Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Jika seseorang meninggal dunia, maka terputuslah amalannya kecuali tiga perkara (yaitu) : sedekah jariyah, ilmu yang bermanfaat, dan do’a anak yang sholeh” (HR. Muslim no. 1631)

Cari Berkah

Selasa, 15 April 2014

Kisah Nabi Yunus A.s

Beliau adalah Nabi yang mulia yang bemama Yunus bin Mata. Nabi Muhammad Saw bersabda: “Janganlah kalian membanding-bandingkan aku atas Yunus bin Mata.”

Mereka menamakannya Yunus, Dzun Nun, dan Yunan. Beliau adalah seorang Nabi yang mulia yang diutus oleh Allah Swt kepada kaumnya. Beliau menasihati mereka dan membimbing mereka ke jalan kebenaran dan kebaikan; beliau mengingatkan mereka akan kedahsyatan hari kiamat dan menakut-nakuti mereka dengan neraka dan mengiming-imingi mereka dengan surga; beliau memerintahkan mereka dengan kebaikan dan mengajak mereka hanya menyembah kepada Allah Swt.

Nabi Yunus A.s senantiasa menasehati kaumnya namun tidak ada seorang pun yang beriman di antara mereka. Datanglah suatu hari kepada Nabi Yunus A.s dimana beliau merasakan keputus asaan dari kaumnya. Hatinya dipenuhi dengan perasaan marah pada mereka namun mereka tidak beriman. Kemudian beliau keluar dalam keadaan marah dan menetapkan untuk meninggalkan mereka. Allah Swt menceritakan hal itu dalam firman-Nya:

“Dan (ingatlah kisah) Dzun Nun (Yunus), ketika ia pergi dalam keadaan marah, lalu ia menyangka bahwa Kami tidak akan mempersempitnya (menyulitkannya) maka ia menyeru dalam keadaan yang sangat gelap: ‘Bahwa tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) selain Engkau. Maha Suci Engkau, sesungguhnya aku termasuk orang-orang yang lalim.’” (QS. al-Anbiya’: 87)

Tidak ada seorang pun yang mengetahui gejolak perasaan dalam diri Nabi Yunus A.s selain Allah Swt. Nabi Yunus A.s tampak terpukul dan marah pada kaumnya. Dalam keadaan demikian, beliau meninggalkan kaumnya. Beliau pergi ke tepi laut dan menaiki perahu yang dapat memindahkannya ke tempat yang lain. Allah Swt belum mengeluarkan keputusan-Nya untuk meninggalkan kaumnya atau bersikap putus asa dari kaumnya. Yunus A.s mengira bahwa Allah Swt tidak mungkin menurunkan hukuman kepadanya karena ia meninggalkan kaumnya. Saat itu Nabi Yunus A.s seakan-akan lupa bahwa seorang nabi diperintah hanya untuk berdakwah di jalan Allah Swt. Namun keberhasilan atau tidak keberhasilan dakwah tidak menjadi tanggung jawabnya. Jadi, tugasnya hanya berdakwah di jalan Allah Swt dan menyerahkan sepenuhnya masalah keberhasilan atau ketidak berhasilannya terhadap Allah Swt semata.

Terdapat perahu yang berlabuh di pelabuhan kecil. Saat itu matahari tampak akan tenggelam. Ombak memukul tepi pantai dan memecahkan batu-batuan. Nabi Yunus A.s melihat ikan kecil sedang berusaha untuk melawan ombak namun ia tidak mengetahui apa yang dilakukan. Tiba-tiba datanglah ombak besar yang memukul ikan itu dan menyebabkan ikan itu berbenturan dengan batu. Melihat kejadian ini, Nabi Yunus A.s merasakan kesedihan. Nabi Yunus A.s berkata dalam dirinya: “Seandainya ikan itu bersama ikan yang besar barangkali ia akan selamat.”

Kemudian Nabi Yunus A.s mengingat-ingat kembali keadaannya dan bagaimana beliau meninggalkan kaumnya. Akhirnya, kemarahan dan kesedihan beliau bertambah.

Nabi Yunus A.s pun menaiki perahu dalam keadaan guncang jiwanya. Beliau tidak mengetahui bahwa beliau lari dari ketentuan Allah Swt menuju ketentuan Allah Swt yang lain; beliau tidak membawa makanan dan juga kantong yang berisi bawaan atau perbekalan, dan tidak ada seorang pun dari teman-temannya yang menemaninya; beliau benar-benar sendirian; beliau melangkahkan kakinya di atas permukaan perahu.

