Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Jika seseorang meninggal dunia, maka terputuslah amalannya kecuali tiga perkara (yaitu) : sedekah jariyah, ilmu yang bermanfaat, dan do’a anak yang sholeh” (HR. Muslim no. 1631)

Cari Berkah

Kamis, 13 Februari 2014

Shalat Ketika Adzan

Bismillah was shalatu was salamu ‘ala rasulillah, wa ba’du

Terdapat larangan untuk melaksanakan shalat sunnah di tiga waktu larangan:

Dari Uqbah bin Amir radhiallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

ثَلَاثُ سَاعَاتٍ كَانَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَنْهَانَا أَنْ نُصَلِّيَ فِيهِنَّ، أَوْ أَنْ نَقْبُرَ فِيهِنَّ مَوْتَانَا: «حِينَ تَطْلُعُ الشَّمْسُ بَازِغَةً حَتَّى تَرْتَفِعَ، وَحِينَ يَقُومُ قَائِمُ الظَّهِيرَةِ حَتَّى تَمِيلَ الشَّمْسُ، وَحِينَ تَضَيَّفُ الشَّمْسُ لِلْغُرُوبِ حَتَّى تَغْرُبَ

Ada tiga waktu, dimana Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang kami untuk shalat atau memakamkan jenazah: ketika matahari terbit sampai meninggi, ketika matahari tepat berada di atas benda (bayangan tidak condong ke timur atau ke barat), dan ketika matahari hendak terbenam, sampai tenggelam.” (HR. Muslim 831)

Demikian pula terdapat hadist yang melarang untuk shalat sunah ketika dikumandangkan iqamah shalat wajib, sebagaimana disebutkan dalam hadis Abu hurairah radhiallahu ‘anhu, yang diriwayatkan Bukhari dan Muslim.

Larangan ini untuk shalat sunnah, sementara shalat wajib, seseorang dibolehkan melaksanakannya ketika dia tidak sempat mengerjakannya pada waktunya.

Adapun waktu adzan, tidak dijumpai adanya hadis yang melarang –berdasarkan yang kami pahami, meskipun yang afdhal, hendaknya seorang muslim menjawab adzan terlebih dahulu dan berdoa setelah adzan, ketika panggilan mulia ini dikumandangkan.

Karena itu, banyak ulama dari kalangan Malikiyah (Madzhab Maliki) dan Hanabilah (Madzhab Hanbali) yang menegaskan makruhnya memulai shalat sunnah ketika mendengar adzan. Disebutkan dalam mukhtashar Jalil:

وكره تنفل إمام قبلها، أو جالس عند الأذان

“Dimakruhkkan imam melakukan shalat sunah (sebelum khutbah), atau orang yang sudah duduk di dalam masjid, shalat sunah ketika adzan.

Ibnu Qudamah –ulama Madzhab Hanbali- mengatakan,

“Al-Atsram menceritakan, bahwa Imam Ahmad ditanya tentang seseorang yang memulai shalat ketika mendengarkan adzan? Imam Ahmad menjawab:

يستحب له أن يكون ركوعه بعدما يفرغ المؤذن أو يقرب من الفراغ، لأنه يقال إن الشيطان ينفر حين يسمع الأذان، فلا ينبغي أن يبادر بالقيام، وإن دخل المسجد فسمع المؤذن استحب له انتظاره ليفرغ، ويقول مثل ما يقول جمعاً بين الفضيلتين، وإن لم يقل كقوله وافتتح الصلاة فلا بأس

‘Dianjurkan untuk melakukan shalat setelah selesai adzan atau hampir selesai adzan. Karena hadist menyatakan: ‘Sesungguhnya setan lari ketika mendengar adzan’. Karena itu, hendaknya tidak langsung berdiri melakukan shalat. Kalaupun dia masuk masjid kemudian mendengar adzan, dianjurkan untuk menunggu selesai adzan, agar bisa menjawab adzan, sehingga dia melakukan dua keutamaan (menjawab adzan dan shalat sunnah). Andaipun dia tidak menjawab adzan, dan langsung shalat, itu tidak masalah’.” (Al-Mughni, 2:253)

Dari keterangan ulama di atas, dapat disimpulkan bahwa selayaknya tidak melaksanakan shalat sunnah ketika adzan, agar bisa menjawab adzan dan tetap bisa melaksanakan shalat sunnah setelah adzan.

