Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Jika seseorang meninggal dunia, maka terputuslah amalannya kecuali tiga perkara (yaitu) : sedekah jariyah, ilmu yang bermanfaat, dan do’a anak yang sholeh” (HR. Muslim no. 1631)

Cari Berkah

Rabu, 09 April 2014

Bacaan Dzikir Dan Pembatas Sholat

Pernahkan terlintas pertanyaan dibenak anda?
1.  Apakah ada tuntunan dari Rasul shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam mengenai tertib (susunan) dzikir setelah sholat fardhu ?
2.  Berapa jauh (jaraknya) orang bisa lewat di depan orang yang sedang sholat yang tidak menggunakan pembatas (sutrah) ?

Dengan  meminta pertolongan dari Allah, pertanyaan anda dijawab sebagai berikut :

Jawaban Pertanyaan Pertama :

Para ulama sepakat akan disunnahkannya dzikir setelah sholat sebagaimana yang dikatakan oleh Imam Nawawy dalam kitab Al-Adzkar 1/200 tahqiq Salim Al-Hilaly. Akan tetapi tidak ada tuntunan secara pasti dari Nabi shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam mengenai urutan/tertib dzikir tersebut. Maka boleh berijtihad dalam urutan dzikir tersebut.

Tapi bagi orang yang memperhatikan konteks hadits-hadits tentang dzikir di belakang sholat bisa menyimpulkan suatu kesimpulan yang baik tentang urutannya. Berikut ini kami sebutkan hadits-hadits tersebut :

Hadits Pertama : Hadits Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma beliau berkata :

مَا كُنَّا نَعْرِفُ انْقِضَاءَ صَلاَةِ رَسُوْلِ اللهِ صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ وَعَلَى آلِهِ وَسَلَّمَ إِلاَّ بِالتَّكْبِيْرِ

“kami tidak mengetahui selesainya sholat Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam, kecuali dengan (mendengar) takbir”.(HR. Bukhary-Muslim).

Hadits ini menunjukkan disyari’atkannya mengucapkan takbir dengan suara yang keras dan Ibnu ‘Abbas menjadikan ini sebagai tanda selesainya sholat Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam yang berarti takbir itu diucapkan langsung setelah sholat.

Hadits Kedua : Hadits Tsauban radhiyallahu ‘anhu beliau berkata :

كَانَ رَسُوْلُ اللهِ صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ وَعَلَى آلِهِ وَسَلَّمَ إِذَا انْصَرَفَ مِنْ صَلاَتِهِ اسْتَغْفَرَ ثَلاَثًا وَقَالَ : اللَّهُمَّ أَنْتَ السَّلاَمُ وَمِنْكَ السَلاَمُ تَبَارَكْتَ يَا ذَا الْجَلاَلِ وَالْإِكْرَامِ

“Adalah Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam apabila selesai dari sholatnya, beliau istighfar (meminta ampun) tiga kali dan beliau membaca : “Allahumma Antas salam wa minkas Salam tabarakta ya dzal Jalali wal Ikram” (Wahai Allah Engkau adalah As-Salam [1] dan dari-Mulah keselamatan. Maha berkah Engkau wahai Pemilik Al-Jalal (keagungan) dan Al-Ikram (kemuliaan). (HR. Muslim)

[1]  Berkata Ibnu ‘Allan dalam Al-Futuhut Ar-Rabbaniyah 3/33 : “yaitu Yang Maha Selamat dari perubahan dan afat (penyakit/kerusakan) atau (Yang Maha) Pemberi keselamatan bagi siapa yang Engkau kehendaki”.

Imam Al-Auza‘iy rahimahullah – salah seorang rawi hadits tersebut di atas- ditanya : “Bagaimana istighfar ?”, beliau menjawab : “Kamu memgucapkan Astaghfirullah, Astaghfirullah“.

Dan serupa dengannya hadits ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha riwayat Muslim :

كَانَ النَّبِيُّ صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ وَعَلَى آلِهِ وَسَلَّمَ إِذَا سَلَّمَ لَمْ يَقْعُدْ إِلاَّ مِقْدَارَ مَا يَقُوْلُ : اللَّهُمَّ أَنْتَ السَّلاَمُ وَمِنْكَ السَلاَمُ تَبَارَكْتُ يَا ذَا الْجَلاَلِ وَالْإِكْرَامِ

“Adalah Nabi shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam apabila beliau salam, beliau tidak duduk kecuali sekedar membaca : “Allahumma Antas salam wa minkas Salam tabarakta ya dzal Jalali wal Ikram”.