Minggu, 13 April 2014

Umar, Teladan Terbaik Bagi Pemimpin

Suatu ketika Pemimpin orang-orang mukmin sepeninggal Nabi Muhammad SAW, Khalifah Umar bin Khattab, berjalan kaki berpergian keluar kota untuk melihat kondisi rakyat bersama salah seorang sahabatnya. Kemudian Umar melihat sebuah kemah dan ada seorang wanita yang sedang memasak.

Umar meminta izin kepada wanita itu, “Assalamualaikum, bolehkah saya mendekat?” tanya Umar. Wanita itu menjawab : “Silahkan, jika engkau membawa kebaikan”. Lalu Umar mendekat dan bertanya : “Kenapa anak-anakmu menangis?”. Wanita itu menjawab : “Mereka lapar”. “Sungguh Umar bin Khattab tidak pantas jadi pemimpin. Ia tidak mampu menjamin kebutuhan rakyatnya.”. Lanjut wanita itu yang tidak mengetahui bahwa orang yang sedang diajaknya berbicara adalah Umar.

Mendengar perkataan wanita itu, sahabat Umar lalu ingin menyanggah untuk memberitahukan bahwa dia sebenarnya sedang berbicara dengan Umar, lalu Umar menahan ucapan sahabatnya itu untuk tidak memberitahukan apapun kepada wanita itu. Umar kembali bertanya kepada wanita itu : “Apa yang kau masak?”. “Aku memasak air, mengaduk-ngaduk air ini, membuat suara agar anak-anakku tertidur supaya mereka mengira aku sedang memasak makanan untuk mereka”. Jawab wanita malang itu.

Umar pun terhenyak mendengar hal itu dan berkata : “Tunggulah disini, aku akan kembali lagi membawakan sesuatu untukmu”. Umar pun bergegas kembali ke pusat kota dan pergi ke gudang makanan, mengambil satu karung gandum dan berkata : “Bantulah aku angkat karung ini ke punggungku”. Sahabat Umar kaget dan berkata : “Wahai Amirul Mukminin, biarlah saya yang mengangkat karung yang berat ini”. Lalu Umar menampik dan berkata : “Apakah engkau sanggup menanggung bebanku nanti di Akhirat?”. Sahabat pun terdiam dan membiarkan Umar mengangkat sendiri karung yang berat itu.

Umar pun dengan tertatih sambil membawa tongkatnya berjalan kaki menuju kemah wanita yang kelaparan tadi. Sesampainya di kemah wanita itu, Umar membuka karung gandum itu, menaruhnya dipanci dan memasakkannya sendiri. “Aduklah, aku akan menaruh gandum ini secara perlahan. Beginilah cara memasak yang baik”. Ucap Umar sambil meniupkan kayu bakar untuk memanaskan makanan. Kemudian Umar menuangkan makanan tersebut kedalam piring lalu diberikan kepada wanita itu. Alangkah bahagianya wanita itu karena akhirnya dia bisa memberikan makanan kepada anak-anaknya. Diapun menghampiri anak-anaknya yang berjumlah tiga orang dan menyuapinya satu persatu, anak-anaknya makan dengan sangat lahap karena lama tidak mendapatkan makanan. “Engkau lebih baik dari Amirul Mukminin”, ucap wanita itu kepada Umar. Lalu Umar menjawab :”Besok, temuilah Amirul Mukminin, katakanlah kebutuhanmu, dia akan mencukupimu”.

Masyaallah, begitu mulia teladan yang diberikan oleh salah satu pemimpin umat terbaik setelah Nabi SAW wafat. Umar dengan rasa takutnya yang sangat tinggi kepada Allah swt begitu gelisah jika ada amanah yang belum dia tunaikan. Umar rela memikul beban hidupnya demi kebaikan umatnya. Saat ini, Indonesia sedang mengalami krisis keteladanan pemimpin dan penguasa dari berbagai bidang. Semoga kisah Umar ini bisa menjadi pelajaran berharga bagi kita semua, khususnya bagi pemimpin dan calon-calon pemimpin.

Semoga Allah SWT, memberkahi Umar Bin Khattab. Dan mengumpulkannya bersama Rasulullah SAW di Surga, Aamiiin...

