Nama
aslinya adalah Jundub bin Junadah bin Sakan, tetapi dia dikenal
dengan sebutan Abu Dzar Al Ghifari r.a. Dia adalah sahabat Rasulullah Saw yang
berasal dari suku ghiffar dan termasuk golongan orang yang pertama masuk Islam.
Sebelum menjadi seorang muslim, Abu Dzar Al Ghifari r.a dikenal sebagai
seorang perampok yang suka merampok para kabilah yang pedagang yang melewati
padang pasir. Suku Ghiffar memang sudah dikenal sebagai binatang buas malam dan
hantu kegelapan. Jika bertemu dengan mereka, jarang sekali orang yang selamat
dari perampokan.
Abu
Dzar Al Ghifari r.a adalah salah seorang sahabat Rasulullah Saw yang
paling tidak disukai oleh oknum-oknum Bani Umayyah yang mendominasi
pemerintahan Khalifah Utsman bin Affan r.a, seperti Marwan bin Al-Hakam,
Muawiyyah bin Abu Sufyan dan lain-lain.
Ia
mempunyai sifat-sifat pemberani, terus terang dan jujur. Ia tidak
menyembunyikan sesuatu yang menjadi pemikiran dan pendiriannya. Ia mendapat
hidayat Allah Swt dan memeluk Islam di kala Rasulullah Saw menyebarkan dakwah
risalahnya secara rahasia dan diam-diam. Ketika itu Islam baru dipeluk kurang
lebih oleh 10 orang. Akan tetapi Abu Dzar Al Ghifari r.a tanpa
menghitung-hitung resiko mengumumkan secara terang-terangan keislamannya di
hadapan orang-orang kafir Quraisy. Sekembalinya ke daerah pemukimannya dari
Mekah, Abu Dzar Al Ghifari r.a berhasil mengajak semua anggota qabilahnya
memeluk agama Islam. Bahkan qabilah lain yang berdekatan, yaitu qabilah Aslam,
berhasil pula di Islamkan.
Demikian
gigih, berani dan cepatnya Abu Dzar Al Ghifari r.a bergerak menyebarkan
Islam, sehingga Rasulullah Saw sendiri merasa kagum dan menyatakan pujiannya.
Terhadap Bani Ghifar dan Bani Aslam, Nabi Muhammad Saw dengan bangga
mengucapkan: “Ghifar…, Allah telah mengampuni dosa mereka! Aslam…, Allah
menyelamatkan kehidupan mereka!”
Sejak
menjadi orang muslim, Abu Dzar Al Ghifari r.a benar-benar telah menghias
sejarah hidupnya dengan bintang kehormatan tertinggi. Dengan berani ia selalu
siap berkorban untuk menegakkan kebenaran Allah Swt dan Rasul-Nya. Tanpa tedeng
aling-aling ia bangkit memberontak terhadap penyembahan berhala dan kebatilan
dalam segala bentuk dan manifestasinya. Kejujuran dan kesetiaan Abu Dzar
Al Ghifari r.a dinilai oleh Rasulullah Saw sebagai “cahaya terang benderang.”
Pada
pribadi Abu Dzar Al Ghifari r.a tidak terdapat perbedaan antara lahir dan
bathin. Ia satu dalam ucapan dan perbuatan. Satu dalam fikiran dan pendirian.
Ia tidak pernah menyesali diri sendiri atau orang lain, namun ia pun tidak mau
disesali orang lain. Kesetiaan pada kebenaran Allah Swt dan Rasul-Nya
terpadu erat degan keberaniannya dan ketinggian daya-juangnya. Dalam
berjuang melaksanakan perintah Allah Swt dan Rasul-Nya, Abu Dzar Al
Ghifari r.a benar-benar serius, keras, dan tulus. Namun demikian ia tidak
meninggalkan prinsip sabar dan hati-hati.
Pada
suatu hari ia pernah ditanya oleh Rasulullah Saw tentang tindakan apa kira-kira
yang akan diambil olehnya jika di kemudian hari ia melihat ada para penguasa
yang mengangkangi harta Ghanimah milik kaum muslimin. Dengan
tandas Abu Dzar Al Ghifari r.a menjawab: “Demi Allah, yang mengutusmu
membawa kebenaran, mereka akan kuhantam dengan pedangku!”
Menanggapi
sikap yang tandas dari Abu Dzar Al Ghifari r.a ini, Nabi Muhammad Saw
sebagai pemimpin yang bijaksana memberi pengarahan yang tepat. Beliau berkata:
“Kutunjukkan cara yang lebih baik dari itu. Sabarlah sampai engkau berjumpa
dengan aku di hari kiamat kelak!”