Senin, 07 April 2014

Perang Hunain, Perang Mautah, Perang Badar

1. Perang Hunain, 8 Hijriyah


Setelah pembebasan kota Mekah sebuah berita sampai kepada Nabi Muhammad Saw bahwa kabilah Hawazin dan Tsaqif telah berkumpul di lembah Hunain untuk memerangi kaum Muslimin. Nabi Muhammad Saw lalu memerintahkan pasukannya untuk bersiap-siap menghadapi mereka pada bulan Syawal tahun 8 Hijriyah.

Jumlah pasukan Muslimin sebanyak dua belas ribu orang tentara, setelah mendapat tambahan dari penduduk Mekkah yang bergabung. Selanjutnya, pasukan itu bertolak menuju lembah Hunain. Sesampainya di sana mereka dikejutkan oleh pasukan Hawazin dan Tsaqif yang berada di lembah-lembah dan gunung-gunung. Hampir saja mereka dapat mengalahkan pasukan Muslimin. Sebagian pasukan Muslimin lari karena keterkejutan itu. Hanya sedikit, sekitar sepuluh orang saja, yang menetap bersama Nabi Muhammad Saw. Dengan suara tinggi Nabi Muhammad Saw berseru kepada kaum Muslimin, “Aku Nabi, bukan kebohongan, aku putera Abdul Muthallib.”

Melihat keteguhan dan keberanian Nabi Muhammad Saw, kaum Muslimin kembali menyatu di belakang Nabi Muhammad Saw.

Mereka kemudian melancarkan serangan dahsyat dan berakhir dengan kemenangan. Berhasil membunuh tentara musuh dalam jumlah besar, menawan sekitar enam ribu orang, dan mendapatkan banyak harta rampasan.

Perlu kita catat bahwa sebab kekalahan yang hampir menimpa kaum Muslimin adalah kesilauan mereka terhadap jumlah mereka yang banyak. Mereka mengatakan, “Pada hari ini kita tidak mungkin dikalahkan oleh pasukan yang sedikit.”

Maka Allah Swt hendak memberikan pelajaran kepada mereka bahwa jumlah yang banyak saja belum cukup, tetapi harus ada pertolongan Allah Swt.

Diriwayatkan oleh Sa’id bin Janadah r.a, ia berkata, “Tatkala Rasulullah Saw serta para sahabat kembali dari peperangan Hunain, kami singgah di satu padang tandus.”

Lalu Nabi Muhamad Saw berkata, “Kumpulkanlah oleh kalian apa saja. Barang siapa diantara kalian mendapatkan sesuatu, bawalah kemari. Barang siapa menemukan tulang atau gigi, bawalah kemari.”

Said melanjutkan, “Dalam watu sekejap kami telah berhasil mengumpulkan setumpukan besar benda-benda.”

Kemudian Nabi Muhammad Saw bersabda, “Tidaklah kalian lihat benda-benda ini?
Begitu juga halnya dosa-dosa yang berkumpul pada salah seorang kalian. Seperti apa yang telah kalian kumpulkan ini.
Karena itu, hendaklah orang takut kepada Allah Swt, janganlah ia berbuat dosa, baik dosa kecil maupun dosa besar, karena semuanya akan dihitung!”

 

2. Kisah Perang Mautah


Rasulullah Saw biasa mengirim surat kepada para raja untuk berdakwah dan bertabligh kepada mereka. Salah satu surat beliau telah dibawa oleh Harits bin Umair r.a yang akan diberikan kepada Raja Bushra.

Sabtu, 05 April 2014

Khalid bin Walid, Panglima Yang Sempurna

Ketika Khalid bin Walid masuk Islam, Rasulullah sangat bahagia karena Khalid mempunyai kemampuan berperang yang dapat membela panji-panji Islam. Adanya Khalid di barisan Kaum Muslimin meninggikan kalimatullah dengan perjuangan jihad. Dalam banyak kesempatan Khalid diangkat menjadi panglima perang dan menunjukkan hasil kemenangan.

Pada masa pemerintahan Abu Bakar, Khalid bin Walid ditunjuk menjadi panglima yang memimpin sebanyak 46.000 pasukan, Khalid tak gentar menghadapi tentara Byzantium dengan jumlah pasukan mencapai 240.000. Uniknya, Khalid malah khawatir tidak bisa mengendalikan hatinya karena pengangkatannya dalam peperangan yang dikenal dengan Perang Yarmuk itu.

Dalam Perang Yarmuk, jumlah pasukan Islam yang dipimpin Khalid bukan saja tidak seimbang dengan musuh. Khalid memimpin pasukan  tanpa persenjataan yang lengkap, tidak terlatih plus kualitas yang rendah. Ini berbeda dengan angkatan perang Romawi yang bersenjata lengkap dan baik, terlatih dan jumlahnya lebih banyak. Hanya, bukan Khalid namanya jika tidak mempunyai strategi perang.