Jumat, 11 April 2014

Kedudukan Hadist “Jika Ada Nabi SetelahKu Maka Ia Adalah Umar bin Khattab”

Hadist ini termasuk hadis yang dijadikan hujjah oleh salafy untuk menunjukkan keutamaan Umar bin Khattab r.a. Bahkan ada di antara mereka yang menunjukkan kesinisan terhadap hadist Ghadirkum dengan mengatakan hadist ini lebih menunjukkan keutamaan Umar di atas Ali daripada hadist ghadirkum. Hadist ini tidaklah tsabit sanadnya, mereka para oknum salafiyun hanya bertaklid buta kepada Syaikh salafy yang menguatkan hadist ini. Oknum tersebut tidak punya kemampuan untuk menelaah dengan kritis, ia terlalu banyak menggerutu sehingga lupa caranya berargumen dengan ilmiah.

حدثنا عبد الله حدثني أبي ثنا أبو عبد الرحمن ثنا حيوة ثنا بكر بن عمرو ان مشرح بن هاعان أخبره انه سمع عقبة بن عامر يقول سمعت رسول الله صلى الله عليه و سلم يقول لو كان من بعدي نبي لكان عمر بن الخطاب

Telah menceritakan kepada kami Abdullah yang berkata telah menceritakan kepadaku Ayahku yang berkata telah menceritakan kepada kami Abu Abdurrahman yang berkata telah menceritakan kepada kami Haywah yang berkata telah menceritakan kepada kami Bakr bin Amru bahwa Misyrah bin Ha’an mengabarkan kepadanya bahwa ia mendengar Uqbah bin Amir berkata aku mendengar Rasulullah SAW bersabda “Jika setelahKu ada Nabi maka ia adalah Umar bin Khattab”. [Musnad Ahmad tahqiq Syaikh Syu’aib Al Arnauth 4/154 no 17441]

Takhrij Hadist

Hadist tersebut juga diriwayatkan oleh Tirmidzi dalam Sunan-nya 5/619 no 3686, Ahmad dalam Fadhail Shahabah no 519 dan no 694, Yaqub Al Fasawi dalam Ma’rifat Wal Tarikh 2/500, Ath Thabrani dalam Mu’jam Al Kabir 17/298 no 822, Al Hakim dalam Al Mustadrak juz 3 no 4495, Abu Bakar Al Qathi’i dalam Juz’ul Alfi Dinar no 199 dan Ibnu Asakir dalam Tarikh Ad Dimasyq 44/114-117,  semuanya dengan jalan sanad Haywah dari Bakr bin Amr dari Misyrah bin Ha’an dari Uqbah bin Amir secara marfu’.

Disebutkan Ahmad dalam Fadhail As Shahabah no 498 kalau Ibnu Lahi’ah meriwayatkan dari Misyrah bin Ha’an dari Uqbah bin Amir tetapi dalam Mu’jam Al Kabir Thabrani 17/310 no 857 disebutkan kalau Ibnu Lahi’ah meriwayatkan dari Abu ‘Usyanah [Hay bin Yau’min] dari Uqbah bin Amir. Dalam Mu’jam Al Kabir 17/180 no 475  juga diriwayatkan dari ‘Ishmah bin Malik dari Rasulullah SAW sebagaimana yang dikutip Al Haitsami dalam Majma’ Az Zawaid 9/67 no 14433 kemudian Al Haitsami juga menambahkan riwayat Abu Sa’id Al Khudri dalam Majma’ Az Zawaid9/68 no 14434.

Kedudukan Hadist

Hadist ini adalah hadist yang dhaif. Satu-satunya sanad terkuat dalam hadist ini adalah riwayat Haywah dari Bakr bin Amr dari Misyrah bin Ha’an dari Uqbah bin Amir secara marfu’ dan riwayat itu dhaif. Misyrah bin Ha’an dibicarakan oleh sebagian ulama. Disebutkan dalam At Tahdzib juz 10 no 297 bahwa ia dinyatakan tsiqat oleh Ibnu Ma’in dan Ibnu Ady berkata “arjuuanhu la ba’sa bihi [aku kira tidak ada masalah dengannya]”. Ibnu Hibban memasukkannya dalam Ats Tsiqat juz 5 no 5677 dan menyatakan “sering salah dan berselisih”. Selain itu Ibnu Hibban memasukkan Misyrah bin Ha’an dalam Al Majruuhin juz 3 no 1068 dan menyatakan bahwa ia meriwayatkan dari Uqbah bin Amir hadist-hadist mungkar yang tidak diikuti oleh yang lainnya kemudian Ibnu Hibban menambahkan kalau ia ditinggalkan jika riwayatnya menyendiri [tafarrud]. Ibnu Jauzi memasukkan Misyrah bin Ha’an dalam Adh Dhu’afa Wal Matrukin no 3325. Al Uqaili juga memasukkan Misyrah bin Ha’an dalam kitabnya Adh Dhu’afa Al Kabir no 1817. Ibnu Thahir dalam Tadzkirah Al Maudhu’at 1/680 menyatakan kalau Misyrah tidak bisa dijadikan hujjah.

