Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Jika seseorang meninggal dunia, maka terputuslah amalannya kecuali tiga perkara (yaitu) : sedekah jariyah, ilmu yang bermanfaat, dan do’a anak yang sholeh” (HR. Muslim no. 1631)

Cari Berkah

Kamis, 03 April 2014

Benarkah Aisyah (Ummul Mukminin) Melaknat ‘Amru bin Ash?

Terdapat riwayat shahih yang menyebutkan kalau Aisyah radiallahu ‘anha Ummul Mukminin melaknat salah seorang sahabat Nabi yaitu ‘Amru bin Ash. Silahkan perhatikan riwayat berikut :

أخبرنا أبو إسحاق إبراهيم بن محمد بن يحيى ومحمد بن محمد بن يعقوب الحافظ قالا ثنا محمد بن إسحاق الثقفي ثنا قتيبة بن سعيد ثنا جرير عن الأعمش عن أبي وائل عن مسروق قال قالت لي عائشة رضى الله تعالى عنها إني رأيتني على تل وحولي بقر تنحر فقلت لها لئن صدقت رؤياك لتكونن حولك ملحمة قالت أعوذ بالله من شرك بئس ما قلت فقلت لها فلعله إن كان أمرا سيسوءك فقالت والله لئن أخر من السماء أحب إلي من أن أفعل ذلك فلما كان بعد ذكر عندها أن عليا رضى الله تعالى عنه قتل ذا الثدية فقالت لي إذا أنت قدمت الكوفة فاكتب لي ناسا ممن شهد ذلك ممن تعرف من أهل البلد فلما قدمت وجدت الناس أشياعا فكتبت لها من كل شيع عشرة ممن شهد ذلك قال فأتيتها بشهادتهم فقالت لعن الله عمرو بن العاص فإنه زعم لي أنه قتله بمصر

Telah mengabarkan kepada kami Abu Ishaq Ibrahim bin Muhammad bin Yahya dan Muhammad bin Muhammad bin Ya’qub Al Hafizh dimana keduanya berkata telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Ishaq Ats Tsaqafiy yang berkata telah menceritakan kepada kami Qutaibah bin Sa’id yang berkata telah menceritakan kepada kami Jarir dari Al A’masy dari Abi Wa’il dari Masruq yang berkata Aisyah radiallahu ta’ala ‘anha berkata kepadaku “aku melihat diriku di atas bukit dan disekitarku banyak hewan ternak yang disembelih”. Maka aku berkata kepadanya “Jika benar apa yang anda lihat maka akan terjadi perperangan di sekitar anda”. Aisyah berkata “aku berlindung kepada Allah dari keburukanmu, betapa jeleknya apa yang engkau katakan”. Aku berkata kepadanya “mungkinkah ini menjadi perkara yang memberatkan anda?”. Aisyah berkata “demi Allah, sekiranya aku jatuh dari langit maka itu lebih aku sukai daripada melakukannya”. Suatu ketika setelah peristiwa itu aku menyebutkan disisinya bahwa Ali radiallahu ta’ala ‘anhu telah membunuh Dzu tsudayyah. Aisyah berkata kepadaku “jika engkau mendatangi Kufah maka tulislah kepadaku orang-orang yang menyaksikan peristiwa itu yaitu dari orang-orang yang dikenal dari penduduk negri”. Ketika aku mendatangi Kufah dan mendapati orang-orang tersebut maka aku menulis kepadanya yaitu mereka sepuluh orang yang termasuk menyaksikan peristiwa tersebut. Maka aku mendatanginya dengan kesaksian mereka kemudian Aisyah berkata “Allah melaknat ‘Amru bin ‘Ash, ia mengaku kepadaku bahwa ia telah membunuhnya [Dzu tsudayyah] di Mesir [Mustadrak Al Hakim juz 4 no 6744]

Al Hakim setelah meriwayatkan hadis ini ia berkata “hadist shahih dengan syarat Bukhari dan Muslim tetapi mereka tidak mengeluarkannya”. Hal ini juga dinyatakan oleh Adz Dzahabi dalam Talkhis Al Mustadrak. Atsar di atas kedudukannya shahih diriwayatkan oleh para perawi yang tsiqat.