Rasulullah
Saw mencegah Abu Dzar Al Ghifari r.a menghunus pedang. Ia dinasehati
berjuang dengan senjata lisan. Sampai pada masa sepeninggal Rasulullah
Saw, Abu Dzar Al Ghifari r.a tetap berpegang teguh pada nasehat
beliau. Di masa Khalifah Abu Bakar Ash Shiddiq r.a gejala-gejala sosial ekonomi
yang dicanangkan oleh Rasulullah Saw belum muncul. Pada masa Khalifah Umar bin
Khattab r.a, berkat ketegasan dan keketatannya dalam bertindak mengawasi para
pejabat pemerintahan dan kaum muslimin, penyakit berlomba mengejar kekayaan
tidak sempat berkembang dikalangan masyarakat. Tetapi pada masa-masa terakhir
pemerintahan Khalifah Utsman bin Affan r.a, penyakit yang membahayakan
kesejahteraan umat itu bermunculan laksana cendawan dimusim hujan. Khalifah
Utsman bin Affan r.a sendiri tidak berdaya menanggulanginya. Nampaknya karena
usia Khalifah Utsman bin Affan r.a. sudah lanjut, serta pemerintahannya
didominasi sepenuhnya oleh para pembantunya sendiri yang terdiri dari golongan
Bani Umayyah.
Pada
waktu itu tidak sedikit sahabat Rasulullah Saw yang hidup serba kekurangan,
hanya karena mereka jujur dan setia kepada ajaran Allah Swt dan tauladan
Rasul-Nya. Sampai ada salah seorang di antara mereka yang menggadai, hanya
sekedar untuk dapat membeli beberapa potong roti. Padahal para penguasa dan
orang-orang yang dekat dengan pemerintahan makin bertambah kaya dan hidup
bermewah-mewah. Harta ghanimah dan Baitul Maal milik kaum muslimin banyak
disalah-gunakan untuk kepentingan pribadi, keluarga dan golongan. Di
tengah-tengah keadaan seperti itu, para sahabat Nabi Muhammad Saw dan kaum
muslimin pada umumnya dapat diibaratkan seperti ayam mati kelaparan di dalam
lumbung padi.
Melihat
gejala sosial dan ekonomi yang bertentangan dengan ajaran Islam, Abu Dzar
Al-Ghifari r.a sangat resah. Ia tidak dapat berpangku tangan membiarkan
kebatilan merajalela. Ia tidak betah lagi diam di rumah, walaupun usia sudah
menua. Dengan pedang terhunus ia berangkat menuju Damsyik. Di tengah jalan ia
teringat kepada nasihat Rasulullah Saw, “jangan menghunus pedang.
Berjuang sajalah dengan lisan!” Bisikan suara seperti itu terngiang-ngiang
terus di telinganya. Cepat-cepat pedang dikembalikan kesarungnya.
Mulai
saat itu Abu Dzar Al Ghifari r.a dengan senjata lidah berjuang
memperingatkan para penguasa dan orang-orang yang sudah tenggelam dalam
perebutan harta kekayaan. Ia berseru supaya mereka kembali kepada kebenaran
Allah Swt dan tauladan Rasul-Nya. Pada waktu Abu Dzar Al Ghifari r.a bermukim
di Syam, ia selalu memperingatkan orang: “Barang siapa yang menimbun emas dan
perak dan tidak meng-infaqkannya di jalan Allah Swt maka beritahukanlah kepada
mereka bahwa mereka akan mendapat siksa yang pedih pada hari kiamat.
Di
kota Syam Abu Dzar Al Ghifari r.a memperoleh banyak pendukung. Umumnya
terdiri dari fakir miskin dan orang-orang yang hidup sengsara. Makin hari
pengaruh kampanyenya makin meluas. Kampanye Abu Dzar Al Ghifari r.a ini
merupakan suatu gerakan sosial yang menuntut ditegakkannya kembali
prinsip-prinsip kebenaran dan keadilan, sesuai dengan perintah Allah dan ajaran
Rasul-Nya.
Muawiyah
bin Abi Sufyan, yang menjabat kedudukan sebagai penguasa daerah
Syam, memandang kegiatan Abu Dzar Al Ghifari r.a sebagai bahaya yang
dapat mengancam kedudukannya. Untuk membendung kegiatan Abu Dzar Al Ghifari r.a,
Muawiyyah menempuh berbagai cara guna mengurangi pengaruh kampanyenya. Tindakan
Muawiyyah itu tidak mengendorkan atau mengecilkan hati Abu Dzar Al Ghifari r.a.
Ia tetap berkeliling kemana-mana, sambil berseru kepada setiap orang: “Aku
sungguh heran melihat orang yang di rumahnya tidak mempunyai makanan, tetapi ia
tidak mau keluar menghunus pedang!”