Selasa, 11 Februari 2014

Kisah Dialog Seorang Raja Dan Malaikat Maut

Sahabat Yazid Arruqasyu meriwayatkan, pada masa Bani Israil ada seorang penguasa zalim. Dalam berkuasa, raja tersebut menindas rakyat dan tidak pernah berbuat kebajikan. Pada suatu hari raja tersebut duduk di singgasananya dan tiba-tiba ia melihat seorang laki-laki masuk melalui pintu istana.

Orang asing itu bertampang keji, berbadan besar dan menakutkan. Raja sangat ketakutan dengan kehadirannya, dia khawatir laki-laki itu akan menyerangnya. Wajahnya pucat pasi dan bergetar, “Siapakah engkau ini? Siapa yang telah menyuruhmu masuk ke istanaku?” tanya raja ketakutan.

“Pemilik rumah ini yang menyuruhku ke sini. Ketahuilah bahwa tak ada dinding yang dapat menghalangiku, dan aku tidak memerlukan izin untuk masuk ke manapun,” kata laki-laki asing itu dengan suara agak kasar.
“Apakah engkau tidak takut dengan para sultan di kerajaanku ini?” tanya raja dengan gemetar.

“Aku tidak takut oleh kekuasaan para sultan. Dan ketahuilah, tidak ada seorang pun yang dapat lari dari jangkauanku,” kata laki-laki itu dengan bengisnya.

Malaikat Maut Datang

Setelah mendengar perkataan orang itu, wajah raja menjadi pusat pasi dan badannya menggigil, ia amat ketakutan dengan situasi ini. “Apakah engkau Malaikat Maut?” tanya raja menebak.
“Benar, akulah Malaikat Maut yang diutus untuk mencabut nyawamu,” kata malaikat maut tanpa tersenyum sedikit pun.
“Aku bersumpah demi Allah, berilah aku penangguhan satu hari saja agar dapat bertobat dari segala dosaku. Aku akan memohon keringanan dari Tuhanku. Aku akan menginfakkan harta benda yang aku miliki, hingga tak terbebani oleh azab akibat harta itu di akhirat kelak,” pinta raja.
“Bagaimana aku dapat menangguhkan, padahal umurmu sudah habis dan waktu sudah ditetapkan tertulis,” kata Malaikat Maut.
“Aku mohon tangguhkanlah sesaat saja,” rayu raja sekali lagi.
“Sesungguhnya jangka waktu itu telah diberikan, tetapi engkau lalai dan menyia-nyiakannya. Jatah nafasmu sudah habis, tidak tersisa satu nafaspun untukmu,” ujar Malaikat Maut yang mendekat seolah henadak mencabut nyawa raja.

Mati Belum Bertaubat

Raja semakin ketakutan dengan kata-kata Malaikat Maut itu. Namun ia tetap bersikeras ingin meminta penangguhan kematian. “Jika aku mati sekarang, siapa yang akan menyertaiku di alam kubur?” tanya raja zhalim itu.
“Tidak ada yang menyertaimu kecuali amalmu,” jawab Malaikat Maut.
“Aku tidak mempunyai amal kebaikan. Selama ini aku lalai kepada Allah Swt,” jelas raja zalim itu.
“Jika demikian, neraka dan murka Allah adalah tempat yang layak untukmu,” tegas Malaikat Maut.

Minggu, 09 Februari 2014

Kisah Batang Pohon Berjalan Mendekati Rasulullah SAW

Imam Ahmad bin Hambal r.a mengetengahkan sebuah hadis berasal dari Thalhah bin Nafi’ yang menuturkan sebagai berikut:

Pada suatu hari, Malaikat Jibril A.s datang kepada Rasulullah Saw, pada saat itu beliau sedang duduk bersedih hati. Bagian tubuhnya tampak berlumuran darah akibat serangan seorang dari kaum musyrikin mekkah.

Kepada beliau malaikat Jibril A.s bertanya, ”Ya Rasulullah, Anda kenapa?”
Beliau menjawab, bahwa baru saja seorang musyrik menyerang beliau.
Jibril A.s bertanya lagi, ”Maukah anda jika aku perlihatkan kepada anda suatu tanda yang membuktikan kenabian Anda?”
Beliau menjawab, ”Baiklah.” Pada saat Rasulullah Saw sedang memandang sebatang pohon di seberang lembah,
Jibril A.s berkata, ”Panggillah pohon itu!”
Seketika itu juga pohon yang di panggil berjalan hingga tiba di hadapan Rasulullah Saw.
Malaikat Jibril A.s lalu berkata lagi, ”Suruhlah dia kembali ke tempatnya.”
Beliau lalu menyuruh pohon itu kembali ke tempat semula. Kemudian pohon itu bergerak dan berjalan pulang ke tempatnya.