•     Ibrahim bin Muhammad bin Yahya adalah Abu Ishaq Al Mudzakkiy seorang Syaikh Imam shaduq qudwah [teladan]. Ia seorang syaikh yang tsiqat terhormat baik zuhud wara’ dan mutqin [As Siyar Adz Dzahabi 17/295-296 no 179]
•     Muhammad bin Muhammad bin Ya’qub adalah Abu Husain Al Hajjaajiy seorang Imam Hafizh syaikh Khurasan. Al Hakim menyebutkan dalam Tarikh-nya bahwa ia seorang yang shalih shaduq dan tsabit [As Siyar Adz Dzahabi 16/240-242 no 169]
•     Muhammad bin Ishaq Ats Tsaqafiy adalah Abul Abbas Ats Tsaqafiy seorang Imam hafizh tsiqat syaikh al islam muhaddis Khurasan. Al Khatib berkata “ia termasuk tsiqat tsabit” [As Siyar Adz Dzahabi 14/388-390 no 216]
•     Qutaibah bin Sa’id Ats Tsaqafiy adalah perawi kutubus sittah yang tsiqat. Ahmad bin Hanbal memujinya. Ibnu Ma’in, Abu Hatim dan Nasa’i menyatakan ia tsiqat. Al Hakim berkata “tsiqat ma’mun”. Maslamah bin Qasim menyatakan tsiqat. Ibnu Hibban memasukkannya dalam Ats Tsiqat [At Tahdzib juz 8 no 641]
•     Jarir bin ‘Abdul Hamiid adalah perawi kutubus sittah yang tsiqat. Al Ijli, Abu Hatim dan Nasa’i menyatakan tsiqat. Ibnu Khirasy berkata “shaduq”. Al Lalka’iy berkata “disepakati ketsiqahannya”. Ibnu Hibban memasukkannya dalam Ats Tsiqat. Abu Ahmad Al Hakim berkata “tsiqat di sisi para ulama”. Al Khalili berkata “tsiqat muttafaq ‘alaihi” [At Tahdzib juz 2 no 116]
•     Sulaiman bin Mihran Al ‘Amasy perawi kutubus sittah yang dikenal tsiqat. Al Ijli dan Nasa’i berkata “tsiqat tsabit”. Ibnu Ma’in berkata “tsiqat”. Ibnu Hibban memasukkannya dalam Ats Tsiqat. [At Tahdzib juz 4 no 386]. Ibnu Hajar menyebutkannya sebagai mudallis martabat kedua yang ‘an anahnya dijadikan hujjah dalam kitab shahih [Thabaqat Al Mudallisin no 55]. Riwayat ‘an anahnya dari para syaikh-nya seperti Ibrahim, Abu Wail dan Abu Shalih dianggap muttashil [bersambung] seperti yang dikatakan Adz Dzahabi [Mizan Al Itidal 2/224 no 3517].
•     Abu Wa’il Al Kufiy adalah Syaqiq bin Salamah Mukhadhramun yang tsiqat perawi kutubus sittah. Ibnu Ma’in, Waki’, Ibnu Sa’ad dan Ibnu Hibban menyatakan ia tsiqat. [At Tahdzib juz 4 no 619]. Ibnu Hajar menyatakan “tsiqat” [At Taqrib 1/421]
•     Masruq bin Al Ajda’ adalah perawi kutubus sittah yang tsiqat mukhadhramun. Al Ijli menyatakan ia tsiqat. Ibnu Sa’ad berkata “tsiqat memiliki hadis-hadis shalih”. Ibnu Hibban memasukkannya dalam Ats Tsiqat [At Tahdzib juz 10 no 206]. Ibnu Hajar berkata “tsiqat faqih ahli ibadah mukhadhramun” [At Taqrib 2/175]

Selasa, 01 April 2014

Puasa Dalam Keadaan Junub

Segala puji bagi Allah, Rabb semesta alam. Shalawat dan salam kepada Nabi kita Muhammad, keluarga dan sahabatnya.

