Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Jika seseorang meninggal dunia, maka terputuslah amalannya kecuali tiga perkara (yaitu) : sedekah jariyah, ilmu yang bermanfaat, dan do’a anak yang sholeh” (HR. Muslim no. 1631)

Cari Berkah

Selasa, 03 Desember 2013

Kisah Nabi Uzair A.s

Nabi Uzair A.s adalah seorang hamba Allah Swt yang hidup pada jaman antara Nabi Shaleh A.s dan Nabi Ibrahim A.s, yaitu sekitar 5000 sampai dengan 4000 tahun sebelum masa  Nabi Isa A.s.

Nabi Uzair A.s adalah seorang Nabi dan Rasul utusan Allah Swt,  satu diantara 313  Rasul utusan Allah Swt.

Dari segi bahasa, kata UZAIR berasal dari kata AZARO, yang artinya “mengkoreksi”, yaitu mengkoreksi kebenaran dengan kebenaran yang sebenarnya dan mengkoreksi kesalahan  menjadi suatu kebenaran yang semestinya.

Nabi Uzair A.s adalah seorang lelaki yang amat sholeh dan Hafidz kitab Taurat. Beliau dikatakan memahami setiap isi kandungan Taurat. Beliau menjadi rujukan setiap masyarakat Yahudi pada zamannya.

Dari Uzair A.s ini, Allah Swt telah memperlihatkan kebesaran-Nya dengan membangkitkannya dari kematian dan kembali kepada masyarakat untuk menyelamatkan isi Taurat.

“Atau apakah (kamu tidak memperhatikan) orang yang melalui suatu negeri yang (temboknya) telah roboh menutupi atapnya. Dia berkata: “Bagaimana Allah menghidupkan kembali negeri ini setelah hancur?” Maka Allah mematikan orang itu seratus tahun, kemudian menghidupkannya kembali.
Allah bertanya: “Berapakah lamanya kamu tinggal di sini?”
Ia menjawab: “Saya (Uzair A.s) tinggal di sini sehari atau setengah hari.”
Allah berfirman: “Sebenarnya kamu (Uzair A.s) telah tinggal di sini seratus tahun lamanya; lihatlah kepada makanan dan minumanmu yang belum lagi beubah; dan lihatlah kepada keledai kamu (yang telah menjadi tulang belulang); Kami akan menjadikan kamu (Uzair A.s) tanda kekuasaan Kami bagi manusia; dan lihatlah kepada tulang belulang keledai itu, kemudian Kami menyusunnya kembali, kemudian Kami membalutnya dengan daging.”
Maka tatkala telah nyata kepadanya (bagaimana Allah Swt menghidupkan yang telah mati) diapun berkata: “Saya (Uzair A.s) yakin bahwa Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu.”(Surah al-Baqarah ayat 259)

Suatu saat Nabi Uzair A.s berjalan-jalan dengan keledainya, sehingga sampai ke suatu wilayah yang sunyi dan yang telah hancur semua bangunannya, yang sangat gersang dan tidak ada satupun tanamannnya yang hidup.  Wilayah itu kira-kira berada di daerah Mesir yang berbatasan dengan negeri Palestina.

Beliau kemudian, turun dari keledainya dan bersujud kepada Allah Swt, dengan berkata “Bagaimana Allah menghidupkan kembali negeri ini setelah hancur?.

Mendengar perkataan beliau itu, kemudian Allah Swt menidurkan atau mematikan beliau dan memanggilnya untuk pindah ke alam bathiniyah selama 100 tahun. Dalam tidur/matinya itu, beliau berkumpul dengan para nabi terdahulu dan melalui beliau-beliau itu, Allah Swt mengajarkan berbagai ilmu kepada beliau, terutama ilmu pengelolaan negara.