Seruan Abu
Dzar Al Ghifari r.a yang mengancam itu menyebabkan makin banyak lagi jumlah
kaum muslimin yang menjadi pendukungnya. Bersama dengan itu para penguasa dan
kaum hartawan yang telah memperkaya diri dengan cara yang tidak jujur, sangat
cemas.
Keberanian Abu
Dzar Al Ghifari r.a dalam berjuang tidak hanya dapat dibuktikan dengan pedang,
tetapi lidahnya pun dipergunakan untuk membela kebenaran. Di mana-mana ia
menyerukan ajaran-ajaran kemasyarakatan yang pernah didengarnya sendiri dari
Rasulullah Saw, “Semua manusia adalah sama hak dan sama derajat laksana gigi
sisir…,”
“Tak
ada manusia yang lebih afdhal selain yang lebih besar taqwanya…”,
“Penguasa
adalah abdi masyarakat,” dan lain sebagainya.
Para
penguasa Bani Umayyah dan orang-orang yang bergelimang dalam kehidupan mewah
sangat kecut menyaksikan kegiatan Abu Dzar Al Ghifari r.a. Hati nuraninya
mengakui kebenaran Abu Dzar Al Ghifari r.a, tetapi lidah dan tangan mereka
bergerak diluar bisikan hati nurani. Abu Dzar Al Ghifari r.a dimusuhi dan
kepadanya dilancarkan berbagai tuduhan. Tuduhan-tuduhan mereka itu tidak dihiraukan
oleh Abu Dzar Al Ghifari r.a. Ia makin bertambah berani.
Pada
suatu hari dengan sengaja ia menghadap Muawiyah, penguasa daerah Syam. Dengan
tandas ia menanyakan tentang kekayaan dan rumah milik Muawiyyah yang
ditinggalkan di Mekah sejak ia menjadi penguasa Syam. Kemudian dengan tanpa
rasa takut sedikit pun ditanyakan pula asal-usul kekayaan Muawiyyah yang
sekarang! Sambil menuding Abu Dzar Al Ghifari r.a berkata: “Bukankah
kalian itu yang oleh Al-Qur’an disebut sebagai penumpuk emas dan perak, dan yang
akan dibakar tubuh dan mukanya pada hari kiamat dengan api neraka?!”
Betapa
pengapnya Muawiyah mendengar kata-kata Abu Dzar Al Ghifari r.a yang terus
terang itu! Muawiyah bin Abu Sufyan memang bukan orang biasa. Ia penguasa.
Dengan kekuasaan ditangan ia dapat berbuat apa saja. Abu Dzar Al Ghifari r.a
dianggap sangat berbahaya. Ia harus disingkirkan. Segera ditulis sepucuk surat
kepada Khalifah Utsman bin Affan r.a di Madinah. Dalam surat itu Muawiyah
melaporkan tentang Abu Dzar Al Ghifari r.a menghasut orang banyak di Syam.
Disarankan supaya Khalifah mengambil salah satu tindakan. Berikan kekayaan atau
kedudukan kepada Abu Dzar Al Ghifari r.a. Jika Abu Dzar Al Ghifari r.a
menolak dan tetap hendak meneruskan kampanyenya, kucilkan saja di pembuangan.
Khalifah
Utsman bin Affan r.a melaksanakan surat Muawiyah itu. Abu Dzar Al Ghifari r.a
dipanggil menghadap. Kepada Abu Dzar Al Ghifari r.a diajukan dua pilihan:
kekayaan atau kedudukan.
Menanggapi
tawaran Khalifah itu, Abu Dzar Al Ghifari r.a dengan singkat dan jelas
berkata: “Aku tidak membutuhkan duniamu!”
Khalifah
Utsman bin Affan r.a masih terus menghimbau Abu Dzar Al Ghifari r.a.
Dikemukakannya: “Tinggal sajalah disampingku!”
Sekali
lagi Abu Dzar Al Ghifari r.a mengulangi kata-katanya: “Aku tidak membutuhkan
duniamu!”
Sebagai
orang yang hidup zuhud dan taqwa, Abu Dzar Al Ghifari r.a berjuang
semata-mata untuk menegakkan kebenaran dan keadilan yang diperintahkan Allah
Swt dan Rasul-Nya.
Abu
Dzar Al Ghifari r.a hanya menghendaki supaya kebenaran dan keadilan Allah Swt
ditegakkan, seperti yang dulu telah dilaksanakan oleh Rasulullah Saw, Khalifah
Abu Bakar Ash Shiddiq r.a, dan Khalifah Umar bin Khattab r.a.
Memang
justru itulah yang sangat sukar dilaksanakan oleh Khalifah Utsman bin Affan r.a,
sebab ia harus memotong urat nadi para pembantu dan para penguasa bawahannya.