Pembahasan yang kami angkat pada kesempatan kali ini adalah mengenai permasalahan suami istri di bulan Romadhon. Mungkin ini terlihat “saru” (kurang sopan) untuk dibahas, tetapi kami menilai ini adalah pembahasan yang penting. Tidak sedikit yang belum mengetahuinya. Jadi kami mohon maaf, jika bahasan ini terlihat kurang sopan.

Kita ketahui bersama bahwa di siang hari ketika berpuasa, suami istri dilarang berhubungan badan. Kesempatan yang ada hanya di malam hari. Jika di malam hari berhubungan, tentu saja ada kewajiban untuk mandi junub terserah ketika itu keluar mani ataukah tidak. Ketika kemaluan si pria telah masuk pada kemaluan si wanita, maka tetap mandi wajib. Jika malam hari terasa dingin, maka tentu saja berat untuk mandi di malam hari. Biasanya pasangan tadi menundanya hingga ingin melaksanakan shalat shubuh. Ketika mereka ingin shalat shubuh, barulah mereka mandi junub. Padahal kita tahu bersama bahwa waktu menahan diri dari berbagai pembatal puasa adalah mulai dari terbit fajar shubuh hingga terbenamnya matahari. Masalahnya apakah puasa tetap sah jika baru mandi setelah masuk Shubuh? Artinya ia masuk Shubuh, masih dalam keadaan junub.

Sebagai jawaban cukup kita melihat dalil-dalil berikut.

Allah Ta’ala berfirman,

أُحِلَّ لَكُمْ لَيْلَةَ الصِّيَامِ الرَّفَثُ إِلَى نِسَائِكُمْ هُنَّ لِبَاسٌ لَكُمْ وَأَنْتُمْ لِبَاسٌ لَهُنَّ عَلِمَ اللَّهُ أَنَّكُمْ كُنْتُمْ تَخْتَانُونَ أَنْفُسَكُمْ فَتَابَ عَلَيْكُمْ وَعَفَا عَنْكُمْ فَالْآَنَ بَاشِرُوهُنَّ وَابْتَغُوا مَا كَتَبَ اللَّهُ لَكُمْ وَكُلُوا وَاشْرَبُوا حَتَّى يَتَبَيَّنَ لَكُمُ الْخَيْطُ الْأَبْيَضُ مِنَ الْخَيْطِ الْأَسْوَدِ مِنَ الْفَجْرِ ثُمَّ أَتِمُّوا الصِّيَامَ إِلَى اللَّيْلِ

Dihalalkan bagi kamu pada malam hari bulan puasa bercampur dengan isteri-isteri kamu; mereka adalah pakaian bagimu, dan kamu pun adalah pakaian bagi mereka. Allah mengetahui bahwasanya kamu tidak dapat menahan nafsumu, karena itu Allah mengampuni kamu dan memberi ma'af kepadamu. Maka sekarang campurilah mereka dan ikutilah apa yang telah ditetapkan Allah untukmu, dan makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu fajar. Kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai (datang) malam.” (QS. Al Baqarah: 187).

Dalam ayat ini dijelaskan bahwa Allah masih membolehkan berhubungan badan antara suami istri sampai terbit fajar Shubuh. Walaupun ketika masuk Shubuh, masih dalam keadaan junub, ia tetap boleh berpuasa ketika itu. Yang penting, ia berhenti berhubungan badan sebelum masuk waktu Shubuh.

Dari ‘Aisyah dan Ummu Salamah radhiyallahu ‘anhuma, mereka berkata,

أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – كَانَ يُدْرِكُهُ الْفَجْرُ وَهُوَ جُنُبٌ مِنْ أَهْلِهِ ، ثُمَّ يَغْتَسِلُ وَيَصُومُ

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah mendapati waktu fajar (waktu Shubuh) dalam keadaan junub karena bersetubuh dengan istrinya, kemudian beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam mandi dan tetap berpuasa.

Senin, 31 Maret 2014

Sholat Sunnah Rowatib (Membangun Rumah di Surga)

Shalat sunnah rawatib adalah shalat sunnah yang mengiringi shalat lima waktu. Shalat sunnah rawatib yang dikerjakan sebelum shalat wajib disebut shalat sunnah qobliyah. Sedangkan sesudah shalat wajib disebut shalat sunnah ba’diyah.