Khalid membagi pasukan Islam menjadi 40 kontingen dari 46.000 pasukan Islam untuk memberi kesan seolah-olah pasukan Islam terkesan lebih besar dari musuh. Strategi Khalid ternyata sangat ampuh. Saat itu, taktik yang digunakan oleh Romawi terutama di Arab utara dan selatan ialah dengan membagi tentaranya menjadi lima bagian; depan, belakang, kanan, kiri dan tengah.

Heraklius telah mengikat tentaranya dengan besi antara satu sama lain. Ini dilakukan agar mereka jangan sampai lari dari peperangan. Kegigihan Khalid dalam memimpin pasukannya membuat hampir semua orang tercengang. Pasukan Islam yang jumlahnya jauh lebih sedikit itu berhasil memukul mundur tentara Romawi dan menaklukkan wilayah itu.

Perang yang dipimpin Khalid lainnya adalah perang Riddah (perang melawan orang-orang murtad). Perang  ni terjadi karena suku-suku bangsa Arab tidak mau tunduk lagi kepada pemerintahan Abu Bakar di Madinah. Mereka menganggap, perjanjian yang dibuat dengan Rasulullah batal setelah Rasulullah wafat. Mereka pun menentang Abu Bakar. Karena sikap keras kepala dan penentangan mereka yang dapat membahayakan agama dan pemerintahan. Maka Abu Bakar mengutus Khalid bin Walid untuk menjadi jenderal pasukan perang Islam untuk melawan kaum murtad tersebut. Khalid berhasil memberikan kemenangan.

Kamis, 03 April 2014

Benarkah Aisyah (Ummul Mukminin) Melaknat ‘Amru bin Ash?

Terdapat riwayat shahih yang menyebutkan kalau Aisyah radiallahu ‘anha Ummul Mukminin melaknat salah seorang sahabat Nabi yaitu ‘Amru bin Ash. Silahkan perhatikan riwayat berikut :

أخبرنا أبو إسحاق إبراهيم بن محمد بن يحيى ومحمد بن محمد بن يعقوب الحافظ قالا ثنا محمد بن إسحاق الثقفي ثنا قتيبة بن سعيد ثنا جرير عن الأعمش عن أبي وائل عن مسروق قال قالت لي عائشة رضى الله تعالى عنها إني رأيتني على تل وحولي بقر تنحر فقلت لها لئن صدقت رؤياك لتكونن حولك ملحمة قالت أعوذ بالله من شرك بئس ما قلت فقلت لها فلعله إن كان أمرا سيسوءك فقالت والله لئن أخر من السماء أحب إلي من أن أفعل ذلك فلما كان بعد ذكر عندها أن عليا رضى الله تعالى عنه قتل ذا الثدية فقالت لي إذا أنت قدمت الكوفة فاكتب لي ناسا ممن شهد ذلك ممن تعرف من أهل البلد فلما قدمت وجدت الناس أشياعا فكتبت لها من كل شيع عشرة ممن شهد ذلك قال فأتيتها بشهادتهم فقالت لعن الله عمرو بن العاص فإنه زعم لي أنه قتله بمصر

Telah mengabarkan kepada kami Abu Ishaq Ibrahim bin Muhammad bin Yahya dan Muhammad bin Muhammad bin Ya’qub Al Hafizh dimana keduanya berkata telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Ishaq Ats Tsaqafiy yang berkata telah menceritakan kepada kami Qutaibah bin Sa’id yang berkata telah menceritakan kepada kami Jarir dari Al A’masy dari Abi Wa’il dari Masruq yang berkata Aisyah radiallahu ta’ala ‘anha berkata kepadaku “aku melihat diriku di atas bukit dan disekitarku banyak hewan ternak yang disembelih”. Maka aku berkata kepadanya “Jika benar apa yang anda lihat maka akan terjadi perperangan di sekitar anda”. Aisyah berkata “aku berlindung kepada Allah dari keburukanmu, betapa jeleknya apa yang engkau katakan”. Aku berkata kepadanya “mungkinkah ini menjadi perkara yang memberatkan anda?”. Aisyah berkata “demi Allah, sekiranya aku jatuh dari langit maka itu lebih aku sukai daripada melakukannya”. Suatu ketika setelah peristiwa itu aku menyebutkan disisinya bahwa Ali radiallahu ta’ala ‘anhu telah membunuh Dzu tsudayyah. Aisyah berkata kepadaku “jika engkau mendatangi Kufah maka tulislah kepadaku orang-orang yang menyaksikan peristiwa itu yaitu dari orang-orang yang dikenal dari penduduk negri”. Ketika aku mendatangi Kufah dan mendapati orang-orang tersebut maka aku menulis kepadanya yaitu mereka sepuluh orang yang termasuk menyaksikan peristiwa tersebut. Maka aku mendatanginya dengan kesaksian mereka kemudian Aisyah berkata “Allah melaknat ‘Amru bin ‘Ash, ia mengaku kepadaku bahwa ia telah membunuhnya [Dzu tsudayyah] di Mesir [Mustadrak Al Hakim juz 4 no 6744]