Abu
Dzar Al Ghifari r.a tidak bergeser sedikit pun dari pendiriannya.
Akhirnya, atas desakan dan tekanan para pembantu dan para penguasa Bani
Umayyah, Khalifah Utsman bin Affan r.a mengambil keputusan:
Abu
Dzar Al Ghifari r.a harus dikucilkan dalam pembuangan di Rabadzah. Tak
boleh ada seorang pun mengajaknya berbicara dan tak boleh ada seorang pun
yang mengucapkan selamat jalan atau mengantarkannya dalam perjalanan.
Bagi
Abu Dzar Al Ghifari r.a pembuangan bukan apa-apa. Sedikitpun ia tidak ragu,
bahwa Allah Swt selalu bersama dia. Kapan saja dan dimana saja. Menanggapi
keputusan Khalifah Utsman bin Affan r.a ia berkata: “Demi Allah, seandainya
Utsman hendak menyalibku di kayu salib yang tinggi atau diatas bukit, aku akan
taat, sabar dan berserah diri kepada Allah Swt. Aku pandang hal itu lebih baik
bagiku.
Seandainya
Utsman memerintahkan aku harus berjalan dari kutub ke kutub lain, aku akan
taat, sabar dan berserah diri kepada Allah Swt. Kupandang, hal itu lebih baik
bagiku.
Dan
seandainya besok ia akan mengembalikan diriku ke rumah pun akan kutaati, aku
akan sabar dan berserah diri kepada Allah Swt. Kupandang hal itu lebih baik
bagiku.”
Itulah
Abu Dzar Al Ghifari r.a, pejuang muslim tanpa pamrih duniawi, yang semata-mata
berjuang untuk menegakkan kebenaran dan keadilan, demi keridhaan Al Khalik. Ia
seorang pahlawan yang dengan gigih dan setia mengikuti tauladan Nabi Muhammad
Saw. Ia seorang zahid yang penuh taqwa kepada Allah Swt dan Rasul-Nya, tidak
berpangku tangan membiarkan kebathilan melanda umat.
Peristiwa
dibuangnya Abu Dzar Al Ghifari r.a ke Rabadzah sangat mengejutkan kaum
muslimin, khususnya para sahabat Nabi Muhammad Saw. Imam Ali bin Abi Thallib r.a
sangat tertusuk perasaannya. Bersama segenap anggota keluarga ia menyatakan
rasa sedih dan simpatinya yang mendalam kepada Abu Dzar Al Ghifari r.a.
Abu
Bakar Ahmad bin Abdul Aziz Al Jauhariy dalam bukunya As Saqifah, berdasarkan
riwayat yang bersumber pada Ibnu Abbas, menuturkan antara lain tentang
pelaksanaan keputusan Khalifah Utsman bin Affan r.a di atas:
Khalifah
Utsman memerintahkan Marwan bin Al Hakam membawa Abu Dzar Al Ghifari
r.a berangkat dan mengantarnya sampai ditengah perjalanan. Tak ada seorang pun
dari penduduk yang berani mendekati Abu Dzar Al Ghifari r.a, kecuali Imam Ali
bin Abi Thallib r.a, Aqil bin Abi Thalib, dan dua orang putera Imam Ali bin Abi
Thallib r.a, yaitu Sayyidina Hasan r.a dan Sayyidina Husein r.a. Beserta mereka
ikut pula Ammar bin Yasir.
Menjelang
saat keberangkatannya, Sayyidina Hasan r.a mengajak Abu Dzar Al Ghifari r.a
bercakap-cakap. Mendengar itu Marwan bin Al-Hakam dengan bengis menegor: “Hai
Hasan, apakah engkau tidak mengerti bahwa Amirul Mukminin melarang bercakap-cakap
dengan orang ini? Kalau belum mengerti, ketahuilah sekarang!”
Melihat
sikap Marwan yang kasar itu, Imam Ali bin Abi Thallib r.a tak dapat menahan
letupan emosinya. Sambil membentak ia mencambuk kepala unta yang
dikendarai oleh Marwan: “Pergilah engkau dari sini! Allah Swt akan menggiringmu
ke neraka.”
Sudah
tentu unta yang dicambuk kepalanya itu meronta-ronta kesakitan. Marwan sangat
marah, tetapi ia tidak punya keberanian melawan Imam Ali bin Abi Thallib r.a.
Cepat-cepat Marwan kembali menghadap Khalifah untuk mengadukan perbuatan Imam
Ali bin Abi Thallib r.a. Khalifah Utsman bin Affan r.a meluap karena merasa
perintahnya tidak dihiraukan oleh Imam Ali bin Abi Thallib r.a dan
anggota-anggota keluarganya.