Di antara tujuan disyari’atkannya shalat sunnah qobliyah adalah agar jiwa memiliki persiapan sebelum melaksanakan shalat wajib. Perlu dipersiapkan seperti ini karena sebelumnya jiwa telah disibukkan dengan berbagai urusan dunia. Agar jiwa tidak lalai dan siap, maka ada shalat sunnah qobliyah lebih dulu. 

Sedangkan shalat sunnah ba’diyah dilaksanakan untuk menutup beberapa kekurangan dalam shalat wajib yang baru dilakukan. Karena pasti ada kekurangan di sana-sini ketika melakukannya. 

Keutamaan Shalat Sunnah Rawatib 

Pertama: Shalat adalah sebaik-baik amalan 

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, 

وَاعْلَمُوا أَنَّ خَيْرَ أَعْمَالِكُمُ الصَّلاَةُ  

“Ketahuilah, sebaik-baik amalan bagi kalian adalah shalat.” [HR. Ibnu Majah]



Kedua: Akan meninggikan derajat di surga karena banyaknya shalat tathowwu’ (shalat sunnah) yang dilakukan 

Tsauban –bekas budak Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam- pernah ditanyakan mengenai amalan yang dapat memasukkannya ke dalam surga atau amalan yang paling dicintai oleh Allah. Kemudian Tsauban mengatakan bahwa beliau pernah menanyakan hal tersebut pada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, lantas beliau menjawab,

عَلَيْكَ بِكَثْرَةِ السُّجُودِ لِلَّهِ فَإِنَّكَ لاَ تَسْجُدُ لِلَّهِ سَجْدَةً إِلاَّ رَفَعَكَ اللَّهُ بِهَا دَرَجَةً وَحَطَّ عَنْكَ بِهَا خَطِيئَةً  

“Hendaklah engkau memperbanyak sujud kepada Allah karena tidaklah engkau bersujud pada Allah dengan sekali sujud melainkan Allah akan meninggikan satu derajatmu dan menghapuskan satu kesalahanmu.” [HR. Muslim ]

Ini baru sekali sujud. Lantas bagaimanakah dengan banyak sujud atau banyak shalat yang dilakukan?! 

Ketiga: Menutup kekurangan dalam shalat wajib

Seseorang dalam shalat lima waktunya seringkali mendapatkan kekurangan di sana-sini sebagaimana diisyaratkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,

إِنَّ الرَّجُلَ لَيَنْصَرِفُ وَمَا كُتِبَ لَهُ إِلاَّ عُشْرُ صَلاَتِهِ تُسْعُهَا ثُمُنُهَا سُبُعُهَا سُدُسُهَا خُمُسُهَا رُبُعُهَا ثُلُثُهَا نِصْفُهَا  

“Sesungguhnya seseorang ketika selesai dari shalatnya hanya tercatat baginya sepersepuluh, sepersembilan, seperdelapan, sepertujuh, seperenam, seperlima, seperempat, sepertiga, separuh dari shalatnya.”[HR. Abu Daud]  

Untuk menutup kekurangan ini, disyari’atkanlah shalat sunnah. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إِنَّ أَوَّلَ مَا يُحَاسَبُ النَّاسُ بِهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ مِنْ أَعْمَالِهِمُ الصَّلاَةُ قَالَ يَقُولُ رَبُّنَا جَلَّ وَعَزَّ لِمَلاَئِكَتِهِ وَهُوَ أَعْلَمُ انْظُرُوا فِى صَلاَةِ عَبْدِى أَتَمَّهَا أَمْ نَقَصَهَا فَإِنْ كَانَتْ تَامَّةً كُتِبَتْ لَهُ تَامَّةً وَإِنْ كَانَ انْتَقَصَ مِنْهَا شَيْئًا قَالَ انْظُرُوا هَلْ لِعَبْدِى مِنْ تَطَوُّعٍ فَإِنْ كَانَ لَهُ تَطَوُّعٌ قَالَ أَتِمُّوا لِعَبْدِى فَرِيضَتَهُ مِنْ تَطَوُّعِهِ ثُمَّ تُؤْخَذُ الأَعْمَالُ عَلَى ذَاكُمْ  