Rabu, 09 April 2014

Bacaan Dzikir Dan Pembatas Sholat

Pernahkan terlintas pertanyaan dibenak anda?
1.  Apakah ada tuntunan dari Rasul shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam mengenai tertib (susunan) dzikir setelah sholat fardhu ?
2.  Berapa jauh (jaraknya) orang bisa lewat di depan orang yang sedang sholat yang tidak menggunakan pembatas (sutrah) ?

Dengan  meminta pertolongan dari Allah, pertanyaan anda dijawab sebagai berikut :

Jawaban Pertanyaan Pertama :

Para ulama sepakat akan disunnahkannya dzikir setelah sholat sebagaimana yang dikatakan oleh Imam Nawawy dalam kitab Al-Adzkar 1/200 tahqiq Salim Al-Hilaly. Akan tetapi tidak ada tuntunan secara pasti dari Nabi shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam mengenai urutan/tertib dzikir tersebut. Maka boleh berijtihad dalam urutan dzikir tersebut.

Tapi bagi orang yang memperhatikan konteks hadits-hadits tentang dzikir di belakang sholat bisa menyimpulkan suatu kesimpulan yang baik tentang urutannya. Berikut ini kami sebutkan hadits-hadits tersebut :

Hadits Pertama : Hadits Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma beliau berkata :

مَا كُنَّا نَعْرِفُ انْقِضَاءَ صَلاَةِ رَسُوْلِ اللهِ صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ وَعَلَى آلِهِ وَسَلَّمَ إِلاَّ بِالتَّكْبِيْرِ

“kami tidak mengetahui selesainya sholat Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam, kecuali dengan (mendengar) takbir”.(HR. Bukhary-Muslim).

Hadits ini menunjukkan disyari’atkannya mengucapkan takbir dengan suara yang keras dan Ibnu ‘Abbas menjadikan ini sebagai tanda selesainya sholat Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam yang berarti takbir itu diucapkan langsung setelah sholat.

Hadits Kedua : Hadits Tsauban radhiyallahu ‘anhu beliau berkata :

كَانَ رَسُوْلُ اللهِ صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ وَعَلَى آلِهِ وَسَلَّمَ إِذَا انْصَرَفَ مِنْ صَلاَتِهِ اسْتَغْفَرَ ثَلاَثًا وَقَالَ : اللَّهُمَّ أَنْتَ السَّلاَمُ وَمِنْكَ السَلاَمُ تَبَارَكْتَ يَا ذَا الْجَلاَلِ وَالْإِكْرَامِ

“Adalah Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam apabila selesai dari sholatnya, beliau istighfar (meminta ampun) tiga kali dan beliau membaca : “Allahumma Antas salam wa minkas Salam tabarakta ya dzal Jalali wal Ikram” (Wahai Allah Engkau adalah As-Salam [1] dan dari-Mulah keselamatan. Maha berkah Engkau wahai Pemilik Al-Jalal (keagungan) dan Al-Ikram (kemuliaan). (HR. Muslim)

[1]  Berkata Ibnu ‘Allan dalam Al-Futuhut Ar-Rabbaniyah 3/33 : “yaitu Yang Maha Selamat dari perubahan dan afat (penyakit/kerusakan) atau (Yang Maha) Pemberi keselamatan bagi siapa yang Engkau kehendaki”.

Imam Al-Auza‘iy rahimahullah – salah seorang rawi hadits tersebut di atas- ditanya : “Bagaimana istighfar ?”, beliau menjawab : “Kamu memgucapkan Astaghfirullah, Astaghfirullah“.

Dan serupa dengannya hadits ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha riwayat Muslim :

كَانَ النَّبِيُّ صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ وَعَلَى آلِهِ وَسَلَّمَ إِذَا سَلَّمَ لَمْ يَقْعُدْ إِلاَّ مِقْدَارَ مَا يَقُوْلُ : اللَّهُمَّ أَنْتَ السَّلاَمُ وَمِنْكَ السَلاَمُ تَبَارَكْتُ يَا ذَا الْجَلاَلِ وَالْإِكْرَامِ

“Adalah Nabi shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam apabila beliau salam, beliau tidak duduk kecuali sekedar membaca : “Allahumma Antas salam wa minkas Salam tabarakta ya dzal Jalali wal Ikram”.