Tindakan
Imam Ali bin Abi Thallib r.a terhadap Marwan itu ternyata mendorong orang lain
berani mendekati Abu Dzar Al Ghifari r.a guna mengucapkan selamat jalan.
Diantara mereka itu terdapat seorang bernama Dzakwan maula Ummi Hani binti Abu
Thalib. Dzakwan dikemudian hari Menceritakan pengalamannya sebagai berikut:
Aku
ingat benar apa yang dikatakan oleh mereka. Kepada Abu Dzar Al Ghifari r.a, Ali
bin Abi Thalib r.a mengatakan: “Hai Abu Dzar engkau marah demi karena Allah
Swt! Orang-orang itu, yakni para penguasa Bani Umayyah, takut kepadamu, sebab
mereka takut kehilangan dunianya. Oleh karena itu mereka mengusir dan
membuangmu.
Demi
Allah Swt, seandainya langit dan bumi tertutup rapat bagi hamba Allah Swt,
tetapi hamba itu kemudian penuh takwa kepada Allah Swt, pasti ia akan dibukakan
jalan keluar. Hai Abu Dzar, tidak ada yang menggembirakan hatimu selain
kebenaran, dan tidak ada yang menjengkelkan hatimu selain kebathilan!”
Atas
dorongan Imam Ali bin Abi Thallib r.a, Aqil berkata kepada Abu Dzar Al Ghifari r.a:
“Hai Abu Dzar, apa lagi yang hendak kukatakan kepadamu!
Engkau
tahu bahwa kami ini semua mencintaimu, dan kami pun tahu bahwa engkau sangat
mencintai kami juga. Bertakwa sajalah sepenuhnya kepada Allah Swt, sebab takwa
berarti selamat. Dan bersabarlah, karena sabar sama dengan berbesar hati. Ketahuilah,
tidak sabar sama artinya dengan takut, dan mengharapkan maaf dari orang lain
sama artinya dengan putus asa. Oleh karena itu buanglah rasa takut dan putus
asa.”
Kemudian
Sayyidina Hasan r.a berkata kepada Abu Dzar Al Ghifari r.a: “Jika seorang yang
hendak mengucapkan selamat jalan diharuskan diam, dan orang yang mengantarkan
saudara yang berpergian harus segera pulang, tentu percakapan akan menjadi
sangat sedikit, sedangkan sesal dan iba akan terus berkepanjangan. Engkau
menyaksikan sendiri, banyak orang sudah datang menjumpaimu. Buang sajalah
ingatan tentang kepahitan dunia, dan ingat saja kenangan manisnya. Buanglah
perasaan sedih mengingat kesukaran dimasa silam, dan gantikan saja dengan
harapan masa mendatang. Sabarkan hati sampai kelak berjumpa dengan Nabi-mu, dan
beliau itu benar-benar ridha kepadamu.”
Kemudian
kini berkatalah Sayyidina Husein r.a: “Hai paman, sesungguhnya Allah Swt
berkuasa mengubah semua yang paman alami. Tidak ada sesuatu yang lepas dari
pengawasan dan kekuasaan-Nya. Mereka berusaha agar paman tidak mengganggu dunia
mereka. Betapa butuhnya mereka itu kepada sesuatu yang hendak paman cegah!
Berlindunglah kepada Allah Swt dari keserakahan dan kecemasan. Sabar merupakan
bagian dari ajaran agama dan sama artinya dengan sifat pemurah. Keserakahan
tidak akan mempercepat datangnya rizki dan kebathilan tidak akan menunda
datangnya ajal!”
Dengan
nada marah Ammar bin Yasir menyambung: “Allah Swt tidak akan membuat senang
orang yang telah membuatmu sedih, dan tidak akan menyelamatkan orang yang
menakut-nakutimu. Seandainya engkau puas melihat perbuatan mereka, tentu mereka
akan menyukaimu. Yang mencegah orang supaya tidak mengatakan seperti yang kau
katakan, hanyalah orang-orang yang merasa puas dengan dunia. Orang-orang
seperti itu takut menghadapi maut dan condong kepada kelompok yang berkuasa.
Kekuasaan hanyalah ada pada orang-orang yang menang. Oleh karena itu banyak
orang “menghadiahkan” agamanya masing-masing kepada mereka, dan sebagai
imbalan, mereka memberi kesenangan duniawi kepada orang-orang itu. Dengan
berbuat seperti itu, sebenarnya mereka menderita kerugian dunia dan akhirat.
Bukankah itu suatu kerugian yang senyata-nyatanya?!”
Sambil
berlinangan air mata Abu Dzar Al Ghifari r.a berkata: “Semoga Allah Swt merahmati
kalian, wahai Ahlu Baitur Rahman! Bila melihat kalian aku teringat kepada
Rasulullah Saw. Suka-dukaku di Madinah selalu bersama kalian. Di Hijaz aku
merasa berat karena Utsman, dan di Syam aku merasa berat karena Muawiyah.
