Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Jika seseorang meninggal dunia, maka terputuslah amalannya kecuali tiga perkara (yaitu) : sedekah jariyah, ilmu yang bermanfaat, dan do’a anak yang sholeh” (HR. Muslim no. 1631)

Cari Berkah

Senin, 03 Maret 2014

Kisah Said bin Zaid bin Amru bin Nufail r.a

Said bin Zaid bin Amru bin Nufail Al Adawi atau sering juga disebut sebagai Abul A’waar lahir di Mekah 22 tahun sebelum Hijrah. Beliau termasuk sepuluh orang yang diberi kabar gembira akan masuk surga oleh Nabi Muhammad Saw.

“Wahai Allah, jika Engkau mengharamkanku dari agama yang lurus ini, janganlah anakku Sa’id diharamkan pula daripadanya.” (Do’a Zaid untuk anaknya Said).

Ayah Said bernama Zaid bin Amru bin Nufail, tidak suka dan tidak pernah mau mengikuti ajaran jahiliyah. Beliau, yang diberi gelar ” Hanif “, adalah penyelamat bayi perempuan yang ingin di bunuh oleh bapaknya pada masa tersebut dan mengambilnya sebagai anak angkat.

Beliau juga tak pernah menyekutukan Allah Swt, juga tak pernah menggunakan apa pun sebagai perantaranya dengan Allah Swt. Beliau pernah mempelajari agama Yahudi dan Nasrani, tapi masih juga tak puas, sampai akhirnya beliau bertemu dengan seorang rahib yang memberi tahu bahwa Allah Swt akan mengirimkan seorang Nabi dari kalangan bangsa Arab. Oleh karena itu beliau memutuskan untuk kembali ke Mekah. Di tengah jalan beliau terbunuh oleh kawanan perampok sehingga tak sempat kembali ke Mekah. Tapi do’anya agar Allah Swt tidak menghalangi anaknya masuk Islam sebagaimana beliau terhalang, terkabul.

Allah Swt memperkenankan do’a Zaid. Pada waktu Rasulullah Saw mengajak orang banyak untuk masuk Islam, Said segera memenuhi panggilan Islam. Said bin zaid menjadi pelopor orang-orang beriman dengan Allah Swt dan membenarkan kerasulan Nabi Muhammad Saw.

Said bin Zaid masuk Islam tidak seorang diri, melainkan bersama-sama dengan isterinya, Fathimah binti Khatthab, adik perempuan Umar bin Khatthab r.a. Karena pemuda Quraisy ini masuk Islam, dia disakiti dan dianiaya, serta dipaksa oleh kaumnya agar kembali kepada agama mereka. Tetapi jangankan mereka berhasil mengembalikan Said dan isterinya kepada kepercayaan nenek moyang mereka, bahkan sebaliknya Said dan isterinya berhasil menarik seorang laki-laki Quraisy yang paling berbobot, baik fisik maupun intelektualnya masuk ke dalam Islam. Mereka berdualah yang telah menyebabkan Umar bin Khatthab r.a masuk Islam.

Said bin zaid pernah hijrah ke Habsyah (Ethiopia), kemudian Madinah, dan Rasulullah Saw mempersaudarakan beliau dengan Ubay bin Ka’ab. Rasulullah Saw pernah mengutus beliau bersama Thalhah bin Ubaidillah untuk mengintai kafilah Quraisy yang pulang dari berniaga, dan saat keduanya melaksanakan tugas, terjadilah perang Badar  yang berakhir dengan kemenangan untuk kaum muslimin, kemudian keduanya pulang dan Rasulullah Saw memberikan kepada keduanya bagian dari harta rampasan perang. Said terkenal dengan keberaniannya dan kegagahannya, dan selalu mangikuti setiap peperangan.

Sabtu, 01 Maret 2014

Kisah Thalhah bin Ubaidillah r.a

Thalhah Bin Ubaidillah, Syahid Ketika Masih Hidup

Thalhah bin Ubaidillah bin Utsman bin Amru bin Ka’ab bin Sa’ad bin Taim bin Murrah bin Ka’ab bin Lu’ai. Ibunya bernama Ash-Sha’bah binti Al Hadrami, saudara perempuan Al Ala’. Wanita ini telah menyatakan dirinya sebagai seorang muslimah. Beliau seorang pemuda Quraisy yang memilih profesi sebagai saudagar. Meski masih muda, Thalhah punya kelebihan dalam strategi berdagang, ia cerdik dan pintar, hingga dapat mengalahkan pedagang-pedagang lain yang lebih tua. Pada suatu ketika Thalhah bin Ubaidillah dan rombongan pergi ke Syam. Di Bushra, Thalhah bin Ubaidillah mengalami peristiwa menarik yang mengubah garis hidupnya.