Setelah 100 tahun tertidur itu, Allah Swt membangunkan atau menghidupkan kembali beliau dengan jasadnya sebagaimana semula saat mulai tertidur. Kemudian Allah Swt bertanya kepada beliau: “Berapa lama kamu tinggal di sini?”
Beliau menjawab: “Saya telah tinggal di sini sehari atau setengah hari”.
Allah Swt berfirman: “Sebenarnya kamu telah tinggal di sini seratus tahun lamanya; lihatlah kepada makanan dan minumanmu yang belum lagi berobah; dan lihatlah kepada keledai kamu (yang telah menjadi tulang belulang); Kami akan menjadikan kamu tanda kekuasaan Kami bagi manusia; dan lihatlah kepada tulang belulang keledai itu, kemudian Kami menyusunnya kembali, kemudian Kami membalutnya dengan daging”.
Maka tatkala telah nyata kepadanya (bagaimana Allah menghidupkan yang telah mati) beliau pun berkata: “Saya yakin bahwa Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu”. (QS 2 Al Baqarah 259).

Setelah bangun/hidup kembalinya Nabi Uzair A.s dari tidur/kematiannya itu, beliau mengelola wilayah itu, dari kehancuran, kegersangan, kesunyian tanpa kehidupan sampai menjadi suatu wilayah dengan masyarakat yang beriman kepada Allah Swt yang aman dan sejahtera. Beliau mengelola wilayah itu selama 75 tahun. Tersebarlah keadaan beliau dan wilayah itu ke semua penjuru bumi hingga ke kerajaan Namrudz (jaman sebelum kelahiran Nabi Ibrahim A.s). Kemudian tentara kerajaan Namrudz itu menyerang wilayah itu, sehingga akhirnya beliau dipindahkan dan diangkat oleh Allah Swt ke alam bathiniyah, sebagaimana yang terjadi pada Nabi Isa A.s.

Rabu, 27 November 2013

Arrahim, Ar Rahmi Keduanya Berasal Dari Akar Kata "Rahima"

Shilaturrahim= Hubungan kasih sayang
Shilaturrahmi= penghubung uterus(tali pusar sang Ibu), dzurrahmi=yang punya hubungan kerabat.

Kedua kata diatas sama-sama berasal dari akar kata "Ra-Hi-Ma"(rahima)

Yang pertama : Rahima, rahmatan, marhamatan
Yang kedua : rahima, wa rahuma, rahman, rahaman, warahaamatan ruhimatilmar ah.

Yang dimaksud dalam AlQuran dan hadits adalah keduanya.

Memutuskan tali hubungan yang satu ikatan dengan ibu, karib kerabat tali darah Memutuskan hubungan dengan selain kerabat tali darah.(orang lain)

Yang pasti, kita dilarang memutuskan hubungan dengan siapapun, baik dengan yang punya hubungan persaudaraan, tali darah, ataupun yang punya hubungan kasih sayang, selain saudara, yakni orang lain.

Kita justru dalam sebuah hadits, Rasulullah disuruh menjauh dari mereka yang mencoba menyuruh kita untuk memutuskan tali silaturrahm tersebut.

Saya sengaja tidak menyebutkan dengan jelas tulisan Shilaturrahm baik dengan tulisan "Silaturrahmi, ataupun silaturrahim".

Karena apa, karena keduanya kita dilarang memutuskannya. saudara ataupun mereka yang punya hubungan kasih sayang selain saudara pertalian darah.

Suami istri bukan pertalian darah, tetapi Mushaharah(akibat perkawinan), juga dilarang memutuskannya bukan, selain apabila "bercerai dengan baik-baik". Ada jalannya yang sudah diatur oleh Allah Ta'ala dan RasulNya.