Mereka tidak suka melihatku berada di tengah-tengah saudara-saudaraku di kedua
tempat itu. Mereka memburuk-burukkan diriku, lalu aku diusir dan dibuang ke
satu daerah, di mana aku tidak akan mempunyai penolong dan pelindung selain
Allah Swt.
Demi
Allah, aku tidak menginginkan teman selain Allah Swt dan bersama-Nya aku tidak
takut menghadapi kesulitan.”
Tutur
Dzakwan lebih lanjut. Setelah semua orang yang mengantarkan pulang, Imam
Ali segera datang menghadap Khalifah Utsman bin Affan r.a. Kepada Imam Ali
bin Abi Thallib r.a, Khalifah bertanya dengan hati gusar: “Mengapa engkau
berani mengusir pulang petugasku –yakni Marwan– dan meremehkan
perintahku?”
“Tentang
petugasmu,” jawab Imam Ali bin Abi Thallib r.a dengan tenang “ia mencoba
menghalang-halangi niatku. Oleh karena itu ia kubalas. Adapun tentang
perintahmu, aku tidak meremehkannya.”
“Apakah
engkau tidak mendengar perintahku yang melarang orang bercakap-cakap dengan Abu
Dzar?” ujar Khalifah dengan marah.
“Apakah
setiap engkau mengeluarkan larangan yang bersifat kedurhakaan harus kuturut?”
tanggap Imam Ali bin Abi Thallib r.a terhadap kata-kata Khalifah tadi dalam
bentuk pertanyaan.
“Kendalikan
dirimu terhadap Marwan!” ujar Khalifah memperingatkan Imam Ali bin Abi Thallib r.a.
“Mengapa?”
tanya Imam Ali bin Abi Thallib r.a.
“Engkau
telah memaki dia dan mencambuk unta yang dikendarainya” jawab Khalifah.
“Mengenai
untanya yang kucambuk,” Imam Ali bin Abi Thallib r.a menjelaskan sebagai
tanggapan atas keterangan Khalifah Utsman bin Affan r.a, “bolehlah ia membalas
mencambuk untaku. Tetapi kalau dia sampai memaki diriku, tiap satu kali dia
memaki, engkau sendiri akan kumaki dengan makian yang sama. Sungguh aku tidak
berkata bohong kepadamu!”
“Mengapa
dia tidak boleh memakimu?” tanya Khalifah Utsman bin Affan r.a dengan
mencemooh.
“Apakah
engkau lebih baik dari dia?!”
“Demi
Allah, bahkan aku lebih baik daripada engkau!” sahut Imam Ali bin Abi Thallib r.a
dengan tandas. Habis mengucapkan kata-kata itu Imam Ali bin Abi Thallib r.a
cepat-cepat keluar meninggalkan tempat.
Beberapa
waktu setelah terjadi insiden itu, Khalifah Utsman bin Affan r.a memanggil
tokoh-tokoh kaum Muhajirin dan Anshar termasuk tokoh-tokoh Bani Umayyah. Di
hadapan mereka itu ia menyatakan keluhannya terhadap sikap Imam Ali bin Abi
Thallib r.a. Menanggapi keluhan Khalifah Utsman bin Affan r.a, para pemuka
yang beliau ajak berbicara menasehatkan: “Anda adalah pemimpin dia. Jika anda
mengajak berdamai, itu lebih baik.”
“Aku
memang menghendaki itu,” jawab Khalifah Utsman bin Affan r.a. Sesudah ini
beberapa orang dari pemuka muslimin itu mengambil prakarsa untuk menghapuskan
ketegangan antara Imam Ali bin Abi Thallib r.a dan Khalifah Utsman bin Affan r.a.
Mereka menghubungi Imam Ali bin Abi Thallib r.a di rumahnya. Kepada Imam Ali
bin Abi Thallib r.a mereka bertanya: “Bagaimana kalau anda datang kepada
Khalifah dan Marwan untuk meminta maaf?”
“Tidak,”
jawab Imam Ali bin Abi Thallib r.a dengan cepat.
“Aku
tidak akan datang kepada Marwan dan tidak akan meminta maaf kepadanya. Aku
hanya mau minta maaf kepada Utsman dan aku mau datang kepadanya.”
Tak
lama kemudian datanglah panggilan dari Khalifah Utsman bin Affan r.a. Imam Ali
bin Abi Thallib r.a datang bersama beberapa orang Bani Hasyim. Sehabis
memanjatkan puji syukur kehadirat Allah Swt, Imam Ali bin Abi Thallib r.a
berkata: “Yang kau ketahui tentang percakapanku dengan Abu Dzar, waktu aku
mengantar keberangkatannya, demi Allah, tidak bermaksud mempersulit atau
menentang keputusanmu. Yang kumaksud semata-mata hanyalah memenuhi hak Abu
Dzar.