Tiba-tiba seorang pendeta berteriak-teriak, “Wahai para pedagang, adakah di antara tuan-tuan yang berasal dari kota Makkah?.”
“Ya, aku penduduk Makkah,” sahut Thalhah.
“Sudah munculkah orang di antara kalian orang bernama Ahmad?” tanyanya.
“Ahmad yang mana?” jawab Thalhah.
“Ahmad bin Abdullah bin Abdul Muthalib. Bulan ini pasti muncul sebagai Nabi penutup para Nabi. Kelak ia akan hijrah dari negerimu ke negeri berbatu-batu hitam yang banyak pohon kurmanya. Ia akan pindah ke negeri yang subur makmur, memancarkan air dan garam. Sebaiknya engkau segera menemuinya wahai anak muda,” sambung pendeta itu.

Ucapan pendeta itu begitu membekas di hati Thalhah bin Ubaidillah, hingga tanpa menghiraukan kafilah dagang di pasar ia langsung pulang ke Makkah. Setibanya di Makkah, ia langsung bertanya kepada keluarganya, ”Ada peristiwa apa sepeninggalku?”
“Ada Muhammad bin Abdullah mengatakan dirinya Nabi dan Abu Bakar As Siddiq telah mempercayai dan mengikuti apa yang dikatakannya,” jawab mereka.

“Aku kenal Abu Bakar. Dia seorang yang lapang dada, penyayang dan lemah lembut. Dia pedagang yang berbudi tinggi dan teguh. Kami berteman baik, banyak orang menyukai majelisnya, karena dia ahli sejarah Quraisy,” gumam Thalhah bin Ubaidillah lirih.

Setelah itu Thalhah bin Ubaidillah langsung mencari Abu Bakar As Siddiq r.a. “Benarkah Muhammad bin Abdullah telah menjadi Nabi dan engkau mengikutinya?”
“Betul.” Abu Bakar As Siddiq r.a menceritakan kisah Muhammad Saw sejak peristiwa di gua Hira’ sampai turunnya ayat pertama. Abu Bakar As Siddiq r.a mengajak Thalhah bin Ubaidillah untuk masuk Islam. Usai Abu Bakar As Siddiq r.a bercerita Thalhah bin Ubaidillah ganti bercerita tentang pertemuannya dengan pendeta Bushra. Abu Bakar As Siddiq r.a tercengang. Lalu Abu Bakar As Siddiq r.a mengajak Thalhah bin Ubaidillah r.a untuk menemui Muhammad Saw dan menceritakan peristiwa yang dialaminya dengan pendeta Bushra. Di hadapan Rasulullah Saw, Thalhah bin Ubaidillah langsung mengucapkan dua kalimat syahadat.

Bagi keluarganya, masuk Islamnya Thalhah bin Ubaidillah bagaikan petir di siang bolong. Keluarganya dan orang-orang satu sukunya berusaha mengeluarkannya dari Islam. Mulanya dengan bujuk rayu, namun karena pendirian Thalhah bin Ubaidillah sangat kokoh, mereka akhirnya bertindak kasar. Siksaan demi siksaan mulai mendera tubuh anak muda yang santun itu. Sekelompok pemuda menggiringnya dengan tangan terbelenggu di lehernya, orang-orang berlari sambil mendorong, memecut dan memukuli kepalanya, dan ada seorang wanita tua yang terus berteriak mencaci maki Thalhah bin Ubaidillah, yaitu ibunya, Ash-Sha’bah. Tak hanya itu, pernah seorang lelaki Quraisy, Naufal bin Khuwailid yang menyeret Abu Bakar As Siddiq dan Thalhah bin Ubaidillah mengikat keduanya menjadi satu dan mendorong ke algojo hingga darah mengalir dari tubuh sahabat yang mulia ini. Peristiwa ini mengakibatkan Abu Bakar As Siddiq dan Thalhah bin Ubaidillah digelari Al-Qarinain atau sepasang sahabat yang mulia. Tidak hanya sampai disini saja cobaan dan ujian yang dihadapi Thalhah bin Ubaidillah, semua itu tidak membuatnya surut, melainkan makin besar bakti dan perjuangannya dalam menegakkan Islam, hingga banyak gelar dan sebutan yang didapatnya antara lain “Assyahidul Hayy”, atau syahid yang hidup.

