Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Jika seseorang meninggal dunia, maka terputuslah amalannya kecuali tiga perkara (yaitu) : sedekah jariyah, ilmu yang bermanfaat, dan do’a anak yang sholeh” (HR. Muslim no. 1631)

Cari Berkah

Jumat, 07 Februari 2014

Kisah Sa’id bin Amir bin Huzaim Al-Jumahy

Abu Nu’aim mengeluarkan dari Khalid bin Ma’dan, dia berkata, “Umar bin Al-Khaththab r.a mengangkat Sa’id bin Amir bin Huzaim r.a sebagai Amir kami di Himsh.

Ketika Umar bin Khattab r.a datang ke sana, dia bertanya, “Wahai penduduk Himsh, apa pendapat kalian tentang Sa’id bin Amir, amir kalian?”

Maka banyak orang yang mengadu kepada Umar bin Khattab r.a. Mereka berkata, “Kami mengadukan empat perkara. Yang pertama karena dia selalu keluar rumah untuk menemui kami setelah hari sudah siang.”

Umar bin Khattab r.a berkomentar, “Itu yang paling besar. Lalu apa lagi?”

Mereka menjawab, “Dia tidak mau menemui seseorang jika malam hari.”

“Itu urusan yang cukup besar,” komentar Umar bin Khattab r.a. Lalu dia bertanya, “Lalu apa lagi?”

Mereka menjawab, “Sehari dalam satu bulan dia tidak keluar dari rumahnya untuk menemui kami.”

“Itu urusan yang cukup besar,” komentar Umar bin Khattab r.a. Lalu dia bertanya, “Lain apa lagi?”

Mereka menjawab, “Beberapa hari ini dia seperti orang yang akan meninggal dunia.”

Kemudian Umar bin Al-Khaththab r.a mengkonfirmasi diantara Sa’id bin Amir r.a dan orang-orang yang mengadukan beberapa masalah tersebut. Saat itu Umar bin Khattab r.a berkata kepada dirinya sendiri, “Ya Allah, jangan sampai anggapanku tentang dirinya keliru pada hari ini.”

Lalu dia bertanya kepada orang-orang yang mengadu, “Sekarang sampaikan apa yang kalian keluhkan tentang diri Sa’id bin Amir r.a!’

“Dia selalu keluar rumah untuk menemui kami setelah hari sudah siang,” kata mereka. Sa’id menanggapi, “Demi Allah, sebenarnya aku tidak suka untuk mengungkapkan hal ini. Harap diketahui, keluargaku tidak mempunyai pembantu, sehingga aku sendiri yang harus menggiling adonan roti. Aku duduk sebentar hingga adonan itu menjadi lumat, lalu membuat roti, mengambil wudhu’, baru kemudian aku keluar rumah untuk menemui mereka.”

Umar bin Khattab r.a bertanya kepada mereka, “Apa keluhan kalian yang lain?”

Mereka menjawab, ‘Dia tidak mau menemui seorang pun pada malam hari.”

“Lalu apa alibimu?” tanya Umar bin Khattab r.a kepada Sa’id bin Amir r.a

“Sebenarnya aku tidak suka untuk mengungkapkan hal ini. Aku menjadikan siang hari bagi mereka, dan menjadikan malam hari bagi Allah.” jawab Sa’id

“Apa keluhan kalian yang lain?” tanya Umar bin Khattab r.a kepada mereka.

Mereka menjawab, “Sehari dalam satu bulan dia tidak mau keluar dari rumahnya untuk menemui kami.”

“Apa alibimu? tanya Umar bin Khattab r.a kepada Said r.a

“Aku tidak mempunyai seorang pembantu yang mencuci pakaianku, di samping itu, aku pun tidak mempunyai pakaian pengganti yang lain.” Maksudnya, hari itu dia mencuci pakaian satu-satunya.

“Apa keluhan kalian yang lain?” tanya Umar bin Khattab r.a kepada mereka.

Mereka menjawab, “Beberapa hari ini dia seperti orang yang akan meninggal dunia.”

Rabu, 05 Februari 2014

Kisah Abu Ubaidah Bin Jarrah r.a

Abu Ubaidah Amir bin Abdullah bin Al Jarrah bin Hilal bin Uhaib bin Dhabbah bin Al Harits bin Fihr bin Malik bin An-Nadhr bin Kinanah. termasuk orang yang pertama masuk Islam, beliau memeluk Islam selang sehari setelah Sayyidina Abu Bakar Ash Shiddiq r.a memeluk Islam. Beliau masuk Islam bersama Abdurrahman bin Auf r.a, Utsman bin Mazun dan Arqam bin Abu al-Arqam, di tangan Abu Bakar as Shiddiq r.a. Sayyidina Abu Bakar r.a yang membawakan mereka menemui Rasulullah Saw untuk menyatakan syahadat di hadapan Baginda. Kualitasnya dapat kita ketahui melalui sabda Nabi Muhammad Saw: “Sesungguhnya setiap umat mempunyai orang kepercayaan, dan kepercayaan umat ini adalah Abu Ubaidah bin al-Jarrah.”