Ketika
itu Marwan menghalang-halangi dan hendak mencegah supaya aku tidak dapat
memenuhi hak yang telah diberikan Allah ‘Azza wa Jalla kepada Abu Dzar. Karena
itu aku terpaksa menghalang-halangi Marwan, sama seperti dia menghalang-halangi
maksudku. Adapun tentang ucapanku kepadamu, itu dikarenakan engkau sangat
menjengkelkan aku, sehingga keluarlah marahku, yang sebenarnya aku sendiri
tidak menyukainya.”
Sebagai
tanggapan atas keterangan Imam Ali bin Abi Thallib r.a tersebut, Khalifah
Utsman bin Affan r.a berkata dengan nada lemah lembut, ”Apa yang telah kau
ucapkan kepadaku, sudah kuikhlaskan. Dan apa yang telah kaulakukan terhadap
Marwan, Allah sudah memaafkan perbuatanmu. Adapun mengenai apa yang tadi engkau
sampai bersumpah, jelas bahwa engkau memang bersungguh-sungguh dan tidak berdusta.
Oleh karena itu ulurkanlah tanganmu!” Imam Ali bin Abi Thallib r.a segera
mengulurkan tangan, kemudian ditarik oleh Khalifah Utsman bin Affan r.a
dan dilekatkan pada dadanya.
Bagaimana
keadaan Abu Dzar Al Ghifari r.a di tempat pembuangannya?
Ia
mati kelaparan bersama isteri dan anak-anaknya. Abu Dzar Al Ghifari r.a
wafat dalam keadaan sangat menyedihkan, sehingga batu pun bisa turut menangis
sedih!
Menurut
riwayat tentang penderitaannya dan kesengsaraannya di tempat
pembuangan, dituturkan sebagai berikut:
Setelah
ditinggal mati oleh anak-anaknya, ia bersama isteri hidup sangat sengsara.
Berhari-hari sebelum akhir hayatnya, ia bersama isteri tidak menemukan makanan
sama sekali. Ia mengajak isterinya pergi kesebuah bukit pasir untuk mencari
tetumbuhan. Keberangkatan mereka berdua diiringi tiupan angin kencang
menderu-deru. Setibanya di tempat tujuan mereka tidak menemukan apa pun
juga. Abu Dzar Al Ghifari r.a sangat pilu. Ia menyeka cucuran keringat,
padahal udara sangat dingin. Ketika isterinya melihat kepadanya, mata Abu
Dzar Al Ghifari r.a kelihatan sudah membalik. Isterinya menangis, kemudian
ditanya oleh Abu Dzar Al Ghifari r.a: “Mengapa engkau menangis?”
“Bagaimana
aku tidak menangis,” jawab isterinya yang setia itu,
“kalau
menyaksikan engkau mati di tengah padang pasir seluas ini?
Sedangkan
aku tidak mempunyai baju yang cukup untuk dijadikan kain kafan bagimu dan
bagiku!
Bagaimana
pun juga akulah yang akan mengurus pemakamanmu!”
Betapa
hancurnya hati Abu Dzar Al Ghifari r.a melihat keadaan isterinya. Dengan
perasaan amat sedih ia berkata: “Cobalah lihat ke jalan di gurun pasir itu,
barangkali ada seorang dari kaum muslimin yang lewat!”
“Bagaimana
mungkin?” jawab isterinya.
“Rombongan
haji sudah lewat dan jalan itu sekarang sudah lenyap!”
“Pergilah
kesana, nanti engkau akan melihat,” kata Abu Dzar Al Ghifari r.a menirukan
beberapa perkataan yang dahulu pernah diucapkan oleh Rasulullah Saw,
“Jika
engkau melihat ada orang lewat, berarti Allah Swt telah menenteramkan hatimu
dari perasaan tersiksa. Tetapi jika engkau tidak melihat seorang pun, tutup
sajalah mukaku dengan baju dan letakkan aku di tengah jalan. Bila kau lihat ada
seorang lewat, katakan kepadanya: Inilah Abu Dzar, sahabat Rasulullah Saw. Ia
sudah hampir menemui ajal untuk menghadap Allah Swt, Tuhannya. Bantulah aku
mengurusnya!”
Dengan
tergopoh-gopoh isterinya berangkat sekali lagi ke bukit pasir. Setelah melihat
kesana-kemari dan tidak menemukan apa pun juga, ia kembali menjenguk suaminya.