Kamis, 27 Februari 2014

Kisah Abdullah bin Ummi Maktum r.a

Masih ingat dengan seorang sahabat Nabi Muhammad Saw yang tak dapat melihat? Yang karenanya Allah Swt lalu menegur Nabi Muhammad Saw dan menurunkan surat “A’basa”?

1.      Dia (Muhammad) bermuka masam dan berpaling,
2.      karena telah datang seorang buta kepadanya.
3.      tahukah kamu barangkali ia ingin membersihkan dirinya (dari dosa),
4.      atau Dia (ingin) mendapatkan pengajaran, lalu pengajaran itu memberi manfaat kepadanya?
5.      Adapun orang yang merasa dirinya serba cukup,
6.      Maka kamu melayaninya.
7.      Padahal tidak ada (celaan) atasmu kalau Dia tidak membersihkan diri (beriman).
8.      dan Adapun orang yang datang kepadamu dengan bersegera (untuk mendapatkan pengajaran),
9.      sedang ia takut kepada (Allah),
10.  Maka kamu mengabaikannya.
11.  sekali-kali jangan (demikian)! Sesungguhnya ajaran-ajaran Tuhan itu adalah suatu peringatan,

Beliau adalah Abdullah bin Ummi Maktum r.a, Seorang sosok sahabat yang senantiasa tawadlhu dalam menunaikan kewajibannya sebagai hamba Allah Swt.

Suatu ketika sahabat Nabi Muhammad Saw ini menghampiri baginda Rasulullah Saw, ia hendak meminta izin, untuk tidak mengikuti jamaah shubuh, karena tak ada yang menuntunnya menuju masjid. Setelah mendengar alasannya, baginda Rasul Saw bertanya, “Apakah engkau mendengar adzan?”,
Abdullah lantas menjawab,
“Tentu baginda,”
“Kalau begitu tidak ada keringanan untukmu”, tandas Rasul Saw.

Layaknya hamba Allah Swt yang senantiasa istiqomah dalam menjalankan perintah-Nya. Abdullah lalu melaksanakan atas apa yang diperintahkan Rasulullah Saw. Dengan mantap ia berikrar untuk mendirikan jamaah subuh di masjid, sekalipun dirinya harus meraba-raba dengan tongkat untuk menuju sumber adzan.

Keesokan harinya, tatkala fajar menjelang dan adzan mulai berkumandang, Abdullah bin Ummi Maktum bergegas memenuhi panggilan Illahi. Tak lama ketika ia mengayunkan kakinya beberapa langkah, tiba-tiba ia tersandung sebuah batu, badannya lalu tersungkur jatuh, dan sebagian bongkahan batu itu tepat mengenai wajahnya, dengan seketika darahpun mengalir dari mukanya yang mulia.

Dengan cepat Abdullah kembali bangkit, sembari mengusap darah yang membasahi wajahnya, iapun dengan mantap akan kembali melanjutkan perjalanan menuju masjid.

Selang beberapa saat, datang seorang sosok lelaki tak dikenal menghampirinya, kemudian lelaki itu bertanya,
“Paman hendak pergi kemana?”
“Saya ingin memenuhi panggilan Ilahi” jawab Abdullah tenang.
Lalu laki-laki asing itu menawarkan jasanya, “Saya akan antarkan paman ke masjid, lalu nanti kembali pulang ke rumah.”

Lelaki itupun segera menuntun Abdullah menuju masjid, dan kemudian mengantarkannya kembali pulang.

Hal ini ternyata tidak hanya sekali dilakukan lelaki asing itu, tiap hari ia selalu menuntun Abdullah ke masjid dan kemudian mengantarkannya kembali ke rumah. Tentu saja Abdullah bin Ummi Maktum sangat gembira, karena ada orang yang dengan baik hati mengantarnya shalat berjamaah, bahkan tanpa mengharapkan imbalan apapun.