Al Hakim setelah meriwayatkan hadis ini ia berkata “hadist shahih dengan syarat Bukhari dan Muslim tetapi mereka tidak mengeluarkannya”. Hal ini juga dinyatakan oleh Adz Dzahabi dalam Talkhis Al Mustadrak. Atsar di atas kedudukannya shahih diriwayatkan oleh para perawi yang tsiqat.

•     Ibrahim bin Muhammad bin Yahya adalah Abu Ishaq Al Mudzakkiy seorang Syaikh Imam shaduq qudwah [teladan]. Ia seorang syaikh yang tsiqat terhormat baik zuhud wara’ dan mutqin [As Siyar Adz Dzahabi 17/295-296 no 179]
•     Muhammad bin Muhammad bin Ya’qub adalah Abu Husain Al Hajjaajiy seorang Imam Hafizh syaikh Khurasan. Al Hakim menyebutkan dalam Tarikh-nya bahwa ia seorang yang shalih shaduq dan tsabit [As Siyar Adz Dzahabi 16/240-242 no 169]
•     Muhammad bin Ishaq Ats Tsaqafiy adalah Abul Abbas Ats Tsaqafiy seorang Imam hafizh tsiqat syaikh al islam muhaddis Khurasan. Al Khatib berkata “ia termasuk tsiqat tsabit” [As Siyar Adz Dzahabi 14/388-390 no 216]
•     Qutaibah bin Sa’id Ats Tsaqafiy adalah perawi kutubus sittah yang tsiqat. Ahmad bin Hanbal memujinya. Ibnu Ma’in, Abu Hatim dan Nasa’i menyatakan ia tsiqat. Al Hakim berkata “tsiqat ma’mun”. Maslamah bin Qasim menyatakan tsiqat. Ibnu Hibban memasukkannya dalam Ats Tsiqat [At Tahdzib juz 8 no 641]
•     Jarir bin ‘Abdul Hamiid adalah perawi kutubus sittah yang tsiqat. Al Ijli, Abu Hatim dan Nasa’i menyatakan tsiqat. Ibnu Khirasy berkata “shaduq”. Al Lalka’iy berkata “disepakati ketsiqahannya”. Ibnu Hibban memasukkannya dalam Ats Tsiqat. Abu Ahmad Al Hakim berkata “tsiqat di sisi para ulama”. Al Khalili berkata “tsiqat muttafaq ‘alaihi” [At Tahdzib juz 2 no 116]
•     Sulaiman bin Mihran Al ‘Amasy perawi kutubus sittah yang dikenal tsiqat. Al Ijli dan Nasa’i berkata “tsiqat tsabit”. Ibnu Ma’in berkata “tsiqat”. Ibnu Hibban memasukkannya dalam Ats Tsiqat. [At Tahdzib juz 4 no 386]. Ibnu Hajar menyebutkannya sebagai mudallis martabat kedua yang ‘an anahnya dijadikan hujjah dalam kitab shahih [Thabaqat Al Mudallisin no 55]. Riwayat ‘an anahnya dari para syaikh-nya seperti Ibrahim, Abu Wail dan Abu Shalih dianggap muttashil [bersambung] seperti yang dikatakan Adz Dzahabi [Mizan Al Itidal 2/224 no 3517].
•     Abu Wa’il Al Kufiy adalah Syaqiq bin Salamah Mukhadhramun yang tsiqat perawi kutubus sittah. Ibnu Ma’in, Waki’, Ibnu Sa’ad dan Ibnu Hibban menyatakan ia tsiqat. [At Tahdzib juz 4 no 619]. Ibnu Hajar menyatakan “tsiqat” [At Taqrib 1/421]
•     Masruq bin Al Ajda’ adalah perawi kutubus sittah yang tsiqat mukhadhramun. Al Ijli menyatakan ia tsiqat. Ibnu Sa’ad berkata “tsiqat memiliki hadis-hadis shalih”. Ibnu Hibban memasukkannya dalam Ats Tsiqat [At Tahdzib juz 10 no 206]. Ibnu Hajar berkata “tsiqat faqih ahli ibadah mukhadhramun” [At Taqrib 2/175]