Di saat ia sedang mengarahkan pandangan mata ke ufuk timur nan jauh di sana,
tiba-tiba melihat bayang-bayang kafilah lewat, tampak benda-benda muatan
bergerak-gerak di punggung unta. Cepat-cepat isteri Abu Dzar Al Ghifari r.a
melambai-lambaikan baju memberi tanda. Dari kejauhan rombongan kafilah itu
melihat, lalu menuju ke arah isteri Abu Dzar Al Ghifari r.a berdiri.
Akhirnya mereka tiba di dekatnya, kemudian bertanya: “Hai wanita hamba Allah,
mengapa engkau di sini?”
“Apakah
kalian orang muslimin?” isteri Abu Dzar Al Ghifari r.a balik bertanya.
“Bisakah
kalian menolong kami dengan kain kafan?”
“Siapa
dia?” mereka bertanya sambil menoleh kepada Abu Dzar Al Ghifari r.a.
“Abu
Dzar Al-Ghifari!” jawab wanita tua itu.
Mereka
saling bertanya diantara sesama teman. Pada mulanya mereka tidak percaya, bahwa
seorang sahabat Nabi Muhammad Saw yang mulia itu mati di gurun sahara seorang
diri. “Sahabat Rasulullah Saw?” tanya mereka untuk memperoleh kepastian.
“Ya,
benar!” sahut isteri Abu Dzar Al Ghifari r.a.
Dengan
serentak mereka berkata: “Ya Allah…! Dengan ini Allah Swt memberi kehormatan
kepada kita!”
Mereka
meletakkan cambuk untanya masing-masing, lalu segera menghampiri Abu Dzar Al
Ghifari r.a. Orang tua yang sudah dalam keadaan payah itu menatapkan
pendangannya yang kabur kepada orang-orang yang mengerumuninya. Dengan suara
lirih ia berkata, ”Demi Allah…, aku tidak berdusta…, seandainya aku mempunyai
baju bakal kain kafan untuk membungkus jenazahku dan jenazah isteriku, aku
tidak akan minta dibungkus selain dengan bajuku sendiri atau baju
isteriku…..Aku minta kepada kalian, jangan ada seorang pun dari kalian yang
memberi kain kafan kepadaku, jika ia seorang penguasa atau pegawai.”
Mendengar
pesan Abu Dzar Al Ghifari r.a itu mereka kebingungan dan saling
pandang-memandang. Di antara mereka ternyata ada seorang muslim dari kaum
Anshar. Ia menjawab: “Hai paman, akulah yang akan membungkus jenazahmu dengan
bajuku sendiri yang kubeli dengan uang hasil jerih-payahku. Aku mempunyai dua
lembar kain yang telah ditenun oleh ibuku sendiri untuk kupergunakan sebagai
pakaian ihram…”
“Engkaukah
yang akan membungkus jenazahku? Kainmu itu sungguh suci dan halal….!” Sahut Abu
Dzar Al Ghifari r.a.
Sambil
mengucapkan kata-kata itu Abu Dzar Al Ghifari r.a kelihatan lega dan
tentram. Tak lama kemudian ia memejamkan mata, lalu secara perlahan-lahan
menghembuskan nafas terakhir dalam keadaan tenang berserah diri kehadirat Allah
Swt Awan di langit berarak-arak tebal teriring tiupan angin gurun sahara yang
amat kencang menghempaskan pasir dan debu ke semua penjuru. Saat itu Rabadzah
seolah-olah berubah menjadi samudera luas yang sedang dilanda taufan.
Selesai
dimakamkan, orang dari Anshar itu berdiri di atas kuburan Abu Dzar Al
Ghifari r.a sambil berdo’a: “Ya Allah, inilah Abu Dzar sahabat Rasulullah Saw,
hamba-Mu yang selalu bersembah sujud kepada-Mu, berjuang demi keagungan-Mu
melawan kaum musyrikin, tidak pernah merusak atau mengubah agama-Mu. Ia melihat
kemungkaran lalu berusaha memperbaiki keadaan dengan lidah dan hatinya, sampai
akhirnya ia dibuang, disengsarakan dan di hinakan sekarang ia mati dalam
keadaan terpencil. Ya Allah, hancurkanlah orang yang menyengsarakan dan yang
membuangnya jauh dari tempat kediamannya dan dari tempat suci Rasulullah Saw!”
Mereka
mengangkat tangan bersama-sama sambil mengucapkan “Aamiiiiiin” dengan khusyu’.
Orang
mulia yang bernama Abu Dzar Al-Ghifari r.a telah wafat, semasa hidupnya ia
pernah berkata: “Kebenaran tidak meninggalkan pembela bagiku…”
Semoga
Allah meridho’inya, Aamiiiiiin.....
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Tuliskan Komentar, Kritik dan Saran SAHABAT Disini .... !!!