Abu Ubaidah Bin Jarrah r.a  lahir di Mekah, di sebuah rumah keluarga suku Quraisy terhormat. Nama lengkapnya adalah Amir bin Abdullah bin Jarrah yang dijuluki dengan nama Abu Ubaidah.

Abu Ubaidah bin Jarrah r.a adalah seorang yang berperawakan tinggi, kurus, berwibawa, bermuka ceria, rendah diri dan sangat pemalu. Beliau termasuk orang yang berani ketika dalam kesulitan, beliau disenangi oleh semua orang yang melihatnya, siapa yang mengikutinya akan merasa tenang. Wajahnya mudah sekali berkeringat, kedua gigi serinya tanggal, dan tipis rambut jenggotnya. Dia memiliki dua orang anak yang bernama Yazid dan Umair. Kedua anak itu merupakan buah hatinya dengan sang isteri yang bernama Hindun bin Jabir. Namun, keduanya telah meninggal dunia sehingga dia tidak lagi memiliki keturunan.

Kehidupan beliau tidak jauh berbeda dengan kebanyakan sahabat lainnya, diisi dengan pengorbanan dan perjuangan menegakkan Agama Islam. Hal itu tampak ketika beliau harus hijrah ke Ethiopia (Habasyi) pada gelombang kedua demi menyelamatkan aqidahnya. Namun kemudian beliau kembali lagi untuk menyertai perjuangan Rasulullah Saw.

Abu Ubaidah bin Jarrah r.a juga  ikut berperang bersama Rasulullah Saw, beliau sangat terkenal dengan kepahlawanan dan pengorbanan, saat perang Badar berkecamuk, Abu Ubaidah bin Jarrah r.a melihat bapaknya berada ditengah kaum musyrikin maka diapun menghindar darinya, namun bapaknya berusaha ingin membunuh anaknya. Maka tidak ada jalan lain untuk menghindar baginya kecuali melawannya, dan bertemulah dua pedang  yang saling berbenturan dan pada akhirnya orang tua yang musyrik mati ditangan anaknya yang lebih cinta kepada Allah Swt dan Rasul-Nya daripada orang tuanya hingga turunlah ayat,

“Kamu tidak akan mendapati suatu kaum yang beriman kepada Allah Swt dan hari akhirat, saling berkasih sayang dengan orang-orang yang menentang Allah Swt dan Rasul-Nya, sekalipun orang-orang itu bapak-bapak, anak-anak, atau saudara-saudara ataupun keluarga mereka. Mereka itulah orang-orang yang Allah Swt telah menanamkan keimanan dalam hati mereka dan menguatkan mereka dengan pertolongan yang datang daripada-Nya. Dan dimasukkan-Nya mereka kedalam surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai, mereka kekal di dalamnya. Allah Swt ridha terhadap mereka dan merekapun merasa puas terhadap (limpahan rahmat)-Nya. Mereka itulah golongan Allah Swt. Ketahuilah, bahwa sesungguhnya golongan Allah Swt itulah  yang beruntung.” (QS. Al-Mujadilah : 22).

Ketika dalam perang Uhud, pasukan muslimin kucar kacir dan banyak yang lari meninggalkan pertempuran, justru Abu Ubaidah bin Jarrah r.a berlari untuk mendapati Nabinya tanpa takut sedikit pun terhadap banyaknya lawan dan rintangan. Demi didapati pipi Nabi Muhammad Saw terluka, yaitu terhujamnya dua rantai besi penutup kepala beliau, segera ia berusaha untuk mencabut rantai tersebut dari pipi Nabi Muhammad Saw.

Abu Ubaidah bin Jarrah r.a mulai mencabut rantai tersebut dengan gigitan giginya. Rantai itu pun akhirnya terlepas dari pipi Rasulullah Saw. Namun bersamaan dengan itu pula gigi seri Abu Ubaidah bin Jarrah r.a ikut terlepas dari tempatnya. Abu Ubaidah bin Jarrah r.a tidak jera. Diulanginya sekali lagi untuk mengigit rantai besi satunya yang masih menancap dipipi Rasulullah Saw hingga terlepas. Dan kali ini pun harus juga diikuti dengan lepasnya gigi Abu Ubaidah bin Jarrah r.a, sehingga dua gigi seri sahabat ini ompong karenanya. Sungguh, satu keberanian dan pengorbanan yang tak tergambarkan.