Teman, sahabat, atasan, atau siapa saja orang lain, kita dilarang memutuskannya. Kecuali yang diperintahkan oleh Allah Ta'ala, semacam ahli Bid'ah, kita disuruh menjauhi orang tersebut. Juga kita disuruh menjauh dari orang-orang yang jahil, musyrik, juga disuruh menjauh dari mereka yang suka berkata laghw=perkataan sia-sia, mencela, mencaci maki, menghina dan sebagainya yang tidak ada manfaatnya sama sekali.

fasda'bimaa tukmar wa'arid 'anilmusyrikiin Wa'anillaghwi hum mu'ridhuun

(lakukan apa yang disuruh Allah atas kamu, dan jauhilah orang-orang musyrik, Dan mereka (hamba yang diberi kasih sayang oleh Allah ta'ala), selalu menjauhi (berpaling) dari perkataan yang sia-sia, semacam cacian, makian, hinaan, ejekan, dllnya.

Kalau ditanya orang mana yang artinya kasih sayang, maka jawabnya "Ar Rahim".
Mana yang artinya Uterus, jawabnya adalah "Ar rahmi"

Kedua kata sama-sama berasal dari akar kata yang sama yakni "Rahima"

Senin, 25 November 2013

Hukum Mengelap Bekas Wudhu

Banyak ulama yang berpendapat bolehnya menyeka anggota wudhu dengan handuk atau semisalnya. Diantaranya adalah Utsman bin Affan, Anas bin Malik, Hasan bin Ali, Hasan al-Basri, Ibnu Sirin, Asy-Sya’bi, Ishaq bin Rahawaih, Abu Hanifah, Malik, Ahmad, dan salah satu pendapat Madzhab Asy-Syafii. Ini juga berdasarkan riwayat dari Ibnu Umar.

Dalil yang menguatkan pendapat mereka: Pertama, hadist dari Aisyah radhiyallahu ‘anha, beliau mengatakan:

كَانَ لِرَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ خِرْقَةٌ يُنَشِّفُ بِهَا بَعْدَ الوُضُوءِ

“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memiliki handuk kecil yang beliau gunakan untuk mengeringkan anggota badan setelah wudhu.” (HR. Turmudzi, An-Nasai dalam al-Kuna dengan sanad shahih. Hadis ini dinilai hasan oleh al-Albani dalam Shahih Al-Jami’, 4706).

Kedua, hadis dari Salman al-Farisi,

أن رسول الله صلى الله عليه وسلم «توضأ، فقلب جبة صوف كانت عليه، فمسح بها وجهه

Bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah berwudhu, kemudian beliau membalik jubah wol yang beliau pakai, dan beliau gunakan untuk mengusap wajahnya. (HR. Ibn Majah 468. Fuad Abdul Baqi mengatakan: Dalam Zawaid sanadnya shahih dan perawinya tsiqat. Al-Albani menilai hasan).

Sementara itu, sebagian ulama lain berpendapat makruh mengeringkan anggota wudhu dengan handuk. Mereka berdalil dengan hadis dari Maimunah radhiyallahu ‘anha, ketika beliau menjelaskan tata cara mandi junub Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dalam hadis tersebut, Maimunah mengatakan:

فَنَاوَلْتُهُ الْمِنْدِيلَ فَلَمْ يَأْخُذْهُ

“Kemudian aku ambilkan handuk, namun beliau tidak menggunankannya.” (HR. Bukhari dan Muslim).

Namun hadist ini tidaklah menunjukkan hukum makruh mengeringkan anggota badan setelah wudhu. Karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak menggunakan handuk setelah mandi, tidaklah menunjukkan bahwa itu dibenci.

Allahu a’lam.

Rabu, 20 November 2013

Ketika Para Saksi Memberikan Kesaksiannya


Kita harus senantiasa dalam kesadaran penuh, dan yakin bahwa apapun yang kita lakukan selalu ada yang menyaksikannya. Dan kelak di hari pertanggungjawaban, mereka akan memberikan kesaksian, tanpa ada sedikitpun yang terluput. Lewat firman-firman-Nya yang suci dan terjaga, yang termaktub dalam Al-Qur’anul Karim, Allah SWT menyampaikan siapa saja yang akan menjadi saksi atas setiap perbuatan kita.

