sesungguhnya ucapan mereka (yaitu iedul abrar) mengandung konskwensi bahwa orang yang tidak puasa enam hari dari syawwal maka bukan termasuk orang baik, demikian ini adalah keliru. Karena orang yang telah menunaikan kewajibannya maka dia, tanpa diragukan adalah orang yang baik walaupun tentunya sebagian orang kebaikannya ada yang lebih sempurna dari yang lain.