Hingga tibalah suatu saat, ia ingin tahu siapa nama lelaki yang selalu mengantarnya. Ia lalu menanyakan nama lelaki budiman itu. Namun spontan lelaki asing itu menjawab, “Apa yang paman inginkan dari namaku?,”
“Saya ingin berdo’a kepada Allah, atas kebajikan yang selama ini engkau lakukan,” jawab Abdullah.
“Tidak usah” tegas lelaki itu. “Paman tidak perlu berdoa untuk meringankan penderitaanku, dan jangan sekali-kali paman menanyai namaku” tegasnya.

Selasa, 25 Februari 2014

Ummu ‘Umarah r.ha

Ummu ‘Umarah r.ha atau dikenal juga sebagai Ummu Sulaim r.ha telah dirahmati dengan berbagai kehormatan, diantaranya adalah kehadiran beliau di Uhud, al-Hudaibiyyah, Khaibar, Hunain, dan Perang Yamamah. Namun peranan beliau yang paling mulia adalah ketika Perang Uhud.

Ummu ‘Umarah r.ha telah menyertai peperangan tersebut bersama suaminya, Ghaziya, berserta dua orang anak laki-laki beliau. Tugas yang dipertanggung jawabkan atas beliau adalah untuk memberi air kepada para Mujahid yang cedera. Akan tetapi Allah Swt telah menetapkan satu peran yang lebih besar dan mulia untuk beliau. Maka beliau pun mengatur langkah bersama-sama dengan keluarga beliau dengan sebuah Qirbah (tempat air terbuat dari kulit kambing) untuk mengisi air. Mereka tiba di medan perang pada awal pagi hari. pasukan Islam, ketika itu, sedang menguasai peperangan dan beliau pergi melihat keadaan Rasulullah Saw. Pada saat yang bersamaan sejumlah pasukan Islam telah membuat satu kesilapan yang teramat besar – melihat pasukan Quraisy mundur, mereka mulai berlari-berkejaran mendapatkan harta-benda rampasan perang, dan melanggar perintah Rasulullah Saw supaya tetap di posisi mereka di atas bukit.

Khalib bin Walid, (yang ketika itu belum lagi memeluk Islam), ketika melihat benteng pertahanan yang telah terbuka itu kemudian memimpin serangan balasan atas pasukan Islam. Kemenangan peperangan beralih kepada pihak Quraisy. Dalam suasana kalang kabut itu, banyak dari kalangan pasukan Islam panik dan mundur, meninggalkan Rasulullah Saw bersama-sama sekumpulan kecil para Sahabat r.huma. Dikalangan mereka ini termasuklah Ummu ‘Umarah r.ha.

Melihat ramai dari kalangan pasukan Islam yang mundur, Ummu ‘Umarah r.ha kemudian berlari ke arah Rasulullah Saw dan mengangkat senjata demi mempertahankan baginda Saw, bersama-sama dengan suami dan kedua anak lelakinya. Rasulullah Saw menyadari yang Ummu ‘Umarah r.ha tidak mempunyai perisai kemudian baginda Saw memerintahkan kepada salah seorang dari mereka yang sedang mundur supaya memberikan perisainya kepada Ummu ‘Umarah r.ha yang sedang bertarung. Setelah mendapat perisai tersebut, Ummu ‘Umarah r.ha mempertahankan Rasulullah Saw menggunakan busur, anak panah, dan juga pedang.

Ummu ‘Umarah r.ha diserang oleh pasukan berkuda tetapi beliau tidak sekalipun gentar atau merasa takut. Beliau kemudian telah berkata, “Apabila mereka itu tidak berkuda seperti kami, niscaya telah kami hancurkan mereka, insya-Allah.” Abdullah ibn Zayed, anak lelaki beliau, telah mengalami cedera ketika peperangan tersebut. Lukanya itu mengeluarkan darah banyak sekali. Ibunya berlari kepadanya dan membalut lukanya itu. Kemudian Ummu ‘Umarah r.ha memerintahkan anak lelakinya itu, “Majulah dan perangi mereka, anakku!”

Rasulullah Saw mengagumi semangat pengorbanan beliau dan telah memuji beliau, “Siapakah yang dapat menanggung apa yang kamu mampu tanggung, Ummu ‘Umarah!”