Senin, 03 Februari 2014

Kisah Abu Dzar Al Ghifari r.a

Nama aslinya adalah Jundub bin Junadah bin Sakan, tetapi dia dikenal dengan sebutan Abu Dzar Al Ghifari r.a. Dia adalah sahabat Rasulullah Saw yang berasal dari suku ghiffar dan termasuk golongan orang yang pertama masuk Islam. Sebelum menjadi seorang muslim, Abu Dzar Al Ghifari r.a dikenal sebagai seorang perampok yang suka merampok para kabilah yang pedagang yang melewati padang pasir. Suku Ghiffar memang sudah dikenal sebagai binatang buas malam dan hantu kegelapan. Jika bertemu dengan mereka, jarang sekali orang yang selamat dari perampokan.

Abu Dzar Al Ghifari r.a adalah salah seorang sahabat Rasulullah Saw yang paling tidak disukai oleh oknum-oknum Bani Umayyah yang mendominasi pemerintahan Khalifah Utsman bin Affan r.a, seperti Marwan bin Al-Hakam, Muawiyyah bin Abu Sufyan dan lain-lain.

Ia mempunyai sifat-sifat pemberani, terus terang dan jujur. Ia tidak menyembunyikan sesuatu yang menjadi pemikiran dan pendiriannya. Ia mendapat hidayat Allah Swt dan memeluk Islam di kala Rasulullah Saw menyebarkan dakwah risalahnya secara rahasia dan diam-diam. Ketika itu Islam baru dipeluk kurang lebih oleh 10 orang. Akan tetapi Abu Dzar Al Ghifari r.a tanpa menghitung-hitung resiko mengumumkan secara terang-terangan keislamannya di hadapan orang-orang kafir Quraisy. Sekembalinya ke daerah pemukimannya dari Mekah, Abu Dzar Al Ghifari r.a berhasil mengajak semua anggota qabilahnya memeluk agama Islam. Bahkan qabilah lain yang berdekatan, yaitu qabilah Aslam, berhasil pula di Islamkan.

Demikian gigih, berani dan cepatnya Abu Dzar Al Ghifari r.a bergerak menyebarkan Islam, sehingga Rasulullah Saw sendiri merasa kagum dan menyatakan pujiannya. Terhadap Bani Ghifar dan Bani Aslam, Nabi Muhammad Saw dengan bangga mengucapkan: “Ghifar…, Allah telah mengampuni dosa mereka! Aslam…, Allah menyelamatkan kehidupan mereka!”

Sejak menjadi orang muslim, Abu Dzar Al Ghifari r.a benar-benar telah menghias sejarah hidupnya dengan bintang kehormatan tertinggi. Dengan berani ia selalu siap berkorban untuk menegakkan kebenaran Allah Swt dan Rasul-Nya. Tanpa tedeng aling-aling ia bangkit memberontak terhadap penyembahan berhala dan kebatilan dalam segala bentuk dan manifestasinya. Kejujuran dan kesetiaan Abu Dzar Al Ghifari r.a dinilai oleh Rasulullah Saw sebagai “cahaya terang benderang.”

Pada pribadi Abu Dzar Al Ghifari r.a tidak terdapat perbedaan antara lahir dan bathin. Ia satu dalam ucapan dan perbuatan. Satu dalam fikiran dan pendirian. Ia tidak pernah menyesali diri sendiri atau orang lain, namun ia pun tidak mau disesali orang lain. Kesetiaan pada kebenaran Allah Swt dan Rasul-Nya terpadu erat degan keberaniannya dan ketinggian daya-juangnya. Dalam berjuang melaksanakan perintah Allah Swt dan Rasul-Nya, Abu Dzar Al Ghifari r.a benar-benar serius, keras, dan tulus. Namun demikian ia tidak meninggalkan prinsip sabar dan hati-hati.

Pada suatu hari ia pernah ditanya oleh Rasulullah Saw tentang tindakan apa kira-kira yang akan diambil olehnya jika di kemudian hari ia melihat ada para penguasa yang mengangkangi harta Ghanimah milik kaum muslimin. Dengan tandas Abu Dzar Al Ghifari r.a menjawab: “Demi Allah, yang mengutusmu membawa kebenaran, mereka akan kuhantam dengan pedangku!”