Allah, Rasul-Nya dan Orang-orang Beriman

“Dan katakanlah, “Beramallah kamu, maka Allah dan rasul-Nya serta orang-orang mukmin akan melihat amalmu itu, dan kamu akan dikembalikan kepada (Allah) yang mengetahui yang gaib dan yang nyata, lalu Dia memberitakan kepadamu apa yang telah kamu kerjakan.” (Qs. At-Taubah: 105).

Semoga ayat ini selalu menjadi pengingat bagi kita. Bahwa setiap amal yang kita lakukan, disaksikan oleh Allah, Rasul-Nya dan orang-orang beriman. Dalam terminologi Syiah, orang-orang beriman yang dimaksud adalah para maksumin as. Bagi yang beriman kepada Allah dan Rasul-Nya, maka merasa selalu disaksikan adalah juga bagian dari keyakinan yang mesti menghujam dalam ke sanubari. Keyakinan merasa disaksikan adalah termasuk derajat tinggi dalam maqam keimanan seseorang. Ketika ditanya apakah ihsan itu, Nabi Muhammad saww menjawab, “Ihsan adalah kamu beramal seakan-akan melihat Allah, kalau kamu tidak bisa melihatnya, maka yakinlah, Allah menyaksikanmu.”

Di sini kita merasa perlu mengajukan pertanyaan, mengapa Allah harus mengikutkan Rasul-rasul-Nya dan orang-orang beriman sebagai saksi, dan tidak cukup dengan Dia saja yang menjadi saksi?. Di sini Allah ingin menunjukkan keMaha Kuasaan-Nya, merasa disaksikan oleh Rasul-rasul-Nya dan para Aimmah as, mendidik kita untuk menjadi insan yang tahu berterimakasih. Mengingatkan kita, bahwa keimanan dan keyakinan yang benar kita kepada Allah SWT tidak datang serta-merta, namun melalui perantaraan mereka. Mengingatkan kita akan dakwah dan perjuangan mereka yang penuh pengorbanan. Keyakinan disaksikan oleh mereka, mendidik kita bahwa ada manusia-manusia yang pada hakikatnya seperti kita juga, semasa hidup mereka layak sebagaimana kesibukan kita, beraktivitas sebagaimana biasanya, makan, minum, berjalan, bekerja dan beristrahat. Namun kemudian, mendapat posisi yang teramat istimewa di sisi Allah, karena ketakwaan dan loyalitas mereka di jalan Allah. Karenanya, untuk menjadi orang-orang yang didekatkan di sisi Allah sebagaimana mereka, menjadi sebuah keniscayaan bagi kita untuk mengenal dan menjadikan mereka sebagai suri tauladan dalam kehidupan kita. Di antara hikmahnya pula, kita akan merasa senantiasa punya keterikatan dan kedekatan maknawi dengan para Anbiyah as dan para Aimmah as, bahwa diantara bentuk keadilan Ilahi disetiap masa, umat manusia bisa merasakan keberkahan akan kehadiran mereka. Kalau mereka menjadi saksi atas setiap perbuatan kita, maka apa yang menghalangi mereka untuk menjadi penolong, ketika berseru kepada mereka?. Allah SWT berfirman, “Tiada seorangpun yang akan memberi syafa’at kecuali sesudah ada izin-Nya.” (Qs. Yunus: 3).
Syafa’at dan berbagai bentuk pertolongan semuanya pada hakikatnya datangnya dari Allah, melalui perantara orang-orang yang di ridhai-Nya. Dan adakah, yang lebih diridhai Allah melebihi keridhaan-Nya kepada para Anbiyah as dan Aimmah as?. Allah SWT berfirman, “Dia mengetahui yang ghaib, tetapi Dia tidak memperlihatkan kepada siapapun tentang yang ghaib itu, kecuali kepada Rasul yang diridhai-Nya..” (Qs. Al-Jinn: 27).