“Sesungguhnya amalan yang pertama kali akan diperhitungkan dari manusia pada hari kiamat dari amalan-amalan mereka adalah shalat. Kemudian Allah Ta’ala mengatakan pada malaikatnya dan Dia lebih Mengetahui segala sesuatu, “Lihatlah kalian pada shalat hamba-Ku, apakah sempurna ataukah memiliki kekurangan? Jika shalatnya sempurna, maka akan dicatat baginya pahala yang sempurna. Namun, jika shalatnya terdapat beberapa kekurangan, maka lihatlah kalian apakah hamba-Ku memiliki amalan shalat sunnah? Jika ia memiliki shalat sunnah, maka sempurnakanlah pahala bagi hamba-Ku dikarenakan shalat sunnah yang ia lakukan. Kemudian amalan-amalan lainnya hampir sama seperti itu.”[HR. Abu Daud]  

Sabtu, 29 Maret 2014

Qunut Witir Saat Romadhon

Bismillah was shalatu was salamu ‘ala rasulillah, amma ba’du

Salah satu diantara kebiasaan yang dilakukan di zaman Umar bin Khatab radhiyallahu ‘anhu ketika tarawih adalah qunut ketika witir setelah memasuki pertengahan Romadhon. Qunut ini dilakukan setelah berdiri dari rukuk (i’tidal).

Abdurrahman bin Abdul Qori menceritakan kebiasaan shalat jamaah tarawih di zaman Umar bin Khatab radhiyallahu ‘anhu,

Mereka qunut dengan membaca doa laknat untuk setiap orang kafir setelah memasuki paruh Romadhon. Doa yang mereka baca,

اللَّهُمَّ قَاتِلِ الْكَفَرَةَ الَّذِينَ يَصُدُّونَ عَنْ سَبِيلِكَ وَيُكَذِّبُونَ رُسُلَكَ، وَلَا يُؤْمِنُونَ بِوَعْدِكَ، وَخَالِفْ بَيْنَ كَلِمَتِهِمْ، وَأَلْقِ فِي قُلُوبِهِمُ الرُّعْبَ، وَأَلْقِ عَلَيْهِمْ رِجْزَكَ وَعَذَابَكَ، إِلَهَ الْحَقِّ

Ya Alllah, binasakanlah orang-orang kafir yang menghalangi manusia dari jalan-Mu, mereka mendustakan para rasul-Mu, dan tidak beriman dengan janji-Mu. Cerai-beraikan persatuan mereka dan timpakanlah rasa takut di hati mereka, serta timpakanlah siksaan dan azab-Mu pada mereka, wahai sesembahan yang haq.

Setelah membaca doa di atas, kemudian mereka bersalawat kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan berdoa untuk kebaikan kaum muslimin semampunya, kemudian memohon ampunan untuk kaum mukminin.

Selanjutnya, mereka membaca,

اللَّهُمَّ إِيَّاكَ نَعْبُدُ، وَلَكَ نُصَلِّي وَنَسْجُدُ، وَإِلَيْكَ نَسْعَى وَنَحْفِدُ، وَنَرْجُو رَحْمَتَكَ رَبَّنَا، وَنَخَافُ عَذَابَكَ الْجِدَّ، إِنَّ عَذَابَكَ لِمَنْ عَادَيْتَ مُلْحِقٌ

Ya Allah, kami menyembah hanya kepada-Mu, hanya kepada-Mu kami shalat dan sujud, hanya untuk-Mu kami berusaha dan beramal, dan kami memohon rahmat-Mu, wahai Rabb kami. Kami pun takut kepada azab-Mu yang pedih. Sesungguhnya azab-Mu ditimpakan kepada orang yang Engkau musuhi.

Selesai membaca doa di atas, mereka bertakbir dan turun sujud.

[HR. Ibnu Khuzaimah dalam Shahih-nya no. 1100; dikatakan tahqiq-nya, “Sanadnya shahih.”]

Kebiasaan ini hampir tidak kita jumpai di masyarakat kita. Karena itu, cukup baik jika sesekali dilaksanakan, dalam rangka menghidupkan kembali kebiasaan yang dilaksanakan di zaman Umar bin Khatab radhiyallahu ‘anhu.