Menanggapi sikap yang tandas dari Abu Dzar Al Ghifari r.a ini, Nabi Muhammad Saw sebagai pemimpin yang bijaksana memberi pengarahan yang tepat. Beliau berkata: “Kutunjukkan cara yang lebih baik dari itu. Sabarlah sampai engkau berjumpa dengan aku di hari kiamat kelak!”

Sabtu, 01 Februari 2014

Kisah Abdurrahman bin Auf r.a

Abdurrahman bin Auf r.a termasuk kelompok delapan yang mula-mula masuk Islam, termasuk kelompok sepuluh yang diberi kabar gembira oleh Rasulullah Saw masuk surga, termasuk enam orang sahabat yang bermusyawarah (sebagai formatur) dalam pemilihan khalifah sesudah Umar bin Khattab r.a,  dan seorang mufti yang dipercayai Rasulullah Saw untuk berfatwa di Madinah selagi beliau masih hidup ditengah-tengah masyarakat kaum muslimin.

Namanya pada masa jahiliyah adalah Abdul Amar keturunan Bani Zuhrah, lahir tahun 580 M dan setelah masuk Islam Rasulullah Saw memanggilnya Abdurrahman bin Auf r.a. 

Abdurrahman bin Auf r.a masuk Islam sebelum Rasulullah Saw masuk ke rumah Al-Arqam, yaitu dua hari sesudah Abu Bakar ash Shidiq r.a masuk Islam. Sama halnya dengan kelompok kaum muslimin yang pertama-tama masuk Islam, Abdurrahman bin Auf r.a tidak luput dari penyiksaan dan tekanan dari kaum kafir Quraisy, tetapi dia sabar dan tetap sabar. Pendiriannya teguh dan senantiasa teguh. Dia menghindari dari kekejaman kaum Quraisy, tetapi selalu setia dan patuh membenarkan risalah Nabi Muhammad Saw. Kemudian dia turut pindah (hijrah) ke Habasyah bersama-sama kawan-kawan seiman untuk menyelamatkan diri dan agama dari tekanan kaum Quraisy yang senantiasa menerornya.

Tatkala Rasulullah Saw dan para sahabat beliau diijinkan Allah Swt untuk hijrah ke Madinah, Abdurrahman menjadi pelopor bagi orang-orang yang hijrah untuk Allah Swt dan Rasul-Nya. Dalam perantauan, Rasulullah Saw mempersaudarakan orang-orang muhajirin dan orang-orang Anshar. Maka Abdurrahman bin Auf r.a dipersaudarakan dengan Sa’ad bin Rabi’ al Anshari .

Pada suatu hari Sa’ad berkata kepada saudaranya, Abdurrahman bin Auf r.a, “Wahai saudaraku Abdurrahman! Aku termasuk orang kaya diantara penduduk Madinah. Hartaku banyak. Saya mempunyai dua bidang kebun yang luas, dan dua orang pembantu. Pilihlah olehmu salah satu diantara kedua kebun itu, kuberikan kepadamu mana yang kamu sukai. Begitu pula salah seorang diantara kedua pembantuku, akan kuserahkan mana yang kamu senangi, kemudian aku nikahkan engkau dengan dia.”

Jawab Abdurrahman bin Auf r.a, “Semoga Allah Swt melimpahkan berkah-Nya kepada Saudara, kepada keluarga Saudara, dan kepada harta Saudara. Saya hanya akan minta tolong kepada Saudara menunjukkan di mana letaknya pasar Madinah ini.” 

Sa’ad menunjukkan pasar tempat berjual beli kepada Abdurrahman bin Auf r.a. Maka, mulailah Abdurrahman bin Auf r.a berniaga di sana, berjual beli, melaba dan merugi. Belum berapa lama dia berdagang, terkumpullah uangnya sekadar cukup untuk mahar menikah. Dia datang kepada Rasulullah Saw memakai harum-haruman. Beliau menyambut kedatangan Abdurrahman bin Auf r.a seraya berkata, “Wah, alangkah wanginya kamu, hai Abdurrahman.”
Kata Abdurrahman bin Auf r.a, “Saya hendak menikah ya Rasulullah.”
Tanya Rasulullah Saw, “Apa mahar yang kamu berikan kepada isterimu?”
Jawab Abdurrahman bin Auf r.a, “Emas seberat biji kurma.”
Kata Rasulullah Saw, “Adakan kenduri, walau hanya dengan menyembelih seekor kambing. Semoga Allah Swt memberkati pernikahanmu dan hartamu.”
Kata Abdurrahman bin Auf r.a, “Sejak itu dunia datang menghadap kepadaku (hidupku makmur dan bahagia). Hingga seandainya aku angkat sebuah batu, maka dibawahnya kudapati emas dan perak.”