Saat itu Rasulullah Saw berkata kepada malaikat Jibril A.s, “Cukup, itu cukup bagiku.”

Jumat, 07 Februari 2014

Kisah Sa’id bin Amir bin Huzaim Al-Jumahy

Abu Nu’aim mengeluarkan dari Khalid bin Ma’dan, dia berkata, “Umar bin Al-Khaththab r.a mengangkat Sa’id bin Amir bin Huzaim r.a sebagai Amir kami di Himsh.

Ketika Umar bin Khattab r.a datang ke sana, dia bertanya, “Wahai penduduk Himsh, apa pendapat kalian tentang Sa’id bin Amir, amir kalian?”

Maka banyak orang yang mengadu kepada Umar bin Khattab r.a. Mereka berkata, “Kami mengadukan empat perkara. Yang pertama karena dia selalu keluar rumah untuk menemui kami setelah hari sudah siang.”

Umar bin Khattab r.a berkomentar, “Itu yang paling besar. Lalu apa lagi?”

Mereka menjawab, “Dia tidak mau menemui seseorang jika malam hari.”

“Itu urusan yang cukup besar,” komentar Umar bin Khattab r.a. Lalu dia bertanya, “Lalu apa lagi?”

Mereka menjawab, “Sehari dalam satu bulan dia tidak keluar dari rumahnya untuk menemui kami.”

“Itu urusan yang cukup besar,” komentar Umar bin Khattab r.a. Lalu dia bertanya, “Lain apa lagi?”

Mereka menjawab, “Beberapa hari ini dia seperti orang yang akan meninggal dunia.”

Kemudian Umar bin Al-Khaththab r.a mengkonfirmasi diantara Sa’id bin Amir r.a dan orang-orang yang mengadukan beberapa masalah tersebut. Saat itu Umar bin Khattab r.a berkata kepada dirinya sendiri, “Ya Allah, jangan sampai anggapanku tentang dirinya keliru pada hari ini.”

Lalu dia bertanya kepada orang-orang yang mengadu, “Sekarang sampaikan apa yang kalian keluhkan tentang diri Sa’id bin Amir r.a!’

“Dia selalu keluar rumah untuk menemui kami setelah hari sudah siang,” kata mereka. Sa’id menanggapi, “Demi Allah, sebenarnya aku tidak suka untuk mengungkapkan hal ini. Harap diketahui, keluargaku tidak mempunyai pembantu, sehingga aku sendiri yang harus menggiling adonan roti. Aku duduk sebentar hingga adonan itu menjadi lumat, lalu membuat roti, mengambil wudhu’, baru kemudian aku keluar rumah untuk menemui mereka.”

Umar bin Khattab r.a bertanya kepada mereka, “Apa keluhan kalian yang lain?”

Mereka menjawab, ‘Dia tidak mau menemui seorang pun pada malam hari.”

“Lalu apa alibimu?” tanya Umar bin Khattab r.a kepada Sa’id bin Amir r.a

“Sebenarnya aku tidak suka untuk mengungkapkan hal ini. Aku menjadikan siang hari bagi mereka, dan menjadikan malam hari bagi Allah.” jawab Sa’id

“Apa keluhan kalian yang lain?” tanya Umar bin Khattab r.a kepada mereka.

Mereka menjawab, “Sehari dalam satu bulan dia tidak mau keluar dari rumahnya untuk menemui kami.”

“Apa alibimu? tanya Umar bin Khattab r.a kepada Said r.a

“Aku tidak mempunyai seorang pembantu yang mencuci pakaianku, di samping itu, aku pun tidak mempunyai pakaian pengganti yang lain.” Maksudnya, hari itu dia mencuci pakaian satu-satunya.

“Apa keluhan kalian yang lain?” tanya Umar bin Khattab r.a kepada mereka.

Mereka menjawab, “Beberapa hari ini dia seperti orang yang akan meninggal dunia.”